***"Apa maksud Bapak? Lagipula mana ingat aku jalan menuju ke tempat Nenek besok," sahut Anita ketus."Bapak lupa kalau Anita ini bodoh, Pak? Jangan kira perjalanan selama 3 jam ini bisa dia ingat begitu saja," sela Tini tidak mau kalah mencemooh Anita, sementara wanita berusia 23 tahun itu mencebik dan membuang muka malas. Berada di dekat Tini dan Guntur membuat Anita harus berkali-kali meredam emosinya. Guntur terbahak. Tawa yang menakutkan di telinga Anita karena dia pernah mendapat kekerasan yang disertai tawa mengerikan dari bibir Bapak angkatnya itu."Katakan pada Nenekmu kalau kami sudah merawat kamu dengan baik. Bahkan semua peninggalan orang tuamu hampir untuk biaya kamu sekolah hingga dewasa sampai saat ini. Mengerti?"Anita lagi-lagi mengangguk malas. Untuk saat ini tidak ada lagi yang bisa dia lakukan selain menuruti semua perkataan Guntur. Dia ingin cepat-cepat sampai di tempat Neneknya dan mengakhiri semua luka yang dia terima selama ini.***"Mau kemana, Gas?""Yah, A
***"Kenapa berhenti, Pak?" tanya Anita heran. Pasalnya mobil yang mereka tumpangi berhenti di bahu jalan.Tini yang mengerti kode dari suaminya seketika turun dari mobil. Dia membuka pintu belakang dimana ada Anita sedang duduk disana."Jangan menolak atau kamu Bapak hajar, Nit!""Tapi ... tapi apa ini, Pak? Hey, kenapa mataku di tutup pakai kain begini?" teriak Anita ingin menolak tapi tamparan keras di pipinya membuatnya terdiam."Sekali lagi kamu memberontak, Ibu tampar sampai bibirmu berdarah!" ancam Tini sengit.Anita terpaksa menurut. Jantungnya berdebar hebat takut jika Bagas gagal mengikuti arah GPS yang dia nyalakan."Jangan kamu pikir Bapak dan Ibumu ini orang bodoh, Nita!" kata Guntur seraya tertawa. "Kami tidak mau kamu mengenali jalan ini nanti."Anita sedikit bernapas lega. Dia pikir jika Guntur dan Tini tau dengan rencana yang sudah dia buat bersama Bagas, tapi ternyata mereka hanya takut jik
***"Jalanannya semakin sepi, Gas. Ini sepertinya jalan menuju ke hutan. Lihat ... kanan kiri sudah mulai terlihat pohon-pohon doang," celetuk Tomi memecah keheningan. Bagas mengangguk setuju. Dia kembali memperhatikan GPS yang tersambung di ponsel Anita. "Tapi memang benar ini jalannya, Pakde. Sesuai dari hape Anita."Tomi dan Vano saling berpandangan. Suasana hati mereka sama-sama tidak baik saat ini. Teringat saat-saat dimana menyelamatkan Halimah dulu dari kegilaan Tarjo, dan kini Bagas harus mengalami hal yang sama."Untung Ayah dan Pakde ikut, Gas. Lain kali, sedikit berburuk sangka lah pada orang yang baru kamu kenal. Bisa jadi mereka tidak sebaik atau selugu yang kamu pikirkan.""Aku pikir Nenek Anita tinggal di sebuah perumahan atau perkampungan, Yah. Siapa tau justru hutan yang harus kita tempuh."Vano meneguk salivanya yang terasa pahit. Berharap jika di tempat Anita nanti tidak terlalu banyak penjaga. Jika tidak, bisa dipa
***Flashback on"Darimana kamu, Tin? Kenapa keluar dari kamar Hasna?" selidik Haryati saat melihat Tini keluar dari kamar menantunya."Anu ... itu, Bude. Ehm ....""Hasna ... Hasna .....!"Teriakan Haryati membuat keluarga besar yang sedang menggelar acara syukuran untuk kelahiran Anita seketika berhamburan menuju ke sumber suara."Ada apa ini, Bude, kenapa Tini terlihat ketakutan. Kamu apakan istriku?" desak Guntur menahan geram. Selama ini dia sudah berusaha diam atas semua caci maki dan hinaan keluarga besar dari pihak Ibunya karena satu-satunya yang tidak berpunya. Tapi melihat wajah ketakutan Haryati membuat Guntur geram."Tanya sama istrimu, kenapa dia keluar dari kamar menantuku? Jangan-jangan ada yang dia curi. Kalian orang miskin ....""Cukup!" bentak Guntur lantang. "Jangan menuduh jika tidak ada bukti. Kami memang miskin, tapi pantang bagi kami untuk mencuri barang orang lain!"Tini mencengkeram
***Guntur hendak menampar pipi Haryati karena menolak menandatangani surat pengalihan hak waris, tapi Anita segera mencekal lengannya dengan kuat."Biar aku yang bujuk, Pak," pinta Anita lirih. "Kamu memanggilnya siapa, Nit? Bapak? Cuih!" kata Haryati dengan wajah memerah. "Bahkan laki-laki itu yang sudah membunuh ....""Jangan bicara apapun atau kamu mati hari ini, Bude!"Anita mengangguk lemah di depan Haryati. Melihat cucunya terlihat begitu tenang, Haryati seolah mempunya feeling jika Anita sedang menyusun rencana."Bisa tinggalkan kami berdua, Pak? Aku banyak hal yang akan dibahas dengan Nenek. Tenang saja, tanda tangan itu pasti dapat."Guntur menatap keduanya dengan pandangan tajam. Hingga beberapa kali detik kemudian dia mengangguk dan menarik tangan Tini agar keluar dari ruangan."Jangan pikir bisa kabur dari sini, Nit, apalagi membawa wanita tua yang untuk sekedar berjalan saja tidak bisa. Aku pastikan kamu dan Nenekmu akan mati di tanganku jika sampai menipuku. Mengerti?!
