Keduanya sontak berhenti ketika mendapati Jasmin tengah berkacak pinggang di depan mereka, dengan tatapan meremehkan."Ck! Orang-orang munafik seperti kalian harusnya tenggelam saja di laut. Tidak tahu malu!" Lagi, Jasmin berbicara dengan tidak sopannya pada Devan dan Syakila.Gadis itu begitu percaya diri dengan tingkahnya, sebab ia yakin di antara mereka tidak terjalin suatu hubungan resmi. Jika pun ada, itu hanya sebatas pacaran, pikir Jasmin.Alih-alih menjauh, Devan justru beralih merangkul pinggang ramping Syakila di depan Jasmin."Apa masalahmu dengan kami, Nona?" ucap Devan bernada santai.Jasmin semakin meradang. "Mas Devan ngapain di sini? Pakai peluk-peluk segala, mau pamer?" sungut Jasmin."Kalau iya, memangnya kenapa?" Devan menantang."Oh, mau aku viralin? Biar hancur karir kamu sekalian. Dasar manusia-manusia munafik!" Jasmin tak segan mengancam dan mengumpat. Di tangannya sudah ada ponsel yang siap merekam video."Tutup mulutmu! Lancang sekali bicaramu! Kau bahkan tida
"Jasmin. Kau ditunggu Mba Nita di ruangannya." Salah satu karyawan memanggil Jasmin atas perintah Nita. Jantung Jasmine sedikit berdebar. Tak memungkiri perasaan wanita bercelana jeans panjang itu sedikit takut. Bukan takut perihal omelan yang akan dia dapat, tetapi pada sangsi yang pasti melelahkan dan memberatkan dirinya. "Buruan! Malah bengong!" sentak seseorang itu membuat Jasmin terlonjak. "Iya. Bawel!" balas Jasmin. Dengan langkah gontai, wanita yang lulus SMA dua tahun lalu itu berjalan menuju ruangan Nita yang telah menunggunya sejak tadi. Tok! Tok! Tok! "Masuk!" perintah Nita dari dalam. Jasmin pun menurut. Ia membuka pintu, perlahan memasuki ruangan itu. "Mba panggil saya?" ucap Jasmin setelah berada di depan meja kerja Nita. "Iya. Tunggu sebentar, saya selesaikan pekerjaan saya dulu." Nita tetap fokus pada monitor di depannya. Beberapa menit berikutnya, Nita terlihat beranjak. "Ikuti saya," ujarnya menyuruh Jasmin lalu berjalan mendahuluinya. "Ke mana,
"Jangan macam-macam kau gadis kampung. Sekali kampungan tetap kampungan meskipun kau bersembunyi di ketiak nama besar Mas Devan dan butik kecil ini. Kalau kau berani macam-macam, aku tidak segan untuk membuat hidupmu hancur sehancur-hancurnya!" ucap Jasmin penuh penekanan. Syakila yang sudah begitu geram dengan tingkah gadis kecil di depannya itu mendekat. Tak disangka tangan lembutnya mencengkeram kedua pipi Jasmin, memberi tatapan tajam dan membalas ancaman yang ditujukan padanya. "Kau yang harus hati-hati, Bocah! Masa depanmu ada di tanganku. Jangan macam-macam dan bertingkah lagi di depanku. Aku bukan Syakila yang dulu! Diam dan menurut atau aku sebarkan foto menjijikkanmu dengan laki-laki di kamar hotel!" sentak Syakila lalu menghempaskan pipi Jasmin ke udara. "Apa maksudmu?!" Meski sudah mendapat peringatan, rasa penasaran pada ancaman Syakila membuatnya berani untuk bertanya. Syakila tersenyum miring menanggapi, kemudian berbisik di telinga Jasmin, "Foto tanpa busana dir
