Kesedihan Sea***"Le ... lepaskan ak ... aku, Bu," mohon Anita di sela-sela napas yang tersisa. Tangannya memucat, wajahnya memerah menandakan napas di tenggorokan semakin tercekat."B-- Bu, tol-- ong lepaskan akk ...."Bugh ....Bagas membekuk punggung Tini dengan kuat. Wanita yang kini hampir menginjak usia 40 tahun itu tersedak hebat dan menepuk-nepuk dadanya dengan keras."Ringkus dia!" teriak Nando pada anak buahnya. Beberapa komplotan yang lain sudah dalam keadaan babak belur dan diborgol, tinggal Tini yang ternyata menyerang Anita bahkan hampir membunuhnya."Tarik napas, hembuskan perlahan!" pinta Bagas khawatir. Wajah yang memerah padam perlahan-lahan kembali ke warna kulit aslinya.Anita menangis sejadi-jadinya. Dia berlari memeluk Haryati yang saat ini sesenggukan karena hampir saja menjadi saksi kematian cucunya sendiri. Cucu satu-satunya yang begitu dia rindukan."Bantu Nenek, Gas," ucap Anita le
***"Ayah?" pekik Sea berpura-pura kaget melihat Tomi dan Vano berada di ambang pintu.Gina melepas pelukan putrinya dengan lembut, dia berjalan tergesa menghampiri Tomi dan Vano yang juga mulai melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam rumah."Bagaimana, Mas?" selidik Gina cemas. Pasalnya wajah suami dan iparnya sama-sama sendu. "Apa semua baik-baik saja?"Tomi duduk di depan Sea dan menatap putrinya dengan pandangan menyelidik. Perasannya sebagai Ayah tidak bisa ditipu atau dimanipulasi. Tomi mencium bau-bau hal yang tidak beres ketika menatap kedua manik Sea yang mulai bergetar."Katakan siapa yang mengatakan kalau kamu wanita rendahan?"Sea mencoba menguasai dirinya yang ketakutan. Sorot mata Tomi selalu berhasil membuat nyalinya menciut. Memang, seorang Ayah tidak akan pernah membiarkan anak perempuannya terluka, tapi bagaimana jadinya jika Tomi tau kalau Sea mencintai Bagas dan merasa menjadi anak yang benar-benar buruk kare
***"Darimana kamu? Kamu tau ngga aku dari tadi nungguin kamu pulang, mana makanan di meja makan kosong!" gerutu Citra saat melihat Anita keluar dari mobil Bagas. "Cepet masak, aku nggak mau sampai magh ku kambuh gara-gara kamu ya. Dasar nggak tau diri, sudahlah disini numpang ....""Paman dan Bibi ada di kantor polisi!" kata Anita datar. Mencoba mengabaikan Citra yang sejak tadi sudah menggerutu kesal karena di rumah tidak ada siapapun dan apapun untuk dimakan."Ngaco! Ngapain juga orang tuaku di kantor polisi. Udah sana cepet masak, sebentar lagi Mas Leo mau kesini, aku ngga mau dia kelaparan!"Anita melirik pada Bagas, laki-laki itu menggeleng samar dan menggenggam jemari Anita dengan lembut."Ambil pakaian yang kamu butuhkan, setelah itu kita ke Rumah Sakit," bisik Bagas dan dibalas anggukan samar oleh Anita.Anita hendak melangkah memasuki rumah, tapi Citra tiba-tiba menarik rambut wanita itu dengan kuat. "Jangan men
***"Brengsek! Kalian memang pasangan brengsek!" umpat Citra lepas kendali. Wajahnya memerah padam sementara rambutnya sudah terlihat acak-acakan karena berkali-kali dia remas dengan geram mendengar kenyataan yang keluar dari mulut Bagas dan Anita."Kamu hanya tidak tau siapa Anita, Bagas! Kamu akan menyesal karena sudah menolongnya!" teriak Citra lagi sebelum Bagas benar-benar masuk ke dalam mobil. Citra menarik ujung bibirnya, merasa puas karena Bagas sepertinya mulai terkecoh dengan apa yang dia katakan. "Suatu saat nanti, kamu akan menyesal, Gas. Penyesalan yang akan membuatmu