Beberapa hari berlalu, pegelaran fashion show akan diadakan esok hari. Baik butik Syakila maupun perusahaan Devan sama-sama sibuk. Kebersamaan pengantin baru itu sedikit berkurang, ditambah keposesifan Aira belum juga berkurang membuat waktu untuk berduaan juga minim. Sering kali mereka bahkan hanya bertemu di meja makan saat sarapan. Atau sekedar menyapa lewat obrolan melalui ponsel. [Istriku, sepertinya aku akan pulang sedikit terlambat. Aku harus melakukan pertemuan penting dengan rekan bisnis saat makan malam] Devan mengirim pesan pada Syakila. Tak perlu menunggu lama, pesan itu segera terbalas. [Baiklah suamiku. Tidak apa-apa.] [Sebenarnya aku sangat merindukanmu, tapi kalau kau sudah mengantuk, tidurlah lebih dulu. Tak usah menungguku.] Syakila tersenyum membaca pesan balasan dari suaminya. Namun sengaja tak membalasnya. Dia malu. Biarlah dia akan menunggu kepulangan Devan nanti. Dengan ditemani oleh Jo, Devan melakukan pertemuan penting dengan salah satu rekan
"Syakila!" Alih-alih menjauh, Yumna justru dengan sengaja membaringkan tubuhnya di atas tubuh Devan, melumat bibir lelaki itu dengan bringasnya. Tentu saja Devan menyambutnya dengan hangat, sebab pengaruh obat perangsang itu telah menguasai kesadaran lelaki itu seutuhnya. Syakila yang begitu geram segera mendekat dengan langkah cepat, meraih sabuk milik Devan di lantai lalu melilitkannya pada leher Yumna dan menarik paksa tubuh wanita itu untuk turun dari atas ranjang. Yumna tak kuasa melawan gerakan mendadak itu. Leher yang terasa sesak dan sakit memaksa dia mengikuti ke mana tangan Syakila menariknya. Meski Yumna sekuat tenaga berusaha melepaskan sabuk dari lehernya, tetapi tenaga Syakila jauh lebih kuat darinya. "Dasar wanita gatal! Tidak tahu diri! Murahan!" Istri dari Devan itu terus mengumpat sembari terus menyeret perempuan yang telah lancang mencumbu suaminya. "Emmm. Le--pas!" Yumna terbata dengan napas terengah-engah. "Tenang saja, kau pasti akan aku lepaskan
"Pelan-pelan, Mas. Kamu masih pusing." Syakila dengan telaten kembali memberi pijatan lembut di kepala Devan."Kenapa bisa kesiangan begini? Bagaimana acara fashion show-nya. Apa semua lancar?""Hmmm. Semua berjalan lancar dan sukses. Nita baru saja mengabari.""Mengabari? Apa itu artinya kau juga tidak datang?""Begitulah. Aku juga terlambat bangun, sama sepertimu.""Hah! Memangnya Ibu tidak membangunkan kita?""Sudahlah, Mas. Jangan banyak tanya dulu. Lama-lama aku jadi ikut pusing menjawabnya.""Iya, tapi---""Nanti setelah pusingmu mereda aku janji akan menceritakan semuanya.""Iya, baiklah, istriku. Aku percaya padamu."Akhirnya Devan berhenti bertanya. Memejamkan matanya menikmati pijatan lembut tangan Syakila.Hingga tak terasa dia kembali terlelap.Ponsel milik Devan yang tergeletak di atas nakas bergetar. Dapat terlihat dengan jelas nama Jo berada di layar itu.Dengan penuh hati-hati, Syakila mengangkat kepala Devan dan meletakkannya pada bantal, setelah dirinya berhasil meny