"Mama lagi ngomong sama Syakila?" Kamil kembali bertanya sembari mendekati sang mama."Bukanlah! Ngapain? Mama lagi ngomong sama Jasmin," sahut Sundari."Kok tadi nyebut nama Sya--""Sudah, diam dulu kamu." Yumna memotong ucapan Kamil, membuat lelaki itu menghela napas.Dengan langkah gontai Kamil mendekat pada sang kakak dan duduk di sebelahnya.Sundari melirik anak lelakinya, kemudian berniat mengakhiri panggilannya. "Ya sudah, kamu harus lebih berhati-hati. Mama tutup dulu teleponnya."Setelah itu panggilan pun berakhir. Ibu dari tiga anak yang sudah dewasa itu lalu mendekati Kamil yang terlihat kacau. Kantung matanya begitu kentara melingkar di wajah. Belum lagi penampilan yang biasanya rapi kini terlihat kusut dengan rambut acak-acakan."Kamu kenapa, Nak? Apa kamu sakit?" Sambil mengelus kepala Kamil, Sundari bertanya penuh perhatian."Iya, kayak kurang tidur. Della bertingkah lagi?" Yumna pun ikut menimbrung."Huffhh. Hampir setiap malam aku begadang menemani baby Ivana. Kasihan
"Tunggu, Kamil akan kembali ke rumah Mama." Kabar mengenai keberadaan wanita yang sedang dirindukannya itu ibarat sebuah oase di tengah Sahara. Hanya menyebut namanya saja mampu membuat hati Kamil bergetar. Rasa panas yang sempat menjalar di hatinya kini terpadamkan oleh sejuknya kalimat restu yang baru saja ia dengar dari mamanya. Untuk kali ini dia akan benar-benar berjuang meraih cintanya. Sudah cukup selama ini hidup terombang-ambing dalam pusaran rumah tangga tak sehat. Ia akan memperjuangkan kebahagiaannya bersama wanita pujaannya. Hanya memakan waktu sekitar 20 menit, mobil Avanza hitam telah sampai membawanya ke tempat di mana Mama dan dua saudaranya tinggal. Dengan gerakan cepat kini Kamil sudah berada di dekat mamanya. "Mama yakin dengan apa yang tadi mama katakan?" ucapnya langsung menodong pertanyaan. Sundari yang memang sudah menunggunya, tersenyum tipis. Senyum yang lebih mirip sebuah seringaian. "Tentu saja Mama yakin. Info ini akurat," sahut Sundari perca
"Iiiuuuhhh ... Baju apaan ini? Kenapa jelek dan bernoda begini?" Yumna berteriak kencang sambil mengangkat salah satu baju yang memang memiliki noda. Dia sengaja melakukan itu untuk mencuri perhatian pengunjung. Sontak saja aksinya itu mengundang karyawan dan mengalihkan perhatian Nita dan Syakila yang sedang mengecek sesuatu di sana. "Ada yang bisa dibantu, Nona?" tanya salah satu karyawan bernama Eni dengan ramah. "Lihatlah, baju itu begitu jelek dan bernoda. Kenapa masih dipajang di sini? Apalagi harganya begitu mahal. Tidak sepadan sama sekali dengan kualitasnya. Butik apaan ini!" seru Yumna sembari melemparkan baju itu pada Eni. Eni yang berhasil menangkap baju itu pun langsung memperhatikan setiap inci dari baju polos itu. Memang ada banyak noda yang menempel di sana. Noda serupa saos yang sudah mengering, tetapi berbau amis saat di cium. 'Apa ini darah?' pikir Eni. "Kamu becus kerja apa tidak? Masa baju bernoda begitu masih dipajang!" Yumna lagi-lagi berseru. Kali
Yumna memindai sekitar tempatnya berdiri lalu menyeringai tipis setelah menemukan sebuah ide.Dengan gaya congkaknya dia berjalan mendekati Syakila yang ada di depannya. "Aku tidak percaya kalau kamu itu Syakila si KAMPUNGAN!" ucapnya sengaja menekan kata kampung."Nita, Eni, kalian boleh kembali bekerja. Nona ini biar menjadi urusan saya." Alih-alih menanggapi ocehan Yumna, Syakila justru berbicara pada kedua karyawannya.Dia akan membalas setiap lontaran dari mantan calon kakak ipar itu."Iya, Nona. Anda bilang apa tadi?" ucap Syakila."Jika kamu beneran Syakila mantan pacar adik saya, buka dong penutup wajahnya. Atau kamu takut ada yang mengenali dan mengingat momen saat kamu digrebek sama laki-laki di dalam kamar hotel?" Lagi-lagi Yumna menyeringai penuh kemenangan."Boleh. Sambil ngopi aja, yuk. Kebetulan di depan sana ada kafe. Nanti aku yang traktir deh, takut kamu gak bawa dompet," balas Syakila diiringi kekehan kecil."Saya tidak punya waktu untuk ngobrol sama wanita udik, k
