Sepanjang perjalanan pulang, Kamil terus terngiang ucapan kakaknya."Jangan perlihatkan emosi di depan Della. Bersikaplah seolah tidak terjadi apa-apa. Cari bukti yang kuat, setelah itu kita lumpuhkan Della dan keluarganya yang sok kuasa itu."Belum lagi video-video kemesraan istrinya dengan laki-laki lain bagai roll film yang terus diputar berulang kali di kepalanya. Dipukulnya gagang setir berulang kali menggunakan kepalan tinjunya sebagai pelampiasan kekesalan yang hampir meluap dari ubun-ubun. Jika boleh, dia juga ingin berteriak sekencang mungkin sebagai bentuk penyesalannya telah menyia-nyiakan wanita tulus seperti Syakila. Namun, dia laki-laki, tidak sepantasnya berteriak di dalam mobil, apalagi ia dalam keadaan sedang menyetir.Andaikan waktu bisa diputar, Kamil lebih baik tidak mengenal Della sama sekali. Dia akan tetap bersama Syakila, menuruti kata hatinya yang hingga kini masih terpaut namanya, tanpa bisa tergantikan oleh siapapun.Malam sudah sedikit larut ketika Kamil s
Namun, tiba-tiba Aira menjerit."Aaaaarrrggg ..."Devan terlonjak lantas membawa Aira kembali dalam pelukannya. "Ada apa!" serunya sembari celingukan."Lihat, Dad! Ini!" Aira menepuk-nepuk pundak Devan untuk melihat ke arah gawai di tangannya.Mata Devan pun beralih pada benda yang ditunjuk Aira."Apa? Aira mau beli baju itu?" tanya Devan masih tak mengerti sebab gambar yang ditunjuk Aira hanya sebuah live jualan baju."Bukan, Dad. Ini mommy Kila!" tegas Aira, tetapi anak itu masih tak menyadari bahwa layar ponselnya telah bergulir."Oh, kirain ada apa. Kenapa pakai teriak segala!" ujar Devan masih santai, sedetik kemudian, "Hah! Mommy Kila?!" Matanya sampai mendelik melihat layar ponsel yang masih menyala."Iya, Daddy ...." Aira gemas."Tapi ... itu bukan mommy, Sayang. Itu yang live laki-laki loh, masa' dibilang mommy," ucap Devan setelah memperhatikan live itu.Barulah Aira menyadari bahwa; video streaming yang tadi memunculkan gambar wanita berhijab tengah bercerita, kini sudah b
Satu notifikasi masuk dalam ponsel Parveen. Notif pemberitahuan bahwa seseakun telah mengirimnya pesan di sebuah aplikasi tok tok.Dari layar ponselnya, Parveen bisa tahu bahwa seseakun itu adalah milik mantan calon ibu mertuanya, yang sesungguhnya ia juga merindukannya."Bu Sukoco ..." lirih Parveen dengan mata berkaca-kaca memandang nama yang tertera di layar ponselnya."Apa beliau juga mengetahui aku baru saja online? Oh, bodohnya aku ...." Parveen merutuki dirinya, mengapa dia tidak bisa menahan untuk tidak membuka kembali platform itu?Kalau begini, apa yang harus dirinya lakukan?"Baca atau abaikan ya? Aduh ..." resahnya.Parveen mondar mandir di dalam kamarnya. Sungguh, ini lebih membingungkan dari pada membuat sebuah desain. Ah, andai tadi dia tidak menuruti keinginan hatinya, pasti hal semacam ini tidak akan ia rasakan. Kini, mau tidur pun rasanya kantuk tak jua menyerang.Dia duduk di sofa panjang. Bersandar sembari mengurut pelipis yang mulai terasa nyeri. Dengan kondisinya
Tok! Tok! Tok!"Assalamualaikum."Wanita dengan style syar'i warna mocca tanpa niqab mendongak, setelah mendengar salam dan pintu ruangannya di ketuk. Seketika senyum manisnya terbit kala melihat lelaki manis berkacamata berkunjung ke butiknya."Wa'alaikumsalam, Hai, masuklah," sapanya mempersilakan tamunya.Ryan pun dengan senang hati berjalan pada sofa yang tersedia di ruangan itu.Benar, Ryan yang berkunjung ke butik Parveen, saat jam makan siang setelah mendapat kabar dari Amber, bahwa; Subuh tadi Parveen ditemukan tidur di atas karpet dengan mukena lengkap yang masih melekat padanya."Bagaimana keadaanmu?" tanya Ryan setelah duduk di sofa.Parveen terkekeh seraya beranjak mendekati Ryan. "Kukira hanya aku yang selalu terbuka padamu, ternyata Oma pun sama.""Beliau hanya mengkhawatirkan mu.""Ya, aku tahu. Aku bahagia akhirnya ada orang yang mengkhawatirkanku.""Tidak semua orang seperti masalalu mu, Veen. Jika kau terus beranggapan seperti itu, percuma saja obat yang rutin kau ko