***"Gawat, mereka terus ngejar, Yah!""Tentu saja, Gas. Mereka tidak akan membiarkan kita keluar dari hutan ini hidup-hidup atau bisnis terselubung yang mereka sembunyikan bisa terendus pemerintah," sahut Vano. "Lihat, ada banyak pohon yang ditebang secara acak, mereka pasti dalang di balik ini semua. Ayah yakin kalau orang-orang di belakang bukan anak buah Guntur.""Tapi kalau bukan, kenapa Guntur bisa masuk ke hutan dengan aman, Van?" tanya Tomi sambil sesekali menoleh ke belakang. "Bagaimana jika pendapatanmu salah, bagaimana kalau orang-orang itu adalah anak buah Guntur?""Maka bisa dipastikan ada hal lain yang Guntur sembunyikan selain Nenek Anita."Mereka kemudian saling diam. Bagas tidak berani lengah sedikitpun karena laju motor mereka sangat cepat meskipun berada di jalanan yang mulai bertanah. Posisi Anita semakin dekat, terlihat dari ponsel Bagas dimana satu titik semakin mendekati titik yang lain."Halo, Nan. Bisa masuk ke hutan dengan aman kan?""Bagaimana kamu tau, Van?
Kesedihan Sea***"Le ... lepaskan ak ... aku, Bu," mohon Anita di sela-sela napas yang tersisa. Tangannya memucat, wajahnya memerah menandakan napas di tenggorokan semakin tercekat."B-- Bu, tol-- ong lepaskan akk ...."Bugh ....Bagas membekuk punggung Tini dengan kuat. Wanita yang kini hampir menginjak usia 40 tahun itu tersedak hebat dan menepuk-nepuk dadanya dengan keras."Ringkus dia!" teriak Nando pada anak buahnya. Beberapa komplotan yang lain sudah dalam keadaan babak belur dan diborgol, tinggal Tini yang ternyata menyerang Anita bahkan hampir membunuhnya."Tarik napas, hembuskan perlahan!" pinta Bagas khawatir. Wajah yang memerah padam perlahan-lahan kembali ke warna kulit aslinya.Anita menangis sejadi-jadinya. Dia berlari memeluk Haryati yang saat ini sesenggukan karena hampir saja menjadi saksi kematian cucunya sendiri. Cucu satu-satunya yang begitu dia rindukan."Bantu Nenek, Gas," ucap Anita le
***"Ayah?" pekik Sea berpura-pura kaget melihat Tomi dan Vano berada di ambang pintu.Gina melepas pelukan putrinya dengan lembut, dia berjalan tergesa menghampiri Tomi dan Vano yang juga mulai melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam rumah."Bagaimana, Mas?" selidik Gina cemas. Pasalnya wajah suami dan iparnya sama-sama sendu. "Apa semua baik-baik saja?"Tomi duduk di depan Sea dan menatap putrinya dengan pandangan menyelidik. Perasannya sebagai Ayah tidak bisa ditipu atau dimanipulasi. Tomi mencium bau-bau hal yang tidak beres ketika menatap kedua manik Sea yang mulai bergetar."Katakan siapa yang mengatakan kalau kamu wanita rendahan?"Sea mencoba menguasai dirinya yang ketakutan. Sorot mata Tomi selalu berhasil membuat nyalinya menciut. Memang, seorang Ayah tidak akan pernah membiarkan anak perempuannya terluka, tapi bagaimana jadinya jika Tomi tau kalau Sea mencintai Bagas dan merasa menjadi anak yang benar-benar buruk kare