"Daddy ... Aira ingin ketemu Tante Renata, boleh?" Tiba-tiba Aira berceletuk.Bagaimana bisa pas begitu? Atau sebelumnya Aira sudah tahu kalau Renata sedang sakit? Devan akan menyelidikinya. Dia berusaha mengendalikan diri agar tetap tenang untuk menanggapi putrinya."Mau apa, Sayang? Tante Renata lagi sibuk.""Tapi kata Nenek Rosa, Tante Renata lagi sakit. Aira mau jenguk."Tepat sekali dugaan Devan. Tidak mungkin anaknya tiba-tiba teringat Renata jika tidak ada yang mengingatkan."Kapan Nek Rosa bilang begitu sama Aira?" Kali ini Sukoco yang bertanya."Tadi pagi. Pas Nenek lagi masak, handphone Nenek di kamar berdering, terus Aira angkat, ternyata Nek Rosa yang telepon." Dengan logat khas anak kecil Aira menjawab."Kok Nenek gak dipanggil?" Sukoco masih menjadi pengintrogasi cucunya."Kata Nek Rosa gak usah. Katanya mau ngomong sama Aira aja.""Owh. Terus Nek Rosa bilang apalagi?""Aira disuruh jenguk Tante Renata, Nek.""Itu aja? Ada ngomong apa-apa lagi gak?""Emmmm ..." Aira nemp
Esok hari setelah sarapan, akhirnya Devan mau mengantar keluarganya untuk menjenguk Renata.Di tengah perjalanan, Syakila menyadari jika mobil yang dikendarai Devan itu menuju ke rumah sakit di mana Yumna dirawat."Mas Devan mau jengukin Renata 'kan?" tanya Syakila memastikan."Iya. Kan nganterin kalian," sahut Devan sambil fokus pada jalan."Tapi kok ini jalannya ke arah rumah sakit Kak Yumna dirawat, Mas.""Emang rumah sakitnya sama.""Maksudnya Renata sama Kak Yumna dirawat di rumah sakit yang sama?""Iya, Sayang." Devan menoleh sekilas. Kalau tidak sedang menyetir, Devan pasti sudah mencium gemas pipi Syakila melihat ekspresi bingungnya seperti itu."Owh ... Bisa kebetulan begitu, ya, Mas.""Iya. Dunia memang sempit.""Yumna siapa sih? Kalian lagi ngomongin mantan calon kakak iparnya Syakila, ya?" Sukoco yang menyimak sejak tadi tak kuasa untuk diam."Hmmm, Ibu ..." Devan mengeram tak suka mendengarnya."Kan emang gitu, Dev. Iya 'kan, Sya?""Itukan dulu, Bu." Syakila nyengir kuda
"Apa!" Mata Devan seketika melebar. Keterkejutannya tak bisa ia tutupi. "Renata hamil anakmu?"Dion menelan ludah, wajahnya berkeringat. Dia menyadari kesalahannya. "Bukan. Tidak. Dia tidak hamil, aku asal bicara saja," jawabnya, berusaha terdengar meyakinkan. Tapi nada suaranya goyah, dan Devan bisa melihat kebohongan di balik mata pria itu. Dion meralat ucapannya."Oh, ya?" Devan mendekat, kembali berdiri tepat di depan Dion. "Berhenti berbohong, Dion. Aku tahu kau terlibat dalam sesuatu yang jauh lebih besar, dan aku yakin Renata ada hubungannya dengan ini."Wajah Dion semakin tegang. Devan menangkap perubahan ekspresi itu dan semakin yakin.“Katakan padaku, apa rencana kalian?” Devan menunduk, berbicara lebih pelan namun sarat amarah yang tertahan. “Apa yang sebenarnya kalian rencanakan untuk mencelakai Syakila?”Dion terdiam, berpikir keras, berusaha mencari jalan keluar dari situasi ini. Devan memberi tekanan lebih, suaranya penuh ancaman. “Kalau kau tidak bicara sekarang, aku a
Aira tak serta merta menjawab, anak itu menengok pada Sukoco dan Syakila bergantian untuk meminta izin, walau sejujurnya anak itu enggan, tapi dia juga merasa kasihan melihat tantenya terbaring tak berdaya seperti itu. "Minta izin daddy dulu, ya. Sebentar lagi daddy datang, kok," ujar Syakila tak bisa mengambil keputusan. "Kenapa harus meminta persetujuan Devan? Saya ini nenek kandung Aira, saya juga berhak atas dia. Dari pada kamu yang cuma ibu tirinya. Ingat, kamu bukan siapa-siapanya kalau tidak menikah dengan Devan," sergah Rosa menohok. "Tapi kenyataannya Aira dibawah naungan Devan dan Syakila, itu artinya Aira tanggung jawabnya dan dia lebih berhak atas diri Aira dari pada Anda," sahut Bamantara tak terima. "Halah! Saya ini nenek kandungnya. Darah saya mengalir di dalam tubuh Aira. Tidak akan terjadi apa-apa dengannya selama bersamaku. Lagian ... Anda ini siapa? Ikut ngatur-ngatur." "Apa yang dikatakan Opa Bamantara benar." Tiba-tiba Devan muncul dari balik pintu yang s
