"Oh! Jadi begitu kelakuanmu di belakangku, Mas!"Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara Della memekik. Kamil menegang, seketika membalikkan handphone-nya ke atas meja. Perlahan, kepalanya menoleh pada Della yang sudah berwajah merah menahan amarah."De-dela ....""Apa!" Dela melotot tajam, lalu mendekat dan merebut handphone suaminya."Jangan, Del!" Seru Kamil yang tak diindahkan.Della tersenyum getir saat melihat dengan jelas sosok wanita berhijab di handphone suaminya. "Perempuan kampung ini lagi, cih! Gak level saingan sama dia!" ujarnya ketus."Sini handphone ku, Del," pinta Kamil."Gak!""Della, ayolah.""Aku akan kembalikan setelah gambar wanita kampungan ini aku hapus!" Della terlihat mengotak-atik benda pipih itu.Sigap, Kamil berusaha menggapai benda persegi itu di tangan istrinya, mencengkeram kuat pergelangannya, lalu menghempaskannya begitu saja setelah berhasil meraih apa yang dimaksud."Jangan campuri urusanku!" tekan Kamil, memandang tajam wajah Della.Napas Dell
"Apa!" Yumna terkejut, lalu mendekati adiknya. "Mas Devan ngapain di sana? Siapa yang sakit? Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya. Dia sulit sekali ditemui," imbuhnya memberondong pertanyaan sembari menabok pelan lengan Jasmin."Apaan sih, Kak, tabok-tabok. Aku juga gak tahu dia lagi ngapain di sana, makanya pengen ikut biar bisa tahu," sungut Jasmin."Kakak seneng banget akhirnya bisa denger kabar Mas Devan," ujar Yumna."Ya sudah, ayok semua siap-siap. Jangan lupa pesan taksi online sekarang, biar gak terlalu lama nungguinnya.Kemudian semua penghuni rumah itu bersiap menuju rumah sakit di mana Della sedang berjuang melahirkan bayinya, serta Parveen yang kini sudah siuman di ruang rawat ditemani oleh Devan dan kakek neneknya."Nak Devan, terima kasih sudah menunggu dan menjaga Parveen sejak siang tadi, tapi sekarang sudah malam, apa tidak sebaiknya kamu pulang dulu? Barangkali mau istirahat di rumah," ucap Amber mengusir secara halus.Dia terlihat tidak suka dengan keberada
"Mau ke mana, Yum?" tanya Sundari.Yumna tak menoleh, dia terus berjalan sembari menjawab, "Tadi aku lihat Mas Devan di sana." Lalu dia mempercepat jalannya menuju pintu gerbang rumah sakit."Dia bilang apa? Cari Devan?" Sundari tampak bingung."Iya kali. Gak jelas," timpal Jasmin."Ikuti Kakakmu sana. Lihat dia mau ngapain? Masa cari Devan di jalan," perintah Sundari pada anak bungsunya."Gak, ah. Biarin aja, dia kan udah gede, Ma. Dia bawa handphone 'kan?" tolak Jasmin."hufh. Ya sudahlah. Ayo kita ke dalam saja."Pada akhirnya mereka berdua memilih untuk membiarkan Yumna mencari keberadaan Devan.Kakak dari Kamil itu celingukan mencari sosok yang selama ini begitu sulit ia temukan. Mana mungkin dia akan membiarkan begitu saja saat orang itu sudah di depan mata.Yumna segera berlari saat ekor matanya dengan jelas melihat dua orang lelaki berbeda usia di seberang jalan, tengah memasuki halaman sebuah geduh bertuliskan penginapan, yang memang disediakan untuk keluarga pasian apabila b
