"Jasmin. Kau ditunggu Mba Nita di ruangannya." Salah satu karyawan memanggil Jasmin atas perintah Nita. Jantung Jasmine sedikit berdebar. Tak memungkiri perasaan wanita bercelana jeans panjang itu sedikit takut. Bukan takut perihal omelan yang akan dia dapat, tetapi pada sangsi yang pasti melelahkan dan memberatkan dirinya. "Buruan! Malah bengong!" sentak seseorang itu membuat Jasmin terlonjak. "Iya. Bawel!" balas Jasmin. Dengan langkah gontai, wanita yang lulus SMA dua tahun lalu itu berjalan menuju ruangan Nita yang telah menunggunya sejak tadi. Tok! Tok! Tok! "Masuk!" perintah Nita dari dalam. Jasmin pun menurut. Ia membuka pintu, perlahan memasuki ruangan itu. "Mba panggil saya?" ucap Jasmin setelah berada di depan meja kerja Nita. "Iya. Tunggu sebentar, saya selesaikan pekerjaan saya dulu." Nita tetap fokus pada monitor di depannya. Beberapa menit berikutnya, Nita terlihat beranjak. "Ikuti saya," ujarnya menyuruh Jasmin lalu berjalan mendahuluinya. "Ke mana,
"Jangan macam-macam kau gadis kampung. Sekali kampungan tetap kampungan meskipun kau bersembunyi di ketiak nama besar Mas Devan dan butik kecil ini. Kalau kau berani macam-macam, aku tidak segan untuk membuat hidupmu hancur sehancur-hancurnya!" ucap Jasmin penuh penekanan. Syakila yang sudah begitu geram dengan tingkah gadis kecil di depannya itu mendekat. Tak disangka tangan lembutnya mencengkeram kedua pipi Jasmin, memberi tatapan tajam dan membalas ancaman yang ditujukan padanya. "Kau yang harus hati-hati, Bocah! Masa depanmu ada di tanganku. Jangan macam-macam dan bertingkah lagi di depanku. Aku bukan Syakila yang dulu! Diam dan menurut atau aku sebarkan foto menjijikkanmu dengan laki-laki di kamar hotel!" sentak Syakila lalu menghempaskan pipi Jasmin ke udara. "Apa maksudmu?!" Meski sudah mendapat peringatan, rasa penasaran pada ancaman Syakila membuatnya berani untuk bertanya. Syakila tersenyum miring menanggapi, kemudian berbisik di telinga Jasmin, "Foto tanpa busana dir
"Mama lagi ngomong sama Syakila?" Kamil kembali bertanya sembari mendekati sang mama."Bukanlah! Ngapain? Mama lagi ngomong sama Jasmin," sahut Sundari."Kok tadi nyebut nama Sya--""Sudah, diam dulu kamu." Yumna memotong ucapan Kamil, membuat lelaki itu menghela napas.Dengan langkah gontai Kamil mendekat pada sang kakak dan duduk di sebelahnya.Sundari melirik anak lelakinya, kemudian berniat mengakhiri panggilannya. "Ya sudah, kamu harus lebih berhati-hati. Mama tutup dulu teleponnya."Setelah itu panggilan pun berakhir. Ibu dari tiga anak yang sudah dewasa itu lalu mendekati Kamil yang terlihat kacau. Kantung matanya begitu kentara melingkar di wajah. Belum lagi penampilan yang biasanya rapi kini terlihat kusut dengan rambut acak-acakan."Kamu kenapa, Nak? Apa kamu sakit?" Sambil mengelus kepala Kamil, Sundari bertanya penuh perhatian."Iya, kayak kurang tidur. Della bertingkah lagi?" Yumna pun ikut menimbrung."Huffhh. Hampir setiap malam aku begadang menemani baby Ivana. Kasihan
"Tunggu, Kamil akan kembali ke rumah Mama." Kabar mengenai keberadaan wanita yang sedang dirindukannya itu ibarat sebuah oase di tengah Sahara. Hanya menyebut namanya saja mampu membuat hati Kamil bergetar. Rasa panas yang sempat menjalar di hatinya kini terpadamkan oleh sejuknya kalimat restu yang baru saja ia dengar dari mamanya. Untuk kali ini dia akan benar-benar berjuang meraih cintanya. Sudah cukup selama ini hidup terombang-ambing dalam pusaran rumah tangga tak sehat. Ia akan memperjuangkan kebahagiaannya bersama wanita pujaannya. Hanya memakan waktu sekitar 20 menit, mobil Avanza hitam telah sampai membawanya ke tempat di mana Mama dan dua saudaranya tinggal. Dengan gerakan cepat kini Kamil sudah berada di dekat mamanya. "Mama yakin dengan apa yang tadi mama katakan?" ucapnya langsung menodong pertanyaan. Sundari yang memang sudah menunggunya, tersenyum tipis. Senyum yang lebih mirip sebuah seringaian. "Tentu saja Mama yakin. Info ini akurat," sahut Sundari perca
