Sepulang dari mengantar Renata, Dion mulai curiga dengan mobil hitam yang berada di belakangnya. "Sepertinya mobil itu mengikutiku, sejak tadi terus saja berjalan di belakangku," gumamnya sembari mengawasi kaca sepion.Dion lalu menambah kecepatan motor gede kebanggaannya, terus membelah jalan, menikung, berbelok ke mana saja asal bisa lari dari pandangan mobil sedan yang ada di belakangnya. Jujur saja Dion khawatir mobil itu adalah mobil suruhan seseorang untuk menangkapnya.Anak buah Devan bukan orang bodoh. Mereka tak perlu repot mengejar sebab sudah ada rekannya yang sudah siap menghadang kedatangan Dion.Dan di sinilah anak buah Devan berhasil menghentikan motor Dion. Di sebuah jalan sepi yang mana, di sisi kanan dan kirinya di penuhi pohon jati."Siapa kalian? Minggir! Aku sedang buru-buru," tanya Dion."Mari ikut kami. Bos kami ingin bertemu denganmu," sahut pria bertubuh tinggi kekar."Memangnya siapa bos kalian?" "Nanti kamu akan tahu. Ayok ikut kami secara baik-baik.""Ha
"Dari mana saja kamu, Mas? Aku mencarimu sejak tadi. Ponselnya juga kenapa sulit dihubungi? Lalu, kenapa baru pulang selarut ini? Apa kau tidak tahu kalau --" Cup! Devan membungkam mulut Syakila dengan sebuah kecupan, sebab istrinya itu tak berhenti berbicara sejak kepulangannya sepuluh menit lalu. "Mas Devan ..." Syakila merajuk, kakinya dihentak-hentakkan sudah mirip seperti anak kecil. "Iya, Sayang. Aku sudah di sini. Kangen, ya?" Devan justru menggoda. Alisnya dinaik turunkan. "Aku belum selesai bicara, loh. Malah dicium." Sembari mengelap bibirnya, Syakila bersikap seolah masih merajuk manja. "Habis kamu cerewet. Bikin pengen cium." "Mas ... Aaaaaa--" Syakila menjerit mana kala tiba-tiba tubuhnya melayang. Seketika tangannya melingkar di pundak sang suami yang telah menggendongnya ala bridal style. "Turunin, Mas. Kalau ada ibu gimana?" bisik Syakila khawatir sebab mereka berada di ruang tamu. Butuh beberapa menit untuk bisa sampai di kamarnya, yang tentunya melewati kamar
"Dev, Sya, besok opa sama oma mau dateng sekalian nganter Aira. Rencananya mereka mau menginap beberapa hari di sini." Saat sarapan Sukoco menyampaikan berita yang beberapa menit lalu besannya kabari melalui sebuah chat.Syakila nampak heran, pasalnya baik nenek atau kakeknya itu tak memberi tahu apapun kepadanya."Oh, ya? Bagus dong, rumah ini jadi rame lagi. Padahal rencananya hari ini aku sama Syakila memang mau jemput Aira." Devan menyahuti setelah menelan makanan di mulutnya.Saat libur sekolah kemarin, Aira meminta liburan di rumah Bamantara yang kebetulan dengan dengan pantai. Sukoco sempat menemani beberapa hari di sana, tapi karena harus mengurus kiosnya, dia pulang dan meninggalkan cucunya bersama besannya."Tapi opa sama oma kok gak ngabarin aku ya, Bu?" ujar Syakila masih heran."Mereka bilang sudah chat kamu tadi malam, tapi belum dibaca sama kamu," ujar Sukoco menjelaskan sesuai apa yang diceritakan besannya."Iya kah? Eum, Syakila memang belum pegang handphone sama seka