hancur. Ingat kata-kataku!"Bagas memicingkan matanya. Dia mencoba menyelami kedua mata Citra yang seakan-akan mengatakan jika dia tidak sedang berbohong saat ini. Sementara Anita yang sudah duduk di dalam mobil memanggil Bagas dengan segera. "Gas, ayo! Untuk apa mendengarkan ocehan Citra, dia wanita licik!"Bagas sempat terpaku, sampai akhirnya dia mengangguk samar dan masuk ke dalam mobil meninggalkan Leo
***"Apa kamu merasa seperti wanita yang tidak baik, Nit?"Anita menoleh dengan cepat. Dadanya berdebar hebat mendapatkan pertanyaan balik dari Bagas. Setelah sepersekian detik dia terpaku, logikanya kembali membawanya untuk tersadar dan mulai bisa menguasai emosinya lagi.Wanita cantik dengan rambut panjang dan legam itu terkekeh getir. "Entahlah, Mas," sahut Anita singkat. Seolah dia tidak ingin membahas masalah ini lagi.Bagas menatap jalanan tanpa menoleh sedikitpun ke arah Anita. Keduanya saling bungkam sampai mobil berhenti di depan rumah Bagas."Dasar nggak punya perasaan kamu, Hal! Lihat, Tarjo sampai hampir meninggal begitu kamu masih saja sok terdzolimi!" Suara Diah semakin melengking di usianya yang sudah tidak muda lagi. "Lagipula dulu kamu belum sampai diperkosa, jangan berlebihan jadi orang, Halimah!"Bagas yang baru saja turun dari mobil segera menghampiri Halimah yang terdiam di depan rumahnya sembari menahan air mata yang bahkan sudah siap meluncur."Bu ...."Halimah
***"Ada apa sebenarnya, Bu? Kenapa Bu Diah bisa berbicara seperti itu?" selidik Bagas. Dia memang tidak banyak tau masalah yang Halimah hadapi di masa lalu karena selama ini hidupnya berfokus pada bisnis yang dia jalankan, tentu saja dengan bantuan Vano.Halimah mengembuskan napasnya kasar. Dia berjalan menuju kamar dimana Leha sedang terbaring lemah. Jika para orang tua di usianya masih segar dan semakin menggebu-gebu jiwa ghibahnya, Leha justru seakan kehilangan gairah hidup sejak kematian Karim. "Ada apa?" tanya Leha lembut. Halimah duduk di tepi ranjang dengan kepala menunduk. Bagas meringsek masuk sementara Anita lebih memilih duduk di ruang tamu. Rasanya tidak etis jika belum menjadi istri sah Bagas tapi dia sudah kepo terlalu dalam."Bu Diah marah-marah di depan rumah, Nek. Katanya Ibu adalah wanita yang tidak punya hati karena tidak mau memaafkan Paman Tarjo," jelas Bagas sembari bersimpuh di depan Halimah. Dia menggenggam jemari Ibunya yang semakin dingin sementara kepala
***Anita menoleh. Kedua matanya berkaca-kaca menatap Bagas yang begitu tulus padanya. Dia menarik napas panjang dan lagi-lagi membuang muka. Tidak berani jika harus jujur pada Bagas tentang apa yang terjadi, atau dia akan kehilangan Bagas untuk selamanya bahkan ketika pernikahan mereka belum dimulai, dan Anita tidak sanggup dengan konsekuensi itu."Tidak apa-apa, Mas. Aku hanya sedang memikirkan Nenek," jawab Anita lemah. Dia memandang jalanan tanpa berani menoleh sedikitpun ke arah Bagas.Seolah tidak mau membuat hati wanitanya gundah, Bagas pun mengangguk mengerti dan menghentikan rasa penasarannya karena Anita tiba-tiba menjadi pendiam sepulang dari bertemu Halimah.Seberapapun Anita mencoba mengalihkan pikirannya, tetap saja dia takut jika Bagas suatu hari nanti tau siapa dirinya, terlebih tujuan apa yang sebenarnya sedang dia rencanakan saat ini."Mas ....""Ya?""Kamu yakin mau menikahiku padahal jelas-jelas tau kalau keluargaku sangat bermasalah?"Bagas mengulas senyum tipis.
