Share

Membungkam Mulut Tetangga

Penulis: rafanalfa6819
last update Terakhir Diperbarui: 2022-01-14 10:30:57

 

 

Menjelang sore hari, mobil Mas Vano diantar ke rumah oleh salah satu pekerja bengkel. Para tetangga datang berkerumun ketika melihat sebuah mobil berwana silver masuk ke halaman rumah Ibu. Decak kagum kudengar keluar dari mulut para Ibu-ibu termasuk Bu Eni.

 

 

 

"Bagus sekali, besok Tarjo kusuruh juga beli yang model begini," seloroh Bu Eni. Aku yang berdiri di depan pintu hanya menanggapi ucapannya dengan senyuman.

 

 

 

"Eh, Halimah ... Itu kamu nyewa mobil dimana? Bisa mulus gini ya, kayak paha artis-artis di Tipi," celetuk Bu Diah. Para tetangga mengangguk antusias kemudian disusul gelak tawa. Jadilah depan rumahku seperti tengah mengadakan pameran mobil mewah.

 

 

 

"Ini mobil suami saya, Bu...."

 

 

 

"Mulai deh menghayalnya! Itu aja yang nganterin orang lain. Kalau mobil suami kamu, jelas yang bawa kesini juga suami kamu lah! Udah lah, Hal, jangan bersikap sok kaya begitu, apalagi cuma buat aku ngiri. Nggak bakalan! Tarjo juga bisa beli yang kayak gini, lima sekaligus!" sombong Bu Eni di depan para tetangga.

 

 

 

Mas Vano hanya geleng-geleng kepala melihat keangkuhan sikap Bu Eni. Tapi sejauh ini, tidak kudengar dia membalas ucapan para tetangga yang sudah menghina kami.

 

 

 

Ibu keluar dari dalam rumah dan berdiri di sebelahku. Netranya menatap wajahku penuh selidik, tapi aku hanya menanggapi dengan senyuman tipis. Biarlah Mas Vano yang menjelaskan semuanya. Lagipula ada hal yang harus kita urus setelah ini.

 

 

 

"Eh ada Bu Leha. Jangan sedih kalau ternyata menantunya hanya mampu sewa mobil ya?" Bu Eni cekikikan setelah berbicara demikian. "Coba aja dulu Halimah mau menikah sama Tarjo, udah aku borong mobil macam ini."

 

 

 

"Ini, Pak, kuncinya. Dan ini nota yang harus dibayarkan." Salah satu pekerja bengkel menyerahkan kunci mobil dan nota tagihan pada Mas Vano. Suamiku membuka dompet dan menyerahkan uang sebesar satu juta pada pekerja bengkel di depannya. Setelahnya, pekerja bengkel pergi dengan salah satu temannya.

 

 

 

"Wah, satu juta. Untuk berapa hari itu sewa mobilnya?"

 

 

 

"Gila, pingin diakuin kaya sampe nyewa mobil semahal itu."

 

 

 

"Mending juga buat biaya mertuanya, daripada nyewa mobil biar terlihat keren. Menjijikkan!"

 

 

 

"Jangan-jangan gaya sosialita hutang dimana-mana, ya nggak, Ibu-ibu?"

 

 

 

Masih banyak lagi ucapan sumbang para tetangga. Tapi Mas Vano masih saja diam dan berlalu meninggalkan mereka yang berdiri angkuh di depan rumah Ibu.

 

 

 

"Huuuu, miskin aja sombong! Belagu, padahal mobil hasil rentalan!" Bu Eni berapi-api menghina Mas Vano.

 

 

 

Suamiku melenggang masuk ke dalam rumah. Tidak lama setelah itu, dia kembali keluar dengan membawa tas hitam yang kutahu berisi emas logam.

 

 

 

"Ibu-ibu ingin oleh-oleh dari kami? Mari, Bu. Kesini!" 

 

 

 

Kulihat mereka saling berpandangan, pelan-pelan satu per satu dari mereka melangkah maju ke halaman rumah kami.

 

 

 

"Emang mau kasih apa, Mas? Bukan barang kreditan kan?" selidik Mbak Gina dengan bibir mencebik.

