***"Bagaimana keadaan istri saya, Dok?"Dokter keluar dari ruang operasi dan menghampiri keluarga Vano. Mereka terlibat obrolan serius, bahkan sesekali Vano meremas rambutnya frustasi."Tenang, Van. Berdoa agar Halimah bisa segera sadar dan kondisinya semakin stabil.""Betul, Pak. Untuk sementara Ibu Halimah akan kami bawa ke ruang ICU, beliau butuh penanganan ekstra dan bayi Bu Halimah sedang dalam perjalanan ke ruang NICU, ketuban keruh membuatnya harus mendapat penanganan yang sama ketatnya dengan Sang Ibu."Vano hanya mengangguk pasrah. Dia bahagia karena anak dan istrinya selamat meskipun keduanya harus mendapat pengawasan dari Dokter. "Terima kasih, Mas. Kalau saja kamu tidak bertindak cepat ....""Sudahlah! Semua baik-baik saja. Doakan agar anak dan istrimu segera stabil."Vano menghela napas berat. Dia sampai melupakan memberi kabar pada kedua orang tuanya saling paniknya. Dengan meminjam ponsel Tomi, dia mengabarkan pada keluarga jika Halimah sudah melahirkan. Betapa bahagi
*** Setelah kedatangan keluarga Astri dan membagi cerita pilu, hari-hari keluarga Halimah berjalan seperti biasanya. Tidak jarang cibiran tetangga keluar karena mendengar kabar dia yang melahirkan secara Caesar. Halimah tidak ambil pusing, pun Vano ...keduanya terlalu fokus pada bayi yang diberi nama Ahmad Bagaskara. Hingga kelahiran putri kedua Gina membuat perhatian mereka semakin teralihkan. Cucu cantik Leha membuat semua orang di keluarganya merasakan bahagia. Setelah hampir bertahun-tahun menikah dengan Astri dan tidak juga diberi momongan, Tomi sempat berpikir buruk jika dia adalah lelaki mandul, tapi setelah menikahi Gina, pikiran itu terpatahkan dengan kelahiran bayi yang di beri nama Sea Mahalika. Usianya yang hanya terpaut satu tahun dengan Bagas membuat keduanya terlihat menggemaskan. Kebahagiaan menyelimuti keluarga Leha. Bagaimana tidak, dalam dua tahun terakhir dia menerima dua cucu sekaligus. Cantik dan Tampan, lengkap sudah kebahagiaan dia menjadi Nenek. Tirta dan Pa
Dikira Miskin (172) *** Bagas mengangguk mantap. Sejak bertemu dengan Anita, dia merasa jatuh cinta dengan begitu cepat. Wanita yang sehari-hari terlihat sederhana itu mampu menyita semua perhatian Bagas yang memang tidak terlalu banyak gaya. "Tidak perlu khawatir dengan kehidupan Anita setelah menikah, saya berjanji akan bertanggung jawab," kata Bagas tegas. "Saat ini saya hanya butuh restu Bapak dan Ibu selaku orang tua pengganti dia." "Ya ... ya, terserah kamu saja," sahut Tini jengah. "Oh ya, apa pekerjaan kamu, bagaimana bisa Anita yang bekerja sebagai pembantu kompleks bertemu dengan kamu?" Bagas melirik ke arah Anita yang menunduk dalam. Mana mungkin dia mengatakan pertemuannya dengan Anita yang sampai saat ini tidak bisa dia lupakan. "Dimana kalian bertemu, jangan-jangan kamu laki-laki jalanan yang nggak sengaja ketemu Anita waktu belanja ke pasar. Cocok nggak sih, Bu?" cibir Citra tertawa lebar. "Memang aura kalian itu cocok banget, wanita miskin bertemu dengan laki-laki