"Assalamualaikum ...""Wa'alaikumsalam ...""Yeiii, Mommy sama Daddy udah dateng." Aira dengan semangat membuka pintu saat mendengar salam dari luar.Anak kecil yang sebentar lagi menjadi kakak itu begitu bahagia melihat kedua orang tuanya datang."Hai, Sayang ... Emmm, Mommy sangat merindukanmu, Nak." Syakila berjongkok dan memeluk Aira yang sudah berada di rumah Bamantara lebih dari seminggu."Hai juga, Mommy. Aira juga kangen banget sama Mommy," balas Aira."Sama Daddy kangen gak?" Dari arah belakang, Devan menyela."Daddy ... Aira juga kangen banget sama Daddy." Aira beralih memeluk Devan yang kemudian digendong dan diberi ciuman oleh Devan."Gimana, seneng liburan di sini?" tanya Devan."Seneng, dong. Opa sama oma baik, Aira suka," sahut Aira."Rewel gak?""Enggak dong, Daddy. Kan Aira udah gede, udah mau jadi kakak, masa rewel sih.""Uwuuu pinternya anak Daddy." Devan mencubit gemas pipi anaknya."Siapa dulu dong mommy-nya ... Mommy Kila gitu loh." Syakila ikut nimbrung membangg
"Apa lelaki bernama Dion sudah diketahui keberadaannya, Pak?" "Untuk saat ini belum. Kami masih terus mencari bukti dan mendalami kasus ini sembari terus mengejar saudara Dion yang diduga telah melarikan diri ke luar kota.""Baiklah. Tolong kabari saya jika Dion sudah ditangkap.""Baik, Pak Kamil."Kamil berjalan lesu keluar dari kantor polisi. Niatan bertanya pada Jasmin mengenai Dion dan semua rencana jahat mereka, terpaksa dia tunda karena tak bisa menahan emosi saat Jasmin tak sedikitpun merasa bersalah.Hanya saja, kenapa Devan dan Syakila tak mengatakan apapun padanya? Mereka juga tidak menuntut Jasmin yang sudah terang-terangan ingin mencelakai Syakila, walaupun pada akhirnya salah sasaran. Mereka sepenuhnya menyerahkan pada polisi.Bukankah seharusnya mereka marah padaku? Atau seandainya mereka ingin menjadikan Kamil gelandangan pun mereka bisa, tapi itu semua tak dilakukan sepanjang suami istri itu, membuat Kamil semakin menyesali keputusannya di masa lalu.'Seandainya dulu
"Maksudnya apa--?"Kamil terkejut tiba-tiba mendengar suara yang muncul dari belakanganya. Dia segera menoleh dan mendapati mamanya sudah berdiri dengan penampilan yang kacau. "Mama ...?" ucapnya heran."Tadi Mama dengar kamu sudah mendapatkan sertifikat rumah kamu lagi. Apa benar begitu?" tanya Sundari.Kamil menghela napas. Menengok sekilas pada Della kemudian menggandeng mamanya untuk keluar."Mama ngapain ke sini? Kak Yumna siapa yang jagain?" tanya Kamil setelah berada di luar ruang rawat."Mama bingung di sana sendirian, Mil. Apalagi tadi ada tetangga yang datang.""Tetangga, siapa? Bagus dong, berarti mereka berempati dan mama jadi ada temennya, kenapa malah jadi bingung?" Kamil tak habis pikir."Ya kalau mereka datang mau nengokin sih Mama seneng-seneng aja, tapi mereka datang itu cuma mau gibahin keluarga kita dan mengatakan kalau Mama sudah diusir dari kontrakan. Semua barang-barang sudah dikeluarkan dan sekarang masih di teras. Bagaimana ini, Kamil ... Mama bingung."Mata
"Daddy ... Aira ingin ketemu Tante Renata, boleh?" Tiba-tiba Aira berceletuk.Bagaimana bisa pas begitu? Atau sebelumnya Aira sudah tahu kalau Renata sedang sakit? Devan akan menyelidikinya. Dia berusaha mengendalikan diri agar tetap tenang untuk menanggapi putrinya."Mau apa, Sayang? Tante Renata lagi sibuk.""Tapi kata Nenek Rosa, Tante Renata lagi sakit. Aira mau jenguk."Tepat sekali dugaan Devan. Tidak mungkin anaknya tiba-tiba teringat Renata jika tidak ada yang mengingatkan."Kapan Nek Rosa bilang begitu sama Aira?" Kali ini Sukoco yang bertanya."Tadi pagi. Pas Nenek lagi masak, handphone Nenek di kamar berdering, terus Aira angkat, ternyata Nek Rosa yang telepon." Dengan logat khas anak kecil Aira menjawab."Kok Nenek gak dipanggil?" Sukoco masih menjadi pengintrogasi cucunya."Kata Nek Rosa gak usah. Katanya mau ngomong sama Aira aja.""Owh. Terus Nek Rosa bilang apalagi?""Aira disuruh jenguk Tante Renata, Nek.""Itu aja? Ada ngomong apa-apa lagi gak?""Emmmm ..." Aira nemp