 

 

 

Aku menghela nafas panjang. Masih saja mereka melontarkan kalimat pedas, padahal aku tau, mereka juga mau-mau saja dikasih barang cuma-cuma.

 

 

 

"Udahlah, Mas. Nggak usah, lagipula mereka nggak akan mengubah pandangannya pada kita. Ada yang jadi kompor di kampung ini, Mas, aku tau itu!" ucapku lantang, membuat bibir Bu Eni mencebik.

 

 

 

"Halah, ayo kita pulang. Itu pasti cuma asal-asalan dia aja mau ngasih kita oleh-oleh. Mereka itu miskin! Jangan cuma gara-gara mobil ini kota jadi terkecoh!" Bu Eni membalikkan badannya hendak berlalu.

 

 

 

"Ini emas logam, Bu. Memang nggak besar, cuma 1 gram. Tapi kalau dijual bisa mencapai satu juta. Kalau mau, silahkan!"

 

 

 

Mata mereka melebar sempurna. Langkah Bu Eni seketika berhenti dan menoleh ke arah Mas Vano. Dia berlari kecil dan merampas emas logam dari tangan Mas Vano. Aku berdecak lirih, ngakunya kaya, giliran dapat yang gratisan lari duluan.

 

 

 

"Eit ... Ibu juga mau oleh-oleh dari kami? Si keluarga miskin yang sok-sokan kaya dengan menyewa mobil?" Mas Vano merampas kembali emas logam dari tangan Bu Eni, membuat wanita paruh baya itu menghentak-hentakkan kakinya.

 

 

 

Tiba-tiba semua tetangga sudah berbaris rapi di depan Mas Vano. Bu Eni menyelinap di tengah-tengah mereka dengan membuang muka. Malu? Tentu saja, aku yakin dia malu karena setelah menghina kami, dia justru ikut-ikutan meminta oleh-oleh yang Mas Vano berikan.

 

 

 

"Terima kasih ya, Mas. Bu Leha, makasih ya oleh-olehnya. Duh, ini kalau dijual pasti harganya mahal." Mbak Laila, tetangga samping rumahku mengucapkan terima kasih pada kami. Mereka menjabat tangan suamiku bergantian, lalu berkerumun di depan rumah dengan berdecak kagum memuji Mas Vano.

 

 

 

Saat tiba giliran Bu Eni, Mas Vano menatap mata wanita di depannya dengan tajam. Bu Eni membuang muka dan menadahkan tangannya di hadapan suamiku. Mas Vano memasukkan kembali sisa emas logam kedalam tas hitam miliknya sambil berbicara, "Maaf, Bu. Sisa satu dan ini untuk saya pribadi."

 

 

 

Kulihat dada Bu Eni naik turun. Matanya menatap nyalang ke arah Mas Vano, "Kalau mau bagi-bagi yang serius dong! Masa semua dapat tinggal aku yang nggak dapat?" seru Bu Eni marah.

 

 

 

Ibu melihat ke arahku, mau tidak mau aku mendekati Mas Vano dan meminta untuk mengalah. Bagaimanapun, hadiah emas logam ini memang kami khususkan untuk para tetangga sebagai rasa syukur kami karena cabang Cafe di kota ini sudah launching.

 

 

 

"Kasih aja, Mas. Biar nggak rame, lagipula itu memang jatahnya Bu Eni kan?" bisikku lembut.

 

 

 

Senyum sumringah terbit di bibir Bu Eni saat Mas Vano mengangsurkan emas logam ke tangannya. Dia berlalu tanpa mengucapkan terima kasih seperti yang para tetangga ucapkan. 

 

 

Mas Vano lagi-lagi dibuat geleng-geleng kepala melihat kelakuan Bu Eni. 

 

 

"Alhamdulillah, ternyata Mbak Halimah dan suaminya baik banget ya? Hampir aja tadi kita ikut-ikutan nyinyirin dia. Nggak taunya malah kita dikasih oleh-oleh emas logam begini."

 

 

Aku menoleh, kulihat Bu Gun yang berbicara dan dibalas anggukan setuju oleh para tetangga yang lain.

