"Pelan-pelan, Mas. Kamu masih pusing." Syakila dengan telaten kembali memberi pijatan lembut di kepala Devan."Kenapa bisa kesiangan begini? Bagaimana acara fashion show-nya. Apa semua lancar?""Hmmm. Semua berjalan lancar dan sukses. Nita baru saja mengabari.""Mengabari? Apa itu artinya kau juga tidak datang?""Begitulah. Aku juga terlambat bangun, sama sepertimu.""Hah! Memangnya Ibu tidak membangunkan kita?""Sudahlah, Mas. Jangan banyak tanya dulu. Lama-lama aku jadi ikut pusing menjawabnya.""Iya, tapi---""Nanti setelah pusingmu mereda aku janji akan menceritakan semuanya.""Iya, baiklah, istriku. Aku percaya padamu."Akhirnya Devan berhenti bertanya. Memejamkan matanya menikmati pijatan lembut tangan Syakila.Hingga tak terasa dia kembali terlelap.Ponsel milik Devan yang tergeletak di atas nakas bergetar. Dapat terlihat dengan jelas nama Jo berada di layar itu.Dengan penuh hati-hati, Syakila mengangkat kepala Devan dan meletakkannya pada bantal, setelah dirinya berhasil meny
"Hah! Apa-apaan ini. Bagaimana bisa?!" Yumna memekik ketika membaca berita mengenai video viral yang begitu mirip dengannya. Bukan hanya mirip, tetapi memang dialah pemerannya. "Tidak mungkin! Aku dan Om Ray selalu menghapus video setelah selesai main." "Ini pasti jebakan. Pasti ada yang sengaja mengeditnya, tapi ... Pakaian dalam itu sama persis dengan yang kukenakan waktu itu. Bagaimana bisa sangat mirip?" "Aaaaarrrggg, brengsek!" Yumna terus bermonolog sembari menjambak rambutnya kasar. "Siapa yang melakukan semua ini! Aaaaarrrggg," jeritnya. Mendadak kepalanya seperti mau meledak memikirkan masalah yang bertubi-tubi menimpanya. Belum hilang rasa kesal atas perlakuan Syakila dan Nita, kini dia harus menghadapi kenyataan lain yang tak kalah pelik. "Atau jangan-jangan yang melakukan ini ..." Dertt. Dertt. Dertt ! Ponsel yang sempat ia lempar ke atas kasur bergetar. Sebuah nomor belum tersimpan dalam kontak terlihat melakukan panggilan. "Siapa sih!" sungut Yumna t
Diantar oleh sopir keluarga, Devan dan Syakila menuju villa yang ditunjukkan oleh Sukoco."Sayang ..." panggil Devan dengan mata terpejam sembari menyandarkan kepalanya pada jok mobil. "Hmmm," sahut Syakila yang sedang sibuk membalas chat dari beberapa pelanggan. "Bukankah tadi itu restoran Jepang?""Iya." Syakila masih sibuk dengan gadget-nya."Sepertinya itu tempat pertemuanku dengan Pak Ray semalam.""Hmmm, lalu?""Apakah artinya aku belum sama sekali pulang ke rumah?""Iya, Mas. Nanti setelah sampai aku jelaskan. Aku balas chat dulu sebentar, ya."Hening. Devan menurut, tetapi otaknya bekerja menyatukan kejanggalan-kejanggalan yang ia temui. Mulai dari restoran itu, tempat menginap, dan selangkangan istrinya yang nyeri. Serta mimpinya yang terbilang begitu nyata ketika melakukan penyatuan bersama Syakila.Tak tahan, akhirnya Devan kembali memanggil Syakila."Sayang ...""Iya, Mas.""Tadi kau bilang selangkanganmu sakit kan? Apa itu artinya yang kurasakan semalam bukanlah mimpi?
