***Citra memegang pipinya dengan dada naik turun. Napasnya memburu melihat Anita yang berjalan menahan sesak di dalam dada. Tidak ada yang tau bagaimana hancurnya perasaan Anita ketika mendapati kenyataan bahwa keluarga Guntur merawatnya hanya demi harta. Meskipun sejak berusia remaja Anita tau akan kebenaran itu, tapi tetap saja rasanya sakit ketika mengingat tujuan mereka membiarkan Anita tetap hidup. Ya, Anita satu-satunya yang selamat dalam kecelakaan tunggal yang menimpa keluarganya."Awas kamu, Nita! Dasar miskin, udik! Aku adukan kamu sama Mas Chiko!" Anita mengibaskan tangannya di udara. Dia masuk ke dalam kamar dan menguncinya dari dalam. Terduduk di depan pintu dengan kepala bertumpu pada kedua lutut. Air mata mengalir begitu saja. Andai bisa memilih takdir, dia lebih berharap ikut pergi bersama kedua orang tuanya daripada harus menanggung semua ini sendirian."Anita lelah, Bu ... kenapa takdir begitu kejam," lirihnya mencoba mengeluarkan sesak yang dia rasakan saat ini. "
***"Apa maksud Bapak? Lagipula mana ingat aku jalan menuju ke tempat Nenek besok," sahut Anita ketus."Bapak lupa kalau Anita ini bodoh, Pak? Jangan kira perjalanan selama 3 jam ini bisa dia ingat begitu saja," sela Tini tidak mau kalah mencemooh Anita, sementara wanita berusia 23 tahun itu mencebik dan membuang muka malas. Berada di dekat Tini dan Guntur membuat Anita harus berkali-kali meredam emosinya. Guntur terbahak. Tawa yang menakutkan di telinga Anita karena dia pernah mendapat kekerasan yang disertai tawa mengerikan dari bibir Bapak angkatnya itu."Katakan pada Nenekmu kalau kami sudah merawat kamu dengan baik. Bahkan semua peninggalan orang tuamu hampir untuk biaya kamu sekolah hingga dewasa sampai saat ini. Mengerti?"Anita lagi-lagi mengangguk malas. Untuk saat ini tidak ada lagi yang bisa dia lakukan selain menuruti semua perkataan Guntur. Dia ingin cepat-cepat sampai di tempat Neneknya dan mengakhiri semua luka yang dia terima selama ini.***"Mau kemana, Gas?""Yah, A
***"Kenapa berhenti, Pak?" tanya Anita heran. Pasalnya mobil yang mereka tumpangi berhenti di bahu jalan.Tini yang mengerti kode dari suaminya seketika turun dari mobil. Dia membuka pintu belakang dimana ada Anita sedang duduk disana."Jangan menolak atau kamu Bapak hajar, Nit!""Tapi ... tapi apa ini, Pak? Hey, kenapa mataku di tutup pakai kain begini?" teriak Anita ingin menolak tapi tamparan keras di pipinya membuatnya terdiam."Sekali lagi kamu memberontak, Ibu tampar sampai bibirmu berdarah!" ancam Tini sengit.Anita terpaksa menurut. Jantungnya berdebar hebat takut jika Bagas gagal mengikuti arah GPS yang dia nyalakan."Jangan kamu pikir Bapak dan Ibumu ini orang bodoh, Nita!" kata Guntur seraya tertawa. "Kami tidak mau kamu mengenali jalan ini nanti."Anita sedikit bernapas lega. Dia pikir jika Guntur dan Tini tau dengan rencana yang sudah dia buat bersama Bagas, tapi ternyata mereka hanya takut jik
***"Jalanannya semakin sepi, Gas. Ini sepertinya jalan menuju ke hutan. Lihat ... kanan kiri sudah mulai terlihat pohon-pohon doang," celetuk Tomi memecah keheningan. Bagas mengangguk setuju. Dia kembali memperhatikan GPS yang tersambung di ponsel Anita. "Tapi memang benar ini jalannya, Pakde. Sesuai dari hape Anita."Tomi dan Vano saling berpandangan. Suasana hati mereka sama-sama tidak baik saat ini. Teringat saat-saat dimana menyelamatkan Halimah dulu dari kegilaan