Share

Menemui Tomi

Author: rafanalfa6819
last update Last Updated: 2022-01-14 10:37:41

 

 

 

"Ibu percaya nggak kalau saya bilang Cafe baru di kota itu milik suami saya?" 

 

 

Bu Eni tergelak dengan memegangi perutnya. Sudah kuduga, dia tidak akan percaya bahkan setelah Mas Vano memberikan hadiah emas logam pada para tetangga. Bukan ingin dianggap kaya, tidak. Hanya saja aku ingin Bu Eni tidak memandang kami sebelah mata lagi hanya karena pulang kampung menggunakan motor.

 

 

"Halimah ... Halimah ... Mimpi emang nggak boleh tanggung-tanggung, tapi ya nggak harus ngaku punya Cafe baru di kota ini juga kali, Hal ... Hal ...!"

 

 

"Ya sudah kalau Bu Eni tidak percaya, besok saya pastikan Arini tidak bisa kerja di Cafe milik saya!" 

 

 

Setelah mengatakan demikian, aku berpamitan pada ibu-ibu yang lain untuk pulang lebih dulu karena bahan belanjaan untuk sarapan pagi ini sudah lengkap.

 

 

"Halunya kebangetan! Gitu tuh kalau udah lama merantau ke kota tapi nggak kaya-kaya, suka nggak jelas kalau ngomong!" seloroh Bu Eni. Telingaku samar-samar menangkap cibriannya sekalipun langkahku sudah semakin menjauh.

 

 

Kuhela nafas panjang, menghadapi orang seperti Bu Eni memang harus dengan kesabaran yang penuh. Jika tidak, tidak jarang adu mulut akan sering terjadi. 

 

 

Setelah menyiapkan sarapan, aku dan Mas Vano berencana pergi ke rumah Mas Tomi. Ternyata Mas Tomi dan Mbak Astri hampir tidak pernah kesini, bahkan seharian kemarin mereka tidak mengunjungi rumah Bapak dan Ibu, padahal mereka bilang, setiap pagi Mbak Astri selalu datang untuk mengantarkan sarapan pagi. Nyatanya, Ibu memasak sendiri dengan bantuanku hari ini, tidak ada batang hidung Mbak Astri padahal hari sudah beranjak pukul tujuh pagi.

 

 

"Ibu sama Bapak ikut aja, sekalian kita jalan-jalan ya," ajakku.

 

 

Bapak dan Ibu saling berpandangan, kutangkap netra Bapak berembun mendengar ajakanku. Ibu menganggukkan kepalanya tanda setuju, kemudian disusul anggukan kepala Bapak dengan satu tangan mengusap sudut matanya. Ah, banyak sekali hal yang harus kucari tau sepertinya.

 

 

"Tapi ... apa kalian nggak malu ngajak Bapak dan Ibu jalan-jalan, Nak?" tanya Bapak pada Mas Vano. 

 

 

Suamiku tersenyum tipis dan merangkul pundak Bapak sambil berucap, "Kenapa harus malu, Pak? Bapak dan Ibu adalah orang tua kami, tanpa kalian, saya tidak akan memiliki istri sebaik Halimah," tutur Mas Vano. 

 

 

Bapak memeluk tubuh Mas Vano dengan bahu yang bergetar. Ibu sudah menangis sesenggukan di belakang mereka. Sementara aku, hatiku semakin nyeri mendengar pertanyaan Bapak. 

 

 

"Kenapa Bapak bilang begitu? Halimah tidak pernah malu pergi keluar bersama Bapak dan Ibu."

 

 

"Bukan begitu, Hal. Bapak dan Ibu takut kamu malu, Astri selalu menolak jika Tomi ingin mengajak Bapak dan Ibu jalan-jalan. Dia bilang malu pergi membawa kami yang kampungan ini."

 

 

Rasa nyeri kembali menjalar di ulu hati. Sebegitu tega Mbak Astri mengatakan hal demikian di depan Bapak dan Ibu. Padahal dulu, saat Mbak Astri masih tinggal satu atap dengan Ibu, Ibu selalu memperlakukan wanita itu dengan baik. Sangat baik malah. Aku saksinya.

 

 

"Ya sudah, nanti kita ajak sekalian Mbak Astri sama Mas Tomi. Kita jalan-jalan bersama. Bapak mau ganti baju dulu atau pakai ini aja?" tanyaku.

