“Apa-apaan ini,” lirih Qiyana sembari menatap nanar ke arah dua sosok yang sangat dirinya kenali. Tanpa sadar, wanita itu mulai mencengkeram pegangan kopernya.
Sejak menginjakkan kaki di kediaman peninggalan ayahnya ini, Qiyana sudah mencurigai sesuatu yang janggal. Mulai dari dekorasi yang memenuhi setiap sudut rumah dan banyaknya orang yang berlalu lalang di mana-mana.Qiyana tidak menyangka akan mendapat kejutan besar di hari kepulangannya dari dinas di luar kota. Hatinya mencelos melihat tunangannya dan kakak tirinya sendiri bersanding di pelaminan. Ternyata inilah alasan ibu tirinya memintanya kembali lebih awal.Tawa miris lolos dari bibir Qiyana, pandangannya pun mendadak buram karena air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Dadanya yang berdenyut nyeri terasa begitu sesak. Entah apa yang terjadi selama dirinya pergi. Hanya dua minggu wanita itu pergi meninggalkan kota ini untuk urusan pekerjaan.Pantas saja tunangannya sulit dihubungi belakangan ini. Qiyana berusaha memaklumi itu karena mengira sang tunangan sedang sibuk. Mungkin lebih tepatnya sedang sibuk mempersiapkan pernikahan dengan kakaknya sendiri. Padahal dirinya dan tunangannya berencana menikah di penghujung tahun ini.“Ternyata kamu sudah datang? Kenapa hanya berdiri di sini? Seharusnya kamu langsung masuk dan memberi selamat pada kakakmu yang berbahagia hari ini,” ucap Ambar—ibu tiri Qiyana yang kini berdiri di samping wanita itu.Qiyana spontan menoleh ke samping dan ekspresi langsung berubah mengeras. Amarah yang sangat besar berkobar dari manik matanya. Kedua tangannya mengepal sempurna di sisi tubuhnya.“Kenapa kalian tega melakukan ini padaku? Apa yang terjadi selama aku pergi?” cerca wanita itu dengan suara tercekat.Qiyana berusaha menahan air matanya yang terus mendesak keluar. Ia tidak boleh menangis di sini dan menunjukkan seberapa hancurnya perasaannya. Qiyana tidak bisa menunjukkan kesedihannya di hadapan orang-orang yang telah mengkhianatinya. Mereka akan semakin bahagia melihatnya hancur.Ambar menampilkan ekspresi berpura-pura sedih. “Maafkan Ibu yang tidak bisa memberitahu kabar bahagia ini sejak awal. Kami memang berniat memberi kejutan untukmu. Bagaimana? Apa kamu menyukai kejutan yang kami berikan?”Deru napas Qiyana berubah memburu, wajahnya memerah menahan amarah. “Apa yang kalian inginkan sebenarnya? Kenapa kalian tega menusukku dari belakang?” desis wanita itu penuh penekanan.“Kamu yang terlalu naif selama ini, Sayang. Lihatlah, mereka berdua saling mencintai. Kamu yang tidak bisa melihat itu,” tutur Ambar seraya menggandeng lengan Qiyana dan memaksa wanita itu kembali menatap pengantin yang sedang berbahagia di atas pelaminan.Benar, Qiyana dapat menemukan binar kebahagiaan yang terpancar dari wajah tunangannya, lebih tepatnya mantan tunangannya. Ia tidak sudi menyebut lelaki itu sebagai tunangannya. Lelaki yang sangat dirinya cintai telah mengkhianatinya dengan cara yang sangat menjijikkan.Tak kuat terlalu lama menatap pemandangan yang membuat hatinya hancur berkeping-keping, Qiyana langsung mengalihkan pandangan. Menyaksikan kebahagiaan yang terpampang di hadapannya sama saja dengan menabur garam di atas lukanya.“Sepertinya kamu ingin berlama-lama di sini? Kalau begitu, lebih baik kita pergi ke tempat lain. Ada sesuatu yang ingin Ibu tunjukkan padamu.” Setelah mengatakan itu, Ambar langsung menarik Qiyana menjauh dari sana.Qiyana berusaha melepaskan cekalan Ambar. Namun, wanita paruh baya itu malah semakin mencengkeram erat tangannya. Qiyana dipaksa melangkah menuju halaman samping rumah itu yang sangat sepi. Hanya ada seorang pria bertubuh kekar yang membawa map berwarna merah di sana.