***
"Darimana kamu? Kamu tau ngga aku dari tadi nungguin kamu pulang, mana makanan di meja makan kosong!" gerutu Citra saat melihat Anita keluar dari mobil Bagas. "Cepet masak, aku nggak mau sampai magh ku kambuh gara-gara kamu ya. Dasar nggak tau diri, sudahlah disini numpang ...."
"Paman dan Bibi ada di kantor polisi!" kata Anita datar. Mencoba mengabaikan Citra yang sejak tadi sudah menggerutu kesal karena di rumah tidak ada siapapun dan apapun untuk dimakan.
"Ngaco! Ngapain juga orang tuaku di kantor polisi. Udah sana cepet masak, sebentar lagi Mas Leo mau kesini, aku ngga mau dia kelaparan!"
Anita melirik pada Bagas, laki-laki itu menggeleng samar dan menggenggam jemari Anita dengan lembut.
"Ambil pakaian yang kamu butuhkan, setelah itu kita ke Rumah Sakit," bisik Bagas dan dibalas anggukan samar oleh Anita.
Anita hendak melangkah memasuki rumah, tapi Citra tiba-tiba menarik rambut wanita itu dengan kuat. "Jangan men
***"Brengsek! Kalian memang pasangan brengsek!" umpat Citra lepas kendali. Wajahnya memerah padam sementara rambutnya sudah terlihat acak-acakan karena berkali-kali dia remas dengan geram mendengar kenyataan yang keluar dari mulut Bagas dan Anita."Kamu hanya tidak tau siapa Anita, Bagas! Kamu akan menyesal karena sudah menolongnya!" teriak Citra lagi sebelum Bagas benar-benar masuk ke dalam mobil. Citra menarik ujung bibirnya, merasa puas karena Bagas sepertinya mulai terkecoh dengan apa yang dia katakan. "Suatu saat nanti, kamu akan menyesal, Gas. Penyesalan yang akan membuatmu hancur. Ingat kata-kataku!"Bagas memicingkan matanya. Dia mencoba menyelami kedua mata Citra yang seakan-akan mengatakan jika dia tidak sedang berbohong saat ini. Sementara Anita yang sudah duduk di dalam mobil memanggil Bagas dengan segera. "Gas, ayo! Untuk apa mendengarkan ocehan Citra, dia wanita licik!"Bagas sempat terpaku, sampai akhirnya dia mengangguk samar dan masuk ke dalam mobil meninggalkan Leo
***"Apa kamu merasa seperti wanita yang tidak baik, Nit?"Anita menoleh dengan cepat. Dadanya berdebar hebat mendapatkan pertanyaan balik dari Bagas. Setelah sepersekian detik dia terpaku, logikanya kembali membawanya untuk tersadar dan mulai bisa menguasai emosinya lagi.Wanita cantik dengan rambut panjang dan legam itu terkekeh getir. "Entahlah, Mas," sahut Anita singkat. Seolah dia tidak ingin membahas masalah ini lagi.Bagas menatap jalanan tanpa menoleh sedikitpun ke arah Anita. Keduanya saling bungkam sampai mobil berhenti di depan rumah Bagas."Dasar nggak punya perasaan kamu, Hal! Lihat, Tarjo sampai hampir meninggal begitu kamu masih saja sok terdzolimi!" Suara Diah semakin melengking di usianya yang sudah tidak muda lagi. "Lagipula dulu kamu belum sampai diperkosa, jangan berlebihan jadi orang, Halimah!"Bagas yang baru saja turun dari mobil segera menghampiri Halimah yang terdiam di depan rumahnya sembari menahan air mata yang bahkan sudah siap meluncur."Bu ...."Halimah
***"Ada apa sebenarnya, Bu? Kenapa Bu Diah bisa berbicara seperti itu?" selidik Bagas. Dia memang tidak banyak tau masalah yang Halimah hadapi di masa lalu karena selama ini hidupnya berfokus pada bisnis yang dia jalankan, tentu saja dengan bantuan Vano.Halimah mengembuskan napasnya kasar. Dia berjalan menuju kamar dimana Leha sedang terbaring lemah. Jika para orang tua di usianya masih segar dan semakin menggebu-gebu jiwa ghibahnya, Leha justru seakan kehilangan gairah hidup sejak kematian Karim. "Ada apa?" tanya Leha lembut. Halimah duduk di tepi ranjang dengan kepala menunduk. Bagas meringsek masuk sementara Anita lebih memilih duduk di ruang tamu. Rasanya tidak etis jika belum menjadi istri sah Bagas tapi dia sudah kepo terlalu dalam."Bu Diah marah-marah di depan rumah, Nek. Katanya Ibu adalah wanita yang tidak punya hati karena tidak mau memaafkan Paman Tarjo," jelas Bagas sembari bersimpuh di depan Halimah. Dia menggenggam jemari Ibunya yang semakin dingin sementara kepala
***Anita menoleh. Kedua matanya berkaca-kaca menatap Bagas yang begitu tulus padanya. Dia menarik napas panjang dan lagi-lagi membuang muka. Tidak berani jika harus jujur pada Bagas tentang apa yang terjadi, atau dia akan kehilangan Bagas untuk selamanya bahkan ketika pernikahan mereka belum dimulai, dan Anita tidak sanggup dengan konsekuensi itu."Tidak apa-apa, Mas. Aku hanya sedang memikirkan Nenek," jawab Anita lemah. Dia memandang jalanan tanpa berani menoleh sedikitpun ke arah Bagas.Seolah tidak mau membuat hati wanitanya gundah, Bagas pun mengangguk mengerti dan menghentikan rasa penasarannya karena Anita tiba-tiba menjadi pendiam sepulang dari bertemu Halimah.Seberapapun Anita mencoba mengalihkan pikirannya, tetap saja dia takut jika Bagas suatu hari nanti tau siapa dirinya, terlebih tujuan apa yang sebenarnya sedang dia rencanakan saat ini."Mas ....""Ya?""Kamu yakin mau menikahiku padahal jelas-jelas tau kalau keluargaku sangat bermasalah?"Bagas mengulas senyum tipis.