 

 

"Ah, tunggu, Pak. Vano hampir lupa sama oleh-oleh buat Bapak dan Ibu." Mas Vano berlalu menuju kamar, dan kembali dengan membawa dua kantong plastik berisi entah.

 

 

Bapak menerima pemberian Mas Vano dan membukanya saat itu juga. Sebuah kemeja dan celana hitam kini berada di genggaman Bapak. Sama halnya dengan Ibu, sebuah gamis sederhana namun harganya bukan kaleng-kaleng, sudah beralih ke tangan Ibu. Ah, aku bahkan tidak memikirkan oleh-oleh untuk kedua orang tuaku saking bahagianya hendak pulang hingga lupa pada yang namanya oleh-oleh. 

 

 

"Yuk, Bapak sama Ibu ganti baju dulu. Kita tunggu di depan ya."

 

 

Aku berterima kasih pada Mas Vano, suamiku hanya mengangguk dan tersenyum tipis. 

 

 

"Masya Allah, cantik sekali, Bu," pujiku, membuat Ibu tersipu. Begitupun Bapak, lelaki paruh baya itu nampak kekar memakai kemeja warna abu.

 

 

Mas Vano mengeluarkan mobil dari halaman. Kulihat Bu Eni sudah duduk di depan rumah Mbak Gina, bersama Bu Diah.

 

 

"Dih, mobil rentalan aja bangga, dasar banyak gaya!" sindir Bu Eni. Ibu menundukkan kepalanya dan masuk ke dalam mobil dengan mata yang berkaca-kaca. Kulihat ke arah Bu Eni, wanita paruh baya itu malah membuang muka dan mengipas-ngipaskan jilbab ke wajahnya.

 

 

_______________________

 

 

"Wah, lagi renovasi rumah ya, Mas?" Mas Tomi yang hendak membuka bengkel terkejut mendengar suaraku.

 

 

"Ha ... Halimah?" ujar Mas Tomi gugup.

 

 

Entah mengapa, aku merasa ada yang tidak beres saat gembok penutup bengkel terjatuh dari tangan Mas Tomi. Kakak lelakiku yang dulu begitu mencintaiku terlihat menggaruk kepala belakangnya dengan gelisah. Aku tau gestur tubuhnya mengatakan sedang ada sesuatu yang dia takutkan ketika kedatanganku.

 

 

"Mas?" Aku menepuk pundak Mas Tomi, lelaki itu sedikit berjingkat dan mengusap wajahnya kasar. Lalu membuka pagar rumahnya yang kebetulan terletak tepat di samping kios bengkel miliknya.

 

 

"Sama siapa? Vano doang?" tanya Mas Tomi celingukan ketika mobil Mas Vano masuk ke dalam halaman rumahnya.

 

 

"Enggak, sama Bapak dan Ibu."

 

 

Langkah kaki Mas Tomi tiba-tiba terhenti. Dia menatap ke arahku dengan tatapan yang sulit kuartikan kali ini. Aku bergegas membuka pintu mobil dan membantu Bapak kemudian Ibu untuk keluar dari sana. Mas Tomi hanya mematung, sejenak kulihat dia mengusap matanya ketika mendapati jika Bapak dan Ibu begitu rapi pagi ini. Entah apa yang ada dalam pikiran Mas Tomi.

 

 

Mas Tomi mencium punggung tangan Bapak dan Ibu bergantian. Lalu menjabat tangan Mas Vano dan memeluk tubuhku lembut, pelukan yang sama seperti ketika aku berusia lima tahun. Pelukan penuh cinta dari seorang kakak. 

 

 

 

"Nggak disuruh masuk nih?" godaku.

 

 

 

Mas Tomi tertawa kecil, "Ayo kita masuk, aku yakin pasti Astri terkejut dengan kedatangan kalian." Aku menangkap kejujuran pada suara Mas Vano. Mbak Astri pasti terkejut dengan kedatangan kami kesini.

 

 

 

Ceklek.

 

 

"Loh, kenapa balik lagi, Mas? Inget ya, kamu nggak boleh malas-malasan di rumah, jagain tuh bengkel, lagipula uang dari adik kamu ...."

 

 

 

Mulut Mbak Astri seketika mengatup saat melihatku berjalan di belakang suaminya. Disusul Mas Vano dan juga Bapak serta Ibu.

 

 

"Uang dariku kenapa, Mbak? Kurang ya selama ini untuk kebutuhan Ibu dan Bapak? Kenapa Mbak Astri nggak bilang?" cecarku berpura-pura tidak tau apa yang sedang terjadi. Nyatanya, aku tau jika uang itu tidak pernah sampai pada kedua orang tuaku.