Tarjo, dan kini Bagas harus mengalami hal yang sama."Untung Ayah dan Pakde ikut, Gas. Lain kali, sedikit berburuk sangka lah pada orang yang baru kamu kenal. Bisa jadi mereka tidak sebaik atau selugu yang kamu pikirkan.""Aku pikir Nenek Anita tinggal di sebuah perumahan atau perkampungan, Yah. Siapa tau justru hutan yang harus kita tempuh."Vano meneguk salivanya yang terasa pahit. Berharap jika di tempat Anita nanti tidak terlalu banyak penjaga. Jika tidak, bisa dipa
***Flashback on"Darimana kamu, Tin? Kenapa keluar dari kamar Hasna?" selidik Haryati saat melihat Tini keluar dari kamar menantunya."Anu ... itu, Bude. Ehm ....""Hasna ... Hasna .....!"Teriakan Haryati membuat keluarga besar yang sedang menggelar acara syukuran untuk kelahiran Anita seketika berhamburan menuju ke sumber suara."Ada apa ini, Bude, kenapa Tini terlihat ketakutan. Kamu apakan istriku?" desak Guntur menahan geram. Selama ini dia sudah berusaha diam atas semua caci maki dan hinaan keluarga besar dari pihak Ibunya karena satu-satunya yang tidak berpunya. Tapi melihat wajah ketakutan Haryati membuat Guntur geram."Tanya sama istrimu, kenapa dia keluar dari kamar menantuku? Jangan-jangan ada yang dia curi. Kalian orang miskin ....""Cukup!" bentak Guntur lantang. "Jangan menuduh jika tidak ada bukti. Kami memang miskin, tapi pantang bagi kami untuk mencuri barang orang lain!"Tini mencengkeram
***Guntur hendak menampar pipi Haryati karena menolak menandatangani surat pengalihan hak waris, tapi Anita segera mencekal lengannya dengan kuat."Biar aku yang bujuk, Pak," pinta Anita lirih. "Kamu memanggilnya siapa, Nit? Bapak? Cuih!" kata Haryati dengan wajah memerah. "Bahkan laki-laki itu yang sudah membunuh ....""Jangan bicara apapun atau kamu mati hari ini, Bude!"Anita mengangguk lemah di depan Haryati. Melihat cucunya terlihat begitu tenang, Haryati seolah mempunya feeling jika Anita sedang menyusun rencana."Bisa tinggalkan kami berdua, Pak? Aku banyak hal yang akan dibahas dengan Nenek. Tenang saja, tanda tangan itu pasti dapat."Guntur menatap keduanya dengan pandangan tajam. Hingga beberapa kali detik kemudian dia mengangguk dan menarik tangan Tini agar keluar dari ruangan."Jangan pikir bisa kabur dari sini, Nit, apalagi membawa wanita tua yang untuk sekedar berjalan saja tidak bisa. Aku pastikan kamu dan Nenekmu akan mati di tanganku jika sampai menipuku. Mengerti?!
***"Gawat, mereka terus ngejar, Yah!""Tentu saja, Gas. Mereka tidak akan membiarkan kita keluar dari hutan ini hidup-hidup atau bisnis terselubung yang mereka sembunyikan bisa terendus pemerintah," sahut Vano. "Lihat, ada banyak pohon yang ditebang secara acak, mereka pasti dalang di balik ini semua. Ayah yakin kalau orang-orang di belakang bukan anak buah Guntur.""Tapi kalau bukan, kenapa Guntur bisa masuk ke hutan dengan aman, Van?" tanya Tomi sambil sesekali menoleh ke belakang. "Bagaimana jika pendapatanmu salah, bagaimana kalau orang-orang itu adalah anak buah Guntur?""Maka bisa dipastikan ada hal lain yang Guntur sembunyikan selain Nenek Anita."Mereka kemudian saling diam. Bagas tidak berani lengah sedikitpun karena laju motor mereka sangat cepat meskipun berada di jalanan yang mulai bertanah. Posisi Anita semakin dekat, terlihat dari ponsel Bagas dimana satu titik semakin mendekati titik yang lain."Halo, Nan. Bisa masuk ke hutan dengan aman kan?""Bagaimana kamu tau, Van?
