Dering panggilan pada gadget Parveen memecah keheningan diantara ketiganya.Sebuah nomor yang diberi nama Helen terpampang jelas di layar, membuat sang empunya mengernyit heran."Ada apa? Tumben sekali telepon malam-malam." Parveen bergumam."Kenapa, Nak?" tanya Amber."Ini, Nona Helen tumben menelpon malam-malam begini," jawab Parveen."Helen?""Sekretaris Devan.""Oooh, mungkin ada hal penting.""Mungkin. Aku angkat dulu, ya.""Iya, angkatlah. Jangan lupa di loud speaker biar kami juga bisa mendengarkan," perintah Bamantara.Setelah menggeser gambar berlogo gagang telepon warna hijau, Parveen melakukan apa yang disuruh Opa-nya tersebut."Selamat malam, Nona Parveen. Maaf mengganggu istirahat Anda," sapa Helen."Malam, Nona Helen. Tak apa, saya tidak sedang sibuk apapun, kok. Ada yang bisa dibantu, Nona?" sahut Parveen."Tidak ada, hanya ingin tahu saja perkembangan design Anda, apakah sudah mulai pembuatan? Pak Devan ingin mengetahui sejauh mana pengerjaannya.""Benarkah? Bahkan bel
Keesokan harinya ...Jasmin sudah bersiap dengan penampilannya yang cetar membahana. semalam dia mendapatkan kabar dari pihak butik untuk mendatangi butik pagi itu, guna menandatangani kontrak.Menggunakan dress satin sepaha, Jasmin terlihat cantik. Apalagi perpaduan mini dress berwarna merah yang begitu kontras dengan warna kulit tubuhnya yang berwarna kuning langsat. Sayangnya, semua itu terkalahkan oleh syal bulu warna biru terang yang melilit di lehernya. Ditambah high heels merah terang yang mencolok setiap mata yang memandang.Dengan jalan berlenggak lenggok Jasmin menenteng tas nya keluar dari kamar."Selamat pagi semuanya. Maaf, pagi ini aku tidak bisa ikut sarapan. Aku sudah ditunggu di butik," sapa Jasmin ketika melihat mama dan kakaknya di meja makan.Yumna menelisik penampilan adiknya. "Cantik banget kamu. Udah kayak model profesional," pujinya."Iya dong, Kak. Aku kan calon model sukses," sahut Jasmin membanggakan diri."Pemilik butiknya laki-laki atau perempuan? Kalau lak
"Apa! Asisten?" pekik Jasmine tak percaya. Bola matanya melebar seperti hendak keluar."Betul. Kita sudah sepakat sebelumnya. Anda sudah tandatangan kontrak bukan?" Nita tetap dengan santai menanggapi."Gak! Gak mau! Saya datang ke sini bukan untuk jadi asisten. Saya ingin jadi model, Mba!" seru Jasmin kehilangan kesabaran."Terserah. Anda sudah tandatangan secara sadar. Jika Anda tidak percaya, silakan baca baik-baik surat kontrak ini."Nita gegas mencari kertas yang telah dibubuhi tanda tangan Jasmin."Ini. Bacalah!"Jasmin buru-buru menyambar kertas putih yang sudah memang sudah dirinya beri tanda tangan. Dia membaca poin demi poin di dalamnya.Ternyata di kertas itu begitu jelas tertulis bahwa; Dia hanya menjadi model cadangan saja, sekaligus merangkap asisten model jika tidak ada pekerjaan."Bagaimana mungkin?" gumam Jasmin terkejut. Bayangan dirinya menjadi bintang yang dihujani banyak jepretan kamera pupus sudah. Apalagi dikontrak itu juga tertulis selama tiga tahun ia harus be
