'Mas Devan, tolong aku,' lirih Syakila memanggil Devan berharap segera kembali."Hei, kenapa badanmu bergetar begitu? Takut sama aku?" ledek Yumna.Syakila masih berjuang melawan sambaran trauma yang membuatnya ingin berteriak kencang. Guncangan dahsyat itu kembali mengusik otak dan hatinya.Berulang kali Syakila melafazkan asma Allah untuk meredam semuanya, sembari memejamkan mata dan meremas kuat selimut yang menutupi kakinya."Buka dong matanya. Masa ada yang jenguk kok malah ditinggal merem." Lagi, Yumna melontarkan ledekannya.Syakila masih pada posisinya, bergeming tanpa ingin membuka matanya.Hal itu semakin membuat emosi Yumna meledak. Tangannya gatal untuk segera memberikan pelajaran pada wanita di depannya. Dia mendekat. Mengguncang kasar lengan ringkih Syakila."Buka matamu, Bodoh! Dasar kampungan!" sergah Yumna masih kuat mencengkeram lengan gadis itu.'Tidak! Aku tidak boleh begini terus. Aku harus melawan. Ya Allah berikan aku kekuatan.' Hati Syakila terus memberikan supp
"Bagaimana keadaan Syakila, Yan?" Devan langsung menodong pertanyaan pada Ryan saat keluar dari ruangan Syakila.Terhitung tiga jam lebih Syakila tak sadarkan diri setelah mendapat suntikan obat penenang oleh dokter. Setelah siuman, Ryan memeriksanya, setelah sebelumnya diberi kabar oleh dokter di rumah sakit itu.Awalnya Ryan ingin merujuk Parveen ke rumah sakit tempatnya bekerja, agar lebih terkontrol olehnya, tetapi Parveen bersikeras menolaknya.Amber dan Bamantara sedang dalam perjalanan. Kedua orang itu sengaja tidak diberi tahu agar tidak membuat mereka cemas."Apa yang terjadi?" Bukannya menjawab, Ryan bertanya balik pada Devan."Orang yang menyebabkan Syakila seperti itu tiba-tiba datang menemuinya. Aku lengah. Kupikir aku akan meninggalkannya sebentar saja. Aku tidak tahu wanita ular itu ada di sini. Sampai firasat ku membawaku kembali ke sini, dan ternyata ...""Wanita? Bagaimana bisa?""Entahlah. Perempuan itu gila. Dia sangat berambisi melihat Syakila menderita?""Kau haru
"Halo!""Halo, Baby ... Lama tidak mendengar suaramu. Apa kabar, Sayang?"Yumna memutar bola mata jengah. Andai tak sedang membutuhkan bantuan, dia tidak akan menghubungi lelaki gendut, beruban, yang sebenarnya lebih pantas menjadi bapaknya."Bisa kita bertemu?""Ada apa ini? Apa kau sudah mulai merindukan belaianku?" "Di tempat biasa aku akan menunggumu, kalau kau tidak sibuk.""Tentu saja waktuku selalu ada untukmu, Sayang. Hubungi saja kalau sudah sampai, aku akan segera datang.""Hmmm." Hanya bergumam, Yumna lalu mematikan panggilannya.Selalu begitu. Dirinya seakan menjadi ratu bila bersama seseorang yang baru saja dihubunginya, apapun permintaannya akan dituruti oleh orang itu, meski akan selalu ada imbalan yang harus ia persembahkan.Tak masalah, toh hal itu pun sebenarnya dia nikmati. Hanya saja akhir-akhir ini dia merasa bosan dengan hidupnya. Dia ingin tantangan baru dengan mencoba menggaet Devan, pengusaha muda, gagah, tampan dan tentu lebih kaya dari seseorang itu.Namun,
Dia menghembuskan napas panjang. "Devan memang akan menikah di sini. Dengan wanita yang begitu Devan cintai. Dia ---"Drttt! Dertt!Kalimat Devan terpaksa berhenti karena ponsel dalam saku celananya bergetar."Sebentar, Bu. Devan angkat telpon dulu."Devan buru-buru merogoh sakunya untuk mengambil benda pipih pertanda ada panggilan masuk."Ya," ucapnya mengangkat panggilan.Bu sukoco hanya mengerutkan kening, ketika melihat putranya memasang wajah serius saat berbicara pada seseorang di balik telepon itu."Oke. Saya akan segera ke sana. Tunggulah sebentar lagi," pungkas Devan lalu memutuskan sambungan."Ada apa?" tanya Bu Sukoco yang sudah penasaran sejak tadi."Ayo, Bu. Kita tidak punya banyak waktu lagi." Devan dengan tergesa keluar dari mobil. Membuka pintu belakang, lalu mengambil alih menggendong Aira yang terlelap."Ayok, Bu," titah Devan lagi semakin membuat Bu Sukoco ikut tergesa.Orang tua Devan tersebut berpikir kalau wali dari gadis yang akan dinikahi anaknya mungkin dalam k