Kesedihan Sea***"Le ... lepaskan ak ... aku, Bu," mohon Anita di sela-sela napas yang tersisa. Tangannya memucat, wajahnya memerah menandakan napas di tenggorokan semakin tercekat."B-- Bu, tol-- ong lepaskan akk ...."Bugh ....Bagas membekuk punggung Tini dengan kuat. Wanita yang kini hampir menginjak usia 40 tahun itu tersedak hebat dan menepuk-nepuk dadanya dengan keras."Ringkus dia!" teriak Nando pada anak buahnya. Beberapa komplotan yang lain sudah dalam keadaan babak belur dan diborgol, tinggal Tini yang ternyata menyerang Anita bahkan hampir membunuhnya."Tarik napas, hembuskan perlahan!" pinta Bagas khawatir. Wajah yang memerah padam perlahan-lahan kembali ke warna kulit aslinya.Anita menangis sejadi-jadinya. Dia berlari memeluk Haryati yang saat ini sesenggukan karena hampir saja menjadi saksi kematian cucunya sendiri. Cucu satu-satunya yang begitu dia rindukan."Bantu Nenek, Gas," ucap Anita le
Dikira Miskin (Extra Part) *** Lima bulan kemudian .... "Hai ... lama tidak bertemu, usia berapa kandungan kamu?" Sea menoleh dan mendapati sosok Nando tengah berdiri dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku celana. "Se?" "Ah, maaf, Bang. Aku ... kaget aja tiba-tiba kamu muncul disini," celetuk Sea gugup. "Sendirian, Bang?" "Ya, karena wanita yang hampir menemani masa tuaku ternyata lebih memilih pria lain. Takdir memang selucu itu, Se." Sea membuang muka. Ada perasaan sedih ketika melihat Nando yang masih mengingat dirinya bahkan disaat dia dan Tirta sedang bahagia menanti buah hati mereka lahir. "Maaf, Bang." Nando terkekeh. "Aku baik-baik saja, Sea. Mungkin Tuhan memang melindungi kamu dari pria tua sepertiku." Sea menggeleng samar. Kedua matanya berembun melihat raut putus asa di wajah Nando. "Sudah kukatakan, kamu pasti mendapatkan wanita yang jauh lebih baik, Bang." "Sendirian?" tanya Nando mengalihkan pembicaraan. Sea mengangguk samar, "Mas Tirta sibuk ngurus Caf
Dikira Miskin (TAMAT)***Satu tahun kemudian ...."Pulang dulu, Sayang. Brian pasti nyariin kamu," kata Bagas lembut. Anita mendongak, kedua matanya memerah dengan bekas air mata yang di pipi. "Sebentar lagi ya, Mas. Sebentar saja," rengeknya manja. Jemarinya yang lentik mengusap-usap pusara kedua orang taunya bergantian, lalu beralih pada pusara Haryati yang nampak segar dengan bunga-bunga yang Anita taburkan barusan. "Brian sudah bisa berjalan, Yah. Kalau saja Ayah dan Ibu masih ada ....""Nit ...." Suara Bagas mengambang di udara. Kehilangan adalah hal yang paling menakutkan baginya. "Biarkan mereka semua tenang di alam sana. Ayo pulang!"Anita bergeming. Matanya semakin sembab karena sudah hampir satu jam ia menangis di pusara tiga orang tercintanya. Haryati sengaja di kuburkan tepat di samping anak dan menantunya. "Semua terasa begitu cepat, Mas.""Takdir Tuhan adalah misteri, apalagi kematian ... semua tidak ada yang tahu sampai kapan batas usia mereka, Sayang. Berhenti berse
***"Darimana kamu tahu kalau Bang Nando menaruh hati pada Sea, Sayang?"Anita mengedikkan bahu. Dia bangkit dan berjalan menjauhi Bagas yang saat ini nampak cengo karena keterkejutannya barusan."Anita ...," pekik Bagas tertahan mengingat sekarang dia sedang berada diantara banyak tamu undangan.Anita menghentikan langkah dan bergelayut manja di lengan Halimah. Wanita cantik itu sekarang tidak segan-segan untuk memeluk mertuanya karena selama ini Halimah memang mencurahkan perhatiannya pada Anita."Bawa Anita pulang, Gas. Dia pucat