Beberapa hari berlalu, pegelaran fashion show akan diadakan esok hari. Baik butik Syakila maupun perusahaan Devan sama-sama sibuk. Kebersamaan pengantin baru itu sedikit berkurang, ditambah keposesifan Aira belum juga berkurang membuat waktu untuk berduaan juga minim. Sering kali mereka bahkan hanya bertemu di meja makan saat sarapan. Atau sekedar menyapa lewat obrolan melalui ponsel. [Istriku, sepertinya aku akan pulang sedikit terlambat. Aku harus melakukan pertemuan penting dengan rekan bisnis saat makan malam] Devan mengirim pesan pada Syakila. Tak perlu menunggu lama, pesan itu segera terbalas. [Baiklah suamiku. Tidak apa-apa.] [Sebenarnya aku sangat merindukanmu, tapi kalau kau sudah mengantuk, tidurlah lebih dulu. Tak usah menungguku.] Syakila tersenyum membaca pesan balasan dari suaminya. Namun sengaja tak membalasnya. Dia malu. Biarlah dia akan menunggu kepulangan Devan nanti. Dengan ditemani oleh Jo, Devan melakukan pertemuan penting dengan salah satu rekan
Bamantara segera memanggil dokter. Sementara Sukoco, Amber dan Devan berdiri di sisi ranjang persalinan Syakila."Silakan menunggu di luar. Kami akan segera melakukan tindakan. Cukup suaminya saja yang berada di sini," ucap dokter sesaat setelah ia memeriksa pembukaan Syakila yang sudah genap."Baik, Dok." Mereka semua keluar, menyisakan Devan yang gemetar menemani Syakila.Dibantu beberapa perawat, dokter perempuan spesialis kandungan mengarahkan Syakila untuk mengatur napas.Suara erangan Syakila terus menggema di ruang bersalin. Devan tidak melepaskan genggaman tangannya, matanya memerah, dan hatinya penuh doa yang tak putus. Keringat deras membasahi dahi Syakila, tetapi semangatnya tak tergoyahkan."Sayang, kamu kuat. Sebentar lagi selesai," bisik Devan, suaranya bergetar menahan rasa cemas yang menyelubungi hatinya.Dokter memberi isyarat kepada Syakila untuk kembali mendorong dengan tenaga terakhir. "Ayo, Bu, sekali lagi! Tarik napas dalam dan dorong sekuat tenaga!"Dengan satu
Mendengar teriakkan Renata, seketika membuat Devan dan ibunya panik. Sementara dokter segera mengambil tindakan dengan memberikan obat penenang. Terpaksa hal itu harus dilakukan kembali karena keadaan Renata yang belum bisa stabil mengontrol dirinya.Perlahan tapi pasti, teriakan Renata melemah dan akhirnya dia terbaring dengan mata terpejam di tempat tidur."Kira-kira, apa Renata bisa sembuh, Dok?" tanya Sukoco setelah mereka berada di luar ruangan."Semua kemungkinan tetap ada, Bu. Kita hanya bisa berusaha, selebihnya Tuhan yang akan menentukan," sahut dokter."Lakukan yang terbaik untuk Renata, Dok. Saya serahkan pada tim dokter di sini sembari membantu dengan doa," timpal Devan."Tentu, kami akan melakukan yang terbaik untuk pasien.""Terima kasih. Kalau begitu, kami pamit dulu, Dok. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan untuk menghubungi saya.""Baik, Pak Devan. Terima kasih kembali."Kemudian mereka berpisah di lorong yang berbeda tujuan. Devan dan Sukoco berjalan pulang, sementara
