Sama halnya seperti pesan yang Yumna kirim pada Devan terabaikan, pada Syakila pun sama. Belum satu pun pesan itu mereka baca. Kedua orang itu seakan-akan memiliki chemistry untuk tak menggubris pesannya. "Kenapa sih mereka! Kok bisa sama-sama gak menggubris pesanku!" Yumna mulai jengkel. Ia jengah menunggu. Dilemparnya ponsel yang sedari tadi ia intip berharap satu balasan dari Devan maupun Syakila ke atas kasur. Barang-barang diatas meja rias juga tak luput dari amukannya. Yumna menjambak rambutnya frustasi. Ia ingin marah, tapi pada siapa? Di depan cermin ia melihat pantulan dirinya yang kacau. Rambut awut-awutan, wajahnya tampak mulai sedikit mengendur oleh usia, ditambah akhir-akhir ini tidurnya tak nyenyak. Jika bukan karena makeup yang menempel sempurna di wajahnya, lingkaran hitam pasti terlihat jelas di matanya. Yumna mendekat pada kaca, memandang setiap inci lekuk tubuhnya yang hanya tertutup bagian sensitifnya. Semua terlihat indah, sempurna baginya. Gumpa
Kriet ... Pintu kamar mandi terbuka, Syakila pun urung mengangkat panggilan yang sejak tadi belum berhenti berteriak. Devan nampak terlonjak ketika mendapati istrinya sudah duduk di atas ranjang, padahal saat dirinya masuk ke kamar mandi tidak ada siapapun di kamar ini. "Sayang, kok kamu ada di situ? Sejak kapan?" Sembari melangkah, Devan melontarkan tanya dengan lembut. Hatinya berbunga-bunga mendapati Syakila satu ruangan dengannya. "Eum ... Sejak Mas di kamar mandi." Syakila kikuk. "Eh, aku ganggu, ya. Kalau begitu aku keluar dulu." Dia buru-buru beranjak dan berniat keluar, tetapi tangannya segera dicekal oleh Devan. "Nggak ganggu, kok. Aku malah seneng ada kamu," ujar Devan. Perlahan dia menarik tangan Syakila yang berada di genggaman untuk menghadapnya. Syakila sudah panas dingin rasanya. Dia begitu grogi berduaan begini dengan Devan. Apalagi semenjak kejadian video call tadi siang. Syakila seperti tak punya muka di hadapan lelaki itu. Sadar kini status mereka t
"Syakila!"Dengan langkah lebar Devan bergegas meraih tangan istrinya yang sedari tadi menjambak rambutnya sendiri."Lepas!" pekik Syakila.Tak hiraukan, Devan justru membawanya ke dalam pelukan."Maaf. Tenanglah. Semua tidak seperti yang ada di pikiranmu." Tangannya mengelus punggung dan kepala Syakila. Sesekali ia mendaratkan kecupan di pucuk kepala itu."Percayalah, itu hanya nomor iseng. Aku sangat mencintaimu, Syakila. Aku tidak mungkin melakukan hal bodoh itu.""Astaghfirullahaladzim," lirih, Syakila berulang kali beristighfar untuk menenangkan diri.Di dalam dekapan hangat pria yang kini sah menjadi suaminya, Gadis itu selalu bisa merasa tenang. Dia dapat merasakan ketulusan di sana. Perlahan kepanikan shakila berangsur membaik. Deru napasnya tak lagi memburu. Genggaman erat di piyama Devan pun mengendur, perasaannya sudah bisa dikendalikan.Devan merenggangkan pelukan, menatap sendu wajah Syakila yang masih sedikit terisak.Devan kembali mendaratkan kecupan kehangatan pada ke
"Apa yang kamu pikirkan? Jangan mesum!" Devan menyentil dahi Syakila yang mendongak menatapnya. "Auw!" Syakila meringis sambil mengelus jidatnya. "Mas Devan, Iiihh. Sakit tahu." Bibir Syakila mencebik membuat Devan semakin gemas. "Habis kamu lucu." "Aku tidak sedang melawak, Mas. Aku serius." "Mas tahu, tapi Mas juga serius nunggu kamu benar-benar siap, kecuali ..." "Apa?" Syakila penasaran. "Kecuali kamu sudah pengen," bisik Devan tepat di telinga Syakila. "Mas Devan ... Ih, Syakila gak gitu kok." Tangan lembut gadis itu mendaratkan pukulan kecil pada dada bidang suaminya. "Kan siapa tahu saja." Devan membalas dengan menggelitik pinggang Syakila. Hal itu membuat Syakila yang masih berada di atas tubuh Devan bergerak geli, menyenggol sesuatu yang bisa hidup terasa menegang. "Stop. Jangan gerak-gerak, Sayang. Mas takut gak kuat." Mata Syakila mengerjap polos seraya menghentikan gerakan. "Aku berat ya? Ya sudah aku turun saja kalau begitu. Mas Devan, sih, pake an