***"Darimana, Gas?""Rumah Anita, Pakde. Minggu depan aku diminta bawa keluarga buat melamar."Tomi menepuk pundak Bagas dengan tegas. Dia bisa melihat wajah murung keponakannya itu dengan jelas. "Terus kenapa jutek banget wajahmu? Dimintain mahar gede?" goda Tomi seraya terkekeh.Gina yang baru datang dari arah dapur menepuk lengan suaminya gemas. Dia meletakkan dua cangkir kopi di atas meja dan mengusap kepala Bagas yang saat ini usianya sudah beranjak dewasa, sama seperti Sea yang usia keduanya hanya terpaut satu tahun saja."Kenapa? Nggak biasanya pulang apel malah cemberut?""Aku itu kasihan sama Anita, dia seperti tertekan hidup dengan keluarga tirinya, bahkan mereka terang-terangan menghinaku miskin hanya karena datang kesana mengunakan motor. Pemikiran macam apa coba itu?""Belum lagi Ibu tirinya yang asal ceplas-ceplos itu bilang kalau setelah menikah Anita harus ikut aku, mereka nggak mau kalau aku dan Anita jadi beban disana. Padahal itu rumah Anita, Budhe Gina," jelas Bag
*** "Sudahlah, Bu. Biarkan saja Anita menikah, lagipula dia sudah bilang kan kalau nggak butuh rumah ini. Jangan dibuat ribet, pusing Bapak!" keluh Guntur kesal. "Biar saja Bagas menikahinya, lagipula bisa apa sih mereka, Bagas itu laki-laki miskin, mereka nggak akan bisa merebut rumah ini nanti. Ibu diam saja deh!" Tini memberengut kesal. Dalam hati ingin sekali membuat Anita menjadi perawan tua, tapi dalam hatinya yang lain dia pun ingin menguasai harta orang tua Anita secepatnya. Hubungan mereka sebenarnya tidak terlalu dekat. Guntur adalah anak dari adik Nenek Anita. Bisa dibilang keponakan dari Nenek Anita. Tapi sikap mereka yang sok berkuasa membuat Nenek Anita kalah karena dia hanya sebatang kara. Apalagi tidak ada keluarga lain yang peduli pada Anita dulu sehingga membuat Guntur memiliki niat buruk yaitu menguasai semua yang Anita punya. "Bapak benar, Bu. Lagipula Ibu dengar sendiri kan, Bagas itu cuma tukang cuci mobil. Mana punya dia uang banyak buat sewa pengacara buat r
***"Di dalam rumah saja, Yah," sahut Bagas lemah. Dia masih terbayang bagaimana keadaan Tarjo yang saat ini sedang terbaring di atas ranjang tak berdaya."Dari rumah Paman Tarjo lagi?" Bagas mengangguk. "Apa tidak ada sedikit saja nurani Ibu agar memaafkan kesalahan Paman Tarjo, Yah? Melihat laki-laki tua itu terbaring lemah rasanya begitu kasihan."Vano mengedikkan bahu, "Kita tidak tau sedalam apa rasa trauma Ibumu pada kelakuan Tarjo dulu, Gas. Bisa jadi hal yang kita anggap biasa saja justru terasa begitu menyakitkan untuk orang lain. Apalagi dulu Ibumu hampir saja dinodai, dia pasti merasa tertekan jika harus bertatap muka dengan Tarjo."Bagas sedikit memahami. Mungkin baginya Halimah berlebihan karena tindakan Tarjo pun bisa dicegah dengan kedatangan Vano dan Tomi saat itu. Tapi jika saja keadaan berbalik, maka saat ini mungkin tidak akan terlahir Bagas dari rahimnya. Bisa jadi Halimah hancur sehancur-hancurnya karena sudah dilecehkan oleh laki-laki lain."Maafkan aku, Yah. Ak
***"Mana sarapannya, Nita!" Suara Citra menggema di ruang makan saat melihat meja makan keluarga mereka kosong melompong tidak ada apapun kecuali air putih di dalam teko."Anita ... Anita ....!"Dia menggerutu kesal karena pagi ini sudah terlambat berangkat bekerja, tapi sarapan untuknya belum tersedia.Anita berjalan dengan tanpa bersalah mendekati Citra yang terlihat kesal. Di depan pintu kamar, Guntur dan Tini pun baru saja bangun karena teriakan Anita mengagetkan mereka."Apa sih, Cit? Kamu pagi-pagi teriak-teriak nggak punya etika!" gerutu Tini sembari mengucek mata. "Kami capek, mau tidur. Semalaman nggak bisa tidur kamu malah ganggu aja!"Citra bersedekap dada. Dia geram melihat Anita yang nampak tak acuh dengan kericuhan paginya. Pasalnya Citra tidak bisa menahan lapar, tapi sampai sesiang ini makanan tidak tersedia di meja, padahal biasanya Anita akan menyiapkan sarapan sebelum dia bekerja."Bu, lihat! Di meja makan kita kosong, aku lapar padahal ini sudah siang. Bisa telat