"Syakila. Dia ... Mas Devan ..." Yumna bergumam tak percaya melihat kenyataan di depannya.Ia menggeleng pelan. Mundur, sembari membekap mulutnya sendiri. Sungguh, ini di luar dugaannya. Ia pikir, Syakila sudah lenyap ditelan bumi. Sudah lebih dari tiga bulan setelah gadis itu menghilang, Yumna berusaha mencari tahu tentang keberadaannya, tetapi tak ada informasi secuil pun yang ia dapat.Pernah ia mendengar kabar kecelakaan di sekitar tempat menghilangnya Syakila, ciri dan penampilannya mirip dengan Syakila. Yumna begitu bahagia saat itu. Namun kini ..."Tidak! Tidak mungkin. Ini pasti salah. Dia bukan gadis kampung itu. Dia pasti hanya mirip. Ya, hanya kebetulan. Aku akan pastikan itu."Sembari memandang nanar pintu itu, Yumna terus melangkah ke belakang. Selanjutnya dia memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. Dia akan kembali setelah urusannya selesai. Tentu dengan rencana yang matang.***"Dari mana saja, sih, Kak. Laper tahu!" Jasmin langsung memprotes kakaknya yang baru muncu
'Mas Devan, tolong aku,' lirih Syakila memanggil Devan berharap segera kembali."Hei, kenapa badanmu bergetar begitu? Takut sama aku?" ledek Yumna.Syakila masih berjuang melawan sambaran trauma yang membuatnya ingin berteriak kencang. Guncangan dahsyat itu kembali mengusik otak dan hatinya.Berulang kali Syakila melafazkan asma Allah untuk meredam semuanya, sembari memejamkan mata dan meremas kuat selimut yang menutupi kakinya."Buka dong matanya. Masa ada yang jenguk kok malah ditinggal merem." Lagi, Yumna melontarkan ledekannya.Syakila masih pada posisinya, bergeming tanpa ingin membuka matanya.Hal itu semakin membuat emosi Yumna meledak. Tangannya gatal untuk segera memberikan pelajaran pada wanita di depannya. Dia mendekat. Mengguncang kasar lengan ringkih Syakila."Buka matamu, Bodoh! Dasar kampungan!" sergah Yumna masih kuat mencengkeram lengan gadis itu.'Tidak! Aku tidak boleh begini terus. Aku harus melawan. Ya Allah berikan aku kekuatan.' Hati Syakila terus memberikan supp
"Bagaimana keadaan Syakila, Yan?" Devan langsung menodong pertanyaan pada Ryan saat keluar dari ruangan Syakila.Terhitung tiga jam lebih Syakila tak sadarkan diri setelah mendapat suntikan obat penenang oleh dokter. Setelah siuman, Ryan memeriksanya, setelah sebelumnya diberi kabar oleh dokter di rumah sakit itu.Awalnya Ryan ingin merujuk Parveen ke rumah sakit tempatnya bekerja, agar lebih terkontrol olehnya, tetapi Parveen bersikeras menolaknya.Amber dan Bamantara sedang dalam perjalanan. Kedua orang itu sengaja tidak diberi tahu agar tidak membuat mereka cemas."Apa yang terjadi?" Bukannya menjawab, Ryan bertanya balik pada Devan."Orang yang menyebabkan Syakila seperti itu tiba-tiba datang menemuinya. Aku lengah. Kupikir aku akan meninggalkannya sebentar saja. Aku tidak tahu wanita ular itu ada di sini. Sampai firasat ku membawaku kembali ke sini, dan ternyata ...""Wanita? Bagaimana bisa?""Entahlah. Perempuan itu gila. Dia sangat berambisi melihat Syakila menderita?""Kau haru
"Halo!""Halo, Baby ... Lama tidak mendengar suaramu. Apa kabar, Sayang?"Yumna memutar bola mata jengah. Andai tak sedang membutuhkan bantuan, dia tidak akan menghubungi lelaki gendut, beruban, yang sebenarnya lebih pantas menjadi bapaknya."Bisa kita bertemu?""Ada apa ini? Apa kau sudah mulai merindukan belaianku?" "Di tempat biasa aku akan menunggumu, kalau kau tidak sibuk.""Tentu saja waktuku selalu ada untukmu, Sayang. Hubungi saja kalau sudah sampai, aku akan segera datang.""Hmmm." Hanya bergumam, Yumna lalu mematikan panggilannya.Selalu begitu. Dirinya seakan menjadi ratu bila bersama seseorang yang baru saja dihubunginya, apapun permintaannya akan dituruti oleh orang itu, meski akan selalu ada imbalan yang harus ia persembahkan.Tak masalah, toh hal itu pun sebenarnya dia nikmati. Hanya saja akhir-akhir ini dia merasa bosan dengan hidupnya. Dia ingin tantangan baru dengan mencoba menggaet Devan, pengusaha muda, gagah, tampan dan tentu lebih kaya dari seseorang itu.Namun,