Sontak baik Sundari maupun Jasmin tertegun, sejurus kemudian kembali menggedor pintu dengan keras."Yumna! Buka pintunya!" "Kak Yumna, jangan becanda deh! Buruan buka pintunya!""Yumna!""Kak Yumna!"Dug! Dug! Dug!Mereka terus memanggil dan berteriak dengan panik. Hingga sebuah suara anak kunci terbuka berhasil menenangkan keduanya.Gagang pintu bergerak dan dengan cepat pintu terbuka. Muncullah Yumna dengan wajah tak suka memandang dua wanita di depannya."Apa sih? Berisik banget!" sungutnya."Kamu tuh yang kenapa? Mama panggil-panggil bukannya nyahut malah diem aja," balas Sundari."Iya nih, bikin Mama khawatir tahu! Dikira Kakak BunDir." Jasmin pun ikut menimbrung."Enak aja. Seorang Yumna tidak akan melakukan itu sebelum membuat si kampung itu menderita seumur hidupnya," tekad Yumna dengan raut nyalang memandang lurus ke depan."Ya, kau benar, Kak. Aku akan membantumu. Aku juga muak melihat hidup wanita itu yang semakin bahagia. Apalagi setelah perempuan itu dengan sengaja mempe
Di dalam kamar megah, di atas kasur king size sebagai saksi penyatuan cinta, Syakila dan Devan tengah berbagi peluh kenikmatan. Sudah berbagai gaya mereka gunakan untuk sama-sama mencapai puncak. Di tengah temaramnya lampu kamar, Syakila begitu menikmati sentuhan lembut Devan yang mampu membawanya melayang. Tak cukup hanya satu kali, mereka mengulang hingga ketiga kalinya. Menghabiskan malam hingga pukul tiga dini hari. Pun dengan Devan. Lelaki itu bagaikan menemukan oase di tengah Sahara. Dahaga yang selama bertahun-tahun ia pendam kini tersalurkan sudah. Bersama Syakila, wanita yang mampu memberinya segudang rasa. Wanita suci yang menjaga marwahnya untuk dipersembahkan padanya. Meskipun ini bukan kali pertama bagi mereka, tetapi di tempat ini mereka bisa leluasa melakukan apa yang mereka inginkan. "Mendesahlah, Sayang. Keluarkan suaramu. Di sini tidak ada siapapun yang akan terganggu dengan suara indahmu," bisik Devan disela pergulatan. Dia tahu Syakila tengah menahan sua
"Mas Kamil!" "Syakila!" gumam Kamil ikut terkejut melihat sepasang mata wanita bercadar yang begitu mirip dengan Syakila. Meski hanya sepasang mata, Kamil masih begitu hafal dengan pandangannya yang selalu teduh dan menenangkan. Tetapi Kamil sendiri tak bisa meyakini hal itu sebab wajah itu tertutup cadar. Dia akan mengetahuinya setelah nanti mereka berbincang. Jika pun dia bukan Syakila, pasti mereka orang yang dekat dengan wanita pujaannya mengingat butik yang semalam ia lewati adalah butik milik Syakila. Pandangan mata Kamil tak bisa terlepas dari Syakila. Sementara Devan nampak tak suka melihat keberadaan dan pandangan memuja yang Kamil tujukan untuk istrinya, "Ck! Ngapain dia di sini." Lalu mendekat positif pada Syakila. "Selamat pagi semuanya, dengan pihak butik korban pembobolan?" sapa polisi yang baru saja tiba bersama Kamil. "Pagi, betul, Pak," sahut Bamantara. "Baik. Perkenalkan ini Pak Kamil, orang yang semalam membawa sekaligus saksi yang melihat pelaku pembo
"Ah, sialan Kamu. Awas ya!" sentak Jasmin sembari berjalan meninggalkan ruangan. "Kamu tuh yang awas! Dasar asisten belagu. Tukang halu. Huuuuu," sorak Desi penuh kemenangan. *** Beberapa jam mendapat pertanyaan dari polisi, akhirnya Kamil diijinkan untuk pulang. Saat tiba di tempat keberadaan Devan dan yang lainnya tadi berada, suasana sudah sepi. Hanya terlihat Bamantara dan kuasa hukumnya yang setia menunggu. "Oh, Anda masih di sini, Pak Bamantara?" ucap Kamil. "Panggil saja Opa. Saya biasa dipanggil seperti itu," sahut Bamantara mengakrabkan diri. "Baiklah, Opa." "Begitu lebih baik. Emmm, saya hanya ingin mengajak kamu makan siang sebagai ucapan terima kasih. Tapi kalau kamu tidak sibuk." "Oh, kebetulan saya sedang tidak ada kegiatan. Beberapa hari lalu saya baru saja berhenti dari pekerjaan saya." Kamil terpaksa berbohong. Tak mungkin dirinya mengatakan sedang terkena skors dari kantor. Setidaknya ia akan menjaga imejnya di pertemuan pertama dengan seseorang yan
Yumna membalikkan badannya bermaksud membuat perhitungan pada orang yang telah lancang mengatakan dirinya murah.Hanya ada wanita dengan tatanan rambut ikal sebahunya yang mengkilap, juga makeup elegan yang menghiasi wajah cantik itu meski diperkirakan usianya lebih tua dari Yumna. Serta tas branded dengan harga fantastis yang ia tenteng di tangan kirinya. Tak ketinggalan kacamata hitam yang menutupi matanya."Heh, memangnya kamu siapa? Berani mengatakan itu padaku. Kau kira dirimu hebat dengan gaya rambut yang sok itu, serta tas branded palsumu? Cih! Memalukan!" cibir Yumna sembari bersedekap dada.Perempuan itu nampak santai membuka kacamatanya dan tersenyum remeh pada Yumna, "Semua yang ada padaku asli. Pastinya berkualitas tinggi dan mahal. Tapi ... Sudahlah, saya tidak perlu memberi tahumu. Saya ke sini cuma mau mengambil kartu ATM yang diberikan suamiku padamu.""Kartu ATM? Suami? Siapa yang kamu maksud?" Yumna memasang ekspresi tak mengerti."Jangan perlihatkan sifat aslimu, wa