Tak menggubris, gadis cilik dengan potongan rambut bob kian menjauh. Dia begitu bersemangat ingin melaporkan pada sang nenek perihal nyamuk yang sudah lancang menggigit leher Mommy-nya."Mas?" "Biarkan saja. Ibu pasti bisa mengatasi bocil itu.""Tapi Syakila malu.""Malu kenapa?""Mas Devan, ih. Bercanda mulu.""Iya, Sayang, sorry." Devan mendekat, turut naik ke atas kasur dan duduk di sebelah istrinya. "Sini peluk," pintanya sambil merentangkan tangan.Tak lagi canggung, wanita yang semalam menyerahkan mahkota kesuciannya pada sang suami, dengan senang hati bersandar di dada bidang yang selalu membuatnya nyaman.Kini posisi Devan memangku tubuh ramping Syakila dari belakang."Apa masih sakit?" tanya Devan."Sedikit," jawab Syakila tersipu."Tidak apa-apa, nanti berangsur membaik asal jangan banyak gerak dulu. Atau mau Mas olesi salep?""Tidak perlu!" sahut Syakila menggeleng cepat. Tak bisa membayangkan andai itu benar terjadi. Bukannya sembuh yang ada justru bisa sebaliknya."Kena
Keduanya sontak berhenti ketika mendapati Jasmin tengah berkacak pinggang di depan mereka, dengan tatapan meremehkan."Ck! Orang-orang munafik seperti kalian harusnya tenggelam saja di laut. Tidak tahu malu!" Lagi, Jasmin berbicara dengan tidak sopannya pada Devan dan Syakila.Gadis itu begitu percaya diri dengan tingkahnya, sebab ia yakin di antara mereka tidak terjalin suatu hubungan resmi. Jika pun ada, itu hanya sebatas pacaran, pikir Jasmin.Alih-alih menjauh, Devan justru beralih merangkul pinggang ramping Syakila di depan Jasmin."Apa masalahmu dengan kami, Nona?" ucap Devan bernada santai.Jasmin semakin meradang. "Mas Devan ngapain di sini? Pakai peluk-peluk segala, mau pamer?" sungut Jasmin."Kalau iya, memangnya kenapa?" Devan menantang."Oh, mau aku viralin? Biar hancur karir kamu sekalian. Dasar manusia-manusia munafik!" Jasmin tak segan mengancam dan mengumpat. Di tangannya sudah ada ponsel yang siap merekam video."Tutup mulutmu! Lancang sekali bicaramu! Kau bahkan tida
"Jasmin. Kau ditunggu Mba Nita di ruangannya." Salah satu karyawan memanggil Jasmin atas perintah Nita. Jantung Jasmine sedikit berdebar. Tak memungkiri perasaan wanita bercelana jeans panjang itu sedikit takut. Bukan takut perihal omelan yang akan dia dapat, tetapi pada sangsi yang pasti melelahkan dan memberatkan dirinya. "Buruan! Malah bengong!" sentak seseorang itu membuat Jasmin terlonjak. "Iya. Bawel!" balas Jasmin. Dengan langkah gontai, wanita yang lulus SMA dua tahun lalu itu berjalan menuju ruangan Nita yang telah menunggunya sejak tadi. Tok! Tok! Tok! "Masuk!" perintah Nita dari dalam. Jasmin pun menurut. Ia membuka pintu, perlahan memasuki ruangan itu. "Mba panggil saya?" ucap Jasmin setelah berada di depan meja kerja Nita. "Iya. Tunggu sebentar, saya selesaikan pekerjaan saya dulu." Nita tetap fokus pada monitor di depannya. Beberapa menit berikutnya, Nita terlihat beranjak. "Ikuti saya," ujarnya menyuruh Jasmin lalu berjalan mendahuluinya. "Ke mana,
"Jangan macam-macam kau gadis kampung. Sekali kampungan tetap kampungan meskipun kau bersembunyi di ketiak nama besar Mas Devan dan butik kecil ini. Kalau kau berani macam-macam, aku tidak segan untuk membuat hidupmu hancur sehancur-hancurnya!" ucap Jasmin penuh penekanan. Syakila yang sudah begitu geram dengan tingkah gadis kecil di depannya itu mendekat. Tak disangka tangan lembutnya mencengkeram kedua pipi Jasmin, memberi tatapan tajam dan membalas ancaman yang ditujukan padanya. "Kau yang harus hati-hati, Bocah! Masa depanmu ada di tanganku. Jangan macam-macam dan bertingkah lagi di depanku. Aku bukan Syakila yang dulu! Diam dan menurut atau aku sebarkan foto menjijikkanmu dengan laki-laki di kamar hotel!" sentak Syakila lalu menghempaskan pipi Jasmin ke udara. "Apa maksudmu?!" Meski sudah mendapat peringatan, rasa penasaran pada ancaman Syakila membuatnya berani untuk bertanya. Syakila tersenyum miring menanggapi, kemudian berbisik di telinga Jasmin, "Foto tanpa busana dir