sekali," ucap Halimah panik. Dia mengusap-usap pipi menantunya dengan lembut. "Pulanglah, acaranya mungkin akan selesai agak malam. Kamu istirahat saja, biar Ibu yang menjelaskan pada Sea nanti."Anita mengangguk patuh. Dia mengikuti langkah Bagas dengan jemari yang saling bertaut. Acara pernikahan Sea memang di adakan di sebuah hotel ternama, perjalanan untuk pulang ke rumah mereka pun menempuh waktu sekitar dua puluh menit."Kamu belum menjawab pertanyaa
***"Nit, kami ...."Anita beralih menatap Tomi dan Gina. Sorot matanya penuh selidik sampai suara Sea membuatnya tiba-tiba terpekik dan berjingkrak bahagia seperti gadis kecil yang mendapat mainan. "Kami ... sebentar lagi akan menikah.""Hah? Serius, kalian ... tidak lagi membohongi aku kan?"Sea menggeleng. Dia merentangkan tangan untuk menyambut tubuh Anita, sahabat yang paling baik yang ia punya selama ini. Sea dan Tirta tertawa ketika Anita jingkrak-jingkrak senang dengan kabar yang ia dengar."Kamu membuatku takut, Se!" Anita mengusap air mata sambil memeluk Sea. "Kalian ... akhirnya. Ya Tuhan!" Anita kembali memekik bahagia. Dia mengurai pelukan dan berlari menuju Gina. Tanpa aba-aba lagi, kedua wanita beda generasi itu saling memeluk dan menangis lirih. Betapa Tomi merasa haru dengan suasana di depan matanya. Siapa sangka, restu yang ia berikan justru memberikan kebahagiaan bagi banyak orang, tidak hanya Sea dan Tirta. "Kami sudah lelah menangis, Nit. Ayolah, kalau kamu masi
***"Brengsek! Berani-beraninya dia ngusir kita, Mas?!" jerit Nayna marah. Bibirnya mengerucut sembari satu tangan mengusap dahi yang mulai berpeluh. "Harusnya kamu bisa tegas sama istrimu itu, Mas! Bagaimanapun kamu adalah kepala keluarga, jangan lembek gini dong!" Suara Nayna semakin membuat kepala Rayan berdenyut nyeri. "Diam, Nay!""Kenapa kamu malah bentak aku? Harusnya kamu bentak saja di Prisa yang kurang ajar itu!""Semua ini salah kamu! Murahan! Kamu bisa kan bersikap baik di depan Prisa bukan malah menyulut pertengkaran seperti ini!""Ya, ya! Salahkan saja aku terus, Mas! Bela wanita mandul yang tidak berguna itu! Aku muak melihat sikapmu yang lemah di depan Prisa!"Plak ....Nayna memegang pipi kanannya yang terasa panas. Tidak ada air mata melainkan hanya kemarahan yang bersarang di dadanya saat ini. "Tampak! Tampar yang banyak kalau perlu bunuh sekalian bayimu ini! Pria miskin! Aku menyesal mau mengakui anak ini sebagai darah dagingmu!"Rayan mengusap wajahnya kasar. Pe
***Tirta dan Sea bergeming. Ucapan Tomi membuat rasa percaya diri Tirta yang sempat tumbuh terasa dihempas begitu saja. Ternyata, setelah bisa mendapatkan kembali hati Sea, ia harus melalui satu jalan lagi yaitu Tomi dan Gina. "Ada banyak pria di luaran sana, Sea! Kamu cantik, mandiri dan ... kamu bisa mencari pria lain tanpa harus terjebak dengan pria yang sama!" ucap Tomi marah. "Kamu lupa ... dia bahkan rela memohon agar wanita yang sudah membuatmu celaka itu bebas. Jangan bodoh!"Sea menunduk. Bodoh! Ya, dia memang sudah bodoh karena setelah berbulan-bulan terlewati, perasaannya pada Tirta terus saja tumbuh tanpa sedikitpun berkurang. Gina mengusap lengan Tomi dengan lembut. Kedua matanya menatap Sea dengan nanar. Putri yang ia anggap sudah melupakan Tirta ternyata masih memiliki perasaan yang begitu besar untuk pria itu."Dia sudah membuatmu terluka, Se. Apa kamu pikir Ayah akan melepaskanmu dengan pria yang sudah pernah membuatmu kecewa?""Yah ....""Tidak!" sahut Tomi tegas.