"Iiiuuuhhh ... Baju apaan ini? Kenapa jelek dan bernoda begini?" Yumna berteriak kencang sambil mengangkat salah satu baju yang memang memiliki noda. Dia sengaja melakukan itu untuk mencuri perhatian pengunjung. Sontak saja aksinya itu mengundang karyawan dan mengalihkan perhatian Nita dan Syakila yang sedang mengecek sesuatu di sana. "Ada yang bisa dibantu, Nona?" tanya salah satu karyawan bernama Eni dengan ramah. "Lihatlah, baju itu begitu jelek dan bernoda. Kenapa masih dipajang di sini? Apalagi harganya begitu mahal. Tidak sepadan sama sekali dengan kualitasnya. Butik apaan ini!" seru Yumna sembari melemparkan baju itu pada Eni. Eni yang berhasil menangkap baju itu pun langsung memperhatikan setiap inci dari baju polos itu. Memang ada banyak noda yang menempel di sana. Noda serupa saos yang sudah mengering, tetapi berbau amis saat di cium. 'Apa ini darah?' pikir Eni. "Kamu becus kerja apa tidak? Masa baju bernoda begitu masih dipajang!" Yumna lagi-lagi berseru. Kali
Yumna memindai sekitar tempatnya berdiri lalu menyeringai tipis setelah menemukan sebuah ide.Dengan gaya congkaknya dia berjalan mendekati Syakila yang ada di depannya. "Aku tidak percaya kalau kamu itu Syakila si KAMPUNGAN!" ucapnya sengaja menekan kata kampung."Nita, Eni, kalian boleh kembali bekerja. Nona ini biar menjadi urusan saya." Alih-alih menanggapi ocehan Yumna, Syakila justru berbicara pada kedua karyawannya.Dia akan membalas setiap lontaran dari mantan calon kakak ipar itu."Iya, Nona. Anda bilang apa tadi?" ucap Syakila."Jika kamu beneran Syakila mantan pacar adik saya, buka dong penutup wajahnya. Atau kamu takut ada yang mengenali dan mengingat momen saat kamu digrebek sama laki-laki di dalam kamar hotel?" Lagi-lagi Yumna menyeringai penuh kemenangan."Boleh. Sambil ngopi aja, yuk. Kebetulan di depan sana ada kafe. Nanti aku yang traktir deh, takut kamu gak bawa dompet," balas Syakila diiringi kekehan kecil."Saya tidak punya waktu untuk ngobrol sama wanita udik, k
Beberapa hari berlalu, pegelaran fashion show akan diadakan esok hari. Baik butik Syakila maupun perusahaan Devan sama-sama sibuk. Kebersamaan pengantin baru itu sedikit berkurang, ditambah keposesifan Aira belum juga berkurang membuat waktu untuk berduaan juga minim. Sering kali mereka bahkan hanya bertemu di meja makan saat sarapan. Atau sekedar menyapa lewat obrolan melalui ponsel. [Istriku, sepertinya aku akan pulang sedikit terlambat. Aku harus melakukan pertemuan penting dengan rekan bisnis saat makan malam] Devan mengirim pesan pada Syakila. Tak perlu menunggu lama, pesan itu segera terbalas. [Baiklah suamiku. Tidak apa-apa.] [Sebenarnya aku sangat merindukanmu, tapi kalau kau sudah mengantuk, tidurlah lebih dulu. Tak usah menungguku.] Syakila tersenyum membaca pesan balasan dari suaminya. Namun sengaja tak membalasnya. Dia malu. Biarlah dia akan menunggu kepulangan Devan nanti. Dengan ditemani oleh Jo, Devan melakukan pertemuan penting dengan salah satu rekan
"Syakila!" Alih-alih menjauh, Yumna justru dengan sengaja membaringkan tubuhnya di atas tubuh Devan, melumat bibir lelaki itu dengan bringasnya. Tentu saja Devan menyambutnya dengan hangat, sebab pengaruh obat perangsang itu telah menguasai kesadaran lelaki itu seutuhnya. Syakila yang begitu geram segera mendekat dengan langkah cepat, meraih sabuk milik Devan di lantai lalu melilitkannya pada leher Yumna dan menarik paksa tubuh wanita itu untuk turun dari atas ranjang. Yumna tak kuasa melawan gerakan mendadak itu. Leher yang terasa sesak dan sakit memaksa dia mengikuti ke mana tangan Syakila menariknya. Meski Yumna sekuat tenaga berusaha melepaskan sabuk dari lehernya, tetapi tenaga Syakila jauh lebih kuat darinya. "Dasar wanita gatal! Tidak tahu diri! Murahan!" Istri dari Devan itu terus mengumpat sembari terus menyeret perempuan yang telah lancang mencumbu suaminya. "Emmm. Le--pas!" Yumna terbata dengan napas terengah-engah. "Tenang saja, kau pasti akan aku lepaskan