"Dia ...?" Ryan semakin penasaran sebab Parveen menjeda ucapannya."Dia-pria-yang---" Belum selesai Parveen memberikan jawaban dengan terbata, tiba-tiba Ryan memotong ucapannya."Aku tak akan memaksamu. Siapapun dia, aku akan menunggu hatimu leluasa bercerita." Ryan mengulas senyum di bibirnya agar Parveen kembali rileks.Hal itu berhasil membuat perasaan gadis itu membaik. "Terima kasih, Yan. Kau memang selalu mengerti aku.""Tidak perlu seperti itu, yang terpenting kau tetap sehat." Ryan mengelus kepala Parveen yang tertutup hijab.Bukan Devan tak mendengar obrolan dua orang yang satu ruangan dengannya, tetapi dia ingin menunjukkan bahwa dirinya pun bisa bersabar, dan membuat hati wanita pujaannya tenang. Jangan ditanya perasaan lelaki yang begitu mendamba Parveen, saat melihat interaksi Ryan yang terlihat begitu perhatian pada wanita terkasihnya. Andai tak mengingat di mana dirinya berada, dan bagaimana keadaan Parveen saat ini, mungkin sudah sejak tadi pipi mulus Ryan mendapat ha
Jasmin terus mengikuti mobil Devan hingga ke sebuah rumah sakit terdekat."Rumah sakit? Ngapain Mas Devan ke sini?" gumam Jasmin heran.Motornya berhenti di tepi jalan bersebrangan dengan gedung tinggi bertuliskan RSU Permata Medika. Ragu, ia pun akhirnya melanjutkan keingintahunannya. Kepalang tanggung, dia sudah mengikuti sejauh ini.Dari kejauhan, Jasmin dapat melihat Devan berteriak pada petugas medis sambil tergopoh membopong tubuh seorang wanita yang Jasmin belum ketahui identitasnya. Berjalan perlahan, dia terus memata-matai lelaki tampan incaran kakaknya, yang kini sudah duduk di depan ruangan bertuliskan UGD.'Siapa sih yang lagi ditungguin Mas Devan? Kelihatannya dia cemas sekali,' ucap Jasmin dalam hati.Matanya lekat, tak berpaling mengintai lelaki yang hatinya tak karuan menunggu kabar dokter yang memeriksa keadaan Parveen keluar.Seorang pria muda yang tadi sempat berkenalan dengan Devan, berlari kencang menuju ke ruangan UGD lalu masuk tanpa mempedulikan Devan."Hah! K
"Oh! Jadi begitu kelakuanmu di belakangku, Mas!"Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara Della memekik. Kamil menegang, seketika membalikkan handphone-nya ke atas meja. Perlahan, kepalanya menoleh pada Della yang sudah berwajah merah menahan amarah."De-dela ....""Apa!" Dela melotot tajam, lalu mendekat dan merebut handphone suaminya."Jangan, Del!" Seru Kamil yang tak diindahkan.Della tersenyum getir saat melihat dengan jelas sosok wanita berhijab di handphone suaminya. "Perempuan kampung ini lagi, cih! Gak level saingan sama dia!" ujarnya ketus."Sini handphone ku, Del," pinta Kamil."Gak!""Della, ayolah.""Aku akan kembalikan setelah gambar wanita kampungan ini aku hapus!" Della terlihat mengotak-atik benda pipih itu.Sigap, Kamil berusaha menggapai benda persegi itu di tangan istrinya, mencengkeram kuat pergelangannya, lalu menghempaskannya begitu saja setelah berhasil meraih apa yang dimaksud."Jangan campuri urusanku!" tekan Kamil, memandang tajam wajah Della.Napas Dell
"Apa!" Yumna terkejut, lalu mendekati adiknya. "Mas Devan ngapain di sana? Siapa yang sakit? Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya. Dia sulit sekali ditemui," imbuhnya memberondong pertanyaan sembari menabok pelan lengan Jasmin."Apaan sih, Kak, tabok-tabok. Aku juga gak tahu dia lagi ngapain di sana, makanya pengen ikut biar bisa tahu," sungut Jasmin."Kakak seneng banget akhirnya bisa denger kabar Mas Devan," ujar Yumna."Ya sudah, ayok semua siap-siap. Jangan lupa pesan taksi online sekarang, biar gak terlalu lama nungguinnya.Kemudian semua penghuni rumah itu bersiap menuju rumah sakit di mana Della sedang berjuang melahirkan bayinya, serta Parveen yang kini sudah siuman di ruang rawat ditemani oleh Devan dan kakek neneknya."Nak Devan, terima kasih sudah menunggu dan menjaga Parveen sejak siang tadi, tapi sekarang sudah malam, apa tidak sebaiknya kamu pulang dulu? Barangkali mau istirahat di rumah," ucap Amber mengusir secara halus.Dia terlihat tidak suka dengan keberada