 

 

"Hal ... Halimah? Kapan kamu pulang, kok nggak ngasih kabar dulu sih?" ujar Mbak Astri kaget. Dia memelukku sebentar, kemudian beralih mencium punggung tangan Bapak dan Ibu.

 

 

"Sengaja, biar jadi kejutan. Gimana, terkejut nggak?" sindirku dengan senyuman tipis, berusaha meredam emosi di dalam jiwa, melihat kepura-puraan yang Mbak Astri berikan. 

 

 

"Terkejut dong, yuk, silahkan duduk!"

 

 

Aku mengamati seisi rumah Mas Tomi. Rumah yang dulunya sangat kecil kini bisa berubah menjadi rumah yang lebih indah. Aku bahagia Mas Tomi bisa membangun rumah untuk keluarganya, meskipun aku belum tau, uang siapa yang Mas Tomi gunakan untuk renovasi rumahnya. Rasanya mustahil sekali jika hanya mengandalkan hasil dari bengkel.

 

 

"Wah, gamis Ibu bagus sekali. Tapi ini sangat nggak cocok sama Ibu, mending buatku saja ya, Bu. Ini harganya mahal loh, ya nggak Hal, ini cocoknya di badan aku kan? Secara, Ibu itu sudah tua!" ujar Mbak Astri kepadaku. Jika dulu, aku menganggap ucapannya adalah hal yang wajar mengingat Mbak Astri memang suka ceplas-ceplos, tapi entah, mengapa kini aku begitu terluka dengan ucapannya.

 

 

"Enggak kok, gamis itu cocok untuk Ibu."

 

 

Kulihat Mbak Astri mencebik dan membuang muka. Mas Tomi menepuk lengan istrinya dan meminta Mbak Astri untuk membuatkan kami minuman.

 

 

"Kapan kamu datang, Dek?" Mas Tomi melihat ke arah suamiku.

 

 

"Kemarin, Mas. Mas dan Mbak Astri apa kabar?"

 

 

 

"Alhamdulillah, kami baik."

 

 

Tidak lama kemudian Mbak Astri datang dengan membawa beberapa gelas berisi air teh di atas nampan. 

 

 

"Sudah lama proses renovasinya?" tanyaku basa-basi. Bapak dan Ibu sejak tadi hanya diam. Mereka bahkan seolah tidak leluasa di rumah anak lelakinya.

 

 

Mbak Astri dan Mas Tomi saling berpandangan, "Baru tiga tahun ini," jawab Mas Tomi.

 

 

"Baru setahun ini, Hal!" sahut Mbak Astri yang berbanding terbalik dengan ucapan Mas Tomi. Lagi, mereka saling berpandangan dan kemudian membuang muka masing-masing.

 

 

"Kenapa nggak kompak jawabnya, kalian gugup?"

 

 

Mas Tomi dan Mbak Astri saling menggeleng. 

 

 

"Kemana Tirta, Tom? Apa sudah berangkat sekolah?" Ibu bertanya tentang cucu satu-satunya dari keluarga kami.

 

 

"Su ... sudah, Bu. Tadi Tomi yang mengantar."

 

 

Lama, suasana mendadak hening tepat setelah Ibu bertanya tentang Tirta. Cucu pertama bagi Ibu dan Bapak. Betapa aku tahu mereka begitu mencintai Tirta meskipun bukan darah daging Mas Tomi. Mbak Astri adalah seorang janda dengan satu anak. Suaminya pergi karena menikah lagi. Dengan lapang dada Ibu menerima Mbak Astri sebagai menantu meskipun kalimat-kalimat sumbang keluar dari mulut para tetangga. Bagi orang kampung, entah mengapa menikahi janda seolah menjadi hal yang begitu buruk.

 

 

 

"Kedatangan kami kesini ingin meluruskan sesuatu, Mas," ujar Mas Vano memecah keheningan.

 

 

Dadaku berdetak sangat cepat, kulihat Mbak Astri duduk dengan gelisah, terbukti dari silangan kaki yang berubah-ubah.

 

 

 

"Maaf, jika harus mengatakan ini, tapi ... apa yang kiriman dari kami selama ini tidak pernah sampai pada Bapak dan Ibu?" tanya Mas Vano hati-hati. Aku menggigit bibir bawah tatkala netra Bapak dan Ibu menatap ke arah suamiku. Kening mereka saling bertaut, mungkin bingung dengan maksut ucapan menantunya itu.