“Cepat kamu tandatangani berkas itu!” perintah Ambar sembari memberikan map dari anak buahnya kepada Qiyana.Bola mata Qiyana melebar sempurna setelah membaca sekilas isi dari dokumen yang Ambar berikan padanya. Dalam dokumen tersebut tertera jika dirinya akan memberikan seluruh harta peninggalan sang ayah kepada ibu dan kakak tirinya.Qiyana kembali menutup map itu tanpa memedulikan perintah ibu tirinya. Ia mengangkat kepalanya dan melayangkan tatapan nyalang kepada wanita paruh baya itu. “Ibu ingin aku menandatangani berkas ini? Jangan harap! Sampai mati pun aku tidak akan pernah melakukannya!”Qiyana langsung melemparkan map di tangannya ke lantai dan mendorong ibu tirinya. Tanpa membuang waktu lagi, wanita itu berlari sekuat tenaga. Ia tidak akan membiarkan ibu dan kakak tirinya menguasai harta peninggalan ayahnya. Sudah cukup dirinya yang dibodohi oleh mereka selama ini.Wanita itu terus memacu langkah secepat mungkin. Bola matanya bergerak liar menatap sekelilingnya. Berharap bisa bertemu dengan siapa pun yang bisa menolongnya. Qiyana yakin ibu tirinya tidak akan berani melakukan apa pun saat ada orang lain di sekitar mereka. Sayangnya, jalanan yang ia lewati begitu sepi.“Qiyana! Jangan coba-coba melarikan diri!” seru Ambar yang sedang mengejar Qiyana.Mendengar seruan itu membuat Qiyana berlari semakin kencang. Wanita yang tidak memperhatikan jalanan di sekitarnya itu tidak menyadari adanya jalan yang berlubang di depannya. Akibatnya, ia nyaris jatuh terjerembab di sana. Untung saja ia sempat bertopang pada tembok di sampingnya.Ringisan pelan lolos dari bibir Qiyana. Sebelah high heelsnya patah dan sepertinya kakinya terkilir. Wanita itu berusaha menegakkan tubuhnya kembali meskipun agak sulit. Sebelum Ambar dan anak buah wanita paruh baya itu berhasil menyusulnya, ia harus pergi dari sini.Panasnya aspal langsung beradu dengan telapak kaki Qiyana yang kini tidak dilapisi apa pun. Perih, panas, dan denyut nyeri bercampur menjadi satu. Namun, Qiyana masih terus berlari secepat mungkin tanpa memedulikan kakinya yang terluka. Tak ingin sang ibu tiri dan anak buah wanita paruh baya itu kembali menangkapnya.“Aku harus berlari ke mana lagi?” gumam Qiyana sembari mengedarkan pandangan ke sekelilingnya.Qiyana menatap hamparan semak belukar di hadapannya dengan sorot gamang. Karena tidak memperhatikan ke mana kakinya melangkah, Qiyana salah mengambil arah dan kini malah terjebak di jalan buntu.Hanya tanah lapang penuh semak belukar di hadapannya ini satu-satunya jalan yang bisa Qiyana lalui. Seingatnya, hamparan tanah tak terawat ini terhubung dengan area perkampungan yang berada di belakang kompleks perumahan tempat tinggalnya.Qiyana menoleh ke belakang dan mendapati sosok Ambar yang sudah terlihat di ujung jalan. Tanpa berpikir panjang, wanita itu langsung berlari menerobos semak belukar di depannya. Beberapa kali kakinya tergores ranting kering juga duri-duri tanaman liar.