"Hah! Apa-apaan ini. Bagaimana bisa?!" Yumna memekik ketika membaca berita mengenai video viral yang begitu mirip dengannya. Bukan hanya mirip, tetapi memang dialah pemerannya. "Tidak mungkin! Aku dan Om Ray selalu menghapus video setelah selesai main." "Ini pasti jebakan. Pasti ada yang sengaja mengeditnya, tapi ... Pakaian dalam itu sama persis dengan yang kukenakan waktu itu. Bagaimana bisa sangat mirip?" "Aaaaarrrggg, brengsek!" Yumna terus bermonolog sembari menjambak rambutnya kasar. "Siapa yang melakukan semua ini! Aaaaarrrggg," jeritnya. Mendadak kepalanya seperti mau meledak memikirkan masalah yang bertubi-tubi menimpanya. Belum hilang rasa kesal atas perlakuan Syakila dan Nita, kini dia harus menghadapi kenyataan lain yang tak kalah pelik. "Atau jangan-jangan yang melakukan ini ..." Dertt. Dertt. Dertt ! Ponsel yang sempat ia lempar ke atas kasur bergetar. Sebuah nomor belum tersimpan dalam kontak terlihat melakukan panggilan. "Siapa sih!" sungut Yumna t
Diantar oleh sopir keluarga, Devan dan Syakila menuju villa yang ditunjukkan oleh Sukoco."Sayang ..." panggil Devan dengan mata terpejam sembari menyandarkan kepalanya pada jok mobil. "Hmmm," sahut Syakila yang sedang sibuk membalas chat dari beberapa pelanggan. "Bukankah tadi itu restoran Jepang?""Iya." Syakila masih sibuk dengan gadget-nya."Sepertinya itu tempat pertemuanku dengan Pak Ray semalam.""Hmmm, lalu?""Apakah artinya aku belum sama sekali pulang ke rumah?""Iya, Mas. Nanti setelah sampai aku jelaskan. Aku balas chat dulu sebentar, ya."Hening. Devan menurut, tetapi otaknya bekerja menyatukan kejanggalan-kejanggalan yang ia temui. Mulai dari restoran itu, tempat menginap, dan selangkangan istrinya yang nyeri. Serta mimpinya yang terbilang begitu nyata ketika melakukan penyatuan bersama Syakila.Tak tahan, akhirnya Devan kembali memanggil Syakila."Sayang ...""Iya, Mas.""Tadi kau bilang selangkanganmu sakit kan? Apa itu artinya yang kurasakan semalam bukanlah mimpi?
Sontak baik Sundari maupun Jasmin tertegun, sejurus kemudian kembali menggedor pintu dengan keras."Yumna! Buka pintunya!" "Kak Yumna, jangan becanda deh! Buruan buka pintunya!""Yumna!""Kak Yumna!"Dug! Dug! Dug!Mereka terus memanggil dan berteriak dengan panik. Hingga sebuah suara anak kunci terbuka berhasil menenangkan keduanya.Gagang pintu bergerak dan dengan cepat pintu terbuka. Muncullah Yumna dengan wajah tak suka memandang dua wanita di depannya."Apa sih? Berisik banget!" sungutnya."Kamu tuh yang kenapa? Mama panggil-panggil bukannya nyahut malah diem aja," balas Sundari."Iya nih, bikin Mama khawatir tahu! Dikira Kakak BunDir." Jasmin pun ikut menimbrung."Enak aja. Seorang Yumna tidak akan melakukan itu sebelum membuat si kampung itu menderita seumur hidupnya," tekad Yumna dengan raut nyalang memandang lurus ke depan."Ya, kau benar, Kak. Aku akan membantumu. Aku juga muak melihat hidup wanita itu yang semakin bahagia. Apalagi setelah perempuan itu dengan sengaja mempe
Di dalam kamar megah, di atas kasur king size sebagai saksi penyatuan cinta, Syakila dan Devan tengah berbagi peluh kenikmatan. Sudah berbagai gaya mereka gunakan untuk sama-sama mencapai puncak. Di tengah temaramnya lampu kamar, Syakila begitu menikmati sentuhan lembut Devan yang mampu membawanya melayang. Tak cukup hanya satu kali, mereka mengulang hingga ketiga kalinya. Menghabiskan malam hingga pukul tiga dini hari. Pun dengan Devan. Lelaki itu bagaikan menemukan oase di tengah Sahara. Dahaga yang selama bertahun-tahun ia pendam kini tersalurkan sudah. Bersama Syakila, wanita yang mampu memberinya segudang rasa. Wanita suci yang menjaga marwahnya untuk dipersembahkan padanya. Meskipun ini bukan kali pertama bagi mereka, tetapi di tempat ini mereka bisa leluasa melakukan apa yang mereka inginkan. "Mendesahlah, Sayang. Keluarkan suaramu. Di sini tidak ada siapapun yang akan terganggu dengan suara indahmu," bisik Devan disela pergulatan. Dia tahu Syakila tengah menahan sua