***Citra memegang pipinya dengan dada naik turun. Napasnya memburu melihat Anita yang berjalan menahan sesak di dalam dada. Tidak ada yang tau bagaimana hancurnya perasaan Anita ketika mendapati kenyataan bahwa keluarga Guntur merawatnya hanya demi harta. Meskipun sejak berusia remaja Anita tau akan kebenaran itu, tapi tetap saja rasanya sakit ketika mengingat tujuan mereka membiarkan Anita tetap hidup. Ya, Anita satu-satunya yang selamat dalam kecelakaan tunggal yang menimpa keluarganya."Awas kamu, Nita! Dasar miskin, udik! Aku adukan kamu sama Mas Chiko!" Anita mengibaskan tangannya di udara. Dia masuk ke dalam kamar dan menguncinya dari dalam. Terduduk di depan pintu dengan kepala bertumpu pada kedua lutut. Air mata mengalir begitu saja. Andai bisa memilih takdir, dia lebih berharap ikut pergi bersama kedua orang tuanya daripada harus menanggung semua ini sendirian."Anita lelah, Bu ... kenapa takdir begitu kejam," lirihnya mencoba mengeluarkan sesak yang dia rasakan saat ini. "
Dikira Miskin (Extra Part) *** Lima bulan kemudian .... "Hai ... lama tidak bertemu, usia berapa kandungan kamu?" Sea menoleh dan mendapati sosok Nando tengah berdiri dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku celana. "Se?" "Ah, maaf, Bang. Aku ... kaget aja tiba-tiba kamu muncul disini," celetuk Sea gugup. "Sendirian, Bang?" "Ya, karena wanita yang hampir menemani masa tuaku ternyata lebih memilih pria lain. Takdir memang selucu itu, Se." Sea membuang muka. Ada perasaan sedih ketika melihat Nando yang masih mengingat dirinya bahkan disaat dia dan Tirta sedang bahagia menanti buah hati mereka lahir. "Maaf, Bang." Nando terkekeh. "Aku baik-baik saja, Sea. Mungkin Tuhan memang melindungi kamu dari pria tua sepertiku." Sea menggeleng samar. Kedua matanya berembun melihat raut putus asa di wajah Nando. "Sudah kukatakan, kamu pasti mendapatkan wanita yang jauh lebih baik, Bang." "Sendirian?" tanya Nando mengalihkan pembicaraan. Sea mengangguk samar, "Mas Tirta sibuk ngurus Caf
Dikira Miskin (TAMAT)***Satu tahun kemudian ...."Pulang dulu, Sayang. Brian pasti nyariin kamu," kata Bagas lembut. Anita mendongak, kedua matanya memerah dengan bekas air mata yang di pipi. "Sebentar lagi ya, Mas. Sebentar saja," rengeknya manja. Jemarinya yang lentik mengusap-usap pusara kedua orang taunya bergantian, lalu beralih pada pusara Haryati yang nampak segar dengan bunga-bunga yang Anita taburkan barusan. "Brian sudah bisa berjalan, Yah. Kalau saja Ayah dan Ibu masih ada ....""Nit ...." Suara Bagas mengambang di udara. Kehilangan adalah hal yang paling menakutkan baginya. "Biarkan mereka semua tenang di alam sana. Ayo pulang!"Anita bergeming. Matanya semakin sembab karena sudah hampir satu jam ia menangis di pusara tiga orang tercintanya. Haryati sengaja di kuburkan tepat di samping anak dan menantunya. "Semua terasa begitu cepat, Mas.""Takdir Tuhan adalah misteri, apalagi kematian ... semua tidak ada yang tahu sampai kapan batas usia mereka, Sayang. Berhenti berse
