***"Darimana, Gas?""Rumah Anita, Pakde. Minggu depan aku diminta bawa keluarga buat melamar."Tomi menepuk pundak Bagas dengan tegas. Dia bisa melihat wajah murung keponakannya itu dengan jelas. "Terus kenapa jutek banget wajahmu? Dimintain mahar gede?" goda Tomi seraya terkekeh.Gina yang baru datang dari arah dapur menepuk lengan suaminya gemas. Dia meletakkan dua cangkir kopi di atas meja dan mengusap kepala Bagas yang saat ini usianya sudah beranjak dewasa, sama seperti Sea yang usia keduanya hanya terpaut satu tahun saja."Kenapa? Nggak biasanya pulang apel malah cemberut?""Aku itu kasihan sama Anita, dia seperti tertekan hidup dengan keluarga tirinya, bahkan mereka terang-terangan menghinaku miskin hanya karena datang kesana mengunakan motor. Pemikiran macam apa coba itu?""Belum lagi Ibu tirinya yang asal ceplas-ceplos itu bilang kalau setelah menikah Anita harus ikut aku, mereka nggak mau kalau aku dan Anita jadi beban disana. Padahal itu rumah Anita, Budhe Gina," jelas Bag
*** "Sudahlah, Bu. Biarkan saja Anita menikah, lagipula dia sudah bilang kan kalau nggak butuh rumah ini. Jangan dibuat ribet, pusing Bapak!" keluh Guntur kesal. "Biar saja Bagas menikahinya, lagipula bisa apa sih mereka, Bagas itu laki-laki miskin, mereka nggak akan bisa merebut rumah ini nanti. Ibu diam saja deh!" Tini memberengut kesal. Dalam hati ingin sekali membuat Anita menjadi perawan tua, tapi dalam hatinya yang lain dia pun ingin menguasai harta orang tua Anita secepatnya. Hubungan mereka sebenarnya tidak terlalu dekat. Guntur adalah anak dari adik Nenek Anita. Bisa dibilang keponakan dari Nenek Anita. Tapi sikap mereka yang sok berkuasa membuat Nenek Anita kalah karena dia hanya sebatang kara. Apalagi tidak ada keluarga lain yang peduli pada Anita dulu sehingga membuat Guntur memiliki niat buruk yaitu menguasai semua yang Anita punya. "Bapak benar, Bu. Lagipula Ibu dengar sendiri kan, Bagas itu cuma tukang cuci mobil. Mana punya dia uang banyak buat sewa pengacara buat r
***"Di dalam rumah saja, Yah," sahut Bagas lemah. Dia masih terbayang bagaimana keadaan Tarjo yang saat ini sedang terbaring di atas ranjang tak berdaya."Dari rumah Paman Tarjo lagi?" Bagas mengangguk. "Apa tidak ada sedikit saja nurani Ibu agar memaafkan kesalahan Paman Tarjo, Yah? Melihat laki-laki tua itu terbaring lemah rasanya begitu kasihan."Vano mengedikkan bahu, "Kita tidak tau sedalam apa rasa trauma Ibumu pada kelakuan Tarjo dulu, Gas. Bisa jadi hal yang kita anggap biasa saja justru terasa begitu menyakitkan untuk orang lain. Apalagi dulu Ibumu hampir saja dinodai, dia pasti merasa tertekan jika harus bertatap muka dengan Tarjo."Bagas sedikit memahami. Mungkin baginya Halimah berlebihan karena tindakan Tarjo pun bisa dicegah dengan kedatangan Vano dan Tomi saat itu. Tapi jika saja keadaan berbalik, maka saat ini mungkin tidak akan terlahir Bagas dari rahimnya. Bisa jadi Halimah hancur sehancur-hancurnya karena sudah dilecehkan oleh laki-laki lain."Maafkan aku, Yah. Ak
***"Mana sarapannya, Nita!" Suara Citra menggema di ruang makan saat melihat meja makan keluarga mereka kosong melompong tidak ada apapun kecuali air putih di dalam teko."Anita ... Anita ....!"Dia menggerutu kesal karena pagi ini sudah terlambat berangkat bekerja, tapi sarapan untuknya belum tersedia.Anita berjalan dengan tanpa bersalah mendekati Citra yang terlihat kesal. Di depan pintu kamar, Guntur dan Tini pun baru saja bangun karena teriakan Anita mengagetkan mereka."Apa sih, Cit? Kamu pagi-pagi teriak-teriak nggak punya etika!" gerutu Tini sembari mengucek mata. "Kami capek, mau tidur. Semalaman nggak bisa tidur kamu malah ganggu aja!"Citra bersedekap dada. Dia geram melihat Anita yang nampak tak acuh dengan kericuhan paginya. Pasalnya Citra tidak bisa menahan lapar, tapi sampai sesiang ini makanan tidak tersedia di meja, padahal biasanya Anita akan menyiapkan sarapan sebelum dia bekerja."Bu, lihat! Di meja