Dikira Miskin (200)***Citra terbelalak. "Ka-- kamu se-- serius?"Sea mengangguk mantap. Bukan hal yang sulit baginya untuk menyewa pengacara karena gaji yang dia dapatkan selama ini cukup besar. Tidak sedikit pengacara di negeri ini yang mau memanipulasi bukti dan teguh untuk membebaskan kliennya."Ta-- tapi kenapa kamu justru ingin membantu keluargaku, bukankah Anita akan menjadi sepupumu juga?" selidik Citra. Wanita itu tidak bisa begitu saja percaya dengan apa yang Sea tawarkan mengingat posisi Anita di keluarga Bagas sebentar lagi akan menjadi Nyonya."Itu urusanku! Kalau kamu yakin mau melakukan apa yang aku katakan dan mencari bukti tentang semua yang aku tanyakan, aku bisa pastikan kalau kedua orang tuamu akan bebas!"Citra mengangguk mantap. Dia menjabat tangan Sea dengan kuat sembari berkata. "Oke, apapun demi Bapak dan Ibu bebas. Aku akan lakukan apapun yang kamu perintahkan!"Sea menarik ujung bibirnya. Sekuat tenaga dia berusaha melupakan Bagas dan seluruh perasaanya. Ta
***"Tidak akan saya biarkan Anita menderita lagi, Nek. Bila perlu, Paman dan Bibinya akan mendekam di penjara karena sudah melakukan tindak kejahatan pada keluarga Nenek."Haryati mengusap air mata yang membasahi pipi. Sejenak dia melirik pada Anita yang justru mengatupkan bibir dan menunduk dalam tanpa berani menatap takjub pada semua perkataan Bagas."Bersyukurlah karena kamu menemukan laki-laki yang baik, Nit!"Anita mendongak. Dia mengangguk pasrah di depan Haryati dan memaksa bibirnya tersenyum tipis.Setelah memastikan keadaan Anita dan Haryati, Bagas pamit untuk pulang dan berjanji akan datang kembali esok hari jika tidak ada pekerjaan.Anita mengantar Bagas sampai di depan pintu kamar VIP dimana Haryati berada. "Mas, aku ingin bilang sesuatu. Tapi sepertinya besok saja, kamu terlihat sangat lelah," kata Anita. "Apapun yang akan aku katakan nanti, berjanjilah kalau kamu tidak akan meninggalkanku."Bagas memicingkan matanya menatap Anita. Wanita yang sudah menemani hari-hariny
***Anita memberontak. Dia mencoba melepaskan cengkeraman tangan laki-laki di depannya."Mas Cahyo, lepaskan saya!" teriak Anita memekakkan telinga. "Saya berjanji akan mengembalikan semua uang yang sudah Mas Cahyo berikan, tapi tolong ... lepaskan saya. Tolong!"Anita merengek membuat Cahyo jengah. "Dulu kamu sendiri yang mau membantuku menghancurkan Bagas, tapi lihat ... kamu sekarang terlihat begitu melindungi dia. Ha ... ha ... ha ... Bagas memang brengsek! Dia laki-laki sok kaya dan sok tampan membuat para wanita tergila-gila. Atau mungkin aku sudah salah memilih sekutu, kamu terlalu murahan, Anita!"Kedua tangan Anita mengepal. Ingin rasanya menampar pipi Cahyo saat ini juga, tapi apalah daya, kedua tangannya dicekal Cahyo dengan kuat bahkan sekarang mulai terasa nyeri."Kamu harus hancur, maka dengan begitu Bagas akan menjadi hancur pula!"Anita menggeleng cepat. Melihat kemana arah Cahyo berjalan membuat Anita membelalakkan mata. Jantungnya berdegup kencang membayangkan sesuat
***"Ngapain kita ke rumah itu, Se?""Bukan kita, tapi kamu!" tegas Sea dingin. Dia melirik malas ke arah Citra dan berkata. "Kamu pikir aku membawamu kesini untuk bekerja bareng denganku, begitu? Bagaimanapun caranya, kamu harus bisa masuk ke dalam rumah itu dan bertanya mengapa Anita berada disini, mengerti?"Citra membuang muka. Jika saja bukan karena ingin Bapak dan ibunya selamat, dia tentu tidak akan pernah mau melakukan apapun yang Sea katakan. "Brengsek!" umpatnya lirih.Sea berdecak kesal. Dia memukul setir mobil dan mendorong tubuh Citra agar keluar dari dalam mobil miliknya."Keluar! Kalau kamu memang menolak kerja sama ini, keluar sekarang juga! Aku pastikan Bapak dan Ibumu mendekam selamanya di penjara!"Citra meneguk ludahnya kasar. Dia berusaha meredam emosinya dan berkata dengan gagap. "Ma-- maaf, Se. Oke ... oke, aku akan masuk kesana."Sea tertawa sumbang. Dia melihat Citra yang mulai berjalan mendekati rumah dimana Anita berada.***Bagas menekan nomor ponsel Anita