***"Darimana kamu tahu kalau Bang Nando menaruh hati pada Sea, Sayang?"Anita mengedikkan bahu. Dia bangkit dan berjalan menjauhi Bagas yang saat ini nampak cengo karena keterkejutannya barusan."Anita ...," pekik Bagas tertahan mengingat sekarang dia sedang berada diantara banyak tamu undangan.Anita menghentikan langkah dan bergelayut manja di lengan Halimah. Wanita cantik itu sekarang tidak segan-segan untuk memeluk mertuanya karena selama ini Halimah memang mencurahkan perhatiannya pada Anita."Bawa Anita pulang, Gas. Dia pucat sekali," ucap Halimah panik. Dia mengusap-usap pipi menantunya dengan lembut. "Pulanglah, acaranya mungkin akan selesai agak malam. Kamu istirahat saja, biar Ibu yang menjelaskan pada Sea nanti."Anita mengangguk patuh. Dia mengikuti langkah Bagas dengan jemari yang saling bertaut. Acara pernikahan Sea memang di adakan di sebuah hotel ternama, perjalanan untuk pulang ke rumah mereka pun menempuh waktu sekitar dua puluh menit."Kamu belum menjawab pertanyaa
***"Nit, kami ...."Anita beralih menatap Tomi dan Gina. Sorot matanya penuh selidik sampai suara Sea membuatnya tiba-tiba terpekik dan berjingkrak bahagia seperti gadis kecil yang mendapat mainan. "Kami ... sebentar lagi akan menikah.""Hah? Serius, kalian ... tidak lagi membohongi aku kan?"Sea menggeleng. Dia merentangkan tangan untuk menyambut tubuh Anita, sahabat yang paling baik yang ia punya selama ini. Sea dan Tirta tertawa ketika Anita jingkrak-jingkrak senang dengan kabar yang ia dengar."Kamu membuatku takut, Se!" Anita mengusap air mata sambil memeluk Sea. "Kalian ... akhirnya. Ya Tuhan!" Anita kembali memekik bahagia. Dia mengurai pelukan dan berlari menuju Gina. Tanpa aba-aba lagi, kedua wanita beda generasi itu saling memeluk dan menangis lirih. Betapa Tomi merasa haru dengan suasana di depan matanya. Siapa sangka, restu yang ia berikan justru memberikan kebahagiaan bagi banyak orang, tidak hanya Sea dan Tirta. "Kami sudah lelah menangis, Nit. Ayolah, kalau kamu masi
***"Brengsek! Berani-beraninya dia ngusir kita, Mas?!" jerit Nayna marah. Bibirnya mengerucut sembari satu tangan mengusap dahi yang mulai berpeluh. "Harusnya kamu bisa tegas sama istrimu itu, Mas! Bagaimanapun kamu adalah kepala keluarga, jangan lembek gini dong!" Suara Nayna semakin membuat kepala Rayan berdenyut nyeri. "Diam, Nay!""Kenapa kamu malah bentak aku? Harusnya kamu bentak saja di Prisa yang kurang ajar itu!""Semua ini salah kamu! Murahan! Kamu bisa kan bersikap baik di depan Prisa bukan malah menyulut pertengkaran seperti ini!""Ya, ya! Salahkan saja aku terus, Mas! Bela wanita mandul yang tidak berguna itu! Aku muak melihat sikapmu yang lemah di depan Prisa!"Plak ....Nayna memegang pipi kanannya yang terasa panas. Tidak ada air mata melainkan hanya kemarahan yang bersarang di dadanya saat ini. "Tampak! Tampar yang banyak kalau perlu bunuh sekalian bayimu ini! Pria miskin! Aku menyesal mau mengakui anak ini sebagai darah dagingmu!"Rayan mengusap wajahnya kasar. Pe
***Tirta dan Sea bergeming. Ucapan Tomi membuat rasa percaya diri Tirta yang sempat tumbuh terasa dihempas begitu saja. Ternyata, setelah bisa mendapatkan kembali hati Sea, ia harus melalui satu jalan lagi yaitu Tomi dan Gina. "Ada banyak pria di luaran sana, Sea! Kamu cantik, mandiri dan ... kamu bisa mencari pria lain tanpa harus terjebak dengan pria yang sama!" ucap Tomi marah. "Kamu lupa ... dia bahkan rela memohon agar wanita yang sudah membuatmu celaka itu bebas. Jangan bodoh!"Sea menunduk. Bodoh! Ya, dia memang sudah bodoh karena setelah berbulan-bulan terlewati, perasaannya pada Tirta terus saja tumbuh tanpa sedikitpun berkurang. Gina mengusap lengan Tomi dengan lembut. Kedua matanya menatap Sea dengan nanar. Putri yang ia anggap sudah melupakan Tirta ternyata masih memiliki perasaan yang begitu besar untuk pria itu."Dia sudah membuatmu terluka, Se. Apa kamu pikir Ayah akan melepaskanmu dengan pria yang sudah pernah membuatmu kecewa?""Yah ....""Tidak!" sahut Tomi tegas.