"Dia ...?" Ryan semakin penasaran sebab Parveen menjeda ucapannya."Dia-pria-yang---" Belum selesai Parveen memberikan jawaban dengan terbata, tiba-tiba Ryan memotong ucapannya."Aku tak akan memaksamu. Siapapun dia, aku akan menunggu hatimu leluasa bercerita." Ryan mengulas senyum di bibirnya agar Parveen kembali rileks.Hal itu berhasil membuat perasaan gadis itu membaik. "Terima kasih, Yan. Kau memang selalu mengerti aku.""Tidak perlu seperti itu, yang terpenting kau tetap sehat." Ryan mengelus kepala Parveen yang tertutup hijab.Bukan Devan tak mendengar obrolan dua orang yang satu ruangan dengannya, tetapi dia ingin menunjukkan bahwa dirinya pun bisa bersabar, dan membuat hati wanita pujaannya tenang. Jangan ditanya perasaan lelaki yang begitu mendamba Parveen, saat melihat interaksi Ryan yang terlihat begitu perhatian pada wanita terkasihnya. Andai tak mengingat di mana dirinya berada, dan bagaimana keadaan Parveen saat ini, mungkin sudah sejak tadi pipi mulus Ryan mendapat ha
Jasmin terus mengikuti mobil Devan hingga ke sebuah rumah sakit terdekat."Rumah sakit? Ngapain Mas Devan ke sini?" gumam Jasmin heran.Motornya berhenti di tepi jalan bersebrangan dengan gedung tinggi bertuliskan RSU Permata Medika. Ragu, ia pun akhirnya melanjutkan keingintahunannya. Kepalang tanggung, dia sudah mengikuti sejauh ini.Dari kejauhan, Jasmin dapat melihat Devan berteriak pada petugas medis sambil tergopoh membopong tubuh seorang wanita yang Jasmin belum ketahui identitasnya. Berjalan perlahan, dia terus memata-matai lelaki tampan incaran kakaknya, yang kini sudah duduk di depan ruangan bertuliskan UGD.'Siapa sih yang lagi ditungguin Mas Devan? Kelihatannya dia cemas sekali,' ucap Jasmin dalam hati.Matanya lekat, tak berpaling mengintai lelaki yang hatinya tak karuan menunggu kabar dokter yang memeriksa keadaan Parveen keluar.Seorang pria muda yang tadi sempat berkenalan dengan Devan, berlari kencang menuju ke ruangan UGD lalu masuk tanpa mempedulikan Devan."Hah! K
"Oh! Jadi begitu kelakuanmu di belakangku, Mas!"Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara Della memekik. Kamil menegang, seketika membalikkan handphone-nya ke atas meja. Perlahan, kepalanya menoleh pada Della yang sudah berwajah merah menahan amarah."De-dela ....""Apa!" Dela melotot tajam, lalu mendekat dan merebut handphone suaminya."Jangan, Del!" Seru Kamil yang tak diindahkan.Della tersenyum getir saat melihat dengan jelas sosok wanita berhijab di handphone suaminya. "Perempuan kampung ini lagi, cih! Gak level saingan sama dia!" ujarnya ketus."Sini handphone ku, Del," pinta Kamil."Gak!""Della, ayolah.""Aku akan kembalikan setelah gambar wanita kampungan ini aku hapus!" Della terlihat mengotak-atik benda pipih itu.Sigap, Kamil berusaha menggapai benda persegi itu di tangan istrinya, mencengkeram kuat pergelangannya, lalu menghempaskannya begitu saja setelah berhasil meraih apa yang dimaksud."Jangan campuri urusanku!" tekan Kamil, memandang tajam wajah Della.Napas Dell
"Apa!" Yumna terkejut, lalu mendekati adiknya. "Mas Devan ngapain di sana? Siapa yang sakit? Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya. Dia sulit sekali ditemui," imbuhnya memberondong pertanyaan sembari menabok pelan lengan Jasmin."Apaan sih, Kak, tabok-tabok. Aku juga gak tahu dia lagi ngapain di sana, makanya pengen ikut biar bisa tahu," sungut Jasmin."Kakak seneng banget akhirnya bisa denger kabar Mas Devan," ujar Yumna."Ya sudah, ayok semua siap-siap. Jangan lupa pesan taksi online sekarang, biar gak terlalu lama nungguinnya.Kemudian semua penghuni rumah itu bersiap menuju rumah sakit di mana Della sedang berjuang melahirkan bayinya, serta Parveen yang kini sudah siuman di ruang rawat ditemani oleh Devan dan kakek neneknya."Nak Devan, terima kasih sudah menunggu dan menjaga Parveen sejak siang tadi, tapi sekarang sudah malam, apa tidak sebaiknya kamu pulang dulu? Barangkali mau istirahat di rumah," ucap Amber mengusir secara halus.Dia terlihat tidak suka dengan keberada