Semua orang yang berada di ruangan itu panik dan langsung berusaha menjauhkan Ambar dari Qiyana. Namun, wanita paruh itu malah semakin mengeratkan cekikannya. Ia nyaris membuat Qiyana terseret dari ranjang karena mengerahkan seluruh tenaganya untuk mencekik putri sambungnya itu. Qiyana terbatuk dengan napas putus-putus setelah cekikan Ambar terlepas dari lehernya. Wajahnya sudah berubah merah padam. Cekikan itu benar-benar membuatnya nyaris kehabisan napas. Entah bagaimana caranya Ambar membuka borgol yang jelas-jelas masih terpasang di tangan wanita paruh baya itu. Ambar yang masih mengamuk langsung ditarik paksa oleh polisi yang berada di sana. Dengan sigap, para polisi itu memborgol tangan Ambar lagi dan memastikan borgol tersebut tidak akan terlepas lagi. “Panggilkan dokter sekarang!” perintah Kenzo pada sang asisten yang langsung bergegas kelaur dari ruangan tersebut. Lelaki itu menatap sang istri yang masih terbatuk dengan sorot khawatir. “Maaf, Sayang. Aku tidak tahu akhi
“Aku ingin ikut denganmu,” pinta Qiyana seraya mencekal lengan suaminya. Kekhawatiran terpampang jelas di wajah Qiyana. Terlepas dari segala kejahatan dan luka yang telah ibu tirinya torehkan, ia tetap tidak bisa mengelak kekhawatirannya. Baru minggu lalu mereka bertemu, meski akhirnya juga tidak menyenangkan dan sekarang dirinya mendapat kabar seperti ini. “Tidak bisa, Sayang. Kalau kamu ikut, bagaimana dengan Rey? Kita tidak bisa membawanya ke rumah sakit. Kamu tunggu di rumah saja ya? Kalau terjadi sesuatu, aku pasti langsung mengabarimu. Aku pergi.” Kenzo mengecup kening Qiyana dan Reynand sekilas sebelum beranjak pergi. “Tapi—”Sebelum Qiyana sempat melanjutkan kalimatnya, Kenzo lebih dulu beranjak pergi tanpa menoleh lagi. Lelaki itu tampak sangat terburu-buru dan kembali bertelepon, sepertinya dengan Rangga. Qiyana pun memilih tidak memaksakan diri karena menyadari jika situasi yang dihadapi saat ini cukup rumit. Qiyana hanya bisa menunggu dengan perasaan campur aduk y
“Aku yakin kamu memang penguntit,” jawab Qiyana sembari melirik foto-fotonya yang pernah Kenzo tunjukkan beberapa waktu lalu. “Kalau tidak, mana mungkin kamu masih menyimpannya. Lagipula tidak ada yang bagus juga dari foto-foto itu. Buang saja.” Akan tetapi, jujur saja sekarang Qiyana malah lebih penasaran dengan foto-foto tersebut daripada dokumen di tangannya. Waktu itu Kenzo sudah berjanji akan memberi penjelasan lebih lanjut, namun akhirnya terlupakan begitu saja. Qiyana yakin ayahnya tidak mungkin memberikan fotonya secara cuma-cuma pada Kenzo. Ayahnya adalah tipe orang yang tidak terlalu terbuka dengan orang lain, apalagi untuk memberikan hal privasi seperti ini. “Buang? Aku tidak mungkin melakukannya, untuk apa aku melakukan itu setelah mendapatkannya dengan susah payah? Aku berbohong tentang ayahmu yang memberikan foto-foto ini padaku. Anggap saja aku memang penguntit,” jawab Kenzo santai tanpa beban. Qiyana kontan menoleh dengan mata terbelalak dan mulut menganga. “Apa?! J