"Apa maksudmu dengan rumah dan mobil? Bukankah rumah itu jelas-jelas atas namamu dan kamu yang membelinya?" tanya Sundari."I-itu, anu, Ma. Maksudku----" "Anu apa? Pasti ada yang kamu sembunyikan dari Mama, iya kan? Katakan sejujurnya, Kamil!" Cecar Sundari mendesak."Oke! Akan aku ceritakan semuanya." Kamil akhirnya menyerah. Dia akan ceritakan semua kebodohannya sendiri yang selama ini dia simpan."Cepetan!" Yumna ikut mendesak."Jadi, rumah itu sudah dibayar lunas oleh ayahnya Della beberapa bulan lalu. Begitu pun mobilnya," terang Kamil."Bagus dong, berarti sekarang kamu sudah tidak punya cicilan lagi," ucap Yumna."Iya, Kak. Tapi semua sudah berbalik nama menjadi atas nama Della," imbuh Kamil yang membuat saudara serta mamanya begitu kaget."Hah! Bagaimana ceritanya? Kamu ditipu?" Meski syok, Sundari masih bertanya."Kerjaanku sempat kacau setelah kejadian malam penggerebekan itu. Alhasil banyak kerugian yang aku timbulkan. Demi bisa tetap bekerja di sana, aku harus membayar ga
Sepanjang perjalanan pulang, Kamil terus terngiang ucapan kakaknya."Jangan perlihatkan emosi di depan Della. Bersikaplah seolah tidak terjadi apa-apa. Cari bukti yang kuat, setelah itu kita lumpuhkan Della dan keluarganya yang sok kuasa itu."Belum lagi video-video kemesraan istrinya dengan laki-laki lain bagai roll film yang terus diputar berulang kali di kepalanya. Dipukulnya gagang setir berulang kali menggunakan kepalan tinjunya sebagai pelampiasan kekesalan yang hampir meluap dari ubun-ubun. Jika boleh, dia juga ingin berteriak sekencang mungkin sebagai bentuk penyesalannya telah menyia-nyiakan wanita tulus seperti Syakila. Namun, dia laki-laki, tidak sepantasnya berteriak di dalam mobil, apalagi ia dalam keadaan sedang menyetir.Andaikan waktu bisa diputar, Kamil lebih baik tidak mengenal Della sama sekali. Dia akan tetap bersama Syakila, menuruti kata hatinya yang hingga kini masih terpaut namanya, tanpa bisa tergantikan oleh siapapun.Malam sudah sedikit larut ketika Kamil s
Namun, tiba-tiba Aira menjerit."Aaaaarrrggg ..."Devan terlonjak lantas membawa Aira kembali dalam pelukannya. "Ada apa!" serunya sembari celingukan."Lihat, Dad! Ini!" Aira menepuk-nepuk pundak Devan untuk melihat ke arah gawai di tangannya.Mata Devan pun beralih pada benda yang ditunjuk Aira."Apa? Aira mau beli baju itu?" tanya Devan masih tak mengerti sebab gambar yang ditunjuk Aira hanya sebuah live jualan baju."Bukan, Dad. Ini mommy Kila!" tegas Aira, tetapi anak itu masih tak menyadari bahwa layar ponselnya telah bergulir."Oh, kirain ada apa. Kenapa pakai teriak segala!" ujar Devan masih santai, sedetik kemudian, "Hah! Mommy Kila?!" Matanya sampai mendelik melihat layar ponsel yang masih menyala."Iya, Daddy ...." Aira gemas."Tapi ... itu bukan mommy, Sayang. Itu yang live laki-laki loh, masa' dibilang mommy," ucap Devan setelah memperhatikan live itu.Barulah Aira menyadari bahwa; video streaming yang tadi memunculkan gambar wanita berhijab tengah bercerita, kini sudah b
Satu notifikasi masuk dalam ponsel Parveen. Notif pemberitahuan bahwa seseakun telah mengirimnya pesan di sebuah aplikasi tok tok.Dari layar ponselnya, Parveen bisa tahu bahwa seseakun itu adalah milik mantan calon ibu mertuanya, yang sesungguhnya ia juga merindukannya."Bu Sukoco ..." lirih Parveen dengan mata berkaca-kaca memandang nama yang tertera di layar ponselnya."Apa beliau juga mengetahui aku baru saja online? Oh, bodohnya aku ...." Parveen merutuki dirinya, mengapa dia tidak bisa menahan untuk tidak membuka kembali platform itu?Kalau begini, apa yang harus dirinya lakukan?"Baca atau abaikan ya? Aduh ..." resahnya.Parveen mondar mandir di dalam kamarnya. Sungguh, ini lebih membingungkan dari pada membuat sebuah desain. Ah, andai tadi dia tidak menuruti keinginan hatinya, pasti hal semacam ini tidak akan ia rasakan. Kini, mau tidur pun rasanya kantuk tak jua menyerang.Dia duduk di sofa panjang. Bersandar sembari mengurut pelipis yang mulai terasa nyeri. Dengan kondisinya
