"Aira anak cantik ... Please. Malam ini Aira tidur di kamar Aira, ya."Terhitung malam ketiga Syakila diboyong ke rumah keluarga Sukoco. Namun, belum pernah satu malam pun Devan menikmati indahnya tidur berdua dengan sang istri.Aira tak pernah memberikan kesempatan itu padanya. Devan bisa apa? Marah? Kesal? Pada siapa?Untuk tiga malam kemarin Devan bisa bersabar, tetapi hari ini bagaimanapun caranya dirinya harus bisa membujuk anaknya tidur terpisah dengannya."Besok Daddy belikan banyak boneka yang lucu. Gimana?" imbuh Devan membujuk.Aira mengangguk setuju. "Iya." Devan sangat bahagia. "Tapi sama mommy!" Seketika tubuh Devan lemes.Percuma. Apa bedanya Aira tidur di kamarnya sendiri dan di kamar orang tuanya jika tetap saja bersama Syakila. Daddy-nya mulai gregetan. "Pokoknya malam ini Aira harus tidur sendiri di kamar Aira. Titik!" tegas Devan."Gak mau!" Aira tetap menolak."Harus mau! Kalau tidak, besok Daddy akan---""Mas ... Jangan bicara sembarangan." Suara lembut Syakila b
"Ada apa dengan wajahmu, Bos? Lupa sarapan? Sudah seperti cucian lecek." Devan yang baru datang ke kantor keesokan paginya langsung mendapat serangkai pertanyaan dari Jo. "Diamlah, Jo. Kepalaku sakit," timpal Devan menyandarkan kepalanya sembari memberi pijatan kecil di sana. Hal itu membuat Jo semakin ingin melontarkan banyak pertanyaan pada sahabat juga atasan di tempatnya bekerja. Bukankah seseorang yang baru saja melangsungkan pernikahan cenderung berseri-seri? Lalu, bosnya itu kenapa? Atau jangan-jangan ... Jo mulai menduga-duga dengan pikirannya sendiri. Kepalanya dicondongkan untuk berbisik pada Devan. "Apa rasanya di luar ekspektasi?" "Apanya?" Devan mengernyit tak paham. "Anu-nya. Kalau tidak, mana mungkin wajahmu seperti itu. Aku memperhatikannya sudah dari kemarin." Devan mendesah pelan, "Aku bahkan semalam tidur terpisah dengannya." "Apa!" Jo tercengang. "Seorang Devan tidur terpisah dari istrinya di hari pernikahan yang belum genap satu Minggu." Jo tak hab
Sama halnya seperti pesan yang Yumna kirim pada Devan terabaikan, pada Syakila pun sama. Belum satu pun pesan itu mereka baca. Kedua orang itu seakan-akan memiliki chemistry untuk tak menggubris pesannya. "Kenapa sih mereka! Kok bisa sama-sama gak menggubris pesanku!" Yumna mulai jengkel. Ia jengah menunggu. Dilemparnya ponsel yang sedari tadi ia intip berharap satu balasan dari Devan maupun Syakila ke atas kasur. Barang-barang diatas meja rias juga tak luput dari amukannya. Yumna menjambak rambutnya frustasi. Ia ingin marah, tapi pada siapa? Di depan cermin ia melihat pantulan dirinya yang kacau. Rambut awut-awutan, wajahnya tampak mulai sedikit mengendur oleh usia, ditambah akhir-akhir ini tidurnya tak nyenyak. Jika bukan karena makeup yang menempel sempurna di wajahnya, lingkaran hitam pasti terlihat jelas di matanya. Yumna mendekat pada kaca, memandang setiap inci lekuk tubuhnya yang hanya tertutup bagian sensitifnya. Semua terlihat indah, sempurna baginya. Gumpa