“Apa kamu yakin acaranya tidak diadakan di rumah saja? Kalau acaranya di luar, bisa saja ada wartawan yang melihat kita. Hari ini sangat spesial dan aku tidak mau terjadi masalah baru,” tutur Qiyana yang sedang menyuapi putranya. “Tentu saja tidak, Sayang. Semuanya sudah dipersiapkan sejak jauh-jauh hari, sedikit merepotkan jika tempatnya dipindah. Lagipula Rey sangat menyukai tempatnya dan kamu juga tahu kalau aku tidak mengundang banyak orang. Percayalah tidak akan ada masalah yang terjadi,” sahut Kenzo tanpa keraguan sedikitpun. Tepat hari ini, Reynand Pratama Abimana genap berusia satu tahun. Sejak jauh-jauh hari, Qiyana dan Kenzo telah berencana untuk merayakan hari ulang tahun putra mereka. Tentu saja awalnya Qiyana hanya berniat mengadakan acara di rumah, namun siapa sangka Kenzo malah menawarkan untuk menggunakan salah satu ballroom hotelnya. Meskipun sudah saling terbuka sejak lama, nyatanya sampai saat ini Kenzo belum memiliki niatan untuk membuka hubungan mereka di de
“Aku hanya ingin memberi ucapan selamat ulang tahun pada keponakanku, apa itu salah?” sahut Amanda yang tidak terlihat tersinggung sama sekali oleh kata-kata kasar yang Kenzo ucapkan. “Aku tahu keponakanku berulang tahun hari ini dan aku hanya ingin memberi sedikit hadiah untuknya.”“Dari mana kamu tahu kalau ulang tahun putraku dirayakan di sini?” Kenzo kembali mengulang pertanyaannya dengan nada lebih menuntut dan tatapan yang semakin tajam. “Kalau kamu hanya berniat mengacaukan acara ini, lebih baik kamu pergi.”Qiyana yang bingung harus melakukan apa hanya mengelus bahu Kenzo, berusaha menenangkan lelaki itu. Walaupun selama ini Amanda memang sering melakukan hal-hal tak terduga, tetapi ia yakin kali ini Amanda tidak memiliki niatan buruk. “Jangan terlalu keras padanya, mungkin dia memang hanya ingin memberi ucapan selamat untuk Rey,” bisik Qiyana pada Kenzo. “Jangan langsung mengusirnya seperti ini. Setidaknya kita bisa bicara baik-baik dengannya.”Amanda berdeham pelan sera
“Apa-apaan ini,” lirih Qiyana sembari menatap nanar ke arah dua sosok yang sangat dirinya kenali. Tanpa sadar, wanita itu mulai mencengkeram pegangan kopernya. Sejak menginjakkan kaki di kediaman peninggalan ayahnya ini, Qiyana sudah mencurigai sesuatu yang janggal. Mulai dari dekorasi yang memenuhi setiap sudut rumah dan banyaknya orang yang berlalu lalang di mana-mana. Qiyana tidak menyangka akan mendapat kejutan besar di hari kepulangannya dari dinas di luar kota. Hatinya mencelos melihat tunangannya dan kakak tirinya sendiri bersanding di pelaminan. Ternyata inilah alasan ibu tirinya memintanya kembali lebih awal. Tawa miris lolos dari bibir Qiyana, pandangannya pun mendadak buram karena air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Dadanya yang berdenyut nyeri terasa begitu sesak. Entah apa yang terjadi selama dirinya pergi. Hanya dua minggu wanita itu pergi meninggalkan kota ini untuk urusan pekerjaan. Pantas saja tunangannya sulit dihubungi belakangan ini. Qiyana berusaha mem
Qiyana tahu siapa sosok familiar yang berjongkok di hadapannya. Kenzo Pradipta—mantan kekasih kakak tirinya. Alih-alih mengucapkan terima kasih karena lelaki itu telah menolongnya, Qiyana malah bersingkut mundur. Ia khawatir Kenzo juga sudah bersekongkol dengan ibu tirinya untuk menangkapnya di sini. Sayangnya, tubuh Qiyana terasa remuk redam dan sangat sulit di gerakkan. Untuk bergeser saja ia kesulitan. Tak ingin membuat kondisi tubuhnya semakin parah, wanita itu pun menyerah. Meskipun begitu, Qiyana tetap memasang sorot penuh kewaspadaan. “Qiyana! Di mana kamu! Jangan lari!” Tiba-tiba terdengar suara Ambar dari kejauhan. Kepanikan Qiyana pun semakin menjadi-jadi. Kenzo yang menyadari kepanikan Qiyana langsung membantu wanita itu bangkit. Pekikan nyaring lolos dari bibir Qiyana karena Kenzo tiba-tiba mengangkat tubuhnya. “Diamlah! Aku hanya ingin membantumu. Aku tahu kamu tidak bisa berjalan,” ucap Kenzo ketika Qiyana hendak melayangkan protes. Lelaki itu bergegas melangkah menuj