 

 

"Apa maksudmu, Van, membahas uang di depan orang tua? Apa kamu ingin terlihat lebih hebat dari suamiku, hah?!" teriak Mbak Astri lantang. Kedua tangannya berkacak pinggang dengan menatap tajam ke arah kami.

 

 

"Bukan begitu maksut saya, Mbak ...."

 

 

"Halah, banyak bacot kamu! Aku tahu, kamu pasti ingin terlihat begitu dermawan kan di depan Bapak dan Ibu, sedangkan suamiku kamu injak-injak harga dirinya!"

 

 

"Jangan mentang-mentang kamu dari kota lalu aku takut padamu, salah besar! Lagipula, meskipun hidup di kota, Halimah juga tidak kunjung kaya, lihat kami, meskipun tidak merantau, kami berhasil merenovasi rumah. Lalu apa maksutmu mengatakan tentang uang kiriman?"

 

 

"Uang kiriman kalian selalu sampai ke tangan Bapak dan Ibu dengan berupa bahan pokok. Lalu uang mana yang kamu maksut? Jangan menuduh seolah-olah kami memakan hak mereka!" ujar Mbak Astri menggebu-gebu. Dia seolah tidak mengijinkan Mas Vano membuka mulut.

 

 

Tiba-tiba Mbak Astri menangis histeris, membuat Ibu memegang lengan Mas Vano, "Sudah, Nak. Ibu tidak suka kalian bertengkar hanya karena masalah uang. Lagipula apa yang Mbakmu katakan benar. Tiap bulan Ibu dapat kiriman sembako."

 

 

"Tapi, Bu ... mana mungkin uang lima juta hanya dapat sembako? Bahkan tempo hari Mbak Astri bilang Ibu minta kalung? Mana, kemarin saat Ibu lepas jilbab di kamar, Halimah tidak menemukan kalung di leher Ibu," seruku memendam emosi. Aku yakin, Mbak Astri berusaha playing victim dengan berpura-pura menangis.

 

 

 

"Li ... Lima juta? Kalung ...?

 

 

 

Comments (12)
goodnovel comment avatar
A Arman Ariyono
gemes bacanya
goodnovel comment avatar
Faizal Lampung
mantap ceritanya, menarik dan perlu dilanjutkan
goodnovel comment avatar
Titin Pangaribuan
kebiasaan dikampung suks gosip
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Dikira Miskin Saat Pulang Kampung   Mati kutu

    Aku mengangguk, sementara Mbak Astri bangkit dari kursi dan menggebrak meja dengan keras. Brak! "Kamu sengaja kan, Hal, mau buat aku malu? Kamu sengaja membahas ini di depan Ibu dan Bapak agar aku terlihat seperti ipar yang buruk bagimu, begitu kan?!" Air mata Mbak Astri keluar dengan derasnya. Aku membuang muka, disini, seolah-olah aku yang bersalah, padahal nyatanya bukan begitu. Mas Vano menggenggam jemariku dan memintaku untuk lebih tenang. "Duduklah, Mbak. Kita bicarakan ini baik-baik," pinta Mas Vano. "Tidak perlu! Apa lagi yang harus dibicarakan, lagipula Hal

    Last Updated : 2022-01-14
  • Dikira Miskin Saat Pulang Kampung   Pertengkaran Sedarah

    "Saya akui, saya dan Halimah tidak bisa mengurus Bapak dan Ibu dengan baik. Itu sebabnya, kami mencoba membantu dengan mengirimkan materi untuk keperluan Bapak dan Ibu selama ini. Tapi ternyata ... Mas Tomi dan Mbak Astri bukan hanya menilap uang untuk mereka, tapi juga tidak peduli dengan kekurangan orang tua kita selama ini. Mas Tomi bahkan tutup mata melihat mereka masih bekerja di sawah." "Hati-hati kalau bicara kamu, Van. Tau darimana kamu kalau kami tidak peduli dengan Bapak dan Ibu? Untung-untungan kita mau ngasih jatah sembako untuk mereka," sahut Mbak Astri sengit. "Lah, kan emang kita ngasih jatah lewat Mas Tomi juga untuk Bapak dan Ibu, kok Mbak Astri bilang begitu?" Aku menyahut, rasanya geram sekali mendengar penuturan Mbak Astri yang seolah-olah enggan membantu orang