Tok! Tok! Tok!"Assalamualaikum."Wanita dengan style syar'i warna mocca tanpa niqab mendongak, setelah mendengar salam dan pintu ruangannya di ketuk. Seketika senyum manisnya terbit kala melihat lelaki manis berkacamata berkunjung ke butiknya."Wa'alaikumsalam, Hai, masuklah," sapanya mempersilakan tamunya.Ryan pun dengan senang hati berjalan pada sofa yang tersedia di ruangan itu.Benar, Ryan yang berkunjung ke butik Parveen, saat jam makan siang setelah mendapat kabar dari Amber, bahwa; Subuh tadi Parveen ditemukan tidur di atas karpet dengan mukena lengkap yang masih melekat padanya."Bagaimana keadaanmu?" tanya Ryan setelah duduk di sofa.Parveen terkekeh seraya beranjak mendekati Ryan. "Kukira hanya aku yang selalu terbuka padamu, ternyata Oma pun sama.""Beliau hanya mengkhawatirkan mu.""Ya, aku tahu. Aku bahagia akhirnya ada orang yang mengkhawatirkanku.""Tidak semua orang seperti masalalu mu, Veen. Jika kau terus beranggapan seperti itu, percuma saja obat yang rutin kau ko
Kamil menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, memutarnya dengan mata yang menatap lurus ke depan seperti seekor ular yang siap menyemburkan bisanya. Tanpa ekspresi, dia mendekati Syakila yang masih memejamkan mata lalu membopongnya seperti karung beras, membawanya ke dalam mobil.Beberapa minggu lalu, ketika ia berhasil meracuni polisi yang berjaga kemudian kabur dari lapas, Kamil mendatangi salah satu anak buahnya yang tak tertangkap dan meminta mobil untuk dikendarai. Dibantu oleh anak buahnya itulah akhirnya Kamil berhasil menyelinap ke vila yang disewa Devan, menyamar sebagai penjaga keamanan di sana setelah berhasil membuat penjaga aslinya harus cuti.Dalam hatinya, Kamil bertekad untuk dapat bersatu dengan Syakila, apapun caranya. Jika dia tak bisa memiliki, maka orang lainpun tak ada yang boleh memiliki. Jika tak bisa bersatu di dunia, di alam lain pun Kamil tak keberatan. Dan kini, laki-laki yang jiwanya terganggu itu telah bersiap untuk melakukan sesuatu.****"Pasti ada
"Syakila ..." Telinga tajam Devan dapat mendengar suara gelas yang jatuh. Gegas pria bergaya rambut Taper Fade itu naik ke atas kolam dan berjalan ke dapur, tanpa peduli cipratan air yang berjatuhan di lantai."Sayang, kamu gak pa-pa?" teriaknya terus berjalan.Sunyi. Tak ada jawaban apapun. Langkahnya semakin cepat dan pasti. Namun, ketika sampai dapur, tak ada siapapun di sana. Hanya pecahan gelas yang berserakan di lantai.Devan panik. Seketika ia mengitari sekitaran sambil terus memanggil istri tercintanya."Syakila ...""Sayang, kamu di mana?"Terus mencari ke setiap ruangan di vila, tetapi hasilnya nihil. "Sayang, bercandanya gak lucu loh. Kamu di mana ?" Devan masih berfikir positif. Mungkin istrinya ingin bermain-main dengannya."Sayang, ayolah. Keluar dong. Aku dah kedinginan nih, mau ganti baju. Temenin yuk." Devan terus berbicara sendiri sambil terus mencari.Hampir seluruh ruangan ia datangi, dan hasilnya tetap kosong. Panik, Devan mulai sangat panik. Apa yang terjadi de
