Keesokan harinya ...Jasmin sudah bersiap dengan penampilannya yang cetar membahana. semalam dia mendapatkan kabar dari pihak butik untuk mendatangi butik pagi itu, guna menandatangani kontrak.Menggunakan dress satin sepaha, Jasmin terlihat cantik. Apalagi perpaduan mini dress berwarna merah yang begitu kontras dengan warna kulit tubuhnya yang berwarna kuning langsat. Sayangnya, semua itu terkalahkan oleh syal bulu warna biru terang yang melilit di lehernya. Ditambah high heels merah terang yang mencolok setiap mata yang memandang.Dengan jalan berlenggak lenggok Jasmin menenteng tas nya keluar dari kamar."Selamat pagi semuanya. Maaf, pagi ini aku tidak bisa ikut sarapan. Aku sudah ditunggu di butik," sapa Jasmin ketika melihat mama dan kakaknya di meja makan.Yumna menelisik penampilan adiknya. "Cantik banget kamu. Udah kayak model profesional," pujinya."Iya dong, Kak. Aku kan calon model sukses," sahut Jasmin membanggakan diri."Pemilik butiknya laki-laki atau perempuan? Kalau lak
"Apa! Asisten?" pekik Jasmine tak percaya. Bola matanya melebar seperti hendak keluar."Betul. Kita sudah sepakat sebelumnya. Anda sudah tandatangan kontrak bukan?" Nita tetap dengan santai menanggapi."Gak! Gak mau! Saya datang ke sini bukan untuk jadi asisten. Saya ingin jadi model, Mba!" seru Jasmin kehilangan kesabaran."Terserah. Anda sudah tandatangan secara sadar. Jika Anda tidak percaya, silakan baca baik-baik surat kontrak ini."Nita gegas mencari kertas yang telah dibubuhi tanda tangan Jasmin."Ini. Bacalah!"Jasmin buru-buru menyambar kertas putih yang sudah memang sudah dirinya beri tanda tangan. Dia membaca poin demi poin di dalamnya.Ternyata di kertas itu begitu jelas tertulis bahwa; Dia hanya menjadi model cadangan saja, sekaligus merangkap asisten model jika tidak ada pekerjaan."Bagaimana mungkin?" gumam Jasmin terkejut. Bayangan dirinya menjadi bintang yang dihujani banyak jepretan kamera pupus sudah. Apalagi dikontrak itu juga tertulis selama tiga tahun ia harus be
"Apa maksudmu dengan rumah dan mobil? Bukankah rumah itu jelas-jelas atas namamu dan kamu yang membelinya?" tanya Sundari."I-itu, anu, Ma. Maksudku----" "Anu apa? Pasti ada yang kamu sembunyikan dari Mama, iya kan? Katakan sejujurnya, Kamil!" Cecar Sundari mendesak."Oke! Akan aku ceritakan semuanya." Kamil akhirnya menyerah. Dia akan ceritakan semua kebodohannya sendiri yang selama ini dia simpan."Cepetan!" Yumna ikut mendesak."Jadi, rumah itu sudah dibayar lunas oleh ayahnya Della beberapa bulan lalu. Begitu pun mobilnya," terang Kamil."Bagus dong, berarti sekarang kamu sudah tidak punya cicilan lagi," ucap Yumna."Iya, Kak. Tapi semua sudah berbalik nama menjadi atas nama Della," imbuh Kamil yang membuat saudara serta mamanya begitu kaget."Hah! Bagaimana ceritanya? Kamu ditipu?" Meski syok, Sundari masih bertanya."Kerjaanku sempat kacau setelah kejadian malam penggerebekan itu. Alhasil banyak kerugian yang aku timbulkan. Demi bisa tetap bekerja di sana, aku harus membayar ga
Sepanjang perjalanan pulang, Kamil terus terngiang ucapan kakaknya."Jangan perlihatkan emosi di depan Della. Bersikaplah seolah tidak terjadi apa-apa. Cari bukti yang kuat, setelah itu kita lumpuhkan Della dan keluarganya yang sok kuasa itu."Belum lagi video-video kemesraan istrinya dengan laki-laki lain bagai roll film yang terus diputar berulang kali di kepalanya. Dipukulnya gagang setir berulang kali menggunakan kepalan tinjunya sebagai pelampiasan kekesalan yang hampir meluap dari ubun-ubun. Jika boleh, dia juga ingin berteriak sekencang mungkin sebagai bentuk penyesalannya telah menyia-nyiakan wanita tulus seperti Syakila. Namun, dia laki-laki, tidak sepantasnya berteriak di dalam mobil, apalagi ia dalam keadaan sedang menyetir.Andaikan waktu bisa diputar, Kamil lebih baik tidak mengenal Della sama sekali. Dia akan tetap bersama Syakila, menuruti kata hatinya yang hingga kini masih terpaut namanya, tanpa bisa tergantikan oleh siapapun.Malam sudah sedikit larut ketika Kamil s