Dia menghembuskan napas panjang. "Devan memang akan menikah di sini. Dengan wanita yang begitu Devan cintai. Dia ---"Drttt! Dertt!Kalimat Devan terpaksa berhenti karena ponsel dalam saku celananya bergetar."Sebentar, Bu. Devan angkat telpon dulu."Devan buru-buru merogoh sakunya untuk mengambil benda pipih pertanda ada panggilan masuk."Ya," ucapnya mengangkat panggilan.Bu sukoco hanya mengerutkan kening, ketika melihat putranya memasang wajah serius saat berbicara pada seseorang di balik telepon itu."Oke. Saya akan segera ke sana. Tunggulah sebentar lagi," pungkas Devan lalu memutuskan sambungan."Ada apa?" tanya Bu Sukoco yang sudah penasaran sejak tadi."Ayo, Bu. Kita tidak punya banyak waktu lagi." Devan dengan tergesa keluar dari mobil. Membuka pintu belakang, lalu mengambil alih menggendong Aira yang terlelap."Ayok, Bu," titah Devan lagi semakin membuat Bu Sukoco ikut tergesa.Orang tua Devan tersebut berpikir kalau wali dari gadis yang akan dinikahi anaknya mungkin dalam k
Kamil menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, memutarnya dengan mata yang menatap lurus ke depan seperti seekor ular yang siap menyemburkan bisanya. Tanpa ekspresi, dia mendekati Syakila yang masih memejamkan mata lalu membopongnya seperti karung beras, membawanya ke dalam mobil.Beberapa minggu lalu, ketika ia berhasil meracuni polisi yang berjaga kemudian kabur dari lapas, Kamil mendatangi salah satu anak buahnya yang tak tertangkap dan meminta mobil untuk dikendarai. Dibantu oleh anak buahnya itulah akhirnya Kamil berhasil menyelinap ke vila yang disewa Devan, menyamar sebagai penjaga keamanan di sana setelah berhasil membuat penjaga aslinya harus cuti.Dalam hatinya, Kamil bertekad untuk dapat bersatu dengan Syakila, apapun caranya. Jika dia tak bisa memiliki, maka orang lainpun tak ada yang boleh memiliki. Jika tak bisa bersatu di dunia, di alam lain pun Kamil tak keberatan. Dan kini, laki-laki yang jiwanya terganggu itu telah bersiap untuk melakukan sesuatu.****"Pasti ada
"Syakila ..." Telinga tajam Devan dapat mendengar suara gelas yang jatuh. Gegas pria bergaya rambut Taper Fade itu naik ke atas kolam dan berjalan ke dapur, tanpa peduli cipratan air yang berjatuhan di lantai."Sayang, kamu gak pa-pa?" teriaknya terus berjalan.Sunyi. Tak ada jawaban apapun. Langkahnya semakin cepat dan pasti. Namun, ketika sampai dapur, tak ada siapapun di sana. Hanya pecahan gelas yang berserakan di lantai.Devan panik. Seketika ia mengitari sekitaran sambil terus memanggil istri tercintanya."Syakila ...""Sayang, kamu di mana?"Terus mencari ke setiap ruangan di vila, tetapi hasilnya nihil. "Sayang, bercandanya gak lucu loh. Kamu di mana ?" Devan masih berfikir positif. Mungkin istrinya ingin bermain-main dengannya."Sayang, ayolah. Keluar dong. Aku dah kedinginan nih, mau ganti baju. Temenin yuk." Devan terus berbicara sendiri sambil terus mencari.Hampir seluruh ruangan ia datangi, dan hasilnya tetap kosong. Panik, Devan mulai sangat panik. Apa yang terjadi de