 

 

"Halah, emas kecil begini mah, Tarjo juga bisa bagi-bagi buat kalian! Ini pasti murah, orang kecil begini," ujar Bu Eni.

 

 

"Kecil-kecil gini Bu Eni juga ikutan baris kan? Udah deh, berhenti usilin Mbak Halimah, mungkin dia memang sudah sukses di kota," sahut Bu Edi, tak kalah bijaknya.

 

 

"Sukses apaan, orang Astri aja tiap bulan nyari pinjaman buat makan sehari-hari mertuanya!" desis Mbak Gina nyolot. Matanya melirik tajam ke arahku dan Mas Vano berdiri. 

 

 

Tidak ingin terlalu larut dalam kesedihan karena mendapat cibiran para tetangga, aku mengajak Mas Vano untuk masuk ke dalam rumah mengingat hari sudah semakin sore, sebentar lagi adzan magrib akan berkumandang.

 

 

_________________________

 

 

"Wah, ada Mbak Halimah. Kapan datang?" tanya Kang Sayur padaku. Sepagi ini, suasana gerobak Tukang Sayur masih cukup sepi, hanya ada satu atau dua pembeli yang berdiri disana.

 

 

 

"Kemarin, Kang. Tolong ayam satu kilo ya, Kang!" 

 

 

Tukang Sayur mengangguk dan menyiapkan pesananku. Di tengah sibuknya memilih sayuran segar, aku dikejutkan dengan suara wanita di belakangku.

 

 

"Bisa beli lauk ayam juga ternyata, kasihan ya Leha sama Purnomo, tiap hari metikin sayur katuk depan rumah. Pantes udah tua tapi sakit-sakitan!" 

 

 

Ibu-ibu yang baru saja datang hanya diam. Mungkin merasa tidak enak hati padaku karena kemarin sudah mendapat oleh-oleh emas dari Mas Vano, atau kemungkinan lain, mereka malam menanggapi nyinyiran Bu Eni.

 

 

"Harusnya nih ya, kalau emang udah sukses di kota, bisa lah tiap bulan kirim uang buat orang tuanya di kampung. Bukan malah membebani kakak lelakinya yang lagi bangun rumah. Kasihan kan, Tomi, rumahnya sampai sekarang masih proses karena harus mengurus Ibu dan Bapaknya yang sakit-sakitan itu! Astri sering loh cerita sambil nangis-nangis ke aku gara-gara adik iparnya yang seolah lupa sama orang tuanya."

 

 

Bu Eni berbicara panjang lebar, membuat kedua tanganku terkepal kuat. 

 

 

"Asal Bu Eni tau, tiap bulan saya selalu mengirim uang sebesar lima juta melalui Mas Tomi. Selama ini saya diam karena tidak ingin membuat keributan dengan tetangga, tapi saya rasa, ucapan Bu Eni kali ini sungguh keterlaluan!" ujarku marah. Bu Eni mencebik dan memainkan satu tangannya yang sudah dilengkapi gelang keroncong berwarna emas. 

 

 

"Kalau halu jangan kebangetan, Hal ... Mana mungkin Astri sampai kelimpungan cari pinjaman kalau kamu tiap bulan kirim uang sebesar lima juta!"

 

 

"Lama-lama omongan kamu udah kaya pesawat terbang. Terlalu tinggi!" cibir Bu Eni tertawa sumbang.

 

 

"Lebih baik diam saja jika Bu Eni tidak mengerti apa-apa. Lagipula kenapa Bu Eni suka sekali mengurus rumah tangga saya? Sakit hati gara-gara Kang Tarjo saya tolak waktu itu?" 

 

 

Mulut Bu Eni diam seketika. Matanya memerah menatap ke arahku. Kusungingkan senyuman tipis, membuat dada Bu Eni terlihat naik turun.