    Last Updated : 2022-01-26
  • Dikira Miskin Saat Pulang Kampung   Menantu Kejam

    Mas Tomi terlihat hendak menghampiri kami yang sudah mendekat ke arah dimana mobil berada. Aku tau, kakak lelakiku pasti khawatir dengan keadaan Ibu. Dulu, Mas Tomi adalah sosok yang begitu mencintai orang tua, tapi sekarang ... Entahlah! "Berani kamu meninggalkan rumah ini, kupastikan kami tidak akan bertemu lagi denganku dan Tirta, Mas!" teriak Mbak Astri lantang. "Sekarang kamu pilih ... pergi dengan mereka atau kita bercerai!" sambung Mas Astri berapi-api. Mas Tomi meremas rambutnya kasar. Jika saja Ibu tidak sedang pingsan, sudah kutampar mulutnya yang tidak beretika itu. Bagaimana bisa seorang istri meminta suaminya memili

    Last Updated : 2022-01-26
  • Dikira Miskin Saat Pulang Kampung   Kelicikan Astri

    PoV Author. Astri berjalan masuk ke dalam rumah setelah memastikan mobil Vano berlalu dari halaman rumahnya. Dia duduk di kursi dengan kaki menyilang. Diambilnya camilan di atas meja, yang mana, saat mertuanya datang, camilan-camilan di atas meja tidak dua buka barang satu atau dua toples saja. Tomi mengikuti langkah Astri dan mendaratkan bokongnya di sebelah Sang Istri. Lelaki itu menghela nafas kasar, mengingat betapa tidak begunanya dia sebagai anak sulung Leha dan Karim. "Dek, ijinkan Mas menjenguk Ibu ke Rumah Sakit, bagaimana jika Ibu kenapa-kenapa?" Tomi berusaha membujuk Astri, tapi istrinya itu justru membuang muka dan bangkit dari duduknya.

    Last Updated : 2022-01-26
  • Dikira Miskin Saat Pulang Kampung   Keterlaluan

    Mbak Astri mematikan sambungan telepon setelah aku mengatakan dimana Ibu dirawat. Entah apa yang ada dalam pikiran kakak iparku itu, dia memberi tau semua tetangga jika Ibu dirawat di Rumah Sakit. Sah-sah saja, tapi aku tidak habis pikir dengan tujuannya barusan, dia bilang jika uang pesangon dari tetangga untuk uang jajan Tirta, sebegitu tidak mampukah Mas Tomi memenuhi kebutuhan hidup Mbak Astri dan Tirta? "Kepala Ibu pusing, Hal." Suara Ibu membuatku berjingkat dan segera membangunkan Mas Vano yang tertidur di kursi sebelah ranjang Ibu. "Biar Mas panggilkan dokter." Mas Vano bangkit, namun Bapak dengan sigap menahan langkah Mas Vano, dia berjalan cepat memanggil dokter untuk memeriksa keadaan Ibu. Dokter mengatakan keadaan Ibu sudah

    Last Updated : 2022-01-26
  • Dikira Miskin Saat Pulang Kampung   Penjelasan Tomi

    "Ayo, talak aku sekarang juga!" ucap Mbak Astri sembari membalikkan badannya dengan satu tangan yang sudah membuka knop pintu hendak keluar. Mas Tomi membuang muka. Aku tidak tau pasti yang membuat dia begitu kekeuh mempertahankan Mbak Astri. Ada alasan lain atau justru karena perkataan Ibu tadi yang bilang jika ingin kehidupan rumah tangga anak-anaknya bisa langgeng sampai mau memisahkan. Entahlah.... "Makanya, jadi laki-laki itu juga perlu sadar diri. Untung ada uang dari Halimah, jadi tiap bulan aku dan Tirta ngga kekurangan. Kalau kamu cuma bisa nyalahin aku, ngaca! Udah layak nggak kamu disebut Bapak, penghasilan tiap hari nggak lebih dari lima putih ribu, dapat apa uang segitu di jaman sekarang. Mikir!" K

    Last Updated : 2022-01-26
  • Dikira Miskin Saat Pulang Kampung   Memberi Pelajaran Untuk Arini

    Darahku seketika mendidih. Sudahlah sakit hati dengan perlakuan Mbak Astri tadi, sekarang justru harus bertemu Arini di Cafe. Aku berjalan menuju ke dapur Cafe, aku yakin Adisti ada disana untuk memantau pekerjaan para waitress. Arini dengan sigap mencekal pergelangan tanganku, dia menatapku dengan sorot mata tajam. Mas Vano menepuk pundak Arini membuat wanita itu menoleh dan mencebik, "Suami sama istri kok kelakuannya nggak jauh beda. Udah miskin tapi sok kaya, pake acara mau mecat aku segala. Hello, nyadar diri dong!" Arini menjetikkan jemarinya tepat di wajah Mas Vano. "Oke, cukup. Aku yang akan membuatku sadar diri sekarang," sahut Mas Vano datar. "Adisti!" teriak Mas Vano lantang, membuat para pengunjung menoleh ke arah kami.

