"Tidak! Tidak boleh!"Aira terbangun saat semua orang sibuk mendengar ijab qobul. Anak itu mengucek matanya sebentar lalu teringat kembali dengan Daddy-nya yang ijin menikah. Dia langsung teriak kencang tepat setelah Devan selesai berucap.Sontak saja semua terkejut dan menoleh pada Aira yang duduk di sofa. Sukoco lantas mendekati, mengelus kepalanya dan menggendongnya. "Aira kenapa?" tanyanya."Daddy gak boleh nikah!"Semua orang sontak beradu pandang satu sama lainnya. Termasuk juga Devan dan Sukoco.Sementara Syakila diam dengan sejuta rasa. Ketakutan itu perlahan menghinggapi. Apakah masa lalu dipermalukan akan kembali ia dapatkan? Gadis itu mulai berpikir buruk."Meskipun dengan mommy Kila?" tanya Sukoco lembut.Mendengar nama itu Aira mengerjap memandang neneknya, "Mommy Kila?""Iya. Itu ..." Sukoco menunjuk Syakila yang duduk di atas hospital bed, tengah memandang sendu padanya.Aira pun mengikuti ke mana arah telunjuk neneknya menunjuk. "Mommy Kila ...!" serunya girang dengan
"Aira anak cantik ... Please. Malam ini Aira tidur di kamar Aira, ya."Terhitung malam ketiga Syakila diboyong ke rumah keluarga Sukoco. Namun, belum pernah satu malam pun Devan menikmati indahnya tidur berdua dengan sang istri.Aira tak pernah memberikan kesempatan itu padanya. Devan bisa apa? Marah? Kesal? Pada siapa?Untuk tiga malam kemarin Devan bisa bersabar, tetapi hari ini bagaimanapun caranya dirinya harus bisa membujuk anaknya tidur terpisah dengannya."Besok Daddy belikan banyak boneka yang lucu. Gimana?" imbuh Devan membujuk.Aira mengangguk setuju. "Iya." Devan sangat bahagia. "Tapi sama mommy!" Seketika tubuh Devan lemes.Percuma. Apa bedanya Aira tidur di kamarnya sendiri dan di kamar orang tuanya jika tetap saja bersama Syakila. Daddy-nya mulai gregetan. "Pokoknya malam ini Aira harus tidur sendiri di kamar Aira. Titik!" tegas Devan."Gak mau!" Aira tetap menolak."Harus mau! Kalau tidak, besok Daddy akan---""Mas ... Jangan bicara sembarangan." Suara lembut Syakila b
"Ada apa dengan wajahmu, Bos? Lupa sarapan? Sudah seperti cucian lecek." Devan yang baru datang ke kantor keesokan paginya langsung mendapat serangkai pertanyaan dari Jo. "Diamlah, Jo. Kepalaku sakit," timpal Devan menyandarkan kepalanya sembari memberi pijatan kecil di sana. Hal itu membuat Jo semakin ingin melontarkan banyak pertanyaan pada sahabat juga atasan di tempatnya bekerja. Bukankah seseorang yang baru saja melangsungkan pernikahan cenderung berseri-seri? Lalu, bosnya itu kenapa? Atau jangan-jangan ... Jo mulai menduga-duga dengan pikirannya sendiri. Kepalanya dicondongkan untuk berbisik pada Devan. "Apa rasanya di luar ekspektasi?" "Apanya?" Devan mengernyit tak paham. "Anu-nya. Kalau tidak, mana mungkin wajahmu seperti itu. Aku memperhatikannya sudah dari kemarin." Devan mendesah pelan, "Aku bahkan semalam tidur terpisah dengannya." "Apa!" Jo tercengang. "Seorang Devan tidur terpisah dari istrinya di hari pernikahan yang belum genap satu Minggu." Jo tak hab
Sama halnya seperti pesan yang Yumna kirim pada Devan terabaikan, pada Syakila pun sama. Belum satu pun pesan itu mereka baca. Kedua orang itu seakan-akan memiliki chemistry untuk tak menggubris pesannya. "Kenapa sih mereka! Kok bisa sama-sama gak menggubris pesanku!" Yumna mulai jengkel. Ia jengah menunggu. Dilemparnya ponsel yang sedari tadi ia intip berharap satu balasan dari Devan maupun Syakila ke atas kasur. Barang-barang diatas meja rias juga tak luput dari amukannya. Yumna menjambak rambutnya frustasi. Ia ingin marah, tapi pada siapa? Di depan cermin ia melihat pantulan dirinya yang kacau. Rambut awut-awutan, wajahnya tampak mulai sedikit mengendur oleh usia, ditambah akhir-akhir ini tidurnya tak nyenyak. Jika bukan karena makeup yang menempel sempurna di wajahnya, lingkaran hitam pasti terlihat jelas di matanya. Yumna mendekat pada kaca, memandang setiap inci lekuk tubuhnya yang hanya tertutup bagian sensitifnya. Semua terlihat indah, sempurna baginya. Gumpa