 

 

"Kamu kira secantik apa dirimu, Hal? Tarjo akan menikah dengan Arini, wanita itu jauh lebih cantik dan modis daripada kamu! Asal kamu tau, Arini bekerja di Cafe baru di kota ini, dia dijadikan kepala pelayan disana. Jabatan yang bagus kan? Tidak perlu merantau jauh, dia bisa bekerja dengan elegan!" Sombong Bu Eni, membuatku ingin tertawa. Cafe baru di kota? Itu artinya Cafe baru milik Mas Vano, besok akan aku lihat semua karyawan disana. Aku yakin, Arini hanya membual soal jabatannya. Karena aku tau pasti, Adisti yang bertanggung jawab atas Cafe baru kami.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komen (11)
goodnovel comment avatar
Rifandari Erlina
bagus alur ceritanya6a
goodnovel comment avatar
Asep Sudrazat
mantullll bener cerita y
goodnovel comment avatar
Nabila Salsabilla Najwa
Bagus ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Dikira Miskin Saat Pulang Kampung   Menemui Tomi

    "Ibu percaya nggak kalau saya bilang Cafe baru di kota itu milik suami saya?" Bu Eni tergelak dengan memegangi perutnya. Sudah kuduga, dia tidak akan percaya bahkan setelah Mas Vano memberikan hadiah emas logam pada para tetangga. Bukan ingin dianggap kaya, tidak. Hanya saja aku ingin Bu Eni tidak memandang kami sebelah mata lagi hanya karena pulang kampung menggunakan motor. "Halimah ... Halimah ... Mimpi emang nggak boleh tanggung-tanggung, tapi ya nggak harus ngaku punya Cafe baru di kota ini juga kali, Hal ... Hal ...!" "Ya sudah kalau Bu Eni tidak percaya, besok saya pastikan Arini tidak bisa kerja di Cafe milik saya!"  

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-14
  • Dikira Miskin Saat Pulang Kampung   Mati kutu

    Aku mengangguk, sementara Mbak Astri bangkit dari kursi dan menggebrak meja dengan keras. Brak! "Kamu sengaja kan, Hal, mau buat aku malu? Kamu sengaja membahas ini di depan Ibu dan Bapak agar aku terlihat seperti ipar yang buruk bagimu, begitu kan?!" Air mata Mbak Astri keluar dengan derasnya. Aku membuang muka, disini, seolah-olah aku yang bersalah, padahal nyatanya bukan begitu. Mas Vano menggenggam jemariku dan memintaku untuk lebih tenang. "Duduklah, Mbak. Kita bicarakan ini baik-baik," pinta Mas Vano. "Tidak perlu! Apa lagi yang harus dibicarakan, lagipula Hal

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-14
  • Dikira Miskin Saat Pulang Kampung   Pertengkaran Sedarah

    "Saya akui, saya dan Halimah tidak bisa mengurus Bapak dan Ibu dengan baik. Itu sebabnya, kami mencoba membantu dengan mengirimkan materi untuk keperluan Bapak dan Ibu selama ini. Tapi ternyata ... Mas Tomi dan Mbak Astri bukan hanya menilap uang untuk mereka, tapi juga tidak peduli dengan kekurangan orang tua kita selama ini. Mas Tomi bahkan tutup mata melihat mereka masih bekerja di sawah." "Hati-hati kalau bicara kamu, Van. Tau darimana kamu kalau kami tidak peduli dengan Bapak dan Ibu? Untung-untungan kita mau ngasih jatah sembako untuk mereka," sahut Mbak Astri sengit. "Lah, kan emang kita ngasih jatah lewat Mas Tomi juga untuk Bapak dan Ibu, kok Mbak Astri bilang begitu?" Aku menyahut, rasanya geram sekali mendengar penuturan Mbak Astri yang seolah-olah enggan membantu orang

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-26
  • Dikira Miskin Saat Pulang Kampung   Menantu Kejam

    Mas Tomi terlihat hendak menghampiri kami yang sudah mendekat ke arah dimana mobil berada. Aku tau, kakak lelakiku pasti khawatir dengan keadaan Ibu. Dulu, Mas Tomi adalah sosok yang begitu mencintai orang tua, tapi sekarang ... Entahlah! "Berani kamu meninggalkan rumah ini, kupastikan kami tidak akan bertemu lagi denganku dan Tirta, Mas!" teriak Mbak Astri lantang. "Sekarang kamu pilih ... pergi dengan mereka atau kita bercerai!" sambung Mas Astri berapi-api. Mas Tomi meremas rambutnya kasar. Jika saja Ibu tidak sedang pingsan, sudah kutampar mulutnya yang tidak beretika itu. Bagaimana bisa seorang istri meminta suaminya memili