Esok hari setelah sarapan, akhirnya Devan mau mengantar keluarganya untuk menjenguk Renata.Di tengah perjalanan, Syakila menyadari jika mobil yang dikendarai Devan itu menuju ke rumah sakit di mana Yumna dirawat."Mas Devan mau jengukin Renata 'kan?" tanya Syakila memastikan."Iya. Kan nganterin kalian," sahut Devan sambil fokus pada jalan."Tapi kok ini jalannya ke arah rumah sakit Kak Yumna dirawat, Mas.""Emang rumah sakitnya sama.""Maksudnya Renata sama Kak Yumna dirawat di rumah sakit yang sama?""Iya, Sayang." Devan menoleh sekilas. Kalau tidak sedang menyetir, Devan pasti sudah mencium gemas pipi Syakila melihat ekspresi bingungnya seperti itu."Owh ... Bisa kebetulan begitu, ya, Mas.""Iya. Dunia memang sempit.""Yumna siapa sih? Kalian lagi ngomongin mantan calon kakak iparnya Syakila, ya?" Sukoco yang menyimak sejak tadi tak kuasa untuk diam."Hmmm, Ibu ..." Devan mengeram tak suka mendengarnya."Kan emang gitu, Dev. Iya 'kan, Sya?""Itukan dulu, Bu." Syakila nyengir kuda
Bamantara segera memanggil dokter. Sementara Sukoco, Amber dan Devan berdiri di sisi ranjang persalinan Syakila."Silakan menunggu di luar. Kami akan segera melakukan tindakan. Cukup suaminya saja yang berada di sini," ucap dokter sesaat setelah ia memeriksa pembukaan Syakila yang sudah genap."Baik, Dok." Mereka semua keluar, menyisakan Devan yang gemetar menemani Syakila.Dibantu beberapa perawat, dokter perempuan spesialis kandungan mengarahkan Syakila untuk mengatur napas.Suara erangan Syakila terus menggema di ruang bersalin. Devan tidak melepaskan genggaman tangannya, matanya memerah, dan hatinya penuh doa yang tak putus. Keringat deras membasahi dahi Syakila, tetapi semangatnya tak tergoyahkan."Sayang, kamu kuat. Sebentar lagi selesai," bisik Devan, suaranya bergetar menahan rasa cemas yang menyelubungi hatinya.Dokter memberi isyarat kepada Syakila untuk kembali mendorong dengan tenaga terakhir. "Ayo, Bu, sekali lagi! Tarik napas dalam dan dorong sekuat tenaga!"Dengan satu
Mendengar teriakkan Renata, seketika membuat Devan dan ibunya panik. Sementara dokter segera mengambil tindakan dengan memberikan obat penenang. Terpaksa hal itu harus dilakukan kembali karena keadaan Renata yang belum bisa stabil mengontrol dirinya.Perlahan tapi pasti, teriakan Renata melemah dan akhirnya dia terbaring dengan mata terpejam di tempat tidur."Kira-kira, apa Renata bisa sembuh, Dok?" tanya Sukoco setelah mereka berada di luar ruangan."Semua kemungkinan tetap ada, Bu. Kita hanya bisa berusaha, selebihnya Tuhan yang akan menentukan," sahut dokter."Lakukan yang terbaik untuk Renata, Dok. Saya serahkan pada tim dokter di sini sembari membantu dengan doa," timpal Devan."Tentu, kami akan melakukan yang terbaik untuk pasien.""Terima kasih. Kalau begitu, kami pamit dulu, Dok. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan untuk menghubungi saya.""Baik, Pak Devan. Terima kasih kembali."Kemudian mereka berpisah di lorong yang berbeda tujuan. Devan dan Sukoco berjalan pulang, sementara