"Kenapa seperti ada yang mengikuti ya?" gumamnya, lalu menoleh ke belakang. Tetapi tak ada siapapun di sana. Jalanan sepi."Mas, ayok!" teriak Syakila yang sudah lebih dulu berjalan."Eh, iya, Sayang." Devan terkesiap kemudian menyusul, ikut mengantri bersama sang istri.Beberapa orang yang juga membeli bubur mengajak mereka ngobrol. Ada yang sama-sama pendatang, ada juga yang asli penduduk setempat. Syakila dan Devan menyukai keramahan penduduk di sekitar villa yang mereka sewa."Ini buburnya, Neng," ucap si penjual bubur pada Syakila, setelah beberapa waktu mengantri."Iya, Mang. Terima kasih." Syakila menerima kantong kresek berisi bubur, sementara Devan yang membayarnya."Mari, Ibu-ibu, kami duluan," pamitnya pada ibu-ibu yang masih mengantri."Mari, Neng, A, selamat liburan ya, semoga sukses," sahut seseibu dengan lantang."Sukses apa nih, Bu?" Devan sengaja menanggapi, karena tertarik dengan misteri di balik kata 'sukses' itu."Ya sukses jadi belendung atuh, hamil teh. Apalagi c
"Sayang ... Ahh...."Untuk yang kedua kalinya Devan mencapai puncak kenikmatan bersama Syakila di villa. Sepasang suami istri itu benar-benar menikmati bulan madu kedua ini. Hampir tak terlewatkan oleh mereka aktivitas saling mencintai, dan memadu kasih begitu mereka sampai di tempat penginapan itu. Apalagi Devan memilih villa yang lumayan jauh dari keramaian. menurutnya agar aktivitas mereka lebih privasi. Tentu hal itu semakin membuat mereka semakin intens.Dua manusia berlawanan jenis itu masih tersengal dengan napas memburu di balik selimut putih yang menutupi tubuhnya. "Kau benar-benar hebat, Sayang. Terima kasih." Devan memberikan pujian pada sang istri karena berhasil mengimbangi permainannya yang brutal.Lelaki itu betul-betul merindukan momen ini. Bagaimana tidak? Kemarin-kemarin dia terpaksa harus puasa menjamah tubuh indah Syakila. Banyak kejadian tak terduga yang mereka alami."Sama-sama, Mas. Kamu juga hebat. Masih gagah seperti yang dulu," sahut Syakila dengan suara ber
"Bu, Opa, dan Oma, weekend besok aku sama Syakila ada rencana liburan ke villa. Eum, kalau boleh kita mau nitip Aira, gak lama kok, cuma dua hari." Dengan sedikit malu Devan meminta izin saat mereka sedang bersantai di depan televisi.Aira sendiri sudah lebih dulu terlelap ditemani mommy-nya di kamar. Jadi anak itu tidak protes ketika daddy-nya akan pergi berdua saja dengan sang mommy."Tentu saja boleh, Nak. Kalian memang perlu liburan setelah semua yang kalian alami," ucap Sukoco."Ibumu benar, Dev. Pergilah, buat hari-hari kalian menyenangkan." Bamantara menimpali."Sola Aira, kami siap menjaganya. Dia anak yang baik, pasti akan mengerti." Amber juga mengeluarkan pendapatnya."Terima kasih, semuanya. Aku akan beri tahu kabar ini pada Syakila." Devan terlihat bahagia. Bulan madu kedua ini pasti akan menyenangkan."Ah, bagaimana kalau kita ajak Aira menengok rumah kita, Sayang. Supaya dia tidak sedih kalau daddy dan mommy-nya pergi berlibur," usul Amber pada suaminya."Ide yang bagus
Devan memandang layar ponselnya dengan alis berkerut. "Panggilan tak terjawab?" gumamnya sambil membuka notifikasi. "Jo? Kok banyak banget panggilannya?" Ia menghela napas panjang, merasa bersalah telah melupakan handphonenya sejak sore tadi.Devan benar-benar tenggelam dalam waktu berkualitas bersama Syakila, sang istri. Mereka berdua memanfaatkan momen langka tanpa gangguan. Rasanya nyaman bisa menikmati hari hanya berdua, tanpa memikirkan urusan luar. Andai saja Aira, putri kecil mereka, tidak mengetuk pintu kamar untuk mengingatkan waktu sholat Maghrib, mungkin mereka masih saja berlama-lama berbincang di kamar.Kini, setelah sholat berjamaah bersama keluarga, Devan baru menyadari betapa banyak panggilan dari Jo. Ia mencoba menelepon balik, tetapi panggilannya tak dijawab."Kenapa, Mas?" suara lembut Syakila menyadarkannya. Wanita itu mendekat, membawa segelas teh hangat, lalu duduk di sampingnya di atas karpet ruang keluarga.Devan menunjukkan layar ponselnya. "Jo telepon berkali