makan kita kosong, aku lapar padahal ini sudah siang. Bisa telat
***Citra memegang pipinya dengan dada naik turun. Napasnya memburu melihat Anita yang berjalan menahan sesak di dalam dada. Tidak ada yang tau bagaimana hancurnya perasaan Anita ketika mendapati kenyataan bahwa keluarga Guntur merawatnya hanya demi harta. Meskipun sejak berusia remaja Anita tau akan kebenaran itu, tapi tetap saja rasanya sakit ketika mengingat tujuan mereka membiarkan Anita tetap hidup. Ya, Anita satu-satunya yang selamat dalam kecelakaan tunggal yang menimpa keluarganya."Awas kamu, Nita! Dasar miskin, udik! Aku adukan kamu sama Mas Chiko!" Anita mengibaskan tangannya di udara. Dia masuk ke dalam kamar dan menguncinya dari dalam. Terduduk di depan pintu dengan kepala bertumpu pada kedua lutut. Air mata mengalir begitu saja. Andai bisa memilih takdir, dia lebih berharap ikut pergi bersama kedua orang tuanya daripada harus menanggung semua ini sendirian."Anita lelah, Bu ... kenapa takdir begitu kejam," lirihnya mencoba mengeluarkan sesak yang dia rasakan saat ini. "
***"Apa maksud Bapak? Lagipula mana ingat aku jalan menuju ke tempat Nenek besok," sahut Anita ketus."Bapak lupa kalau Anita ini bodoh, Pak? Jangan kira perjalanan selama 3 jam ini bisa dia ingat begitu saja," sela Tini tidak mau kalah mencemooh Anita, sementara wanita berusia 23 tahun itu mencebik dan membuang muka malas. Berada di dekat Tini dan Guntur membuat Anita harus berkali-kali meredam emosinya. Guntur terbahak. Tawa yang menakutkan di telinga Anita karena dia pernah mendapat kekerasan yang disertai tawa mengerikan dari bibir Bapak angkatnya itu."Katakan pada Nenekmu kalau kami sudah merawat kamu dengan baik. Bahkan semua peninggalan orang tuamu hampir untuk biaya kamu sekolah hingga dewasa sampai saat ini. Mengerti?"Anita lagi-lagi mengangguk malas. Untuk saat ini tidak ada lagi yang bisa dia lakukan selain menuruti semua perkataan Guntur. Dia ingin cepat-cepat sampai di tempat Neneknya dan mengakhiri semua luka yang dia terima selama ini.***"Mau kemana, Gas?""Yah, A
***"Kenapa berhenti, Pak?" tanya Anita heran. Pasalnya mobil yang mereka tumpangi berhenti di bahu jalan.Tini yang mengerti kode dari suaminya seketika turun dari mobil. Dia membuka pintu belakang dimana ada Anita sedang duduk disana."Jangan menolak atau kamu Bapak hajar, Nit!""Tapi ... tapi apa ini, Pak? Hey, kenapa mataku di tutup pakai kain begini?" teriak Anita ingin menolak tapi tamparan keras di pipinya membuatnya terdiam."Sekali lagi kamu memberontak, Ibu tampar sampai bibirmu berdarah!" ancam Tini sengit.Anita terpaksa menurut. Jantungnya berdebar hebat takut jika Bagas gagal mengikuti arah GPS yang dia nyalakan."Jangan kamu pikir Bapak dan Ibumu ini orang bodoh, Nita!" kata Guntur seraya tertawa. "Kami tidak mau kamu mengenali jalan ini nanti."Anita sedikit bernapas lega. Dia pikir jika Guntur dan Tini tau dengan rencana yang sudah dia buat bersama Bagas, tapi ternyata mereka hanya takut jik
***"Jalanannya semakin sepi, Gas. Ini sepertinya jalan menuju ke hutan. Lihat ... kanan kiri sudah mulai terlihat pohon-pohon doang," celetuk Tomi memecah keheningan. Bagas mengangguk setuju. Dia kembali memperhatikan GPS yang tersambung di ponsel Anita. "Tapi memang benar ini jalannya, Pakde. Sesuai dari hape Anita."Tomi dan Vano saling berpandangan. Suasana hati mereka sama-sama tidak baik saat ini. Teringat saat-saat dimana menyelamatkan Halimah dulu dari kegilaan Tarjo, dan kini Bagas harus mengalami hal yang sama."Untung Ayah dan Pakde ikut, Gas. Lain kali, sedikit berburuk sangka lah pada orang yang baru kamu kenal. Bisa jadi mereka tidak sebaik atau selugu yang kamu pikirkan.""Aku pikir Nenek Anita tinggal di sebuah perumahan atau perkampungan, Yah. Siapa tau justru hutan yang harus kita tempuh."Vano meneguk salivanya yang terasa pahit. Berharap jika di tempat Anita nanti tidak terlalu banyak penjaga. Jika tidak, bisa dipa