Dikira Miskin (200)***Citra terbelalak. "Ka-- kamu se-- serius?"Sea mengangguk mantap. Bukan hal yang sulit baginya untuk menyewa pengacara karena gaji yang dia dapatkan selama ini cukup besar. Tidak sedikit pengacara di negeri ini yang mau memanipulasi bukti dan teguh untuk membebaskan kliennya."Ta-- tapi kenapa kamu justru ingin membantu keluargaku, bukankah Anita akan menjadi sepupumu juga?" selidik Citra. Wanita itu tidak bisa begitu saja percaya dengan apa yang Sea tawarkan mengingat posisi Anita di keluarga Bagas sebentar lagi akan menjadi Nyonya."Itu urusanku! Kalau kamu yakin mau melakukan apa yang aku katakan dan mencari bukti tentang semua yang aku tanyakan, aku bisa pastikan kalau kedua orang tuamu akan bebas!"Citra mengangguk mantap. Dia menjabat tangan Sea dengan kuat sembari berkata. "Oke, apapun demi Bapak dan Ibu bebas. Aku akan lakukan apapun yang kamu perintahkan!"Sea menarik ujung bibirnya. Sekuat tenaga dia berusaha melupakan Bagas dan seluruh perasaanya. Ta
Dikira Miskin (Extra Part) *** Lima bulan kemudian .... "Hai ... lama tidak bertemu, usia berapa kandungan kamu?" Sea menoleh dan mendapati sosok Nando tengah berdiri dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku celana. "Se?" "Ah, maaf, Bang. Aku ... kaget aja tiba-tiba kamu muncul disini," celetuk Sea gugup. "Sendirian, Bang?" "Ya, karena wanita yang hampir menemani masa tuaku ternyata lebih memilih pria lain. Takdir memang selucu itu, Se." Sea membuang muka. Ada perasaan sedih ketika melihat Nando yang masih mengingat dirinya bahkan disaat dia dan Tirta sedang bahagia menanti buah hati mereka lahir. "Maaf, Bang." Nando terkekeh. "Aku baik-baik saja, Sea. Mungkin Tuhan memang melindungi kamu dari pria tua sepertiku." Sea menggeleng samar. Kedua matanya berembun melihat raut putus asa di wajah Nando. "Sudah kukatakan, kamu pasti mendapatkan wanita yang jauh lebih baik, Bang." "Sendirian?" tanya Nando mengalihkan pembicaraan. Sea mengangguk samar, "Mas Tirta sibuk ngurus Caf
Dikira Miskin (TAMAT)***Satu tahun kemudian ...."Pulang dulu, Sayang. Brian pasti nyariin kamu," kata Bagas lembut. Anita mendongak, kedua matanya memerah dengan bekas air mata yang di pipi. "Sebentar lagi ya, Mas. Sebentar saja," rengeknya manja. Jemarinya yang lentik mengusap-usap pusara kedua orang taunya bergantian, lalu beralih pada pusara Haryati yang nampak segar dengan bunga-bunga yang Anita taburkan barusan. "Brian sudah bisa berjalan, Yah. Kalau saja Ayah dan Ibu masih ada ....""Nit ...." Suara Bagas mengambang di udara. Kehilangan adalah hal yang paling menakutkan baginya. "Biarkan mereka semua tenang di alam sana. Ayo pulang!"Anita bergeming. Matanya semakin sembab karena sudah hampir satu jam ia menangis di pusara tiga orang tercintanya. Haryati sengaja di kuburkan tepat di samping anak dan menantunya. "Semua terasa begitu cepat, Mas.""Takdir Tuhan adalah misteri, apalagi kematian ... semua tidak ada yang tahu sampai kapan batas usia mereka, Sayang. Berhenti berse