“Sepertinya mereka sudah tidak mengejarku lagi,” monolog Qiyana setelah berhasil melewati semak belukar itu.Qiyana menghentikan langkahnya sejenak. Kakinya terasa sangat kebas, belum lagi perih yang terasa di mana-mana. Wanita itu menyeka keringat yang membasahi wajahnya sembari mengatur napasnya. Ketika hendak melanjutkan langkah, ia malah jatuh terjerembab di tanah.Kedua lututnya yang bergesekan dengan aspal langsung mengeluarkan darah segar. Wanita itu berusaha bangkit, tetapi akhirnya terjatuh lagi. Di saat yang sama, sebuah mobil melaju kencang dari arah berlawanan.Qiyana pikir hidupnya akan berakhir ketika mobil itu menghantam dan meremukkan tubuhnya. Namun, kedatangan seseorang yang tiba-tiba menarik tubuhnya ke pinggir jalan berhasil menyelamatkannya dari maut.Tubuh Qiyana bergetar ketakutan. Sedangkan sorot mata wanita itu masih tertuju ke arah mobil yang nyaris menabraknya. Mobil yang kini masih melaju kencang itu terlihat semakin menjauh dan akhirnya menghilang di ujung jalan. Tak ada tanda-tanda akan berhenti dan sekadar melihat kondisinya yang nyaris tertabrak.“Apa yang kamu lakukan di sini? Apa kamu sudah kehilangan akal? Ingin mengakhiri hidupmu sendiri?” bentak seorang lelaki yang baru saja menolong Qiyana.Suara bariton yang menggelengar itu sukses membuyarkan lamunan Qiyana. Wanita itu spontan menoleh dan matanya membulat sempurna melihat siapa yang berada di hadapannya. “Ka-kamu … kenapa kamu ada di sini?”Qiyana tahu siapa sosok familiar yang berjongkok di hadapannya. Kenzo Pradipta—mantan kekasih kakak tirinya. Alih-alih mengucapkan terima kasih karena lelaki itu telah menolongnya, Qiyana malah bersingkut mundur. Ia khawatir Kenzo juga sudah bersekongkol dengan ibu tirinya untuk menangkapnya di sini. Sayangnya, tubuh Qiyana terasa remuk redam dan sangat sulit di gerakkan. Untuk bergeser saja ia kesulitan. Tak ingin membuat kondisi tubuhnya semakin parah, wanita itu pun menyerah. Meskipun begitu, Qiyana tetap memasang sorot penuh kewaspadaan. “Qiyana! Di mana kamu! Jangan lari!” Tiba-tiba terdengar suara Ambar dari kejauhan. Kepanikan Qiyana pun semakin menjadi-jadi. Kenzo yang menyadari kepanikan Qiyana langsung membantu wanita itu bangkit. Pekikan nyaring lolos dari bibir Qiyana karena Kenzo tiba-tiba mengangkat tubuhnya. “Diamlah! Aku hanya ingin membantumu. Aku tahu kamu tidak bisa berjalan,” ucap Kenzo ketika Qiyana hendak melayangkan protes. Lelaki itu bergegas melangkah menuj
Qiyana melotot kaget mendengar tawaran yang begitu enteng keluar dari mulut Kenzo. Wanita itu langsung menyentak cekalan Kenzo hingga terlepas. “Sepertinya kamu yang sudah gila. Kamu pikir menikah itu masalah sepele? Aku tidak bisa mengikuti kegilaanmu. Terima kasih atas bantuanmu. Permisi, aku harus pergi.”Qiyana juga ingin membalas sakit hatinya kepada orang-orang yang telah menusuknya dari belakang. Namun, ia akan menggunakan caranya sendiri. Bukan mengikuti rencana Kenzo yang tidak masuk akal seperti ini. Apalagi sampai menikah hanya demi melampiaskan dendam semata. Wanita itu tidak ingin mempermainkan pernikahan hanya demi memuaskan obsesinya. Sebab, ia masih meyakini jika mempermainkan suatu ikatan yang sakral akan mendatangkan masalah besar di kemudian hari. Tak menyerah, Kenzo kembali mengejar Qiyana yang sudah melanjutkan langkah. “Memangnya kamu ingin pergi ke mana? Kalau kamu tinggal sendirian, itu malah akan membahayakan dirimu juga. Apa kamu tidak takut ibu tirimu b