Qiyana melotot kaget mendengar tawaran yang begitu enteng keluar dari mulut Kenzo. Wanita itu langsung menyentak cekalan Kenzo hingga terlepas. “Sepertinya kamu yang sudah gila. Kamu pikir menikah itu masalah sepele? Aku tidak bisa mengikuti kegilaanmu. Terima kasih atas bantuanmu. Permisi, aku harus pergi.”Qiyana juga ingin membalas sakit hatinya kepada orang-orang yang telah menusuknya dari belakang. Namun, ia akan menggunakan caranya sendiri. Bukan mengikuti rencana Kenzo yang tidak masuk akal seperti ini. Apalagi sampai menikah hanya demi melampiaskan dendam semata. Wanita itu tidak ingin mempermainkan pernikahan hanya demi memuaskan obsesinya. Sebab, ia masih meyakini jika mempermainkan suatu ikatan yang sakral akan mendatangkan masalah besar di kemudian hari. Tak menyerah, Kenzo kembali mengejar Qiyana yang sudah melanjutkan langkah. “Memangnya kamu ingin pergi ke mana? Kalau kamu tinggal sendirian, itu malah akan membahayakan dirimu juga. Apa kamu tidak takut ibu tirimu b
“Aku hanya ingin memberi ucapan selamat ulang tahun pada keponakanku, apa itu salah?” sahut Amanda yang tidak terlihat tersinggung sama sekali oleh kata-kata kasar yang Kenzo ucapkan. “Aku tahu keponakanku berulang tahun hari ini dan aku hanya ingin memberi sedikit hadiah untuknya.”“Dari mana kamu tahu kalau ulang tahun putraku dirayakan di sini?” Kenzo kembali mengulang pertanyaannya dengan nada lebih menuntut dan tatapan yang semakin tajam. “Kalau kamu hanya berniat mengacaukan acara ini, lebih baik kamu pergi.”Qiyana yang bingung harus melakukan apa hanya mengelus bahu Kenzo, berusaha menenangkan lelaki itu. Walaupun selama ini Amanda memang sering melakukan hal-hal tak terduga, tetapi ia yakin kali ini Amanda tidak memiliki niatan buruk. “Jangan terlalu keras padanya, mungkin dia memang hanya ingin memberi ucapan selamat untuk Rey,” bisik Qiyana pada Kenzo. “Jangan langsung mengusirnya seperti ini. Setidaknya kita bisa bicara baik-baik dengannya.”Amanda berdeham pelan sera
“Apa kamu yakin acaranya tidak diadakan di rumah saja? Kalau acaranya di luar, bisa saja ada wartawan yang melihat kita. Hari ini sangat spesial dan aku tidak mau terjadi masalah baru,” tutur Qiyana yang sedang menyuapi putranya. “Tentu saja tidak, Sayang. Semuanya sudah dipersiapkan sejak jauh-jauh hari, sedikit merepotkan jika tempatnya dipindah. Lagipula Rey sangat menyukai tempatnya dan kamu juga tahu kalau aku tidak mengundang banyak orang. Percayalah tidak akan ada masalah yang terjadi,” sahut Kenzo tanpa keraguan sedikitpun. Tepat hari ini, Reynand Pratama Abimana genap berusia satu tahun. Sejak jauh-jauh hari, Qiyana dan Kenzo telah berencana untuk merayakan hari ulang tahun putra mereka. Tentu saja awalnya Qiyana hanya berniat mengadakan acara di rumah, namun siapa sangka Kenzo malah menawarkan untuk menggunakan salah satu ballroom hotelnya. Meskipun sudah saling terbuka sejak lama, nyatanya sampai saat ini Kenzo belum memiliki niatan untuk membuka hubungan mereka di de