"Mas Kamil!" "Syakila!" gumam Kamil ikut terkejut melihat sepasang mata wanita bercadar yang begitu mirip dengan Syakila. Meski hanya sepasang mata, Kamil masih begitu hafal dengan pandangannya yang selalu teduh dan menenangkan. Tetapi Kamil sendiri tak bisa meyakini hal itu sebab wajah itu tertutup cadar. Dia akan mengetahuinya setelah nanti mereka berbincang. Jika pun dia bukan Syakila, pasti mereka orang yang dekat dengan wanita pujaannya mengingat butik yang semalam ia lewati adalah butik milik Syakila. Pandangan mata Kamil tak bisa terlepas dari Syakila. Sementara Devan nampak tak suka melihat keberadaan dan pandangan memuja yang Kamil tujukan untuk istrinya, "Ck! Ngapain dia di sini." Lalu mendekat positif pada Syakila. "Selamat pagi semuanya, dengan pihak butik korban pembobolan?" sapa polisi yang baru saja tiba bersama Kamil. "Pagi, betul, Pak," sahut Bamantara. "Baik. Perkenalkan ini Pak Kamil, orang yang semalam membawa sekaligus saksi yang melihat pelaku pembo
Bamantara segera memanggil dokter. Sementara Sukoco, Amber dan Devan berdiri di sisi ranjang persalinan Syakila."Silakan menunggu di luar. Kami akan segera melakukan tindakan. Cukup suaminya saja yang berada di sini," ucap dokter sesaat setelah ia memeriksa pembukaan Syakila yang sudah genap."Baik, Dok." Mereka semua keluar, menyisakan Devan yang gemetar menemani Syakila.Dibantu beberapa perawat, dokter perempuan spesialis kandungan mengarahkan Syakila untuk mengatur napas.Suara erangan Syakila terus menggema di ruang bersalin. Devan tidak melepaskan genggaman tangannya, matanya memerah, dan hatinya penuh doa yang tak putus. Keringat deras membasahi dahi Syakila, tetapi semangatnya tak tergoyahkan."Sayang, kamu kuat. Sebentar lagi selesai," bisik Devan, suaranya bergetar menahan rasa cemas yang menyelubungi hatinya.Dokter memberi isyarat kepada Syakila untuk kembali mendorong dengan tenaga terakhir. "Ayo, Bu, sekali lagi! Tarik napas dalam dan dorong sekuat tenaga!"Dengan satu
Mendengar teriakkan Renata, seketika membuat Devan dan ibunya panik. Sementara dokter segera mengambil tindakan dengan memberikan obat penenang. Terpaksa hal itu harus dilakukan kembali karena keadaan Renata yang belum bisa stabil mengontrol dirinya.Perlahan tapi pasti, teriakan Renata melemah dan akhirnya dia terbaring dengan mata terpejam di tempat tidur."Kira-kira, apa Renata bisa sembuh, Dok?" tanya Sukoco setelah mereka berada di luar ruangan."Semua kemungkinan tetap ada, Bu. Kita hanya bisa berusaha, selebihnya Tuhan yang akan menentukan," sahut dokter."Lakukan yang terbaik untuk Renata, Dok. Saya serahkan pada tim dokter di sini sembari membantu dengan doa," timpal Devan."Tentu, kami akan melakukan yang terbaik untuk pasien.""Terima kasih. Kalau begitu, kami pamit dulu, Dok. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan untuk menghubungi saya.""Baik, Pak Devan. Terima kasih kembali."Kemudian mereka berpisah di lorong yang berbeda tujuan. Devan dan Sukoco berjalan pulang, sementara