Suasana mendadak sunyi seakan menunggu jawaban Devan. Entah karena memang ingin mengetahui kabar Renata, atau karena bingung dengan reaksi Devan yang berubah mimik ketika ibunya bertanya, semua yang duduk lesehan di ruang tengah menatapnya.Menghembuskan napas panjang, Devan pun akhirnya menjawab setelah beberapa saat terdiam, "Renata sekarang berada di rumah sakit, Bu. Keadaannya tidak baik-baik saja.""Innalillahi ... Apa dia sakit di penjara?" Dengan keterkejutan yang tak dapat disembunyikan, Sukoco kembali bertanya."Devan juga kurang tahu, Bu. Rencananya besok Devan akan menjenguk untuk melihat keadaannya. Semoga dia baik-baik saja.""Kasihan sekali dia. Lalu, apakah Rosa tahu kalau Renata sakit?""Sepertinya belum, karena Tante Rosa sudah lama pindah dan Devan tidak tahu tempat tinggalnya yang baru."Sukoco mendesah pelan. Rasa iba seketika menghinggapi mengingat Renata pernah tinggal bersamanya. Meskipun akhir-akhir ini sikap gadis itu melewati batas, tetapi Sukoco tahu bahwa s
"Maafkan aku, Veen. Aku gak tega menyembunyikan dari mereka, terlebih kamu harus melewatinya hanya bersama Mas Devan. Ya, meskipun aku tahu, kalian pasti bisa melewati semuanya," terang Nita menyela ucapan Syakila.Sahabatnya itu benar-benar tak tega saat menjenguknya beberapa waktu lalu di rumah sakit, sehingga keceplosan bilang pada Bamantara saat bertemu di butik. Nita pikir, dengan adanya do'a dari keluarganya, mungkin bisa mengurangi rasa sakit Syakila."Jangan salahkan Nita, Nak. Kita yang memaksanya untuk bicara," timpal Bamantara, memandang cucu angkatnya dengan sendu. Rasanya tak tega melihat wanita itu diuji terus menerus sejak dulu. Walaupun cuma cucu angkat, tapi Bamantara benar-benar menyayanginya."Lagian, kenapa kamu menyembunyikannya dari kami, hem?" tanya Amber sembari mengusap kepala Syakila.Istri dari Devan itu hanya menunduk. "Kila hanya tidak ingin terus menerus menambah beban pikiran kalian," lirihnya."Apa yang kamu katakan, Sayang. Kamu ini bukan beban, tapi k
Devan meletakkan ponselnya di meja dengan tangan bergetar. Napasnya terasa berat, dan pikirannya dipenuhi kekhawatiran yang membingungkan. Wajahnya pucat, membuat Syakila semakin cemas.“Mas, apa yang mereka katakan?” tanyanya dengan nada panik.Devan menghela napas panjang sebelum menjawab. “Polisi bilang... Renata dalam kondisi buruk di penjara. Dia sering membuat keributan, dan itu membuat dia harus ditempatkan di ruang isolasi dan kemungkinan akan dipindahkan ke tahanan rumah sakit kejiwaan. Mereka minta aku datang.”“Astaghfirullah. Kenapa bisa begitu, Mas?" ucap Syakila tak kalah terkejut."Mas juga gak tahu, Sayang. Mas akan telepon Pak Herman saja untuk mengurusnya."Syakila tertegun sejenak. Ia tak tega melihat suaminya dilanda banyak masalah dan tanggung jawab. Andai bisa, ia ingin sekali membantu, tetapi kondisinya yang lemah mungkin hanya akan memperburuk keadaan. Untuk itu Syakila ingin mengurangi beban pikiran suaminya dengan pulang dan istirahat di Jakarta saja supaya l
Renata duduk di sudut ruangan. Tubuhnya yang dulu anggun kini hanya menyisakan bayang-bayang kesengsaraan dengan rambutnya yang kusut."Mas Devan... tolong aku," lirihnya, hampir tak terdengar. Namun, suara itu terus diulang-ulang, seolah menjadi satu-satunya pegangan di tengah kegelapan.Para narapidana lain di sel besar itu menatapnya dengan berbagai ekspresi. Ada yang iba, tapi lebih banyak yang mencemooh. Salah satu dari mereka, wanita bertubuh kekar dengan tato di lehernya, mendekat sambil menyeringai."Kau pikir orang yang kau sebut namanya itu akan menyelamatkanmu? Hah! Kau ini cuma boneka yang sudah dibuang. Lihat dirimu sekarang!" Wanita itu meludahi tanah, matanya memandang Renata dengan jijik.Renata memejamkan matanya, mencoba mengabaikan ejekan itu. Tapi pikirannya tak bisa berhenti memutar ulang ingatan tentang Devan. Pria itu—satu-satunya yang dia anggap mampu menyelamatkannya dari tempat ini."Mas Devan pasti akan datang," gumam Renata. Suaranya nyaris tak terdengar, t