***Sea dan Tirta terlonjak. Wanita itu mengurai pelukan saat kedua matanya mulai terbuka dan mendapati sosok Freya berdiri di ambang pintu dengan air muka kebingungan."Fre mau ikut peluk," ucapnya polos. Sea merentangkan tangan dan menghambur di pelukan Sea. Bibirnya terus mengukir senyum seolah-olah dua pasangan di depannya bukanlah sebuah ancaman bagi Papanya. "Ini siapa, Tante? Papa ...." Freya memanggil Hamka ketika pertanyaannya tidak kunjung mendapat jawaban dari mulut Sea. "Ayo, sini! Kita pelukan sama-sama!"Brenda membuang muka. Sedikit banyak dia mulai mengerti apa yang sedang terjadi di depan matanya. Melihat Freya yang begitu dekat dengan Sea sudah memberikan jawaban atas pertanyaan Brenda pada Hamka tadi."Kalian ... di-- dia kenal Sea?" tanya Brenda terbata. "Kalian ... sudah saling mengenal?"Hamka mengangguk sambil tersenyum tipis. Pria itu melangkah mendekati Freya dan meninggalkan Brenda di depan toko dengan rasa cemas yang luar biasa."Hai ...," sapa Hamka. "Maaf
***"Se, tolong dengarkan aku!" pinta Tirta memelas. Dia melangkah mendekati Sea yang memunggunginya sembari menutup telinga dengan dua tangan seakan-akan tidak ada yang ingin dia dengarkan dari mulut Tirta. "Aku datang hanya ingin menjelaskan semuanya. Setelah itu semua keputusan terserah padamu. Aku ... hanya ingin meminta maaf atas semua rasa kecewa yang kamu rasakan.""Untuk apa meminta keputusan dariku, Mas? Bukankah kamu sudah memutuskan semuanya sendiri? Kamu lebih memilih wanita itu daripada aku yang ... aku yang tidak sedang mengandung anakmu!" "Dia bukan anakku, Sea!""Dan aku tidak peduli!" teriak Sea. Air matanya berlomba-lomba untuk meluncur bebas ke pipi. "Anakmu atau bukan, yang jelas kamu sudah memilih Nayna daripada aku! Dan itu ... sudah cukup membuatku paham jika nama Nayna berada di posisi tertinggi dalam hatimu."Tirta menunduk. Langkahnya terhenti ketika Sea sudah berada tepat di depan matanya. "Bahkan setelah melukai hatiku berkali-kali, kamu datang dengan wani
***"Mana sarapan untukku?"Nayna duduk di kursi makan dengan melipat tangan. Persis seperti seorang anak kecil yang sedang menunggu sarapannya tersaji."Coba ulangi lagi!"Nayna mendengus kesal. "Ck! Jangan cari gara-gara ya, Mbak. Ini masih pagi, mood ku juga sedang buruk, kamu nggak mau kan kalau sampai aku ngadu ke Mas ....""Kamu pikir aku takut?""Ouh, jadi nantangin? Kamu mau tau siapa yang akan dipilih oleh suami kamu, begitu?" angkuh Nayna. "Lihat! Di perutku ada kehidupan lain, dia yang bertahun-tahun lamanya sangat diinginkan oleh Mas Rayan, yakin kalau aku merajuk dia bakalan lepas kamu begitu saja?"Wanita yang usianya jauh lebih tua di banding Nayna itu tertawa sumbang. Ya, tidak mengelak jika hadirnya seorang bayi adalah keinginan dia dan Rayan selama bertahun-tahun menjalani biduk rumah tangga. Tapi tidak dengan bayi dalam hubungan yang kotor. Rayan sudah mencurangi pernikahan mereka."Kenapa diam,