Suasana mendadak sunyi seakan menunggu jawaban Devan. Entah karena memang ingin mengetahui kabar Renata, atau karena bingung dengan reaksi Devan yang berubah mimik ketika ibunya bertanya, semua yang duduk lesehan di ruang tengah menatapnya.Menghembuskan napas panjang, Devan pun akhirnya menjawab setelah beberapa saat terdiam, "Renata sekarang berada di rumah sakit, Bu. Keadaannya tidak baik-baik saja.""Innalillahi ... Apa dia sakit di penjara?" Dengan keterkejutan yang tak dapat disembunyikan, Sukoco kembali bertanya."Devan juga kurang tahu, Bu. Rencananya besok Devan akan menjenguk untuk melihat keadaannya. Semoga dia baik-baik saja.""Kasihan sekali dia. Lalu, apakah Rosa tahu kalau Renata sakit?""Sepertinya belum, karena Tante Rosa sudah lama pindah dan Devan tidak tahu tempat tinggalnya yang baru."Sukoco mendesah pelan. Rasa iba seketika menghinggapi mengingat Renata pernah tinggal bersamanya. Meskipun akhir-akhir ini sikap gadis itu melewati batas, tetapi Sukoco tahu bahwa s
"Maafkan aku, Veen. Aku gak tega menyembunyikan dari mereka, terlebih kamu harus melewatinya hanya bersama Mas Devan. Ya, meskipun aku tahu, kalian pasti bisa melewati semuanya," terang Nita menyela ucapan Syakila.Sahabatnya itu benar-benar tak tega saat menjenguknya beberapa waktu lalu di rumah sakit, sehingga keceplosan bilang pada Bamantara saat bertemu di butik. Nita pikir, dengan adanya do'a dari keluarganya, mungkin bisa mengurangi rasa sakit Syakila."Jangan salahkan Nita, Nak. Kita yang memaksanya untuk bicara," timpal Bamantara, memandang cucu angkatnya dengan sendu. Rasanya tak tega melihat wanita itu diuji terus menerus sejak dulu. Walaupun cuma cucu angkat, tapi Bamantara benar-benar menyayanginya."Lagian, kenapa kamu menyembunyikannya dari kami, hem?" tanya Amber sembari mengusap kepala Syakila.Istri dari Devan itu hanya menunduk. "Kila hanya tidak ingin terus menerus menambah beban pikiran kalian," lirihnya."Apa yang kamu katakan, Sayang. Kamu ini bukan beban, tapi k
Devan meletakkan ponselnya di meja dengan tangan bergetar. Napasnya terasa berat, dan pikirannya dipenuhi kekhawatiran yang membingungkan. Wajahnya pucat, membuat Syakila semakin cemas.“Mas, apa yang mereka katakan?” tanyanya dengan nada panik.Devan menghela napas panjang sebelum menjawab. “Polisi bilang... Renata dalam kondisi buruk di penjara. Dia sering membuat keributan, dan itu membuat dia harus ditempatkan di ruang isolasi dan kemungkinan akan dipindahkan ke tahanan rumah sakit kejiwaan. Mereka minta aku datang.”“Astaghfirullah. Kenapa bisa begitu, Mas?" ucap Syakila tak kalah terkejut."Mas juga gak tahu, Sayang. Mas akan telepon Pak Herman saja untuk mengurusnya."Syakila tertegun sejenak. Ia tak tega melihat suaminya dilanda banyak masalah dan tanggung jawab. Andai bisa, ia ingin sekali membantu, tetapi kondisinya yang lemah mungkin hanya akan memperburuk keadaan. Untuk itu Syakila ingin mengurangi beban pikiran suaminya dengan pulang dan istirahat di Jakarta saja supaya l
Renata duduk di sudut ruangan. Tubuhnya yang dulu anggun kini hanya menyisakan bayang-bayang kesengsaraan dengan rambutnya yang kusut."Mas Devan... tolong aku," lirihnya, hampir tak terdengar. Namun, suara itu terus diulang-ulang, seolah menjadi satu-satunya pegangan di tengah kegelapan.Para narapidana lain di sel besar itu menatapnya dengan berbagai ekspresi. Ada yang iba, tapi lebih banyak yang mencemooh. Salah satu dari mereka, wanita bertubuh kekar dengan tato di lehernya, mendekat sambil menyeringai."Kau pikir orang yang kau sebut namanya itu akan menyelamatkanmu? Hah! Kau ini cuma boneka yang sudah dibuang. Lihat dirimu sekarang!" Wanita itu meludahi tanah, matanya memandang Renata dengan jijik.Renata memejamkan matanya, mencoba mengabaikan ejekan itu. Tapi pikirannya tak bisa berhenti memutar ulang ingatan tentang Devan. Pria itu—satu-satunya yang dia anggap mampu menyelamatkannya dari tempat ini."Mas Devan pasti akan datang," gumam Renata. Suaranya nyaris tak terdengar, t