Meski sudah berbulan-bulan tak sadarkan diri, kakak kandung almarhum Kamil itu masih sangat mengenali pria gagah di hadapannya. Pria yang dulu begitu didambanya, tetapi pada akhirnya dia harus merelakan ia berjodoh dengan yang lain meskipun awalnya penuh ketidakrelaan."Syukurlah akhirnya kamu sadar, Yum. Bagaimana perasaanmu sekarang? Apa yang kamu keluhkan?" Devan memberondong Yumna dengan pertanyaan setelah dokter selesai memeriksanya.Tak menjawab, Yumna menyunggingkan senyum tipis. Dokter kemudian menjelaskan bahwa kondisi Yumna sudah lebih baik, hanya saja ada beberapa hal yang ingin dokter sampaikan pada Devan tetapi tanpa sepengetahuan Yumna. Melalui sebuah kode, dokter itu menyuruh Devan untuk ikut dengannya ke ruangan."Kamu istirahatlah, aku keluar dulu," ucap Devan. Yumna mengangguk lemah.***"Maaf sebelumnya, apakah Anda suami dari pasien?" tanya dokter ketika mereka sudah berada di ruangan konsultasi."Bukan, Dok. Saya temannya. Atas permintaan almarhum adiknya, saya ya
Di lorong rumah sakit, Devan duduk termenung di salah satu bangku, menggenggam secangkir kopi yang sudah dingin. Pikirannya berkelana, memikirkan dua wanita yang kini menjadi tanggung jawabnya—Sundari dan Yumna. Pesan terakhir Kamil masih terngiang jelas dalam ingatannya."Tolong jaga mamaku yang sedang struk, juga Kak Yumna yang masih koma."Suara langkah kaki membuat Devan menoleh. Perawat yang tadi menangani Sundari datang menghampirinya."Pak Devan, saya sudah memeriksa keadaan Bu Sundari. Sejauh ini stabil, tapi... sepertinya beliau sangat berharap Pak Kamil datang," ujar perawat itu hati-hati.Devan mengangguk lemah. "Saya mengerti. Saya akan mencari waktu yang tepat untuk bicara dengannya."Perawat itu ragu sejenak sebelum melanjutkan. "Saya yakin Pak Kamil ingin yang terbaik untuk keluarganya. Tapi beban ini tentu tidak mudah bagi Anda. Jika butuh bantuan, kami di sini siap mendukung."Devan tersenyum tipis, merasa sedikit terhibur oleh perhatian perawat itu. "Terima kasih. Sa
Beberapa saat kemudian, perawat yang tadi berjanji kembali memasuki ruangan. Wajahnya tampak sedikit tegang, tapi dia mencoba tersenyum agar tidak menambah kecemasan pasiennya."Ibu, saya sudah coba hubungi Pak Kamil," katanya lembut.Sundari, yang terbaring di tempat tidur, berusaha menggerakkan bibirnya untuk bertanya. Namun, hanya gumaman lemah yang keluar. Perawat itu segera mendekat, menggenggam tangan Sundari dengan hati-hati."Pak Kamil sedang sibuk, Bu. Tapi beliau titip pesan bahwa beliau sangat sayang sama Ibu dan akan segera datang jika urusannya selesai," lanjutnya dengan suara penuh kebohongan yang terdengar begitu tulus.Mata Sundari sedikit berkaca-kaca. Meskipun tidak bisa berkata-kata, ia mencoba menunjukkan rasa terima kasih dengan menggenggam lemah tangan perawat tersebut."Tenang saja, Bu. Saya akan pastikan Ibu tetap sehat supaya bisa bertemu beliau nanti," ucap perawat itu sambil menyeka sudut matanya yang mulai basah.Namun di dalam hatinya, perawat itu merasa s