    Last Updated : 2022-01-30
  • Dikira Miskin Saat Pulang Kampung   Sumpah Astri

    Jdor ... Jdor ... Jdor .... "Halimah ... buka pintunya, Hal!" Teriakan wanita di depan rumah membuatku sedikit terkejut. Mas Vano bahkan sampai menghentikan aktifitasnya dan berjalan mendekati pintu. "Siapa, Mas?" tanyaku, Mas Vano hanya mengedikkan bahu. "Halimah ... keluar kamu!" teriaknya lagi. "Kayak suara Mbak Astri, Mas," sahutku. Mas Vano membuka pintu dan benar saja, ada sosok Mbak Astri berdiri dengan berkacak pinggang di depan rumahku.

    Last Updated : 2022-01-30

Latest chapter

  • Dikira Miskin Saat Pulang Kampung   Extra Part

    Dikira Miskin (Extra Part) *** Lima bulan kemudian .... "Hai ... lama tidak bertemu, usia berapa kandungan kamu?" Sea menoleh dan mendapati sosok Nando tengah berdiri dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku celana. "Se?" "Ah, maaf, Bang. Aku ... kaget aja tiba-tiba kamu muncul disini," celetuk Sea gugup. "Sendirian, Bang?" "Ya, karena wanita yang hampir menemani masa tuaku ternyata lebih memilih pria lain. Takdir memang selucu itu, Se." Sea membuang muka. Ada perasaan sedih ketika melihat Nando yang masih mengingat dirinya bahkan disaat dia dan Tirta sedang bahagia menanti buah hati mereka lahir. "Maaf, Bang." Nando terkekeh. "Aku baik-baik saja, Sea. Mungkin Tuhan memang melindungi kamu dari pria tua sepertiku." Sea menggeleng samar. Kedua matanya berembun melihat raut putus asa di wajah Nando. "Sudah kukatakan, kamu pasti mendapatkan wanita yang jauh lebih baik, Bang." "Sendirian?" tanya Nando mengalihkan pembicaraan. Sea mengangguk samar, "Mas Tirta sibuk ngurus Caf

  • Dikira Miskin Saat Pulang Kampung   TAMAT

    Dikira Miskin (TAMAT)***Satu tahun kemudian ...."Pulang dulu, Sayang. Brian pasti nyariin kamu," kata Bagas lembut. Anita mendongak, kedua matanya memerah dengan bekas air mata yang di pipi. "Sebentar lagi ya, Mas. Sebentar saja," rengeknya manja. Jemarinya yang lentik mengusap-usap pusara kedua orang taunya bergantian, lalu beralih pada pusara Haryati yang nampak segar dengan bunga-bunga yang Anita taburkan barusan. "Brian sudah bisa berjalan, Yah. Kalau saja Ayah dan Ibu masih ada ....""Nit ...." Suara Bagas mengambang di udara. Kehilangan adalah hal yang paling menakutkan baginya. "Biarkan mereka semua tenang di alam sana. Ayo pulang!"Anita bergeming. Matanya semakin sembab karena sudah hampir satu jam ia menangis di pusara tiga orang tercintanya. Haryati sengaja di kuburkan tepat di samping anak dan menantunya. "Semua terasa begitu cepat, Mas.""Takdir Tuhan adalah misteri, apalagi kematian ... semua tidak ada yang tahu sampai kapan batas usia mereka, Sayang. Berhenti berse