Suasana mendadak sunyi seakan menunggu jawaban Devan. Entah karena memang ingin mengetahui kabar Renata, atau karena bingung dengan reaksi Devan yang berubah mimik ketika ibunya bertanya, semua yang duduk lesehan di ruang tengah menatapnya.Menghembuskan napas panjang, Devan pun akhirnya menjawab setelah beberapa saat terdiam, "Renata sekarang berada di rumah sakit, Bu. Keadaannya tidak baik-baik saja.""Innalillahi ... Apa dia sakit di penjara?" Dengan keterkejutan yang tak dapat disembunyikan, Sukoco kembali bertanya."Devan juga kurang tahu, Bu. Rencananya besok Devan akan menjenguk untuk melihat keadaannya. Semoga dia baik-baik saja.""Kasihan sekali dia. Lalu, apakah Rosa tahu kalau Renata sakit?""Sepertinya belum, karena Tante Rosa sudah lama pindah dan Devan tidak tahu tempat tinggalnya yang baru."Sukoco mendesah pelan. Rasa iba seketika menghinggapi mengingat Renata pernah tinggal bersamanya. Meskipun akhir-akhir ini sikap gadis itu melewati batas, tetapi Sukoco tahu bahwa s
"Maafkan aku, Veen. Aku gak tega menyembunyikan dari mereka, terlebih kamu harus melewatinya hanya bersama Mas Devan. Ya, meskipun aku tahu, kalian pasti bisa melewati semuanya," terang Nita menyela ucapan Syakila.Sahabatnya itu benar-benar tak tega saat menjenguknya beberapa waktu lalu di rumah sakit, sehingga keceplosan bilang pada Bamantara saat bertemu di butik. Nita pikir, dengan adanya do'a dari keluarganya, mungkin bisa mengurangi rasa sakit Syakila."Jangan salahkan Nita, Nak. Kita yang memaksanya untuk bicara," timpal Bamantara, memandang cucu angkatnya dengan sendu. Rasanya tak tega melihat wanita itu diuji terus menerus sejak dulu. Walaupun cuma cucu angkat, tapi Bamantara benar-benar menyayanginya."Lagian, kenapa kamu menyembunyikannya dari kami, hem?" tanya Amber sembari mengusap kepala Syakila.Istri dari Devan itu hanya menunduk. "Kila hanya tidak ingin terus menerus menambah beban pikiran kalian," lirihnya."Apa yang kamu katakan, Sayang. Kamu ini bukan beban, tapi k
Devan meletakkan ponselnya di meja dengan tangan bergetar. Napasnya terasa berat, dan pikirannya dipenuhi kekhawatiran yang membingungkan. Wajahnya pucat, membuat Syakila semakin cemas.“Mas, apa yang mereka katakan?” tanyanya dengan nada panik.Devan menghela napas panjang sebelum menjawab. “Polisi bilang... Renata dalam kondisi buruk di penjara. Dia sering membuat keributan, dan itu membuat dia harus ditempatkan di ruang isolasi dan kemungkinan akan dipindahkan ke tahanan rumah sakit kejiwaan. Mereka minta aku datang.”“Astaghfirullah. Kenapa bisa begitu, Mas?" ucap Syakila tak kalah terkejut."Mas juga gak tahu, Sayang. Mas akan telepon Pak Herman saja untuk mengurusnya."Syakila tertegun sejenak. Ia tak tega melihat suaminya dilanda banyak masalah dan tanggung jawab. Andai bisa, ia ingin sekali membantu, tetapi kondisinya yang lemah mungkin hanya akan memperburuk keadaan. Untuk itu Syakila ingin mengurangi beban pikiran suaminya dengan pulang dan istirahat di Jakarta saja supaya l
Renata duduk di sudut ruangan. Tubuhnya yang dulu anggun kini hanya menyisakan bayang-bayang kesengsaraan dengan rambutnya yang kusut."Mas Devan... tolong aku," lirihnya, hampir tak terdengar. Namun, suara itu terus diulang-ulang, seolah menjadi satu-satunya pegangan di tengah kegelapan.Para narapidana lain di sel besar itu menatapnya dengan berbagai ekspresi. Ada yang iba, tapi lebih banyak yang mencemooh. Salah satu dari mereka, wanita bertubuh kekar dengan tato di lehernya, mendekat sambil menyeringai."Kau pikir orang yang kau sebut namanya itu akan menyelamatkanmu? Hah! Kau ini cuma boneka yang sudah dibuang. Lihat dirimu sekarang!" Wanita itu meludahi tanah, matanya memandang Renata dengan jijik.Renata memejamkan matanya, mencoba mengabaikan ejekan itu. Tapi pikirannya tak bisa berhenti memutar ulang ingatan tentang Devan. Pria itu—satu-satunya yang dia anggap mampu menyelamatkannya dari tempat ini."Mas Devan pasti akan datang," gumam Renata. Suaranya nyaris tak terdengar, t