"Kenapa seperti ada yang mengikuti ya?" gumamnya, lalu menoleh ke belakang. Tetapi tak ada siapapun di sana. Jalanan sepi."Mas, ayok!" teriak Syakila yang sudah lebih dulu berjalan."Eh, iya, Sayang." Devan terkesiap kemudian menyusul, ikut mengantri bersama sang istri.Beberapa orang yang juga membeli bubur mengajak mereka ngobrol. Ada yang sama-sama pendatang, ada juga yang asli penduduk setempat. Syakila dan Devan menyukai keramahan penduduk di sekitar villa yang mereka sewa."Ini buburnya, Neng," ucap si penjual bubur pada Syakila, setelah beberapa waktu mengantri."Iya, Mang. Terima kasih." Syakila menerima kantong kresek berisi bubur, sementara Devan yang membayarnya."Mari, Ibu-ibu, kami duluan," pamitnya pada ibu-ibu yang masih mengantri."Mari, Neng, A, selamat liburan ya, semoga sukses," sahut seseibu dengan lantang."Sukses apa nih, Bu?" Devan sengaja menanggapi, karena tertarik dengan misteri di balik kata 'sukses' itu."Ya sukses jadi belendung atuh, hamil teh. Apalagi c
"Sayang ... Ahh...."Untuk yang kedua kalinya Devan mencapai puncak kenikmatan bersama Syakila di villa. Sepasang suami istri itu benar-benar menikmati bulan madu kedua ini. Hampir tak terlewatkan oleh mereka aktivitas saling mencintai, dan memadu kasih begitu mereka sampai di tempat penginapan itu. Apalagi Devan memilih villa yang lumayan jauh dari keramaian. menurutnya agar aktivitas mereka lebih privasi. Tentu hal itu semakin membuat mereka semakin intens.Dua manusia berlawanan jenis itu masih tersengal dengan napas memburu di balik selimut putih yang menutupi tubuhnya. "Kau benar-benar hebat, Sayang. Terima kasih." Devan memberikan pujian pada sang istri karena berhasil mengimbangi permainannya yang brutal.Lelaki itu betul-betul merindukan momen ini. Bagaimana tidak? Kemarin-kemarin dia terpaksa harus puasa menjamah tubuh indah Syakila. Banyak kejadian tak terduga yang mereka alami."Sama-sama, Mas. Kamu juga hebat. Masih gagah seperti yang dulu," sahut Syakila dengan suara ber
"Bu, Opa, dan Oma, weekend besok aku sama Syakila ada rencana liburan ke villa. Eum, kalau boleh kita mau nitip Aira, gak lama kok, cuma dua hari." Dengan sedikit malu Devan meminta izin saat mereka sedang bersantai di depan televisi.Aira sendiri sudah lebih dulu terlelap ditemani mommy-nya di kamar. Jadi anak itu tidak protes ketika daddy-nya akan pergi berdua saja dengan sang mommy."Tentu saja boleh, Nak. Kalian memang perlu liburan setelah semua yang kalian alami," ucap Sukoco."Ibumu benar, Dev. Pergilah, buat hari-hari kalian menyenangkan." Bamantara menimpali."Sola Aira, kami siap menjaganya. Dia anak yang baik, pasti akan mengerti." Amber juga mengeluarkan pendapatnya."Terima kasih, semuanya. Aku akan beri tahu kabar ini pada Syakila." Devan terlihat bahagia. Bulan madu kedua ini pasti akan menyenangkan."Ah, bagaimana kalau kita ajak Aira menengok rumah kita, Sayang. Supaya dia tidak sedih kalau daddy dan mommy-nya pergi berlibur," usul Amber pada suaminya."Ide yang bagus
Devan memandang layar ponselnya dengan alis berkerut. "Panggilan tak terjawab?" gumamnya sambil membuka notifikasi. "Jo? Kok banyak banget panggilannya?" Ia menghela napas panjang, merasa bersalah telah melupakan handphonenya sejak sore tadi.Devan benar-benar tenggelam dalam waktu berkualitas bersama Syakila, sang istri. Mereka berdua memanfaatkan momen langka tanpa gangguan. Rasanya nyaman bisa menikmati hari hanya berdua, tanpa memikirkan urusan luar. Andai saja Aira, putri kecil mereka, tidak mengetuk pintu kamar untuk mengingatkan waktu sholat Maghrib, mungkin mereka masih saja berlama-lama berbincang di kamar.Kini, setelah sholat berjamaah bersama keluarga, Devan baru menyadari betapa banyak panggilan dari Jo. Ia mencoba menelepon balik, tetapi panggilannya tak dijawab."Kenapa, Mas?" suara lembut Syakila menyadarkannya. Wanita itu mendekat, membawa segelas teh hangat, lalu duduk di sampingnya di atas karpet ruang keluarga.Devan menunjukkan layar ponselnya. "Jo telepon berkali