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-26
  • Dikira Miskin Saat Pulang Kampung   Kelicikan Astri

    PoV Author. Astri berjalan masuk ke dalam rumah setelah memastikan mobil Vano berlalu dari halaman rumahnya. Dia duduk di kursi dengan kaki menyilang. Diambilnya camilan di atas meja, yang mana, saat mertuanya datang, camilan-camilan di atas meja tidak dua buka barang satu atau dua toples saja. Tomi mengikuti langkah Astri dan mendaratkan bokongnya di sebelah Sang Istri. Lelaki itu menghela nafas kasar, mengingat betapa tidak begunanya dia sebagai anak sulung Leha dan Karim. "Dek, ijinkan Mas menjenguk Ibu ke Rumah Sakit, bagaimana jika Ibu kenapa-kenapa?" Tomi berusaha membujuk Astri, tapi istrinya itu justru membuang muka dan bangkit dari duduknya.

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-26
  • Dikira Miskin Saat Pulang Kampung   Keterlaluan

    Mbak Astri mematikan sambungan telepon setelah aku mengatakan dimana Ibu dirawat. Entah apa yang ada dalam pikiran kakak iparku itu, dia memberi tau semua tetangga jika Ibu dirawat di Rumah Sakit. Sah-sah saja, tapi aku tidak habis pikir dengan tujuannya barusan, dia bilang jika uang pesangon dari tetangga untuk uang jajan Tirta, sebegitu tidak mampukah Mas Tomi memenuhi kebutuhan hidup Mbak Astri dan Tirta? "Kepala Ibu pusing, Hal." Suara Ibu membuatku berjingkat dan segera membangunkan Mas Vano yang tertidur di kursi sebelah ranjang Ibu. "Biar Mas panggilkan dokter." Mas Vano bangkit, namun Bapak dengan sigap menahan langkah Mas Vano, dia berjalan cepat memanggil dokter untuk memeriksa keadaan Ibu. Dokter mengatakan keadaan Ibu sudah

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-26
  • Dikira Miskin Saat Pulang Kampung   Penjelasan Tomi

    "Ayo, talak aku sekarang juga!" ucap Mbak Astri sembari membalikkan badannya dengan satu tangan yang sudah membuka knop pintu hendak keluar. Mas Tomi membuang muka. Aku tidak tau pasti yang membuat dia begitu kekeuh mempertahankan Mbak Astri. Ada alasan lain atau justru karena perkataan Ibu tadi yang bilang jika ingin kehidupan rumah tangga anak-anaknya bisa langgeng sampai mau memisahkan. Entahlah.... "Makanya, jadi laki-laki itu juga perlu sadar diri. Untung ada uang dari Halimah, jadi tiap bulan aku dan Tirta ngga kekurangan. Kalau kamu cuma bisa nyalahin aku, ngaca! Udah layak nggak kamu disebut Bapak, penghasilan tiap hari nggak lebih dari lima putih ribu, dapat apa uang segitu di jaman sekarang. Mikir!" K

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-26
  • Dikira Miskin Saat Pulang Kampung   Memberi Pelajaran Untuk Arini

    Darahku seketika mendidih. Sudahlah sakit hati dengan perlakuan Mbak Astri tadi, sekarang justru harus bertemu Arini di Cafe. Aku berjalan menuju ke dapur Cafe, aku yakin Adisti ada disana untuk memantau pekerjaan para waitress. Arini dengan sigap mencekal pergelangan tanganku, dia menatapku dengan sorot mata tajam. Mas Vano menepuk pundak Arini membuat wanita itu menoleh dan mencebik, "Suami sama istri kok kelakuannya nggak jauh beda. Udah miskin tapi sok kaya, pake acara mau mecat aku segala. Hello, nyadar diri dong!" Arini menjetikkan jemarinya tepat di wajah Mas Vano. "Oke, cukup. Aku yang akan membuatku sadar diri sekarang," sahut Mas Vano datar. "Adisti!" teriak Mas Vano lantang, membuat para pengunjung menoleh ke arah kami.