Qiyana dapat melihat keterkejutan yang sangat ketara dari wajah Kenzo. Namun, lelaki itu tidak memberi respon apa pun atas keputusan gila yang dirinya ambil. Kenzo langsung membimbingnya menuju mobil lelaki itu yang terparkir di pinggir jalan. Qiyana tidak memiliki niatan sama sekali untuk meralat kata-kata yang baru saja meluncur dari mulutnya. Ia sadar betul seberapa gila keputusan yang dirinya ambil tanpa pikir panjang ini. Tetapi, jika cara ini bisa mempermudah dirinya mengambil kembali miliknya sekaligus membalas sakit hatinya, Qiyana akan melakukannya. “Aku serius dengan keputusanku,” ucap Qiyana setelah menerima sebotol air mineral yang Kenzo berikan. Wanita itu menghapus sisa-sisa lelehan air mata yang memenuhi wajahnya. Kemudian, membuka botol air mineral di tangannya dan meneguknya perlahan-lahan. “Apa kamu yakin? Kamu bisa memikirkan semuanya matang-matang, tidak perlu terburu-buru. Karena kalau kamu sudah mengambil keputusan, kamu tidak bisa mundur lagi,” tanya Kenz
Qiyana spontan bangkit dari tempat duduknya setelah mendengar jawaban Kenzo. Dari semua rencana yang dapat dilakukan, ia tidak Kenzo malah memilih rencana seperti ini. Sudah pasti, Qiyana tidak akan menyetujuinya. “Apa? Kamu ingin membuat perusahaan ayahku bangkrut? Kenapa kamu malah melakukan itu? Perusahaan itu ayahku bangun dari nol, kamu tidak boleh membuat perusahaan ayahku bangkrut. Aku yakin pasti ada—” “Tunggu dulu, Qiyana. Aku belum selesai bicara,” potong Kenzo cepat. Lelaki itu menegakkan tubuhnya dan melangkah mendekati Qiyana. “Jangan panik dulu. Maksudku begini, aku akan melakukan sesuatu yang membuat perusahaan itu kolaps. Kamu pasti mengerti kalau kebanyakan orang tidak akan mau menanam modal di perusahaan yang sudah kolaps. Bahkan, saham yang sudah ada juga akan mereka tarik lagi.” Kenzo menjelaskan rencananya pelan-pelan. “Ketika sudah tidak ada lagi yang bersedia membantu mereka, aku akan datang. Aku akan menanamkan saham di sana. Namun, tanpa mereka sadari aku a
Qiyana terlonjak hebat menyadari apa yang baru saja dirinya lakukan. Wajahnya langsung berubah pucat pasi dengan jantung yang berdetak dua kali lebih cepat. “Kenapa aku bodoh sekali?!” rutuknya dalam hati. Wanita itu mengedarkan pandangan ke sekitarnya, khawatir ada orang yang melihatnya di sini. Qiyana ingin segera pergi dari sana. Namun, ia tidak mungkin meninggalkan bekas kekacauan yang baru saja dirinya perbuat begitu saja. Buru-buru wanita itu membereskan serpihan guci yang berserakan di lantai. Ringisan pelan lolos dari bibirnya karena ujung telunjuknya tak sengaja terkena serpihan guci yang tajam. Mengabaikan nyeri dan darahnya yang mulai keluar, Qiyana tetap melanjutkan aktivitasnya secepat mungkin. Ia harus segera pergi dari sini. “Apa yang kamu lakukan di sini?”Suara bariton yang familiar itu membuat tubuh Qiyana menegang. Wanita itu sontak mengangkat kepalanya dan manik matanya langsung bertemu dengan sorot tajam Kenzo. Qiyana gelagapan hingga jemarinya tak sengaja
“Ini kantorku, kenapa kamu terkejut seperti itu?” tanya Kenzo yang telah memarkirkan mobilnya di area khusus untuk jajaran direksi di kantornya. “Ayo turun!” “Tunggu dulu! Bukannya kamu ingin pernikahan kita dirahasiakan dari semua orang? Kalau kamu membawaku ke kantormu, orang-orang pasti penasaran. Apa itu tidak akan membahayakan rencana kita? Kamu juga tidak mengatakan apa pun tadi. Harusnya kamu bilang kalau kamu ingin mengajakku ke kantormu,” sahut Qiyana agak kesal. Sejenak, Qiyana menyingkirkan ketakutan tak berdasar yang dirinya rasakan pada lelaki di sampingnya ini. Ia mulai kesal karena Kenzo selalu merencanakan sesuatu tanpa berkompromi dengannya terlebih dahulu. Kalau tahu lelaki itu akan mengajaknya ke kantor miliknya, lebih baik dirinya tidak perlu ikut. “Aku memang ingin memberitahumu. Tapi, kamu sengaja menghindariku sampai melewatkan waktu sarapanmu juga. Padahal aku sudah menunggumu nyaris satu jam. Bukankah aku yang lebih pantas marah?” balas Kenzo setengah menyin