Kriet ... Pintu kamar mandi terbuka, Syakila pun urung mengangkat panggilan yang sejak tadi belum berhenti berteriak. Devan nampak terlonjak ketika mendapati istrinya sudah duduk di atas ranjang, padahal saat dirinya masuk ke kamar mandi tidak ada siapapun di kamar ini. "Sayang, kok kamu ada di situ? Sejak kapan?" Sembari melangkah, Devan melontarkan tanya dengan lembut. Hatinya berbunga-bunga mendapati Syakila satu ruangan dengannya. "Eum ... Sejak Mas di kamar mandi." Syakila kikuk. "Eh, aku ganggu, ya. Kalau begitu aku keluar dulu." Dia buru-buru beranjak dan berniat keluar, tetapi tangannya segera dicekal oleh Devan. "Nggak ganggu, kok. Aku malah seneng ada kamu," ujar Devan. Perlahan dia menarik tangan Syakila yang berada di genggaman untuk menghadapnya. Syakila sudah panas dingin rasanya. Dia begitu grogi berduaan begini dengan Devan. Apalagi semenjak kejadian video call tadi siang. Syakila seperti tak punya muka di hadapan lelaki itu. Sadar kini status mereka t
"Syakila!"Dengan langkah lebar Devan bergegas meraih tangan istrinya yang sedari tadi menjambak rambutnya sendiri."Lepas!" pekik Syakila.Tak hiraukan, Devan justru membawanya ke dalam pelukan."Maaf. Tenanglah. Semua tidak seperti yang ada di pikiranmu." Tangannya mengelus punggung dan kepala Syakila. Sesekali ia mendaratkan kecupan di pucuk kepala itu."Percayalah, itu hanya nomor iseng. Aku sangat mencintaimu, Syakila. Aku tidak mungkin melakukan hal bodoh itu.""Astaghfirullahaladzim," lirih, Syakila berulang kali beristighfar untuk menenangkan diri.Di dalam dekapan hangat pria yang kini sah menjadi suaminya, Gadis itu selalu bisa merasa tenang. Dia dapat merasakan ketulusan di sana. Perlahan kepanikan shakila berangsur membaik. Deru napasnya tak lagi memburu. Genggaman erat di piyama Devan pun mengendur, perasaannya sudah bisa dikendalikan.Devan merenggangkan pelukan, menatap sendu wajah Syakila yang masih sedikit terisak.Devan kembali mendaratkan kecupan kehangatan pada ke
"Apa yang kamu pikirkan? Jangan mesum!" Devan menyentil dahi Syakila yang mendongak menatapnya. "Auw!" Syakila meringis sambil mengelus jidatnya. "Mas Devan, Iiihh. Sakit tahu." Bibir Syakila mencebik membuat Devan semakin gemas. "Habis kamu lucu." "Aku tidak sedang melawak, Mas. Aku serius." "Mas tahu, tapi Mas juga serius nunggu kamu benar-benar siap, kecuali ..." "Apa?" Syakila penasaran. "Kecuali kamu sudah pengen," bisik Devan tepat di telinga Syakila. "Mas Devan ... Ih, Syakila gak gitu kok." Tangan lembut gadis itu mendaratkan pukulan kecil pada dada bidang suaminya. "Kan siapa tahu saja." Devan membalas dengan menggelitik pinggang Syakila. Hal itu membuat Syakila yang masih berada di atas tubuh Devan bergerak geli, menyenggol sesuatu yang bisa hidup terasa menegang. "Stop. Jangan gerak-gerak, Sayang. Mas takut gak kuat." Mata Syakila mengerjap polos seraya menghentikan gerakan. "Aku berat ya? Ya sudah aku turun saja kalau begitu. Mas Devan, sih, pake an
Tak menggubris, gadis cilik dengan potongan rambut bob kian menjauh. Dia begitu bersemangat ingin melaporkan pada sang nenek perihal nyamuk yang sudah lancang menggigit leher Mommy-nya."Mas?" "Biarkan saja. Ibu pasti bisa mengatasi bocil itu.""Tapi Syakila malu.""Malu kenapa?""Mas Devan, ih. Bercanda mulu.""Iya, Sayang, sorry." Devan mendekat, turut naik ke atas kasur dan duduk di sebelah istrinya. "Sini peluk," pintanya sambil merentangkan tangan.Tak lagi canggung, wanita yang semalam menyerahkan mahkota kesuciannya pada sang suami, dengan senang hati bersandar di dada bidang yang selalu membuatnya nyaman.Kini posisi Devan memangku tubuh ramping Syakila dari belakang."Apa masih sakit?" tanya Devan."Sedikit," jawab Syakila tersipu."Tidak apa-apa, nanti berangsur membaik asal jangan banyak gerak dulu. Atau mau Mas olesi salep?""Tidak perlu!" sahut Syakila menggeleng cepat. Tak bisa membayangkan andai itu benar terjadi. Bukannya sembuh yang ada justru bisa sebaliknya."Kena