"Tidak! Tidak boleh!"Aira terbangun saat semua orang sibuk mendengar ijab qobul. Anak itu mengucek matanya sebentar lalu teringat kembali dengan Daddy-nya yang ijin menikah. Dia langsung teriak kencang tepat setelah Devan selesai berucap.Sontak saja semua terkejut dan menoleh pada Aira yang duduk di sofa. Sukoco lantas mendekati, mengelus kepalanya dan menggendongnya. "Aira kenapa?" tanyanya."Daddy gak boleh nikah!"Semua orang sontak beradu pandang satu sama lainnya. Termasuk juga Devan dan Sukoco.Sementara Syakila diam dengan sejuta rasa. Ketakutan itu perlahan menghinggapi. Apakah masa lalu dipermalukan akan kembali ia dapatkan? Gadis itu mulai berpikir buruk."Meskipun dengan mommy Kila?" tanya Sukoco lembut.Mendengar nama itu Aira mengerjap memandang neneknya, "Mommy Kila?""Iya. Itu ..." Sukoco menunjuk Syakila yang duduk di atas hospital bed, tengah memandang sendu padanya.Aira pun mengikuti ke mana arah telunjuk neneknya menunjuk. "Mommy Kila ...!" serunya girang dengan
"Aira anak cantik ... Please. Malam ini Aira tidur di kamar Aira, ya."Terhitung malam ketiga Syakila diboyong ke rumah keluarga Sukoco. Namun, belum pernah satu malam pun Devan menikmati indahnya tidur berdua dengan sang istri.Aira tak pernah memberikan kesempatan itu padanya. Devan bisa apa? Marah? Kesal? Pada siapa?Untuk tiga malam kemarin Devan bisa bersabar, tetapi hari ini bagaimanapun caranya dirinya harus bisa membujuk anaknya tidur terpisah dengannya."Besok Daddy belikan banyak boneka yang lucu. Gimana?" imbuh Devan membujuk.Aira mengangguk setuju. "Iya." Devan sangat bahagia. "Tapi sama mommy!" Seketika tubuh Devan lemes.Percuma. Apa bedanya Aira tidur di kamarnya sendiri dan di kamar orang tuanya jika tetap saja bersama Syakila. Daddy-nya mulai gregetan. "Pokoknya malam ini Aira harus tidur sendiri di kamar Aira. Titik!" tegas Devan."Gak mau!" Aira tetap menolak."Harus mau! Kalau tidak, besok Daddy akan---""Mas ... Jangan bicara sembarangan." Suara lembut Syakila b
"Ada apa dengan wajahmu, Bos? Lupa sarapan? Sudah seperti cucian lecek." Devan yang baru datang ke kantor keesokan paginya langsung mendapat serangkai pertanyaan dari Jo. "Diamlah, Jo. Kepalaku sakit," timpal Devan menyandarkan kepalanya sembari memberi pijatan kecil di sana. Hal itu membuat Jo semakin ingin melontarkan banyak pertanyaan pada sahabat juga atasan di tempatnya bekerja. Bukankah seseorang yang baru saja melangsungkan pernikahan cenderung berseri-seri? Lalu, bosnya itu kenapa? Atau jangan-jangan ... Jo mulai menduga-duga dengan pikirannya sendiri. Kepalanya dicondongkan untuk berbisik pada Devan. "Apa rasanya di luar ekspektasi?" "Apanya?" Devan mengernyit tak paham. "Anu-nya. Kalau tidak, mana mungkin wajahmu seperti itu. Aku memperhatikannya sudah dari kemarin." Devan mendesah pelan, "Aku bahkan semalam tidur terpisah dengannya." "Apa!" Jo tercengang. "Seorang Devan tidur terpisah dari istrinya di hari pernikahan yang belum genap satu Minggu." Jo tak hab
Sama halnya seperti pesan yang Yumna kirim pada Devan terabaikan, pada Syakila pun sama. Belum satu pun pesan itu mereka baca. Kedua orang itu seakan-akan memiliki chemistry untuk tak menggubris pesannya. "Kenapa sih mereka! Kok bisa sama-sama gak menggubris pesanku!" Yumna mulai jengkel. Ia jengah menunggu. Dilemparnya ponsel yang sedari tadi ia intip berharap satu balasan dari Devan maupun Syakila ke atas kasur. Barang-barang diatas meja rias juga tak luput dari amukannya. Yumna menjambak rambutnya frustasi. Ia ingin marah, tapi pada siapa? Di depan cermin ia melihat pantulan dirinya yang kacau. Rambut awut-awutan, wajahnya tampak mulai sedikit mengendur oleh usia, ditambah akhir-akhir ini tidurnya tak nyenyak. Jika bukan karena makeup yang menempel sempurna di wajahnya, lingkaran hitam pasti terlihat jelas di matanya. Yumna mendekat pada kaca, memandang setiap inci lekuk tubuhnya yang hanya tertutup bagian sensitifnya. Semua terlihat indah, sempurna baginya. Gumpa