Suara yang familiar itu membuat Qiyana menghentikan pergerakannya. Wanita itu mempertajam indra pendengarannya tanpa mengurangi kewaspadaan dari tatapannya. Qiyana yakin dirinya tidak mungkin salah mendengar. Suara bariton itu memang milik suaminya. Seseorang yang sedari tadi ia harapkan dapat menyelamatkannya. Usai memastikan jika suara tersebut benar-benar milik suaminya, Qiyana mulai bersingkut keluar dari tempat persembunyiannya. Pelan-pelan wanita itu berusaha bangkit dengan sebelah tangan berpegangan pada tembok. Ia harus segera menghampiri lelaki itu. Sayangnya, tubuhnya malah terjatuh ke lantai yang dingin lagi. “Sayang, apa kamu baik-baik saja?” Kenzo yang tak sengaja mendengar suara aneh langsung mendekati sumbernya dan mendapati Qiyana berada di sana. “Akhirnya aku berhasil menemukan kalian berdua.”Qiyana langsung merengkuh tubuh kekar Kenzo sangat erat. Air matanya pecah saat itu juga. Ketakutan yang sedari tadi membelenggu dadanya perlahan mulai terkikis meski tidak
Manik mata Qiyana langsung berkaca-kaca melihat rumah yang selama beberapa minggu terakhir ia tempati sudah berubah menjadi puing-puing kecil. Rumah itu sudah rata dengan tanah dan warna kehitaman membekas di mana-mana. Qiyana menggerakkan tungkai jenjangnya perlahan-lahan. Matanya berpendar menatap menatap sekelilingnya. Berharap dapat menemukan sesuatu yang masih bisa diselamatkan dari sisa kebakaran itu. Namun, yang terlihat hanyalah sisa benda yang telah hancur dan tidak berbentuk lagi. Meskipun hanya sebentar, ada banyak kenangan yang membekas selama Qiyana dan Kenzo menempati rumah ini. Setidaknya, jika Kenzo akan mengajaknya ke rumah utama setelah ini, ia masih berharap dapat berkunjung kemari lagi suatu saat nanti. Sayangnya, sudah tidak ada lagi yang tersisa. “Kurasa mereka memang ingin mencelakai kita hari itu. Rumah ini dibakar beberapa jam setelah kita pergi. Barang-barang berharga kita sudah diselamatkan sebelum semuanya hancur. Tapi, sisanya memang tidak bisa disel
Suara tembakan yang sangat nyaring tentu saja langsung mencuri perhatian seluruh penghuni hotel yang mendengarnya. Sedangkan Qiyana yang ketakutan masih tetap memejamkan mata setelah mendengar pekikan ibu tirinya yang terdengar bersamaan dengan bunyi tembakan tersebut. Entah siapa yang tertembak, tetapi Qiyana yakin tubuhnya baik-baik saja. Tiba-tiba tubuhnya ditarik paksa oleh seseorang dan saat itu pula matanya kembali terbuka. Kenzo menarik tubuhnya ke dalam rengkuhan lelaki itu, sementara ibu tirinya sudah terduduk di lantai dengan segala makian. Qiyana spontan membekap mulutnya yang nyaris memekik saat melihat lelehan darah yang keluar dari tangan Ambar. Nyaris saja ia bergerak ke sana untuk melihat bagaimana keadaan ibu tirinya itu jika tidak dicegah oleh Kenzo. “Akan ada banyak orang yang menolongnya. Sekarang kita harus pergi, kita tidak punya banyak waktu,” bisik Kenzo yang masih memeluk Qiyana dan pelan-pelan membawa wanita itu melangkah mundur menjauh dari sana. Sahut-sa
Qiyana menyentuh perutnya sembari berteriak. Perutnya tidak sakit sama sekali, ia hanya berpura-pura agar Kenzo mengalihkan atensi padanya. Wanita itu tidak menemukan cara yang lebih efektif di banding ini. Apalagi dirinya juga tidak berani memisahkan secara langsung. Berhasil! Kenzo yang tadinya hendak kembali meninju wajah Jovan langsung berlari mendekati Qiyana. Bahkan, Jovan pun ikut menghampiri Qiyana, meski akhirnya diusir oleh Kenzo. Walaupun telah berhasil, wanita itu tetap mempertahankan aktingnya hingga suaminya kembali masuk ke mobil. Dalam hati, Qiyana telah meminta maaf pada anaknya karena terpaksa harus berbohong dan berpura-pura. Ia hanya tidak ingin menambah masalah lagi, terlebih baik Kenzo maupun Jovan sudah sama-sama babak belur. “Apa perutmu kram lagi, Sayang? Bertahanlah, kita ke rumah sakit sekarang,” tutur Kenzo sembari memasang seatbelt di tubuh Qiyana, kemudian untuknya sendiri. Tak tega melihat suaminya yang tampak benar-benar khawatir, Qiyana pun men