Keduanya sontak berhenti ketika mendapati Jasmin tengah berkacak pinggang di depan mereka, dengan tatapan meremehkan."Ck! Orang-orang munafik seperti kalian harusnya tenggelam saja di laut. Tidak tahu malu!" Lagi, Jasmin berbicara dengan tidak sopannya pada Devan dan Syakila.Gadis itu begitu percaya diri dengan tingkahnya, sebab ia yakin di antara mereka tidak terjalin suatu hubungan resmi. Jika pun ada, itu hanya sebatas pacaran, pikir Jasmin.Alih-alih menjauh, Devan justru beralih merangkul pinggang ramping Syakila di depan Jasmin."Apa masalahmu dengan kami, Nona?" ucap Devan bernada santai.Jasmin semakin meradang. "Mas Devan ngapain di sini? Pakai peluk-peluk segala, mau pamer?" sungut Jasmin."Kalau iya, memangnya kenapa?" Devan menantang."Oh, mau aku viralin? Biar hancur karir kamu sekalian. Dasar manusia-manusia munafik!" Jasmin tak segan mengancam dan mengumpat. Di tangannya sudah ada ponsel yang siap merekam video."Tutup mulutmu! Lancang sekali bicaramu! Kau bahkan tida
Namun, detik berikutnya Kamil berubah pikiran, ia memutuskan untuk mengambil langkah nekat. Dengan tangan yang masih mencengkeram erat leher Shakila, dia menyeringai penuh keyakinan. "Kalau aku tidak bisa lolos, setidaknya aku akan membawa mereka semua ke neraka bersamaku!" gumamnya, menekan pedal kasih nggak habis. Mesin mobil meraung seperti binatang buas yang terluka, melaju kencang menuju brigade polisi. Syakila panik, tangannya reflek mencoba menggoyang-goyangkan setir agar laju mobil berubah arah, atau berhenti. "Kamil, jangan gila! Kau akan membunuh kita semua!""Memang itu yang aku inginkan. Ha ha ha!"Tangan Kamil memukul keras tangan Syakila yang mengganggu setir. "Kau diam saja, Sayang. Aku pastikan kita akan berakhir dalam keabadian sekarang.""Gak! Aku gak mau! Berhenti, Kamil!""Aku akan berhenti kalau kau mau berjanji untuk bersedia hidup bersamaku selamanya.""Dasar gila! Itu tidak akan terjadi." Syakila memukul-mukul lengan Kamil, tetapi pukulan kecil itu hanya dian
Kamil menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, memutarnya dengan mata yang menatap lurus ke depan seperti seekor ular yang siap menyemburkan bisanya. Tanpa ekspresi, dia mendekati Syakila yang masih memejamkan mata lalu membopongnya seperti karung beras, membawanya ke dalam mobil.Beberapa minggu lalu, ketika ia berhasil meracuni polisi yang berjaga kemudian kabur dari lapas, Kamil mendatangi salah satu anak buahnya yang tak tertangkap dan meminta mobil untuk dikendarai. Dibantu oleh anak buahnya itulah akhirnya Kamil berhasil menyelinap ke vila yang disewa Devan, menyamar sebagai penjaga keamanan di sana setelah berhasil membuat penjaga aslinya harus cuti.Dalam hatinya, Kamil bertekad untuk dapat bersatu dengan Syakila, apapun caranya. Jika dia tak bisa memiliki, maka orang lainpun tak ada yang boleh memiliki. Jika tak bisa bersatu di dunia, di alam lain pun Kamil tak keberatan. Dan kini, laki-laki yang jiwanya terganggu itu telah bersiap untuk melakukan sesuatu.****"Pasti ada