**Perdebatan di Toilet Rumah Sakit**Devan membuka pintu toilet rumah sakit dengan kasar, dan di sana ia melihat Sundari berdiri tegang di depan Syakila, yang tengah merapikan hijabnya dengan tangan gemetar."Wanita tua!" Devan langsung berseru, suaranya penuh dengan kemarahan yang tak bisa lagi ia bendung. "Apa yang kau lakukan?!"Sundari menoleh kaget, tapi segera menegakkan badannya, berusaha untuk tampak tenang meski ketakutan jelas terpancar di matanya. "Aku … hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan," katanya, suaranya bergetar tapi tetap berusaha terdengar tegas. "Syakila adalah pembawa sial. Sejak dia datang ke keluargaku, tidak ada yang baik yang terjadi. Satu persatu kesialan menimpa keluargaku!"Syakila yang masih berdiri di dekat wastafel, masih sibuk membenahi hijabnya yang berantakan.Devan berjalan mendekat, wajahnya menegang, tetapi tangannya terulur menarik pinggang Syakila untuk berada di dekatnya. "Apa yang kau katakan barusan? Syakila pembawa sial di keluarga
“Iya, Kamil ... Mama ... Mama memang buat keributan dengan Syakila di toilet,” akunya pelan, suaranya terdengar lemah.“Apa yang sebenarnya terjadi, Bu?” desak Kamil.Sundari mulai bercerita, suaranya gemetar karena takut pada reaksi putranya. “Tadi mama lagi di toilet, mama dengar Syakila ngomongin mama sama seseorang. Dia bilang mama sudah tua dan keluarga kita sedang kena karma. Dia juga menertawakan Yumna dan Jasmin. Mama nggak tahan, jadi mama keluar dan langsung labrak Syakila. Mama bilang kalau dia nggak suka, mending ngomong langsung ke mama, jangan ngomongin di belakang, tapi dia gak terima."Rupanya Sundari memberikan cerita bohong.Kamil menatap mamanya dengan tajam. “Terus apa yang terjadi?”Sundari menggigit bibirnya, takut. “Syakila kaget, dan bilang mama salah dengar. Tapi Kamil, mama yakin mama nggak salah dengar! Mama marah, dan tanpa sadar mama ngomel di depan semua orang di luar toilet. Orang-orang lihat, Kamil… Mama malu, tapi mama nggak tahan dibicarain begitu.”K
"Oh, jadi kamu Syakila? Si perempuan kampung yang bermimpi jadi istri adikku?"Deg!Baru saja tiba di restoran yang dimaksud sang kekasih untuk bertemu keluarga pria itu, Syakila justru disambut sinis dua perempuan asing dalam balutan kebaya.“Maaf, kalian–”“Ck! Aku Yumna, kakak Kamil, dan ini Jasmin adik Kamil," potong wanita berkebaya cream itu lalu tertawa merendahkan."Jas, panggil Mama. Tamu spesialnya udah dateng," perintah Yumna lagi–masih membiarkan Syakila berdiri di ambang pintu masuk restoran.Beribu tanya sontak berkecamuk di benak Syakila. Dia memang belum dikenalkan pada keluarga Kamil. Tapi, pria itu mengatakan bahwa hari ini keluarganya mengundang Syakila. Lantas, mengapa mereka justru memperlakukannya seperti ini?"Mana gadis kampung itu?" Sebuah suara terdengar dari arah belakang, membuat Syakila tersadar dari lamunan.Dia mendapati seorang wanita paruh baya yang juga mengenakan kebaya tengah berdiri congkak. Tak hanya itu, dia berjalan diikuti Kamil yang diapit len
Ucapan Syakila menggantung, terlebih kala mendapati bosnya tersenyum. "Tahu, dong. Sang Pemimpi kan, namanya? Dongengnya bagus-bagus. Ibu suka nonton sama cucu Ibu." Seketika wajah Syakila memerah karena malu. Ternyata selama ini bos-nya diam-diam mengikuti kegiatan barunya."Hehehe, saya cuma iseng aja, Bu. Daripada gak ngapa-ngapain," terang Syakila kikuk."Udah ada endorse masuk belum?""Endorse apaan, Bu? Orang cuma live begituan siapa yang mau pake.""Ya udah. Kalau gitu, Ibu orang pertama yang akan pake jasa kamu. Mulai malam nanti, kamu live baju-baju dagangan Ibu, ya."Mata Syakila sedikit terbelalak. Bukan ia tak mau membantu bosnya itu, tetapi ia takut baju-baju yang ia pasarkan di platform itu tidak laku. Intinya ia takut gagal!"Tapi saya belum tahu caranya gimana, Bu. Kalau ada yang pesen bagaimana?" Itu hanya alasan saja. Sejauh ini Syakila sudah cukup mengerti perdagangan online. Akan tetapi, ia pura-pura gaptek, agar bosnya itu berpikir ulang."Udah, coba aja dulu.