Meski sudah berbulan-bulan tak sadarkan diri, kakak kandung almarhum Kamil itu masih sangat mengenali pria gagah di hadapannya. Pria yang dulu begitu didambanya, tetapi pada akhirnya dia harus merelakan ia berjodoh dengan yang lain meskipun awalnya penuh ketidakrelaan."Syukurlah akhirnya kamu sadar, Yum. Bagaimana perasaanmu sekarang? Apa yang kamu keluhkan?" Devan memberondong Yumna dengan pertanyaan setelah dokter selesai memeriksanya.Tak menjawab, Yumna menyunggingkan senyum tipis. Dokter kemudian menjelaskan bahwa kondisi Yumna sudah lebih baik, hanya saja ada beberapa hal yang ingin dokter sampaikan pada Devan tetapi tanpa sepengetahuan Yumna. Melalui sebuah kode, dokter itu menyuruh Devan untuk ikut dengannya ke ruangan."Kamu istirahatlah, aku keluar dulu," ucap Devan. Yumna mengangguk lemah.***"Maaf sebelumnya, apakah Anda suami dari pasien?" tanya dokter ketika mereka sudah berada di ruangan konsultasi."Bukan, Dok. Saya temannya. Atas permintaan almarhum adiknya, saya ya
Di lorong rumah sakit, Devan duduk termenung di salah satu bangku, menggenggam secangkir kopi yang sudah dingin. Pikirannya berkelana, memikirkan dua wanita yang kini menjadi tanggung jawabnya—Sundari dan Yumna. Pesan terakhir Kamil masih terngiang jelas dalam ingatannya."Tolong jaga mamaku yang sedang struk, juga Kak Yumna yang masih koma."Suara langkah kaki membuat Devan menoleh. Perawat yang tadi menangani Sundari datang menghampirinya."Pak Devan, saya sudah memeriksa keadaan Bu Sundari. Sejauh ini stabil, tapi... sepertinya beliau sangat berharap Pak Kamil datang," ujar perawat itu hati-hati.Devan mengangguk lemah. "Saya mengerti. Saya akan mencari waktu yang tepat untuk bicara dengannya."Perawat itu ragu sejenak sebelum melanjutkan. "Saya yakin Pak Kamil ingin yang terbaik untuk keluarganya. Tapi beban ini tentu tidak mudah bagi Anda. Jika butuh bantuan, kami di sini siap mendukung."Devan tersenyum tipis, merasa sedikit terhibur oleh perhatian perawat itu. "Terima kasih. Sa
Beberapa saat kemudian, perawat yang tadi berjanji kembali memasuki ruangan. Wajahnya tampak sedikit tegang, tapi dia mencoba tersenyum agar tidak menambah kecemasan pasiennya."Ibu, saya sudah coba hubungi Pak Kamil," katanya lembut.Sundari, yang terbaring di tempat tidur, berusaha menggerakkan bibirnya untuk bertanya. Namun, hanya gumaman lemah yang keluar. Perawat itu segera mendekat, menggenggam tangan Sundari dengan hati-hati."Pak Kamil sedang sibuk, Bu. Tapi beliau titip pesan bahwa beliau sangat sayang sama Ibu dan akan segera datang jika urusannya selesai," lanjutnya dengan suara penuh kebohongan yang terdengar begitu tulus.Mata Sundari sedikit berkaca-kaca. Meskipun tidak bisa berkata-kata, ia mencoba menunjukkan rasa terima kasih dengan menggenggam lemah tangan perawat tersebut."Tenang saja, Bu. Saya akan pastikan Ibu tetap sehat supaya bisa bertemu beliau nanti," ucap perawat itu sambil menyeka sudut matanya yang mulai basah.Namun di dalam hatinya, perawat itu merasa s