"Syakila ..." Telinga tajam Devan dapat mendengar suara gelas yang jatuh. Gegas pria bergaya rambut Taper Fade itu naik ke atas kolam dan berjalan ke dapur, tanpa peduli cipratan air yang berjatuhan di lantai."Sayang, kamu gak pa-pa?" teriaknya terus berjalan.Sunyi. Tak ada jawaban apapun. Langkahnya semakin cepat dan pasti. Namun, ketika sampai dapur, tak ada siapapun di sana. Hanya pecahan gelas yang berserakan di lantai.Devan panik. Seketika ia mengitari sekitaran sambil terus memanggil istri tercintanya."Syakila ...""Sayang, kamu di mana?"Terus mencari ke setiap ruangan di vila, tetapi hasilnya nihil. "Sayang, bercandanya gak lucu loh. Kamu di mana ?" Devan masih berfikir positif. Mungkin istrinya ingin bermain-main dengannya."Sayang, ayolah. Keluar dong. Aku dah kedinginan nih, mau ganti baju. Temenin yuk." Devan terus berbicara sendiri sambil terus mencari.Hampir seluruh ruangan ia datangi, dan hasilnya tetap kosong. Panik, Devan mulai sangat panik. Apa yang terjadi de
"Kenapa seperti ada yang mengikuti ya?" gumamnya, lalu menoleh ke belakang. Tetapi tak ada siapapun di sana. Jalanan sepi."Mas, ayok!" teriak Syakila yang sudah lebih dulu berjalan."Eh, iya, Sayang." Devan terkesiap kemudian menyusul, ikut mengantri bersama sang istri.Beberapa orang yang juga membeli bubur mengajak mereka ngobrol. Ada yang sama-sama pendatang, ada juga yang asli penduduk setempat. Syakila dan Devan menyukai keramahan penduduk di sekitar villa yang mereka sewa."Ini buburnya, Neng," ucap si penjual bubur pada Syakila, setelah beberapa waktu mengantri."Iya, Mang. Terima kasih." Syakila menerima kantong kresek berisi bubur, sementara Devan yang membayarnya."Mari, Ibu-ibu, kami duluan," pamitnya pada ibu-ibu yang masih mengantri."Mari, Neng, A, selamat liburan ya, semoga sukses," sahut seseibu dengan lantang."Sukses apa nih, Bu?" Devan sengaja menanggapi, karena tertarik dengan misteri di balik kata 'sukses' itu."Ya sukses jadi belendung atuh, hamil teh. Apalagi c
"Sayang ... Ahh...."Untuk yang kedua kalinya Devan mencapai puncak kenikmatan bersama Syakila di villa. Sepasang suami istri itu benar-benar menikmati bulan madu kedua ini. Hampir tak terlewatkan oleh mereka aktivitas saling mencintai, dan memadu kasih begitu mereka sampai di tempat penginapan itu. Apalagi Devan memilih villa yang lumayan jauh dari keramaian. menurutnya agar aktivitas mereka lebih privasi. Tentu hal itu semakin membuat mereka semakin intens.Dua manusia berlawanan jenis itu masih tersengal dengan napas memburu di balik selimut putih yang menutupi tubuhnya. "Kau benar-benar hebat, Sayang. Terima kasih." Devan memberikan pujian pada sang istri karena berhasil mengimbangi permainannya yang brutal.Lelaki itu betul-betul merindukan momen ini. Bagaimana tidak? Kemarin-kemarin dia terpaksa harus puasa menjamah tubuh indah Syakila. Banyak kejadian tak terduga yang mereka alami."Sama-sama, Mas. Kamu juga hebat. Masih gagah seperti yang dulu," sahut Syakila dengan suara ber
"Bu, Opa, dan Oma, weekend besok aku sama Syakila ada rencana liburan ke villa. Eum, kalau boleh kita mau nitip Aira, gak lama kok, cuma dua hari." Dengan sedikit malu Devan meminta izin saat mereka sedang bersantai di depan televisi.Aira sendiri sudah lebih dulu terlelap ditemani mommy-nya di kamar. Jadi anak itu tidak protes ketika daddy-nya akan pergi berdua saja dengan sang mommy."Tentu saja boleh, Nak. Kalian memang perlu liburan setelah semua yang kalian alami," ucap Sukoco."Ibumu benar, Dev. Pergilah, buat hari-hari kalian menyenangkan." Bamantara menimpali."Sola Aira, kami siap menjaganya. Dia anak yang baik, pasti akan mengerti." Amber juga mengeluarkan pendapatnya."Terima kasih, semuanya. Aku akan beri tahu kabar ini pada Syakila." Devan terlihat bahagia. Bulan madu kedua ini pasti akan menyenangkan."Ah, bagaimana kalau kita ajak Aira menengok rumah kita, Sayang. Supaya dia tidak sedih kalau daddy dan mommy-nya pergi berlibur," usul Amber pada suaminya."Ide yang bagus