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-30

Bab terbaru

  • Dikira Miskin Saat Pulang Kampung   Extra Part

    Dikira Miskin (Extra Part) *** Lima bulan kemudian .... "Hai ... lama tidak bertemu, usia berapa kandungan kamu?" Sea menoleh dan mendapati sosok Nando tengah berdiri dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku celana. "Se?" "Ah, maaf, Bang. Aku ... kaget aja tiba-tiba kamu muncul disini," celetuk Sea gugup. "Sendirian, Bang?" "Ya, karena wanita yang hampir menemani masa tuaku ternyata lebih memilih pria lain. Takdir memang selucu itu, Se." Sea membuang muka. Ada perasaan sedih ketika melihat Nando yang masih mengingat dirinya bahkan disaat dia dan Tirta sedang bahagia menanti buah hati mereka lahir. "Maaf, Bang." Nando terkekeh. "Aku baik-baik saja, Sea. Mungkin Tuhan memang melindungi kamu dari pria tua sepertiku." Sea menggeleng samar. Kedua matanya berembun melihat raut putus asa di wajah Nando. "Sudah kukatakan, kamu pasti mendapatkan wanita yang jauh lebih baik, Bang." "Sendirian?" tanya Nando mengalihkan pembicaraan. Sea mengangguk samar, "Mas Tirta sibuk ngurus Caf

  • Dikira Miskin Saat Pulang Kampung   TAMAT

    Dikira Miskin (TAMAT)***Satu tahun kemudian ...."Pulang dulu, Sayang. Brian pasti nyariin kamu," kata Bagas lembut. Anita mendongak, kedua matanya memerah dengan bekas air mata yang di pipi. "Sebentar lagi ya, Mas. Sebentar saja," rengeknya manja. Jemarinya yang lentik mengusap-usap pusara kedua orang taunya bergantian, lalu beralih pada pusara Haryati yang nampak segar dengan bunga-bunga yang Anita taburkan barusan. "Brian sudah bisa berjalan, Yah. Kalau saja Ayah dan Ibu masih ada ....""Nit ...." Suara Bagas mengambang di udara. Kehilangan adalah hal yang paling menakutkan baginya. "Biarkan mereka semua tenang di alam sana. Ayo pulang!"Anita bergeming. Matanya semakin sembab karena sudah hampir satu jam ia menangis di pusara tiga orang tercintanya. Haryati sengaja di kuburkan tepat di samping anak dan menantunya. "Semua terasa begitu cepat, Mas.""Takdir Tuhan adalah misteri, apalagi kematian ... semua tidak ada yang tahu sampai kapan batas usia mereka, Sayang. Berhenti berse

  • Dikira Miskin Saat Pulang Kampung   Menjelang Tamat

    ***"Darimana kamu tahu kalau Bang Nando menaruh hati pada Sea, Sayang?"Anita mengedikkan bahu. Dia bangkit dan berjalan menjauhi Bagas yang saat ini nampak cengo karena keterkejutannya barusan."Anita ...," pekik Bagas tertahan mengingat sekarang dia sedang berada diantara banyak tamu undangan.Anita menghentikan langkah dan bergelayut manja di lengan Halimah. Wanita cantik itu sekarang tidak segan-segan untuk memeluk mertuanya karena selama ini Halimah memang mencurahkan perhatiannya pada Anita."Bawa Anita pulang, Gas. Dia pucat sekali," ucap Halimah panik. Dia mengusap-usap pipi menantunya dengan lembut. "Pulanglah, acaranya mungkin akan selesai agak malam. Kamu istirahat saja, biar Ibu yang menjelaskan pada Sea nanti."Anita mengangguk patuh. Dia mengikuti langkah Bagas dengan jemari yang saling bertaut. Acara pernikahan Sea memang di adakan di sebuah hotel ternama, perjalanan untuk pulang ke rumah mereka pun menempuh waktu sekitar dua puluh menit."Kamu belum menjawab pertanyaa

  • Dikira Miskin Saat Pulang Kampung   Kondangan, yuk!