Teriakan di luar membuat semua orang terhenti. Jo, Alex, dan anak buahnya langsung berlari mengejar, meninggalkan Devan, Syakila, dan Bamantara yang masih terkejut di dalam ruangan.“Bagaimana dia bisa kabur?!” Devan menggeram.“Mas, biarkan mereka yang urus,” ujar Syakila dengan suara gemetar, memegang lengannya.Devan menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Namun, di matanya, api kemarahan terhadap Kamil belum padam.Di luar gedung, Kamil dengan kondisi babak belur berlari sekuat tenaga. Tali yang mengikat tangannya rupanya berhasil ia lepas dengan pisau kecil yang tersembunyi di sepatunya. Para pengejarnya masih mengejar dari belakang, namun Kamil menemukan sebuah celah di pagar dan melarikan diri ke jalan raya yang cukup gelap.Dia mengira dirinya aman, sampai sirine polisi tiba-tiba terdengar semakin mendekat. Sebuah mobil patroli berhenti tepat di hadapannya, membuatnya panik.“Angkat tanganmu!” teriak salah satu petugas sambil mengarahkan senjatanya.Namun, Kamil tid
Pintu yang tiba-tiba terbuka itu mengagetkan semua orang di dalam ruangan. Kamil langsung berbalik, matanya menyipit marah. "Siapa di sana?!" teriaknya dengan nada tinggi penuh ancaman. Setelah menoleh dengan harapan yang hampir padam, sosok Devan berdiri tegap di ambang pintu dengan wajah yang penuh luka, tetapi matanya menyala dengan amarah yang tak terbendung. Di belakangnya Alex dan Jo berdiri, masing-masing memegang senjata seadanya."Permainanmu sudah selesai, bajingan!"ujar Devan dengan nada dingin namun tegas. Kamil tertawa sinis. "Oh, jadi kalian yang datang ke sini? Lucu sekali. Apa kalian juga ingin menyaksikan pernikahanku dengan Syakila?""Diam kau, Brengsek! Itu tidak akan pernah terjadi!" Devan berteriak dengan amarah yang kian menyala."Oh, ya? Apa hakmu melarang kami menikah? Kau bukan siapa-siapanya Syakila sekarang.""Dia istriku, brengsek!" Untuk kesekian kalinya Devan berteriak penuh emosi."Itu dulu, sebelum kamu menceraikannya. Tapi sekarang ....?Devan tak la
Devan mengepalkan tangannya erat-erat, pandangannya terpaku pada gedung tua di depan mata. Cahaya remang dari lampu jalan membuat tempat itu terlihat lebih mengerikan, seolah menyimpan ribuan rahasia gelap. Di sampingnya Jo dan Alex berdiri dengan wajah tegang. "Kita harus cepat," bisik Devan, menggenggam erat linggis di tangannya. Alex mengangguk. "Aku sudah periksa, penjaga hanya ada dua orang di dalam.""Aku tidak peduli berapa banyak penjaga di sana," balas Jo seraya menggenggam obeng besar di tangannya. "Kita lakukan ini bersama. Jangan pikiran Kamil, fokus selamatkan Opa." Alex menepuk pundak Devan dari belakang.Devan mengangguk. Ia tahu Kamil bukan hanya seorang pengancam biasa. Gangguan jiwanya yang dipenuhi obsesi berlebihan terhadap istrinya, telah membuatnya menjadi sosok yang berbahaya. Mereka harus bergerak cepat sebelum Kamil melakukan sesuatu yang lebih buruk. "Ayok!"Dengan langkah pelan mereka mendekati pintu besi gudang. Alex menyelinap lebih dulu, memastikan si