Devan memandang layar ponselnya dengan alis berkerut. "Panggilan tak terjawab?" gumamnya sambil membuka notifikasi. "Jo? Kok banyak banget panggilannya?" Ia menghela napas panjang, merasa bersalah telah melupakan handphonenya sejak sore tadi.Devan benar-benar tenggelam dalam waktu berkualitas bersama Syakila, sang istri. Mereka berdua memanfaatkan momen langka tanpa gangguan. Rasanya nyaman bisa menikmati hari hanya berdua, tanpa memikirkan urusan luar. Andai saja Aira, putri kecil mereka, tidak mengetuk pintu kamar untuk mengingatkan waktu sholat Maghrib, mungkin mereka masih saja berlama-lama berbincang di kamar.Kini, setelah sholat berjamaah bersama keluarga, Devan baru menyadari betapa banyak panggilan dari Jo. Ia mencoba menelepon balik, tetapi panggilannya tak dijawab."Kenapa, Mas?" suara lembut Syakila menyadarkannya. Wanita itu mendekat, membawa segelas teh hangat, lalu duduk di sampingnya di atas karpet ruang keluarga.Devan menunjukkan layar ponselnya. "Jo telepon berkali
Teriakan di luar membuat semua orang terhenti. Jo, Alex, dan anak buahnya langsung berlari mengejar, meninggalkan Devan, Syakila, dan Bamantara yang masih terkejut di dalam ruangan.“Bagaimana dia bisa kabur?!” Devan menggeram.“Mas, biarkan mereka yang urus,” ujar Syakila dengan suara gemetar, memegang lengannya.Devan menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Namun, di matanya, api kemarahan terhadap Kamil belum padam.Di luar gedung, Kamil dengan kondisi babak belur berlari sekuat tenaga. Tali yang mengikat tangannya rupanya berhasil ia lepas dengan pisau kecil yang tersembunyi di sepatunya. Para pengejarnya masih mengejar dari belakang, namun Kamil menemukan sebuah celah di pagar dan melarikan diri ke jalan raya yang cukup gelap.Dia mengira dirinya aman, sampai sirine polisi tiba-tiba terdengar semakin mendekat. Sebuah mobil patroli berhenti tepat di hadapannya, membuatnya panik.“Angkat tanganmu!” teriak salah satu petugas sambil mengarahkan senjatanya.Namun, Kamil tid
Pintu yang tiba-tiba terbuka itu mengagetkan semua orang di dalam ruangan. Kamil langsung berbalik, matanya menyipit marah. "Siapa di sana?!" teriaknya dengan nada tinggi penuh ancaman. Setelah menoleh dengan harapan yang hampir padam, sosok Devan berdiri tegap di ambang pintu dengan wajah yang penuh luka, tetapi matanya menyala dengan amarah yang tak terbendung. Di belakangnya Alex dan Jo berdiri, masing-masing memegang senjata seadanya."Permainanmu sudah selesai, bajingan!"ujar Devan dengan nada dingin namun tegas. Kamil tertawa sinis. "Oh, jadi kalian yang datang ke sini? Lucu sekali. Apa kalian juga ingin menyaksikan pernikahanku dengan Syakila?""Diam kau, Brengsek! Itu tidak akan pernah terjadi!" Devan berteriak dengan amarah yang kian menyala."Oh, ya? Apa hakmu melarang kami menikah? Kau bukan siapa-siapanya Syakila sekarang.""Dia istriku, brengsek!" Untuk kesekian kalinya Devan berteriak penuh emosi."Itu dulu, sebelum kamu menceraikannya. Tapi sekarang ....?Devan tak la