Namun, tiba-tiba Aira menjerit."Aaaaarrrggg ..."Devan terlonjak lantas membawa Aira kembali dalam pelukannya. "Ada apa!" serunya sembari celingukan."Lihat, Dad! Ini!" Aira menepuk-nepuk pundak Devan untuk melihat ke arah gawai di tangannya.Mata Devan pun beralih pada benda yang ditunjuk Aira."Apa? Aira mau beli baju itu?" tanya Devan masih tak mengerti sebab gambar yang ditunjuk Aira hanya sebuah live jualan baju."Bukan, Dad. Ini mommy Kila!" tegas Aira, tetapi anak itu masih tak menyadari bahwa layar ponselnya telah bergulir."Oh, kirain ada apa. Kenapa pakai teriak segala!" ujar Devan masih santai, sedetik kemudian, "Hah! Mommy Kila?!" Matanya sampai mendelik melihat layar ponsel yang masih menyala."Iya, Daddy ...." Aira gemas."Tapi ... itu bukan mommy, Sayang. Itu yang live laki-laki loh, masa' dibilang mommy," ucap Devan setelah memperhatikan live itu.Barulah Aira menyadari bahwa; video streaming yang tadi memunculkan gambar wanita berhijab tengah bercerita, kini sudah b
Satu notifikasi masuk dalam ponsel Parveen. Notif pemberitahuan bahwa seseakun telah mengirimnya pesan di sebuah aplikasi tok tok.Dari layar ponselnya, Parveen bisa tahu bahwa seseakun itu adalah milik mantan calon ibu mertuanya, yang sesungguhnya ia juga merindukannya."Bu Sukoco ..." lirih Parveen dengan mata berkaca-kaca memandang nama yang tertera di layar ponselnya."Apa beliau juga mengetahui aku baru saja online? Oh, bodohnya aku ...." Parveen merutuki dirinya, mengapa dia tidak bisa menahan untuk tidak membuka kembali platform itu?Kalau begini, apa yang harus dirinya lakukan?"Baca atau abaikan ya? Aduh ..." resahnya.Parveen mondar mandir di dalam kamarnya. Sungguh, ini lebih membingungkan dari pada membuat sebuah desain. Ah, andai tadi dia tidak menuruti keinginan hatinya, pasti hal semacam ini tidak akan ia rasakan. Kini, mau tidur pun rasanya kantuk tak jua menyerang.Dia duduk di sofa panjang. Bersandar sembari mengurut pelipis yang mulai terasa nyeri. Dengan kondisinya
Tok! Tok! Tok!"Assalamualaikum."Wanita dengan style syar'i warna mocca tanpa niqab mendongak, setelah mendengar salam dan pintu ruangannya di ketuk. Seketika senyum manisnya terbit kala melihat lelaki manis berkacamata berkunjung ke butiknya."Wa'alaikumsalam, Hai, masuklah," sapanya mempersilakan tamunya.Ryan pun dengan senang hati berjalan pada sofa yang tersedia di ruangan itu.Benar, Ryan yang berkunjung ke butik Parveen, saat jam makan siang setelah mendapat kabar dari Amber, bahwa; Subuh tadi Parveen ditemukan tidur di atas karpet dengan mukena lengkap yang masih melekat padanya."Bagaimana keadaanmu?" tanya Ryan setelah duduk di sofa.Parveen terkekeh seraya beranjak mendekati Ryan. "Kukira hanya aku yang selalu terbuka padamu, ternyata Oma pun sama.""Beliau hanya mengkhawatirkan mu.""Ya, aku tahu. Aku bahagia akhirnya ada orang yang mengkhawatirkanku.""Tidak semua orang seperti masalalu mu, Veen. Jika kau terus beranggapan seperti itu, percuma saja obat yang rutin kau ko
"Dia ...?" Ryan semakin penasaran sebab Parveen menjeda ucapannya."Dia-pria-yang---" Belum selesai Parveen memberikan jawaban dengan terbata, tiba-tiba Ryan memotong ucapannya."Aku tak akan memaksamu. Siapapun dia, aku akan menunggu hatimu leluasa bercerita." Ryan mengulas senyum di bibirnya agar Parveen kembali rileks.Hal itu berhasil membuat perasaan gadis itu membaik. "Terima kasih, Yan. Kau memang selalu mengerti aku.""Tidak perlu seperti itu, yang terpenting kau tetap sehat." Ryan mengelus kepala Parveen yang tertutup hijab.Bukan Devan tak mendengar obrolan dua orang yang satu ruangan dengannya, tetapi dia ingin menunjukkan bahwa dirinya pun bisa bersabar, dan membuat hati wanita pujaannya tenang. Jangan ditanya perasaan lelaki yang begitu mendamba Parveen, saat melihat interaksi Ryan yang terlihat begitu perhatian pada wanita terkasihnya. Andai tak mengingat di mana dirinya berada, dan bagaimana keadaan Parveen saat ini, mungkin sudah sejak tadi pipi mulus Ryan mendapat ha