“Kenapa kamu malah berhenti di sini? Ayo, aku sudah memesan meja untuk—” Kalimat yang Kenzo ucapkan terhenti saat menyadari ke mana arah pandang Qiyana berlabuh. Seulas senyum sinis tersungging di bibirnya, sebelum wajahnya kembali datar. “Ayo kita makan di tempat lain saja.”Qiyana yang masih terpaku melihat pemandangan di hadapannya tersentak saat Kenzo menariknya kembali keluar dari restoran itu. “Tidak perlu, kita makan siang di sini saja. Di mana meja yang sudah kamu pesan?”Qiyana mengalihkan pandangannya dari pemandangan menyakitkan itu dan langsung menggandeng Kenzo ke arah lain. Ia tidak ingin terlalu lama menatap sesuatu yang hanya membuatnya terlihat semakin menyedihkan. Dunia ini terasa begitu sempit. Di depan sana, tepatnya di tengah-tengah restoran ini Jovan dan Feli sedang makan bersama. Yang lebih menjijikkannya lagi, tanpa malu mereka bersikap mesra dan saling menyuapi satu sama lain. Benar-benar tidak tahu diri!Qiyana memang sangat membenci dua manusia biadab i
Qiyana tidak berhasil menemukan siapa dalang dari perekam video tersebut yang sebenarnya. Hanya selang beberapa menit sejak insiden tersebut terjadi dan video yang menampilkan dirinya menampar Feli sudah tersebar di mana-mana. Anehnya, hanya bagian saat Qiyana menampar Feli saja yang ada dalam video-video itu. Apa yang terjadi di sana sebelumnya tidak terlihat. Seolah-olah sengaja dipangkas menjadi seperti itu. Walaupun tidak mengetahui siapa yang merekam video tersebut, ia yakin ada campur tangan Feli di sana. “Ada apa? Kenapa wajahmu terlihat tegang seperti itu?” tanya Kenzo yang melirik sekilas ke arah Qiyana. Qiyana yang tersentak langsung menggeleng dan buru-buru mematikan ponselnya sebelum Kenzo semakin curiga. Ia tidak ingin lelaki itu mengetahui masalahnya kali ini. Lagipula semuanya bermula karena dirinya tidak bisa menahan emosi. “Tidak apa-apa. Mungkin aku hanya terkejut karena kejadian barusan. Maaf sudah membuatmu malu di sana. Harusnya kamu tidak perlu menghampiriku s
“Aku hanya ingin memberi ucapan selamat ulang tahun pada keponakanku, apa itu salah?” sahut Amanda yang tidak terlihat tersinggung sama sekali oleh kata-kata kasar yang Kenzo ucapkan. “Aku tahu keponakanku berulang tahun hari ini dan aku hanya ingin memberi sedikit hadiah untuknya.”“Dari mana kamu tahu kalau ulang tahun putraku dirayakan di sini?” Kenzo kembali mengulang pertanyaannya dengan nada lebih menuntut dan tatapan yang semakin tajam. “Kalau kamu hanya berniat mengacaukan acara ini, lebih baik kamu pergi.”Qiyana yang bingung harus melakukan apa hanya mengelus bahu Kenzo, berusaha menenangkan lelaki itu. Walaupun selama ini Amanda memang sering melakukan hal-hal tak terduga, tetapi ia yakin kali ini Amanda tidak memiliki niatan buruk. “Jangan terlalu keras padanya, mungkin dia memang hanya ingin memberi ucapan selamat untuk Rey,” bisik Qiyana pada Kenzo. “Jangan langsung mengusirnya seperti ini. Setidaknya kita bisa bicara baik-baik dengannya.”Amanda berdeham pelan sera