  • Dikira Miskin Saat Pulang Kampung   Menjelang Tamat

    ***"Darimana kamu tahu kalau Bang Nando menaruh hati pada Sea, Sayang?"Anita mengedikkan bahu. Dia bangkit dan berjalan menjauhi Bagas yang saat ini nampak cengo karena keterkejutannya barusan."Anita ...," pekik Bagas tertahan mengingat sekarang dia sedang berada diantara banyak tamu undangan.Anita menghentikan langkah dan bergelayut manja di lengan Halimah. Wanita cantik itu sekarang tidak segan-segan untuk memeluk mertuanya karena selama ini Halimah memang mencurahkan perhatiannya pada Anita."Bawa Anita pulang, Gas. Dia pucat sekali," ucap Halimah panik. Dia mengusap-usap pipi menantunya dengan lembut. "Pulanglah, acaranya mungkin akan selesai agak malam. Kamu istirahat saja, biar Ibu yang menjelaskan pada Sea nanti."Anita mengangguk patuh. Dia mengikuti langkah Bagas dengan jemari yang saling bertaut. Acara pernikahan Sea memang di adakan di sebuah hotel ternama, perjalanan untuk pulang ke rumah mereka pun menempuh waktu sekitar dua puluh menit."Kamu belum menjawab pertanyaa

  • Dikira Miskin Saat Pulang Kampung   Kondangan, yuk!

    ***"Nit, kami ...."Anita beralih menatap Tomi dan Gina. Sorot matanya penuh selidik sampai suara Sea membuatnya tiba-tiba terpekik dan berjingkrak bahagia seperti gadis kecil yang mendapat mainan. "Kami ... sebentar lagi akan menikah.""Hah? Serius, kalian ... tidak lagi membohongi aku kan?"Sea menggeleng. Dia merentangkan tangan untuk menyambut tubuh Anita, sahabat yang paling baik yang ia punya selama ini. Sea dan Tirta tertawa ketika Anita jingkrak-jingkrak senang dengan kabar yang ia dengar."Kamu membuatku takut, Se!" Anita mengusap air mata sambil memeluk Sea. "Kalian ... akhirnya. Ya Tuhan!" Anita kembali memekik bahagia. Dia mengurai pelukan dan berlari menuju Gina. Tanpa aba-aba lagi, kedua wanita beda generasi itu saling memeluk dan menangis lirih. Betapa Tomi merasa haru dengan suasana di depan matanya. Siapa sangka, restu yang ia berikan justru memberikan kebahagiaan bagi banyak orang, tidak hanya Sea dan Tirta. "Kami sudah lelah menangis, Nit. Ayolah, kalau kamu masi

  • Dikira Miskin Saat Pulang Kampung   Berhasil melewati Batu Terjal

    ***"Brengsek! Berani-beraninya dia ngusir kita, Mas?!" jerit Nayna marah. Bibirnya mengerucut sembari satu tangan mengusap dahi yang mulai berpeluh. "Harusnya kamu bisa tegas sama istrimu itu, Mas! Bagaimanapun kamu adalah kepala keluarga, jangan lembek gini dong!" Suara Nayna semakin membuat kepala Rayan berdenyut nyeri. "Diam, Nay!""Kenapa kamu malah bentak aku? Harusnya kamu bentak saja di Prisa yang kurang ajar itu!""Semua ini salah kamu! Murahan! Kamu bisa kan bersikap baik di depan Prisa bukan malah menyulut pertengkaran seperti ini!""Ya, ya! Salahkan saja aku terus, Mas! Bela wanita mandul yang tidak berguna itu! Aku muak melihat sikapmu yang lemah di depan Prisa!"Plak ....Nayna memegang pipi kanannya yang terasa panas. Tidak ada air mata melainkan hanya kemarahan yang bersarang di dadanya saat ini. "Tampak! Tampar yang banyak kalau perlu bunuh sekalian bayimu ini! Pria miskin! Aku menyesal mau mengakui anak ini sebagai darah dagingmu!"Rayan mengusap wajahnya kasar. Pe

  • Dikira Miskin Saat Pulang Kampung   Kamu menang, Tirta!

    ***Tirta dan Sea bergeming. Ucapan Tomi membuat rasa percaya diri Tirta yang sempat tumbuh terasa dihempas begitu saja. Ternyata, setelah bisa mendapatkan kembali hati Sea, ia harus melalui satu jalan lagi yaitu Tomi dan Gina. "Ada banyak pria di luaran sana, Sea! Kamu cantik, mandiri dan ... kamu bisa mencari pria lain tanpa harus terjebak dengan pria yang sama!" ucap Tomi marah. "Kamu lupa ... dia bahkan rela memohon agar wanita yang sudah membuatmu celaka itu bebas. Jangan bodoh!"Sea menunduk. Bodoh! Ya, dia memang sudah bodoh karena setelah berbulan-bulan terlewati, perasaannya pada Tirta terus saja tumbuh tanpa sedikitpun berkurang. Gina mengusap lengan Tomi dengan lembut. Kedua matanya menatap Sea dengan nanar. Putri yang ia anggap sudah melupakan Tirta ternyata masih memiliki perasaan yang begitu besar untuk pria itu."Dia sudah membuatmu terluka, Se. Apa kamu pikir Ayah akan melepaskanmu dengan pria yang sudah pernah membuatmu kecewa?""Yah ....""Tidak!" sahut Tomi tegas.