Qiyana yang masih terkejut karena bentakan Kenzo hanya diam saja ketika lelaki itu beranjak pergi tanpa menoleh lagi. Padahal ia benar-benar khawatir dan ingin membantu suaminya. Tetapi, sepertinya suasana hati lelaki itu sedang kurang baik. Qiyana mengintip Kenzo yang sudah mengeluarkan mobil dari balik gorden jendela tanpa berani melangkah keluar. Wanita itu tak beranjak sama sekali dari tempatnya berdiri hingga mobil milik suaminya benar-benar tidak terlihat lagi. Wanita itu terbelalak melihat mobil Kenzo kembali lagi tak lama kemudian. Karena khawatir terjadi sesuatu, Qiyana pun refleks membuka pintu yang bergegas mendekati mobil suaminya. Ia yakin barusan lelaki itu belum pergi jauh, mungkin ada barang yang tertinggal. “Ada apa? Apa handphone atau dompetmu tertinggal? Atau benda lainnya yang kamu butuhkan? Biar aku yang mengambilkannya di dalam,” berondong Qiyana yang langsung menghampiri sang suami yang baru saja membuka pintu mobil. Yang membuat Qiyana semakin heran, Ke
Qiyana meraba sisi ranjang di sampingnya yang kosong dan terasa dingin. Manik mata wanita itu kembali terbuka dan seulas senyum miris langsung tersungging di bibirnya. Lagi-lagi Kenzo memilih tidur di sofa ruang tamu alih-alih satu ranjang dengannya. Hubungan Qiyana dan Kenzo benar-benar berantakan setelah pertengkaran mereka tempo hari. Kenzo yang biasanya selalu meminta maaf setelah tidak sengaja membentak Qiyana malah bersikap dingin selama beberapa hari terakhir. Qiyana sudah mencoba meminta maaf beberapa kali, namun akhirnya hanya akan diabaikan. Bahkan, setelah kejadian itu Kenzo lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah dan membiarkan dirinya sendirian nyaris seharian. Kadang-kadang lelaki itu juga pulang sangat larut dan tidak pernah memberitahu dari mana dia sebenarnya. Helaan napas panjang lolos dari bibir Qiyana. Wanita itu mengelus perutnya seraya berkata, “Bagaimana caranya Mommy bisa meminta maaf pada daddy-mu, Sayang? Sekarang dia benar-benar marah besar.”Me
Mengabaikan piring di tangannya yang sudah pecah dan isinya berhamburan di lantai, Qiyana menajamkan indra pendengarannya. Mendengar informasi lengkap tentang kecelakaan pesawat itu. Ia sengaja memperbesar volume televisi dengan tangan gemetar dan wajah yang berubah pucat pasi. Tanpa sadar Qiyana mencengkram remote dalam genggamannya. Dalam hati ia terus berharap semoga pesawat yang mengalami kecelakaan itu bukanlah pesawat yang suaminya tumpangi. Pastinya ada banyak pesawat yang menuju ke sana secara bersamaan. Namun, informasi selanjutnya yang ia dapatkan membuatnya semakin lemas. “… Seorang pebisnis muda yang termasuk salah satu konglomerat ternama di negeri ini juga tercatat sebagai salah satu penumpang pesawat ini.”Separuh jiwa Qiyana seakan menghilang ketika sebuah foto suaminya terpampang di layar televisi. Wanita itu spontan membekap mulutnya bersamaan dengan air mata yang mulai menetes dari sepasang mata kecokelatannya. Qiyana berharap pemberitaan yang terpampang tepa
Qiyana nyaris kehilangan pijakannya setelah mendengar jawaban dari asisten pribadi suaminya itu. Untung saja, Rangga dan beberapa orang yang berada di sana segera membantunya kembali berdiri tegak. Ia membiarkan orang-orang itu membimbingnya ke arah sofa di ruang tamu. Sekali lagi Kenzo memilih berangkat seorang diri padahal sudah jelas seharusnya lelaki itu pergi bersama sekretaris dan asistennya. Kenzo pasti memilih berangkat sendirian sejak awal karena menghindari dirinya. Rasa bersalah yang mencengkram dada Qiyana semakin terasa menyiksa. Seharusnya Kenzo tidak menaiki pesawat yang kecelakaan itu. Tetapi, karena hubungan mereka tak kunjung membaik, lelaki itu memilih pergi lebih dulu tanpa didampingi oleh siapa pun. “Kami ingin menjemput dan mengajak Nyonya kembali ke rumah utama,” ucap Rangga memecah keheningan di dalam ruangan dengan atmosfer mencekam itu. “Karena jika terjadi sesuatu, aksesnya lebih sulit. Saya dan yang lainnya telah memastikan jika situasi di rumah utama