“Apa kamu yakin acaranya tidak diadakan di rumah saja? Kalau acaranya di luar, bisa saja ada wartawan yang melihat kita. Hari ini sangat spesial dan aku tidak mau terjadi masalah baru,” tutur Qiyana yang sedang menyuapi putranya. “Tentu saja tidak, Sayang. Semuanya sudah dipersiapkan sejak jauh-jauh hari, sedikit merepotkan jika tempatnya dipindah. Lagipula Rey sangat menyukai tempatnya dan kamu juga tahu kalau aku tidak mengundang banyak orang. Percayalah tidak akan ada masalah yang terjadi,” sahut Kenzo tanpa keraguan sedikitpun. Tepat hari ini, Reynand Pratama Abimana genap berusia satu tahun. Sejak jauh-jauh hari, Qiyana dan Kenzo telah berencana untuk merayakan hari ulang tahun putra mereka. Tentu saja awalnya Qiyana hanya berniat mengadakan acara di rumah, namun siapa sangka Kenzo malah menawarkan untuk menggunakan salah satu ballroom hotelnya. Meskipun sudah saling terbuka sejak lama, nyatanya sampai saat ini Kenzo belum memiliki niatan untuk membuka hubungan mereka di de
“Aku yakin kamu memang penguntit,” jawab Qiyana sembari melirik foto-fotonya yang pernah Kenzo tunjukkan beberapa waktu lalu. “Kalau tidak, mana mungkin kamu masih menyimpannya. Lagipula tidak ada yang bagus juga dari foto-foto itu. Buang saja.” Akan tetapi, jujur saja sekarang Qiyana malah lebih penasaran dengan foto-foto tersebut daripada dokumen di tangannya. Waktu itu Kenzo sudah berjanji akan memberi penjelasan lebih lanjut, namun akhirnya terlupakan begitu saja. Qiyana yakin ayahnya tidak mungkin memberikan fotonya secara cuma-cuma pada Kenzo. Ayahnya adalah tipe orang yang tidak terlalu terbuka dengan orang lain, apalagi untuk memberikan hal privasi seperti ini. “Buang? Aku tidak mungkin melakukannya, untuk apa aku melakukan itu setelah mendapatkannya dengan susah payah? Aku berbohong tentang ayahmu yang memberikan foto-foto ini padaku. Anggap saja aku memang penguntit,” jawab Kenzo santai tanpa beban. Qiyana kontan menoleh dengan mata terbelalak dan mulut menganga. “Apa?! J
“Aku ingin ikut denganmu,” pinta Qiyana seraya mencekal lengan suaminya. Kekhawatiran terpampang jelas di wajah Qiyana. Terlepas dari segala kejahatan dan luka yang telah ibu tirinya torehkan, ia tetap tidak bisa mengelak kekhawatirannya. Baru minggu lalu mereka bertemu, meski akhirnya juga tidak menyenangkan dan sekarang dirinya mendapat kabar seperti ini. “Tidak bisa, Sayang. Kalau kamu ikut, bagaimana dengan Rey? Kita tidak bisa membawanya ke rumah sakit. Kamu tunggu di rumah saja ya? Kalau terjadi sesuatu, aku pasti langsung mengabarimu. Aku pergi.” Kenzo mengecup kening Qiyana dan Reynand sekilas sebelum beranjak pergi. “Tapi—”Sebelum Qiyana sempat melanjutkan kalimatnya, Kenzo lebih dulu beranjak pergi tanpa menoleh lagi. Lelaki itu tampak sangat terburu-buru dan kembali bertelepon, sepertinya dengan Rangga. Qiyana pun memilih tidak memaksakan diri karena menyadari jika situasi yang dihadapi saat ini cukup rumit. Qiyana hanya bisa menunggu dengan perasaan campur aduk y
Semua orang yang berada di ruangan itu panik dan langsung berusaha menjauhkan Ambar dari Qiyana. Namun, wanita paruh itu malah semakin mengeratkan cekikannya. Ia nyaris membuat Qiyana terseret dari ranjang karena mengerahkan seluruh tenaganya untuk mencekik putri sambungnya itu. Qiyana terbatuk dengan napas putus-putus setelah cekikan Ambar terlepas dari lehernya. Wajahnya sudah berubah merah padam. Cekikan itu benar-benar membuatnya nyaris kehabisan napas. Entah bagaimana caranya Ambar membuka borgol yang jelas-jelas masih terpasang di tangan wanita paruh baya itu. Ambar yang masih mengamuk langsung ditarik paksa oleh polisi yang berada di sana. Dengan sigap, para polisi itu memborgol tangan Ambar lagi dan memastikan borgol tersebut tidak akan terlepas lagi. “Panggilkan dokter sekarang!” perintah Kenzo pada sang asisten yang langsung bergegas kelaur dari ruangan tersebut. Lelaki itu menatap sang istri yang masih terbatuk dengan sorot khawatir. “Maaf, Sayang. Aku tidak tahu akhi