  • Dikira Miskin Saat Pulang Kampung   Hamka Mundur

    ***Sea dan Tirta terlonjak. Wanita itu mengurai pelukan saat kedua matanya mulai terbuka dan mendapati sosok Freya berdiri di ambang pintu dengan air muka kebingungan."Fre mau ikut peluk," ucapnya polos. Sea merentangkan tangan dan menghambur di pelukan Sea. Bibirnya terus mengukir senyum seolah-olah dua pasangan di depannya bukanlah sebuah ancaman bagi Papanya. "Ini siapa, Tante? Papa ...." Freya memanggil Hamka ketika pertanyaannya tidak kunjung mendapat jawaban dari mulut Sea. "Ayo, sini! Kita pelukan sama-sama!"Brenda membuang muka. Sedikit banyak dia mulai mengerti apa yang sedang terjadi di depan matanya. Melihat Freya yang begitu dekat dengan Sea sudah memberikan jawaban atas pertanyaan Brenda pada Hamka tadi."Kalian ... di-- dia kenal Sea?" tanya Brenda terbata. "Kalian ... sudah saling mengenal?"Hamka mengangguk sambil tersenyum tipis. Pria itu melangkah mendekati Freya dan meninggalkan Brenda di depan toko dengan rasa cemas yang luar biasa."Hai ...," sapa Hamka. "Maaf

  • Dikira Miskin Saat Pulang Kampung   Pupus Harapan Freya

    ***"Se, tolong dengarkan aku!" pinta Tirta memelas. Dia melangkah mendekati Sea yang memunggunginya sembari menutup telinga dengan dua tangan seakan-akan tidak ada yang ingin dia dengarkan dari mulut Tirta. "Aku datang hanya ingin menjelaskan semuanya. Setelah itu semua keputusan terserah padamu. Aku ... hanya ingin meminta maaf atas semua rasa kecewa yang kamu rasakan.""Untuk apa meminta keputusan dariku, Mas? Bukankah kamu sudah memutuskan semuanya sendiri? Kamu lebih memilih wanita itu daripada aku yang ... aku yang tidak sedang mengandung anakmu!" "Dia bukan anakku, Sea!""Dan aku tidak peduli!" teriak Sea. Air matanya berlomba-lomba untuk meluncur bebas ke pipi. "Anakmu atau bukan, yang jelas kamu sudah memilih Nayna daripada aku! Dan itu ... sudah cukup membuatku paham jika nama Nayna berada di posisi tertinggi dalam hatimu."Tirta menunduk. Langkahnya terhenti ketika Sea sudah berada tepat di depan matanya. "Bahkan setelah melukai hatiku berkali-kali, kamu datang dengan wani

  • Dikira Miskin Saat Pulang Kampung   Awal Kehancuran Nayna

    ***"Mana sarapan untukku?"Nayna duduk di kursi makan dengan melipat tangan. Persis seperti seorang anak kecil yang sedang menunggu sarapannya tersaji."Coba ulangi lagi!"Nayna mendengus kesal. "Ck! Jangan cari gara-gara ya, Mbak. Ini masih pagi, mood ku juga sedang buruk, kamu nggak mau kan kalau sampai aku ngadu ke Mas ....""Kamu pikir aku takut?""Ouh, jadi nantangin? Kamu mau tau siapa yang akan dipilih oleh suami kamu, begitu?" angkuh Nayna. "Lihat! Di perutku ada kehidupan lain, dia yang bertahun-tahun lamanya sangat diinginkan oleh Mas Rayan, yakin kalau aku merajuk dia bakalan lepas kamu begitu saja?"Wanita yang usianya jauh lebih tua di banding Nayna itu tertawa sumbang. Ya, tidak mengelak jika hadirnya seorang bayi adalah keinginan dia dan Rayan selama bertahun-tahun menjalani biduk rumah tangga. Tapi tidak dengan bayi dalam hubungan yang kotor. Rayan sudah mencurangi pernikahan mereka."Kenapa diam,

DMCA.com Protection Status