    ***"Nit, kami ...."Anita beralih menatap Tomi dan Gina. Sorot matanya penuh selidik sampai suara Sea membuatnya tiba-tiba terpekik dan berjingkrak bahagia seperti gadis kecil yang mendapat mainan. "Kami ... sebentar lagi akan menikah.""Hah? Serius, kalian ... tidak lagi membohongi aku kan?"Sea menggeleng. Dia merentangkan tangan untuk menyambut tubuh Anita, sahabat yang paling baik yang ia punya selama ini. Sea dan Tirta tertawa ketika Anita jingkrak-jingkrak senang dengan kabar yang ia dengar."Kamu membuatku takut, Se!" Anita mengusap air mata sambil memeluk Sea. "Kalian ... akhirnya. Ya Tuhan!" Anita kembali memekik bahagia. Dia mengurai pelukan dan berlari menuju Gina. Tanpa aba-aba lagi, kedua wanita beda generasi itu saling memeluk dan menangis lirih. Betapa Tomi merasa haru dengan suasana di depan matanya. Siapa sangka, restu yang ia berikan justru memberikan kebahagiaan bagi banyak orang, tidak hanya Sea dan Tirta. "Kami sudah lelah menangis, Nit. Ayolah, kalau kamu masi

  • Dikira Miskin Saat Pulang Kampung   Berhasil melewati Batu Terjal

    ***"Brengsek! Berani-beraninya dia ngusir kita, Mas?!" jerit Nayna marah. Bibirnya mengerucut sembari satu tangan mengusap dahi yang mulai berpeluh. "Harusnya kamu bisa tegas sama istrimu itu, Mas! Bagaimanapun kamu adalah kepala keluarga, jangan lembek gini dong!" Suara Nayna semakin membuat kepala Rayan berdenyut nyeri. "Diam, Nay!""Kenapa kamu malah bentak aku? Harusnya kamu bentak saja di Prisa yang kurang ajar itu!""Semua ini salah kamu! Murahan! Kamu bisa kan bersikap baik di depan Prisa bukan malah menyulut pertengkaran seperti ini!""Ya, ya! Salahkan saja aku terus, Mas! Bela wanita mandul yang tidak berguna itu! Aku muak melihat sikapmu yang lemah di depan Prisa!"Plak ....Nayna memegang pipi kanannya yang terasa panas. Tidak ada air mata melainkan hanya kemarahan yang bersarang di dadanya saat ini. "Tampak! Tampar yang banyak kalau perlu bunuh sekalian bayimu ini! Pria miskin! Aku menyesal mau mengakui anak ini sebagai darah dagingmu!"Rayan mengusap wajahnya kasar. Pe

  • Dikira Miskin Saat Pulang Kampung   Kamu menang, Tirta!

    ***Tirta dan Sea bergeming. Ucapan Tomi membuat rasa percaya diri Tirta yang sempat tumbuh terasa dihempas begitu saja. Ternyata, setelah bisa mendapatkan kembali hati Sea, ia harus melalui satu jalan lagi yaitu Tomi dan Gina. "Ada banyak pria di luaran sana, Sea! Kamu cantik, mandiri dan ... kamu bisa mencari pria lain tanpa harus terjebak dengan pria yang sama!" ucap Tomi marah. "Kamu lupa ... dia bahkan rela memohon agar wanita yang sudah membuatmu celaka itu bebas. Jangan bodoh!"Sea menunduk. Bodoh! Ya, dia memang sudah bodoh karena setelah berbulan-bulan terlewati, perasaannya pada Tirta terus saja tumbuh tanpa sedikitpun berkurang. Gina mengusap lengan Tomi dengan lembut. Kedua matanya menatap Sea dengan nanar. Putri yang ia anggap sudah melupakan Tirta ternyata masih memiliki perasaan yang begitu besar untuk pria itu."Dia sudah membuatmu terluka, Se. Apa kamu pikir Ayah akan melepaskanmu dengan pria yang sudah pernah membuatmu kecewa?""Yah ....""Tidak!" sahut Tomi tegas.