"Mau ke mana, Yum?" tanya Sundari.Yumna tak menoleh, dia terus berjalan sembari menjawab, "Tadi aku lihat Mas Devan di sana." Lalu dia mempercepat jalannya menuju pintu gerbang rumah sakit."Dia bilang apa? Cari Devan?" Sundari tampak bingung."Iya kali. Gak jelas," timpal Jasmin."Ikuti Kakakmu sana. Lihat dia mau ngapain? Masa cari Devan di jalan," perintah Sundari pada anak bungsunya."Gak, ah. Biarin aja, dia kan udah gede, Ma. Dia bawa handphone 'kan?" tolak Jasmin."hufh. Ya sudahlah. Ayo kita ke dalam saja."Pada akhirnya mereka berdua memilih untuk membiarkan Yumna mencari keberadaan Devan.Kakak dari Kamil itu celingukan mencari sosok yang selama ini begitu sulit ia temukan. Mana mungkin dia akan membiarkan begitu saja saat orang itu sudah di depan mata.Yumna segera berlari saat ekor matanya dengan jelas melihat dua orang lelaki berbeda usia di seberang jalan, tengah memasuki halaman sebuah geduh bertuliskan penginapan, yang memang disediakan untuk keluarga pasian apabila b
"Syakila. Dia ... Mas Devan ..." Yumna bergumam tak percaya melihat kenyataan di depannya.Ia menggeleng pelan. Mundur, sembari membekap mulutnya sendiri. Sungguh, ini di luar dugaannya. Ia pikir, Syakila sudah lenyap ditelan bumi. Sudah lebih dari tiga bulan setelah gadis itu menghilang, Yumna berusaha mencari tahu tentang keberadaannya, tetapi tak ada informasi secuil pun yang ia dapat.Pernah ia mendengar kabar kecelakaan di sekitar tempat menghilangnya Syakila, ciri dan penampilannya mirip dengan Syakila. Yumna begitu bahagia saat itu. Namun kini ..."Tidak! Tidak mungkin. Ini pasti salah. Dia bukan gadis kampung itu. Dia pasti hanya mirip. Ya, hanya kebetulan. Aku akan pastikan itu."Sembari memandang nanar pintu itu, Yumna terus melangkah ke belakang. Selanjutnya dia memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. Dia akan kembali setelah urusannya selesai. Tentu dengan rencana yang matang.***"Dari mana saja, sih, Kak. Laper tahu!" Jasmin langsung memprotes kakaknya yang baru muncu
'Mas Devan, tolong aku,' lirih Syakila memanggil Devan berharap segera kembali."Hei, kenapa badanmu bergetar begitu? Takut sama aku?" ledek Yumna.Syakila masih berjuang melawan sambaran trauma yang membuatnya ingin berteriak kencang. Guncangan dahsyat itu kembali mengusik otak dan hatinya.Berulang kali Syakila melafazkan asma Allah untuk meredam semuanya, sembari memejamkan mata dan meremas kuat selimut yang menutupi kakinya."Buka dong matanya. Masa ada yang jenguk kok malah ditinggal merem." Lagi, Yumna melontarkan ledekannya.Syakila masih pada posisinya, bergeming tanpa ingin membuka matanya.Hal itu semakin membuat emosi Yumna meledak. Tangannya gatal untuk segera memberikan pelajaran pada wanita di depannya. Dia mendekat. Mengguncang kasar lengan ringkih Syakila."Buka matamu, Bodoh! Dasar kampungan!" sergah Yumna masih kuat mencengkeram lengan gadis itu.'Tidak! Aku tidak boleh begini terus. Aku harus melawan. Ya Allah berikan aku kekuatan.' Hati Syakila terus memberikan supp
"Bagaimana keadaan Syakila, Yan?" Devan langsung menodong pertanyaan pada Ryan saat keluar dari ruangan Syakila.Terhitung tiga jam lebih Syakila tak sadarkan diri setelah mendapat suntikan obat penenang oleh dokter. Setelah siuman, Ryan memeriksanya, setelah sebelumnya diberi kabar oleh dokter di rumah sakit itu.Awalnya Ryan ingin merujuk Parveen ke rumah sakit tempatnya bekerja, agar lebih terkontrol olehnya, tetapi Parveen bersikeras menolaknya.Amber dan Bamantara sedang dalam perjalanan. Kedua orang itu sengaja tidak diberi tahu agar tidak membuat mereka cemas."Apa yang terjadi?" Bukannya menjawab, Ryan bertanya balik pada Devan."Orang yang menyebabkan Syakila seperti itu tiba-tiba datang menemuinya. Aku lengah. Kupikir aku akan meninggalkannya sebentar saja. Aku tidak tahu wanita ular itu ada di sini. Sampai firasat ku membawaku kembali ke sini, dan ternyata ...""Wanita? Bagaimana bisa?""Entahlah. Perempuan itu gila. Dia sangat berambisi melihat Syakila menderita?""Kau haru