"Apa lelaki bernama Dion sudah diketahui keberadaannya, Pak?" "Untuk saat ini belum. Kami masih terus mencari bukti dan mendalami kasus ini sembari terus mengejar saudara Dion yang diduga telah melarikan diri ke luar kota.""Baiklah. Tolong kabari saya jika Dion sudah ditangkap.""Baik, Pak Kamil."Kamil berjalan lesu keluar dari kantor polisi. Niatan bertanya pada Jasmin mengenai Dion dan semua rencana jahat mereka, terpaksa dia tunda karena tak bisa menahan emosi saat Jasmin tak sedikitpun merasa bersalah.Hanya saja, kenapa Devan dan Syakila tak mengatakan apapun padanya? Mereka juga tidak menuntut Jasmin yang sudah terang-terangan ingin mencelakai Syakila, walaupun pada akhirnya salah sasaran. Mereka sepenuhnya menyerahkan pada polisi.Bukankah seharusnya mereka marah padaku? Atau seandainya mereka ingin menjadikan Kamil gelandangan pun mereka bisa, tapi itu semua tak dilakukan sepanjang suami istri itu, membuat Kamil semakin menyesali keputusannya di masa lalu.'Seandainya dulu
"Maksudnya apa--?"Kamil terkejut tiba-tiba mendengar suara yang muncul dari belakanganya. Dia segera menoleh dan mendapati mamanya sudah berdiri dengan penampilan yang kacau. "Mama ...?" ucapnya heran."Tadi Mama dengar kamu sudah mendapatkan sertifikat rumah kamu lagi. Apa benar begitu?" tanya Sundari.Kamil menghela napas. Menengok sekilas pada Della kemudian menggandeng mamanya untuk keluar."Mama ngapain ke sini? Kak Yumna siapa yang jagain?" tanya Kamil setelah berada di luar ruang rawat."Mama bingung di sana sendirian, Mil. Apalagi tadi ada tetangga yang datang.""Tetangga, siapa? Bagus dong, berarti mereka berempati dan mama jadi ada temennya, kenapa malah jadi bingung?" Kamil tak habis pikir."Ya kalau mereka datang mau nengokin sih Mama seneng-seneng aja, tapi mereka datang itu cuma mau gibahin keluarga kita dan mengatakan kalau Mama sudah diusir dari kontrakan. Semua barang-barang sudah dikeluarkan dan sekarang masih di teras. Bagaimana ini, Kamil ... Mama bingung."Mata
"Daddy ... Aira ingin ketemu Tante Renata, boleh?" Tiba-tiba Aira berceletuk.Bagaimana bisa pas begitu? Atau sebelumnya Aira sudah tahu kalau Renata sedang sakit? Devan akan menyelidikinya. Dia berusaha mengendalikan diri agar tetap tenang untuk menanggapi putrinya."Mau apa, Sayang? Tante Renata lagi sibuk.""Tapi kata Nenek Rosa, Tante Renata lagi sakit. Aira mau jenguk."Tepat sekali dugaan Devan. Tidak mungkin anaknya tiba-tiba teringat Renata jika tidak ada yang mengingatkan."Kapan Nek Rosa bilang begitu sama Aira?" Kali ini Sukoco yang bertanya."Tadi pagi. Pas Nenek lagi masak, handphone Nenek di kamar berdering, terus Aira angkat, ternyata Nek Rosa yang telepon." Dengan logat khas anak kecil Aira menjawab."Kok Nenek gak dipanggil?" Sukoco masih menjadi pengintrogasi cucunya."Kata Nek Rosa gak usah. Katanya mau ngomong sama Aira aja.""Owh. Terus Nek Rosa bilang apalagi?""Aira disuruh jenguk Tante Renata, Nek.""Itu aja? Ada ngomong apa-apa lagi gak?""Emmmm ..." Aira nemp
Esok hari setelah sarapan, akhirnya Devan mau mengantar keluarganya untuk menjenguk Renata.Di tengah perjalanan, Syakila menyadari jika mobil yang dikendarai Devan itu menuju ke rumah sakit di mana Yumna dirawat."Mas Devan mau jengukin Renata 'kan?" tanya Syakila memastikan."Iya. Kan nganterin kalian," sahut Devan sambil fokus pada jalan."Tapi kok ini jalannya ke arah rumah sakit Kak Yumna dirawat, Mas.""Emang rumah sakitnya sama.""Maksudnya Renata sama Kak Yumna dirawat di rumah sakit yang sama?""Iya, Sayang." Devan menoleh sekilas. Kalau tidak sedang menyetir, Devan pasti sudah mencium gemas pipi Syakila melihat ekspresi bingungnya seperti itu."Owh ... Bisa kebetulan begitu, ya, Mas.""Iya. Dunia memang sempit.""Yumna siapa sih? Kalian lagi ngomongin mantan calon kakak iparnya Syakila, ya?" Sukoco yang menyimak sejak tadi tak kuasa untuk diam."Hmmm, Ibu ..." Devan mengeram tak suka mendengarnya."Kan emang gitu, Dev. Iya 'kan, Sya?""Itukan dulu, Bu." Syakila nyengir kuda