***"Darimana kamu tahu kalau Bang Nando menaruh hati pada Sea, Sayang?"Anita mengedikkan bahu. Dia bangkit dan berjalan menjauhi Bagas yang saat ini nampak cengo karena keterkejutannya barusan."Anita ...," pekik Bagas tertahan mengingat sekarang dia sedang berada diantara banyak tamu undangan.Anita menghentikan langkah dan bergelayut manja di lengan Halimah. Wanita cantik itu sekarang tidak segan-segan untuk memeluk mertuanya karena selama ini Halimah memang mencurahkan perhatiannya pada Anita."Bawa Anita pulang, Gas. Dia pucat sekali," ucap Halimah panik. Dia mengusap-usap pipi menantunya dengan lembut. "Pulanglah, acaranya mungkin akan selesai agak malam. Kamu istirahat saja, biar Ibu yang menjelaskan pada Sea nanti."Anita mengangguk patuh. Dia mengikuti langkah Bagas dengan jemari yang saling bertaut. Acara pernikahan Sea memang di adakan di sebuah hotel ternama, perjalanan untuk pulang ke rumah mereka pun menempuh waktu sekitar dua puluh menit."Kamu belum menjawab pertanyaa
***"Nit, kami ...."Anita beralih menatap Tomi dan Gina. Sorot matanya penuh selidik sampai suara Sea membuatnya tiba-tiba terpekik dan berjingkrak bahagia seperti gadis kecil yang mendapat mainan. "Kami ... sebentar lagi akan menikah.""Hah? Serius, kalian ... tidak lagi membohongi aku kan?"Sea menggeleng. Dia merentangkan tangan untuk menyambut tubuh Anita, sahabat yang paling baik yang ia punya selama ini. Sea dan Tirta tertawa ketika Anita jingkrak-jingkrak senang dengan kabar yang ia dengar."Kamu membuatku takut, Se!" Anita mengusap air mata sambil memeluk Sea. "Kalian ... akhirnya. Ya Tuhan!" Anita kembali memekik bahagia. Dia mengurai pelukan dan berlari menuju Gina. Tanpa aba-aba lagi, kedua wanita beda generasi itu saling memeluk dan menangis lirih. Betapa Tomi merasa haru dengan suasana di depan matanya. Siapa sangka, restu yang ia berikan justru memberikan kebahagiaan bagi banyak orang, tidak hanya Sea dan Tirta. "Kami sudah lelah menangis, Nit. Ayolah, kalau kamu masi
***"Brengsek! Berani-beraninya dia ngusir kita, Mas?!" jerit Nayna marah. Bibirnya mengerucut sembari satu tangan mengusap dahi yang mulai berpeluh. "Harusnya kamu bisa tegas sama istrimu itu, Mas! Bagaimanapun kamu adalah kepala keluarga, jangan lembek gini dong!" Suara Nayna semakin membuat kepala Rayan berdenyut nyeri. "Diam, Nay!""Kenapa kamu malah bentak aku? Harusnya kamu bentak saja di Prisa yang kurang ajar itu!""Semua ini salah kamu! Murahan! Kamu bisa kan bersikap baik di depan Prisa bukan malah menyulut pertengkaran seperti ini!""Ya, ya! Salahkan saja aku terus, Mas! Bela wanita mandul yang tidak berguna itu! Aku muak melihat sikapmu yang lemah di depan Prisa!"Plak ....Nayna memegang pipi kanannya yang terasa panas. Tidak ada air mata melainkan hanya kemarahan yang bersarang di dadanya saat ini. "Tampak! Tampar yang banyak kalau perlu bunuh sekalian bayimu ini! Pria miskin! Aku menyesal mau mengakui anak ini sebagai darah dagingmu!"Rayan mengusap wajahnya kasar. Pe
***Tirta dan Sea bergeming. Ucapan Tomi membuat rasa percaya diri Tirta yang sempat tumbuh terasa dihempas begitu saja. Ternyata, setelah bisa mendapatkan kembali hati Sea, ia harus melalui satu jalan lagi yaitu Tomi dan Gina. "Ada banyak pria di luaran sana, Sea! Kamu cantik, mandiri dan ... kamu bisa mencari pria lain tanpa harus terjebak dengan pria yang sama!" ucap Tomi marah. "Kamu lupa ... dia bahkan rela memohon agar wanita yang sudah membuatmu celaka itu bebas. Jangan bodoh!"Sea menunduk. Bodoh! Ya, dia memang sudah bodoh karena setelah berbulan-bulan terlewati, perasaannya pada Tirta terus saja tumbuh tanpa sedikitpun berkurang. Gina mengusap lengan Tomi dengan lembut. Kedua matanya menatap Sea dengan nanar. Putri yang ia anggap sudah melupakan Tirta ternyata masih memiliki perasaan yang begitu besar untuk pria itu."Dia sudah membuatmu terluka, Se. Apa kamu pikir Ayah akan melepaskanmu dengan pria yang sudah pernah membuatmu kecewa?""Yah ....""Tidak!" sahut Tomi tegas.