“Aku yakin kamu memang penguntit,” jawab Qiyana sembari melirik foto-fotonya yang pernah Kenzo tunjukkan beberapa waktu lalu. “Kalau tidak, mana mungkin kamu masih menyimpannya. Lagipula tidak ada yang bagus juga dari foto-foto itu. Buang saja.” Akan tetapi, jujur saja sekarang Qiyana malah lebih penasaran dengan foto-foto tersebut daripada dokumen di tangannya. Waktu itu Kenzo sudah berjanji akan memberi penjelasan lebih lanjut, namun akhirnya terlupakan begitu saja. Qiyana yakin ayahnya tidak mungkin memberikan fotonya secara cuma-cuma pada Kenzo. Ayahnya adalah tipe orang yang tidak terlalu terbuka dengan orang lain, apalagi untuk memberikan hal privasi seperti ini. “Buang? Aku tidak mungkin melakukannya, untuk apa aku melakukan itu setelah mendapatkannya dengan susah payah? Aku berbohong tentang ayahmu yang memberikan foto-foto ini padaku. Anggap saja aku memang penguntit,” jawab Kenzo santai tanpa beban. Qiyana kontan menoleh dengan mata terbelalak dan mulut menganga. “Apa?! J
“Aku ingin ikut denganmu,” pinta Qiyana seraya mencekal lengan suaminya. Kekhawatiran terpampang jelas di wajah Qiyana. Terlepas dari segala kejahatan dan luka yang telah ibu tirinya torehkan, ia tetap tidak bisa mengelak kekhawatirannya. Baru minggu lalu mereka bertemu, meski akhirnya juga tidak menyenangkan dan sekarang dirinya mendapat kabar seperti ini. “Tidak bisa, Sayang. Kalau kamu ikut, bagaimana dengan Rey? Kita tidak bisa membawanya ke rumah sakit. Kamu tunggu di rumah saja ya? Kalau terjadi sesuatu, aku pasti langsung mengabarimu. Aku pergi.” Kenzo mengecup kening Qiyana dan Reynand sekilas sebelum beranjak pergi. “Tapi—”Sebelum Qiyana sempat melanjutkan kalimatnya, Kenzo lebih dulu beranjak pergi tanpa menoleh lagi. Lelaki itu tampak sangat terburu-buru dan kembali bertelepon, sepertinya dengan Rangga. Qiyana pun memilih tidak memaksakan diri karena menyadari jika situasi yang dihadapi saat ini cukup rumit. Qiyana hanya bisa menunggu dengan perasaan campur aduk y
Semua orang yang berada di ruangan itu panik dan langsung berusaha menjauhkan Ambar dari Qiyana. Namun, wanita paruh itu malah semakin mengeratkan cekikannya. Ia nyaris membuat Qiyana terseret dari ranjang karena mengerahkan seluruh tenaganya untuk mencekik putri sambungnya itu. Qiyana terbatuk dengan napas putus-putus setelah cekikan Ambar terlepas dari lehernya. Wajahnya sudah berubah merah padam. Cekikan itu benar-benar membuatnya nyaris kehabisan napas. Entah bagaimana caranya Ambar membuka borgol yang jelas-jelas masih terpasang di tangan wanita paruh baya itu. Ambar yang masih mengamuk langsung ditarik paksa oleh polisi yang berada di sana. Dengan sigap, para polisi itu memborgol tangan Ambar lagi dan memastikan borgol tersebut tidak akan terlepas lagi. “Panggilkan dokter sekarang!” perintah Kenzo pada sang asisten yang langsung bergegas kelaur dari ruangan tersebut. Lelaki itu menatap sang istri yang masih terbatuk dengan sorot khawatir. “Maaf, Sayang. Aku tidak tahu akhi
Qiyana menatap sosok yang baru saja datang dan kini berdiri tepat di hadapannya dari atas sampai bawah. Tatapan tak percaya masih terlihat sangat jelas dari sorot matanya. Wanita itu mengerjapkan matanya berulang kali, khawatir sesuatu yang terlihat di depan matanya hanya ilusi. “Kamu sudah bisa berjalan?” tanya Qiyana dengan ekspresi campur aduk melihat Kenzo sudah dapat kembali berjalan meski dengan langkah tertatih-tatih. “Ssshhh … di mana kursi rodamu? Jangan memaksakan diri, bagaimana kalau keadaanmu malah semakin parah?” Sejak beberapa hari terakhir, Kenzo memang sangat gencar berlatih agar otot tubuhnya tidak kaku dan dapat segera digerakkan normal lagi seperti sediakala. Namun, sejauh ini belum terlihat hasil yang memuaskan karena lelaki itu masih kesulitan berdiri. Dan seharusnya lelaki itu tidak memaksakan diri sampai seperti ini. “Maaf, aku meninggalkanmu sendirian terlalu lama. Kenapa kamu turun dari brankar? Kamu pasti ingin ke toilet lagi ya?” Alih-alih menanggapi pert