"Apa!" Mata Devan seketika melebar. Keterkejutannya tak bisa ia tutupi. "Renata hamil anakmu?"Dion menelan ludah, wajahnya berkeringat. Dia menyadari kesalahannya. "Bukan. Tidak. Dia tidak hamil, aku asal bicara saja," jawabnya, berusaha terdengar meyakinkan. Tapi nada suaranya goyah, dan Devan bisa melihat kebohongan di balik mata pria itu. Dion meralat ucapannya."Oh, ya?" Devan mendekat, kembali berdiri tepat di depan Dion. "Berhenti berbohong, Dion. Aku tahu kau terlibat dalam sesuatu yang jauh lebih besar, dan aku yakin Renata ada hubungannya dengan ini."Wajah Dion semakin tegang. Devan menangkap perubahan ekspresi itu dan semakin yakin.“Katakan padaku, apa rencana kalian?” Devan menunduk, berbicara lebih pelan namun sarat amarah yang tertahan. “Apa yang sebenarnya kalian rencanakan untuk mencelakai Syakila?”Dion terdiam, berpikir keras, berusaha mencari jalan keluar dari situasi ini. Devan memberi tekanan lebih, suaranya penuh ancaman. “Kalau kau tidak bicara sekarang, aku a
Aira tak serta merta menjawab, anak itu menengok pada Sukoco dan Syakila bergantian untuk meminta izin, walau sejujurnya anak itu enggan, tapi dia juga merasa kasihan melihat tantenya terbaring tak berdaya seperti itu. "Minta izin daddy dulu, ya. Sebentar lagi daddy datang, kok," ujar Syakila tak bisa mengambil keputusan. "Kenapa harus meminta persetujuan Devan? Saya ini nenek kandung Aira, saya juga berhak atas dia. Dari pada kamu yang cuma ibu tirinya. Ingat, kamu bukan siapa-siapanya kalau tidak menikah dengan Devan," sergah Rosa menohok. "Tapi kenyataannya Aira dibawah naungan Devan dan Syakila, itu artinya Aira tanggung jawabnya dan dia lebih berhak atas diri Aira dari pada Anda," sahut Bamantara tak terima. "Halah! Saya ini nenek kandungnya. Darah saya mengalir di dalam tubuh Aira. Tidak akan terjadi apa-apa dengannya selama bersamaku. Lagian ... Anda ini siapa? Ikut ngatur-ngatur." "Apa yang dikatakan Opa Bamantara benar." Tiba-tiba Devan muncul dari balik pintu yang s
**Perdebatan di Toilet Rumah Sakit**Devan membuka pintu toilet rumah sakit dengan kasar, dan di sana ia melihat Sundari berdiri tegang di depan Syakila, yang tengah merapikan hijabnya dengan tangan gemetar."Wanita tua!" Devan langsung berseru, suaranya penuh dengan kemarahan yang tak bisa lagi ia bendung. "Apa yang kau lakukan?!"Sundari menoleh kaget, tapi segera menegakkan badannya, berusaha untuk tampak tenang meski ketakutan jelas terpancar di matanya. "Aku … hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan," katanya, suaranya bergetar tapi tetap berusaha terdengar tegas. "Syakila adalah pembawa sial. Sejak dia datang ke keluargaku, tidak ada yang baik yang terjadi. Satu persatu kesialan menimpa keluargaku!"Syakila yang masih berdiri di dekat wastafel, masih sibuk membenahi hijabnya yang berantakan.Devan berjalan mendekat, wajahnya menegang, tetapi tangannya terulur menarik pinggang Syakila untuk berada di dekatnya. "Apa yang kau katakan barusan? Syakila pembawa sial di keluarga
“Iya, Kamil ... Mama ... Mama memang buat keributan dengan Syakila di toilet,” akunya pelan, suaranya terdengar lemah.“Apa yang sebenarnya terjadi, Bu?” desak Kamil.Sundari mulai bercerita, suaranya gemetar karena takut pada reaksi putranya. “Tadi mama lagi di toilet, mama dengar Syakila ngomongin mama sama seseorang. Dia bilang mama sudah tua dan keluarga kita sedang kena karma. Dia juga menertawakan Yumna dan Jasmin. Mama nggak tahan, jadi mama keluar dan langsung labrak Syakila. Mama bilang kalau dia nggak suka, mending ngomong langsung ke mama, jangan ngomongin di belakang, tapi dia gak terima."Rupanya Sundari memberikan cerita bohong.Kamil menatap mamanya dengan tajam. “Terus apa yang terjadi?”Sundari menggigit bibirnya, takut. “Syakila kaget, dan bilang mama salah dengar. Tapi Kamil, mama yakin mama nggak salah dengar! Mama marah, dan tanpa sadar mama ngomel di depan semua orang di luar toilet. Orang-orang lihat, Kamil… Mama malu, tapi mama nggak tahan dibicarain begitu.”K