***Sea dan Tirta terlonjak. Wanita itu mengurai pelukan saat kedua matanya mulai terbuka dan mendapati sosok Freya berdiri di ambang pintu dengan air muka kebingungan."Fre mau ikut peluk," ucapnya polos. Sea merentangkan tangan dan menghambur di pelukan Sea. Bibirnya terus mengukir senyum seolah-olah dua pasangan di depannya bukanlah sebuah ancaman bagi Papanya. "Ini siapa, Tante? Papa ...." Freya memanggil Hamka ketika pertanyaannya tidak kunjung mendapat jawaban dari mulut Sea. "Ayo, sini! Kita pelukan sama-sama!"Brenda membuang muka. Sedikit banyak dia mulai mengerti apa yang sedang terjadi di depan matanya. Melihat Freya yang begitu dekat dengan Sea sudah memberikan jawaban atas pertanyaan Brenda pada Hamka tadi."Kalian ... di-- dia kenal Sea?" tanya Brenda terbata. "Kalian ... sudah saling mengenal?"Hamka mengangguk sambil tersenyum tipis. Pria itu melangkah mendekati Freya dan meninggalkan Brenda di depan toko dengan rasa cemas yang luar biasa."Hai ...," sapa Hamka. "Maaf
***"Se, tolong dengarkan aku!" pinta Tirta memelas. Dia melangkah mendekati Sea yang memunggunginya sembari menutup telinga dengan dua tangan seakan-akan tidak ada yang ingin dia dengarkan dari mulut Tirta. "Aku datang hanya ingin menjelaskan semuanya. Setelah itu semua keputusan terserah padamu. Aku ... hanya ingin meminta maaf atas semua rasa kecewa yang kamu rasakan.""Untuk apa meminta keputusan dariku, Mas? Bukankah kamu sudah memutuskan semuanya sendiri? Kamu lebih memilih wanita itu daripada aku yang ... aku yang tidak sedang mengandung anakmu!" "Dia bukan anakku, Sea!""Dan aku tidak peduli!" teriak Sea. Air matanya berlomba-lomba untuk meluncur bebas ke pipi. "Anakmu atau bukan, yang jelas kamu sudah memilih Nayna daripada aku! Dan itu ... sudah cukup membuatku paham jika nama Nayna berada di posisi tertinggi dalam hatimu."Tirta menunduk. Langkahnya terhenti ketika Sea sudah berada tepat di depan matanya. "Bahkan setelah melukai hatiku berkali-kali, kamu datang dengan wani
***"Mana sarapan untukku?"Nayna duduk di kursi makan dengan melipat tangan. Persis seperti seorang anak kecil yang sedang menunggu sarapannya tersaji."Coba ulangi lagi!"Nayna mendengus kesal. "Ck! Jangan cari gara-gara ya, Mbak. Ini masih pagi, mood ku juga sedang buruk, kamu nggak mau kan kalau sampai aku ngadu ke Mas ....""Kamu pikir aku takut?""Ouh, jadi nantangin? Kamu mau tau siapa yang akan dipilih oleh suami kamu, begitu?" angkuh Nayna. "Lihat! Di perutku ada kehidupan lain, dia yang bertahun-tahun lamanya sangat diinginkan oleh Mas Rayan, yakin kalau aku merajuk dia bakalan lepas kamu begitu saja?"Wanita yang usianya jauh lebih tua di banding Nayna itu tertawa sumbang. Ya, tidak mengelak jika hadirnya seorang bayi adalah keinginan dia dan Rayan selama bertahun-tahun menjalani biduk rumah tangga. Tapi tidak dengan bayi dalam hubungan yang kotor. Rayan sudah mencurangi pernikahan mereka."Kenapa diam,