Kriet ... Pintu kamar mandi terbuka, Syakila pun urung mengangkat panggilan yang sejak tadi belum berhenti berteriak. Devan nampak terlonjak ketika mendapati istrinya sudah duduk di atas ranjang, padahal saat dirinya masuk ke kamar mandi tidak ada siapapun di kamar ini. "Sayang, kok kamu ada di situ? Sejak kapan?" Sembari melangkah, Devan melontarkan tanya dengan lembut. Hatinya berbunga-bunga mendapati Syakila satu ruangan dengannya. "Eum ... Sejak Mas di kamar mandi." Syakila kikuk. "Eh, aku ganggu, ya. Kalau begitu aku keluar dulu." Dia buru-buru beranjak dan berniat keluar, tetapi tangannya segera dicekal oleh Devan. "Nggak ganggu, kok. Aku malah seneng ada kamu," ujar Devan. Perlahan dia menarik tangan Syakila yang berada di genggaman untuk menghadapnya. Syakila sudah panas dingin rasanya. Dia begitu grogi berduaan begini dengan Devan. Apalagi semenjak kejadian video call tadi siang. Syakila seperti tak punya muka di hadapan lelaki itu. Sadar kini status mereka t
"Syakila!"Dengan langkah lebar Devan bergegas meraih tangan istrinya yang sedari tadi menjambak rambutnya sendiri."Lepas!" pekik Syakila.Tak hiraukan, Devan justru membawanya ke dalam pelukan."Maaf. Tenanglah. Semua tidak seperti yang ada di pikiranmu." Tangannya mengelus punggung dan kepala Syakila. Sesekali ia mendaratkan kecupan di pucuk kepala itu."Percayalah, itu hanya nomor iseng. Aku sangat mencintaimu, Syakila. Aku tidak mungkin melakukan hal bodoh itu.""Astaghfirullahaladzim," lirih, Syakila berulang kali beristighfar untuk menenangkan diri.Di dalam dekapan hangat pria yang kini sah menjadi suaminya, Gadis itu selalu bisa merasa tenang. Dia dapat merasakan ketulusan di sana. Perlahan kepanikan shakila berangsur membaik. Deru napasnya tak lagi memburu. Genggaman erat di piyama Devan pun mengendur, perasaannya sudah bisa dikendalikan.Devan merenggangkan pelukan, menatap sendu wajah Syakila yang masih sedikit terisak.Devan kembali mendaratkan kecupan kehangatan pada ke
"Apa yang kamu pikirkan? Jangan mesum!" Devan menyentil dahi Syakila yang mendongak menatapnya. "Auw!" Syakila meringis sambil mengelus jidatnya. "Mas Devan, Iiihh. Sakit tahu." Bibir Syakila mencebik membuat Devan semakin gemas. "Habis kamu lucu." "Aku tidak sedang melawak, Mas. Aku serius." "Mas tahu, tapi Mas juga serius nunggu kamu benar-benar siap, kecuali ..." "Apa?" Syakila penasaran. "Kecuali kamu sudah pengen," bisik Devan tepat di telinga Syakila. "Mas Devan ... Ih, Syakila gak gitu kok." Tangan lembut gadis itu mendaratkan pukulan kecil pada dada bidang suaminya. "Kan siapa tahu saja." Devan membalas dengan menggelitik pinggang Syakila. Hal itu membuat Syakila yang masih berada di atas tubuh Devan bergerak geli, menyenggol sesuatu yang bisa hidup terasa menegang. "Stop. Jangan gerak-gerak, Sayang. Mas takut gak kuat." Mata Syakila mengerjap polos seraya menghentikan gerakan. "Aku berat ya? Ya sudah aku turun saja kalau begitu. Mas Devan, sih, pake an
Tak menggubris, gadis cilik dengan potongan rambut bob kian menjauh. Dia begitu bersemangat ingin melaporkan pada sang nenek perihal nyamuk yang sudah lancang menggigit leher Mommy-nya."Mas?" "Biarkan saja. Ibu pasti bisa mengatasi bocil itu.""Tapi Syakila malu.""Malu kenapa?""Mas Devan, ih. Bercanda mulu.""Iya, Sayang, sorry." Devan mendekat, turut naik ke atas kasur dan duduk di sebelah istrinya. "Sini peluk," pintanya sambil merentangkan tangan.Tak lagi canggung, wanita yang semalam menyerahkan mahkota kesuciannya pada sang suami, dengan senang hati bersandar di dada bidang yang selalu membuatnya nyaman.Kini posisi Devan memangku tubuh ramping Syakila dari belakang."Apa masih sakit?" tanya Devan."Sedikit," jawab Syakila tersipu."Tidak apa-apa, nanti berangsur membaik asal jangan banyak gerak dulu. Atau mau Mas olesi salep?""Tidak perlu!" sahut Syakila menggeleng cepat. Tak bisa membayangkan andai itu benar terjadi. Bukannya sembuh yang ada justru bisa sebaliknya."Kena