  • Dikira Miskin Saat Pulang Kampung   Hamka Mundur

    ***Sea dan Tirta terlonjak. Wanita itu mengurai pelukan saat kedua matanya mulai terbuka dan mendapati sosok Freya berdiri di ambang pintu dengan air muka kebingungan."Fre mau ikut peluk," ucapnya polos. Sea merentangkan tangan dan menghambur di pelukan Sea. Bibirnya terus mengukir senyum seolah-olah dua pasangan di depannya bukanlah sebuah ancaman bagi Papanya. "Ini siapa, Tante? Papa ...." Freya memanggil Hamka ketika pertanyaannya tidak kunjung mendapat jawaban dari mulut Sea. "Ayo, sini! Kita pelukan sama-sama!"Brenda membuang muka. Sedikit banyak dia mulai mengerti apa yang sedang terjadi di depan matanya. Melihat Freya yang begitu dekat dengan Sea sudah memberikan jawaban atas pertanyaan Brenda pada Hamka tadi."Kalian ... di-- dia kenal Sea?" tanya Brenda terbata. "Kalian ... sudah saling mengenal?"Hamka mengangguk sambil tersenyum tipis. Pria itu melangkah mendekati Freya dan meninggalkan Brenda di depan toko dengan rasa cemas yang luar biasa."Hai ...," sapa Hamka. "Maaf

  • Dikira Miskin Saat Pulang Kampung   Pupus Harapan Freya

    ***"Se, tolong dengarkan aku!" pinta Tirta memelas. Dia melangkah mendekati Sea yang memunggunginya sembari menutup telinga dengan dua tangan seakan-akan tidak ada yang ingin dia dengarkan dari mulut Tirta. "Aku datang hanya ingin menjelaskan semuanya. Setelah itu semua keputusan terserah padamu. Aku ... hanya ingin meminta maaf atas semua rasa kecewa yang kamu rasakan.""Untuk apa meminta keputusan dariku, Mas? Bukankah kamu sudah memutuskan semuanya sendiri? Kamu lebih memilih wanita itu daripada aku yang ... aku yang tidak sedang mengandung anakmu!" "Dia bukan anakku, Sea!""Dan aku tidak peduli!" teriak Sea. Air matanya berlomba-lomba untuk meluncur bebas ke pipi. "Anakmu atau bukan, yang jelas kamu sudah memilih Nayna daripada aku! Dan itu ... sudah cukup membuatku paham jika nama Nayna berada di posisi tertinggi dalam hatimu."Tirta menunduk. Langkahnya terhenti ketika Sea sudah berada tepat di depan matanya. "Bahkan setelah melukai hatiku berkali-kali, kamu datang dengan wani

  • Dikira Miskin Saat Pulang Kampung   Awal Kehancuran Nayna

    ***"Mana sarapan untukku?"Nayna duduk di kursi makan dengan melipat tangan. Persis seperti seorang anak kecil yang sedang menunggu sarapannya tersaji."Coba ulangi lagi!"Nayna mendengus kesal. "Ck! Jangan cari gara-gara ya, Mbak. Ini masih pagi, mood ku juga sedang buruk, kamu nggak mau kan kalau sampai aku ngadu ke Mas ....""Kamu pikir aku takut?""Ouh, jadi nantangin? Kamu mau tau siapa yang akan dipilih oleh suami kamu, begitu?" angkuh Nayna. "Lihat! Di perutku ada kehidupan lain, dia yang bertahun-tahun lamanya sangat diinginkan oleh Mas Rayan, yakin kalau aku merajuk dia bakalan lepas kamu begitu saja?"Wanita yang usianya jauh lebih tua di banding Nayna itu tertawa sumbang. Ya, tidak mengelak jika hadirnya seorang bayi adalah keinginan dia dan Rayan selama bertahun-tahun menjalani biduk rumah tangga. Tapi tidak dengan bayi dalam hubungan yang kotor. Rayan sudah mencurangi pernikahan mereka."Kenapa diam,

DMCA.com Protection Status