Teriakan di luar membuat semua orang terhenti. Jo, Alex, dan anak buahnya langsung berlari mengejar, meninggalkan Devan, Syakila, dan Bamantara yang masih terkejut di dalam ruangan.“Bagaimana dia bisa kabur?!” Devan menggeram.“Mas, biarkan mereka yang urus,” ujar Syakila dengan suara gemetar, memegang lengannya.Devan menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Namun, di matanya, api kemarahan terhadap Kamil belum padam.Di luar gedung, Kamil dengan kondisi babak belur berlari sekuat tenaga. Tali yang mengikat tangannya rupanya berhasil ia lepas dengan pisau kecil yang tersembunyi di sepatunya. Para pengejarnya masih mengejar dari belakang, namun Kamil menemukan sebuah celah di pagar dan melarikan diri ke jalan raya yang cukup gelap.Dia mengira dirinya aman, sampai sirine polisi tiba-tiba terdengar semakin mendekat. Sebuah mobil patroli berhenti tepat di hadapannya, membuatnya panik.“Angkat tanganmu!” teriak salah satu petugas sambil mengarahkan senjatanya.Namun, Kamil tid
Pintu yang tiba-tiba terbuka itu mengagetkan semua orang di dalam ruangan. Kamil langsung berbalik, matanya menyipit marah. "Siapa di sana?!" teriaknya dengan nada tinggi penuh ancaman. Setelah menoleh dengan harapan yang hampir padam, sosok Devan berdiri tegap di ambang pintu dengan wajah yang penuh luka, tetapi matanya menyala dengan amarah yang tak terbendung. Di belakangnya Alex dan Jo berdiri, masing-masing memegang senjata seadanya."Permainanmu sudah selesai, bajingan!"ujar Devan dengan nada dingin namun tegas. Kamil tertawa sinis. "Oh, jadi kalian yang datang ke sini? Lucu sekali. Apa kalian juga ingin menyaksikan pernikahanku dengan Syakila?""Diam kau, Brengsek! Itu tidak akan pernah terjadi!" Devan berteriak dengan amarah yang kian menyala."Oh, ya? Apa hakmu melarang kami menikah? Kau bukan siapa-siapanya Syakila sekarang.""Dia istriku, brengsek!" Untuk kesekian kalinya Devan berteriak penuh emosi."Itu dulu, sebelum kamu menceraikannya. Tapi sekarang ....?Devan tak la
Devan mengepalkan tangannya erat-erat, pandangannya terpaku pada gedung tua di depan mata. Cahaya remang dari lampu jalan membuat tempat itu terlihat lebih mengerikan, seolah menyimpan ribuan rahasia gelap. Di sampingnya Jo dan Alex berdiri dengan wajah tegang. "Kita harus cepat," bisik Devan, menggenggam erat linggis di tangannya. Alex mengangguk. "Aku sudah periksa, penjaga hanya ada dua orang di dalam.""Aku tidak peduli berapa banyak penjaga di sana," balas Jo seraya menggenggam obeng besar di tangannya. "Kita lakukan ini bersama. Jangan pikiran Kamil, fokus selamatkan Opa." Alex menepuk pundak Devan dari belakang.Devan mengangguk. Ia tahu Kamil bukan hanya seorang pengancam biasa. Gangguan jiwanya yang dipenuhi obsesi berlebihan terhadap istrinya, telah membuatnya menjadi sosok yang berbahaya. Mereka harus bergerak cepat sebelum Kamil melakukan sesuatu yang lebih buruk. "Ayok!"Dengan langkah pelan mereka mendekati pintu besi gudang. Alex menyelinap lebih dulu, memastikan si