Meski sudah berbulan-bulan tak sadarkan diri, kakak kandung almarhum Kamil itu masih sangat mengenali pria gagah di hadapannya. Pria yang dulu begitu didambanya, tetapi pada akhirnya dia harus merelakan ia berjodoh dengan yang lain meskipun awalnya penuh ketidakrelaan."Syukurlah akhirnya kamu sadar, Yum. Bagaimana perasaanmu sekarang? Apa yang kamu keluhkan?" Devan memberondong Yumna dengan pertanyaan setelah dokter selesai memeriksanya.Tak menjawab, Yumna menyunggingkan senyum tipis. Dokter kemudian menjelaskan bahwa kondisi Yumna sudah lebih baik, hanya saja ada beberapa hal yang ingin dokter sampaikan pada Devan tetapi tanpa sepengetahuan Yumna. Melalui sebuah kode, dokter itu menyuruh Devan untuk ikut dengannya ke ruangan."Kamu istirahatlah, aku keluar dulu," ucap Devan. Yumna mengangguk lemah.***"Maaf sebelumnya, apakah Anda suami dari pasien?" tanya dokter ketika mereka sudah berada di ruangan konsultasi."Bukan, Dok. Saya temannya. Atas permintaan almarhum adiknya, saya ya
Di lorong rumah sakit, Devan duduk termenung di salah satu bangku, menggenggam secangkir kopi yang sudah dingin. Pikirannya berkelana, memikirkan dua wanita yang kini menjadi tanggung jawabnya—Sundari dan Yumna. Pesan terakhir Kamil masih terngiang jelas dalam ingatannya."Tolong jaga mamaku yang sedang struk, juga Kak Yumna yang masih koma."Suara langkah kaki membuat Devan menoleh. Perawat yang tadi menangani Sundari datang menghampirinya."Pak Devan, saya sudah memeriksa keadaan Bu Sundari. Sejauh ini stabil, tapi... sepertinya beliau sangat berharap Pak Kamil datang," ujar perawat itu hati-hati.Devan mengangguk lemah. "Saya mengerti. Saya akan mencari waktu yang tepat untuk bicara dengannya."Perawat itu ragu sejenak sebelum melanjutkan. "Saya yakin Pak Kamil ingin yang terbaik untuk keluarganya. Tapi beban ini tentu tidak mudah bagi Anda. Jika butuh bantuan, kami di sini siap mendukung."Devan tersenyum tipis, merasa sedikit terhibur oleh perhatian perawat itu. "Terima kasih. Sa
Beberapa saat kemudian, perawat yang tadi berjanji kembali memasuki ruangan. Wajahnya tampak sedikit tegang, tapi dia mencoba tersenyum agar tidak menambah kecemasan pasiennya."Ibu, saya sudah coba hubungi Pak Kamil," katanya lembut.Sundari, yang terbaring di tempat tidur, berusaha menggerakkan bibirnya untuk bertanya. Namun, hanya gumaman lemah yang keluar. Perawat itu segera mendekat, menggenggam tangan Sundari dengan hati-hati."Pak Kamil sedang sibuk, Bu. Tapi beliau titip pesan bahwa beliau sangat sayang sama Ibu dan akan segera datang jika urusannya selesai," lanjutnya dengan suara penuh kebohongan yang terdengar begitu tulus.Mata Sundari sedikit berkaca-kaca. Meskipun tidak bisa berkata-kata, ia mencoba menunjukkan rasa terima kasih dengan menggenggam lemah tangan perawat tersebut."Tenang saja, Bu. Saya akan pastikan Ibu tetap sehat supaya bisa bertemu beliau nanti," ucap perawat itu sambil menyeka sudut matanya yang mulai basah.Namun di dalam hatinya, perawat itu merasa s