“Apa? Kamu akan melahirkan sekarang?! Bagaimana mungkin? Bukannya dokter mengatakan kamu akan melahirkan minggu depan?” cerca Kenzo seraya berusaha meminta tolong pada orang-orang yang ada di sekitar taman tersebut. Di saat seperti ini, Kenzo merasa dirinya benar-benar tidak berguna. Seharusnya ia langsung bangkit dan menggendong istrinya ke ruang IGD atau ruangan apa pun itu. Namun, untuk bangkit dari kursi rodanya saja dirinya sangat kesulitan. Qiyana yang sudah tidak kuat menahan bobot tubuhnya sudah terduduk di rerumputan sembari mencengkeram blouse selutut yang dikenakannya. Nyeri yang menjalari perutnya semakin kuat dengan sakit yang tidak bisa didefinisikan dengan kata-kata. “Aku tidak tahu kenapa seperti ini. Sakit sekali, aku tidak kuat,” lirih Qiyana dengan keringat dan air mata yang bercucuran. Sejak bangun tidur pagi ini, Qiyana memang tetalh merasakan sesuatu yang janggal dari tubuhnya. Sejak beberapa jam lalu dirinya selalu bolak-balik ke toilet untuk buang air kecil
“Coba ulangi kata-kata terakhirmu tadi,” cerca Kenzo sembari mencekal lengan Qiyana. Qiyana yang sebenarnya sedang menenangkan debar jantungnya yang menggila tetap memasang senyum di wajahnya. Seolah-olah kata-kata yang barusan terlontar dari mulutnya bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Padahal sesungguhnya wanita itu ingin segera melarikan diri dari sini karena malu. Kata-kata itu tiba-tiba meluncur dari mulutnya tanpa bisa dicegah. Tetapi, Qiyana tidak menyesalinya sama sekali. Selama ini ia terlalu banyak bersembunyi di balik gengsi dan harga diri. Tidak ada salahnya mencoba lebih jujur dibanding hanya menyimpannya seorang diri. “Aku hanya mengatakannya sekali dan tidak ada pengulangan lagi. Sekarang bukan waktunya mengobrol, jadi lebih baik kamu tidur saja. Kamu masih dalam masa pemulihan, harus banyak-banyak beristirahat,” sahut Qiyana dengan senyum miring. Kenzo menggeram rendah. “Kamu pikir aku bisa tidur setelah kamu mengatakan itu tanpa kejelasan lagi? Aku tidak akan t
“Ka-kamu sudah sadar?” gumam Qiyana dengan tatapan terbelalak. Sepasang mata berwarna kecokelatan itu berkaca-kaca. “Aku akan—aw!” Wanita refleks meneggakkan kepalanya dan saat itu juga nyeri yang menjalari tengkuknya semakin terasa.Kenzo membuka peralatan medis yang terpasang di mulutnya setelah mengumpulkan tenaga untuk mengangkat tangannya. “Sayang, apa kamu baik-baik saja? Lehermu pasti sakit karena tidur dengan posisi duduk,” tanya lelaki itu dengan suara serak.Suara bariton yang sangat Qiyana rindukan itu kembali terdengar. Meskipun sangat serak dan lirih, itu sudah cukup untuk membayar perasaan campur aduk yang selalu membelenggunya setiap hari selama berbulan-bulan ini. Sekali lagi Qiyana menatap sang suami yang juga menatapnya, memastikan jika ini semua bukanlah halusinasi. Tanpa membalas pertanyaan suaminya, Qiyana langsung merengkuh tubuh lelaki itu dengan isak tangis yang berurai dari bibirnya. Ketika kulitnya bersentuhan dengan kulit Kenzo, ada kehangatan yang teras