***Sea dan Tirta terlonjak. Wanita itu mengurai pelukan saat kedua matanya mulai terbuka dan mendapati sosok Freya berdiri di ambang pintu dengan air muka kebingungan."Fre mau ikut peluk," ucapnya polos. Sea merentangkan tangan dan menghambur di pelukan Sea. Bibirnya terus mengukir senyum seolah-olah dua pasangan di depannya bukanlah sebuah ancaman bagi Papanya. "Ini siapa, Tante? Papa ...." Freya memanggil Hamka ketika pertanyaannya tidak kunjung mendapat jawaban dari mulut Sea. "Ayo, sini! Kita pelukan sama-sama!"Brenda membuang muka. Sedikit banyak dia mulai mengerti apa yang sedang terjadi di depan matanya. Melihat Freya yang begitu dekat dengan Sea sudah memberikan jawaban atas pertanyaan Brenda pada Hamka tadi."Kalian ... di-- dia kenal Sea?" tanya Brenda terbata. "Kalian ... sudah saling mengenal?"Hamka mengangguk sambil tersenyum tipis. Pria itu melangkah mendekati Freya dan meninggalkan Brenda di depan toko dengan rasa cemas yang luar biasa."Hai ...," sapa Hamka. "Maaf
***"Se, tolong dengarkan aku!" pinta Tirta memelas. Dia melangkah mendekati Sea yang memunggunginya sembari menutup telinga dengan dua tangan seakan-akan tidak ada yang ingin dia dengarkan dari mulut Tirta. "Aku datang hanya ingin menjelaskan semuanya. Setelah itu semua keputusan terserah padamu. Aku ... hanya ingin meminta maaf atas semua rasa kecewa yang kamu rasakan.""Untuk apa meminta keputusan dariku, Mas? Bukankah kamu sudah memutuskan semuanya sendiri? Kamu lebih memilih wanita itu daripada aku yang ... aku yang tidak sedang mengandung anakmu!" "Dia bukan anakku, Sea!""Dan aku tidak peduli!" teriak Sea. Air matanya berlomba-lomba untuk meluncur bebas ke pipi. "Anakmu atau bukan, yang jelas kamu sudah memilih Nayna daripada aku! Dan itu ... sudah cukup membuatku paham jika nama Nayna berada di posisi tertinggi dalam hatimu."Tirta menunduk. Langkahnya terhenti ketika Sea sudah berada tepat di depan matanya. "Bahkan setelah melukai hatiku berkali-kali, kamu datang dengan wani
***"Mana sarapan untukku?"Nayna duduk di kursi makan dengan melipat tangan. Persis seperti seorang anak kecil yang sedang menunggu sarapannya tersaji."Coba ulangi lagi!"Nayna mendengus kesal. "Ck! Jangan cari gara-gara ya, Mbak. Ini masih pagi, mood ku juga sedang buruk, kamu nggak mau kan kalau sampai aku ngadu ke Mas ....""Kamu pikir aku takut?""Ouh, jadi nantangin? Kamu mau tau siapa yang akan dipilih oleh suami kamu, begitu?" angkuh Nayna. "Lihat! Di perutku ada kehidupan lain, dia yang bertahun-tahun lamanya sangat diinginkan oleh Mas Rayan, yakin kalau aku merajuk dia bakalan lepas kamu begitu saja?"Wanita yang usianya jauh lebih tua di banding Nayna itu tertawa sumbang. Ya, tidak mengelak jika hadirnya seorang bayi adalah keinginan dia dan Rayan selama bertahun-tahun menjalani biduk rumah tangga. Tapi tidak dengan bayi dalam hubungan yang kotor. Rayan sudah mencurangi pernikahan mereka."Kenapa diam,