Qiyana menatap sosok yang baru saja datang dan kini berdiri tepat di hadapannya dari atas sampai bawah. Tatapan tak percaya masih terlihat sangat jelas dari sorot matanya. Wanita itu mengerjapkan matanya berulang kali, khawatir sesuatu yang terlihat di depan matanya hanya ilusi. “Kamu sudah bisa berjalan?” tanya Qiyana dengan ekspresi campur aduk melihat Kenzo sudah dapat kembali berjalan meski dengan langkah tertatih-tatih. “Ssshhh … di mana kursi rodamu? Jangan memaksakan diri, bagaimana kalau keadaanmu malah semakin parah?” Sejak beberapa hari terakhir, Kenzo memang sangat gencar berlatih agar otot tubuhnya tidak kaku dan dapat segera digerakkan normal lagi seperti sediakala. Namun, sejauh ini belum terlihat hasil yang memuaskan karena lelaki itu masih kesulitan berdiri. Dan seharusnya lelaki itu tidak memaksakan diri sampai seperti ini. “Maaf, aku meninggalkanmu sendirian terlalu lama. Kenapa kamu turun dari brankar? Kamu pasti ingin ke toilet lagi ya?” Alih-alih menanggapi pert
“Apa? Kamu akan melahirkan sekarang?! Bagaimana mungkin? Bukannya dokter mengatakan kamu akan melahirkan minggu depan?” cerca Kenzo seraya berusaha meminta tolong pada orang-orang yang ada di sekitar taman tersebut. Di saat seperti ini, Kenzo merasa dirinya benar-benar tidak berguna. Seharusnya ia langsung bangkit dan menggendong istrinya ke ruang IGD atau ruangan apa pun itu. Namun, untuk bangkit dari kursi rodanya saja dirinya sangat kesulitan. Qiyana yang sudah tidak kuat menahan bobot tubuhnya sudah terduduk di rerumputan sembari mencengkeram blouse selutut yang dikenakannya. Nyeri yang menjalari perutnya semakin kuat dengan sakit yang tidak bisa didefinisikan dengan kata-kata. “Aku tidak tahu kenapa seperti ini. Sakit sekali, aku tidak kuat,” lirih Qiyana dengan keringat dan air mata yang bercucuran. Sejak bangun tidur pagi ini, Qiyana memang tetalh merasakan sesuatu yang janggal dari tubuhnya. Sejak beberapa jam lalu dirinya selalu bolak-balik ke toilet untuk buang air kecil
“Coba ulangi kata-kata terakhirmu tadi,” cerca Kenzo sembari mencekal lengan Qiyana. Qiyana yang sebenarnya sedang menenangkan debar jantungnya yang menggila tetap memasang senyum di wajahnya. Seolah-olah kata-kata yang barusan terlontar dari mulutnya bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Padahal sesungguhnya wanita itu ingin segera melarikan diri dari sini karena malu. Kata-kata itu tiba-tiba meluncur dari mulutnya tanpa bisa dicegah. Tetapi, Qiyana tidak menyesalinya sama sekali. Selama ini ia terlalu banyak bersembunyi di balik gengsi dan harga diri. Tidak ada salahnya mencoba lebih jujur dibanding hanya menyimpannya seorang diri. “Aku hanya mengatakannya sekali dan tidak ada pengulangan lagi. Sekarang bukan waktunya mengobrol, jadi lebih baik kamu tidur saja. Kamu masih dalam masa pemulihan, harus banyak-banyak beristirahat,” sahut Qiyana dengan senyum miring. Kenzo menggeram rendah. “Kamu pikir aku bisa tidur setelah kamu mengatakan itu tanpa kejelasan lagi? Aku tidak akan t
“Ka-kamu sudah sadar?” gumam Qiyana dengan tatapan terbelalak. Sepasang mata berwarna kecokelatan itu berkaca-kaca. “Aku akan—aw!” Wanita refleks meneggakkan kepalanya dan saat itu juga nyeri yang menjalari tengkuknya semakin terasa.Kenzo membuka peralatan medis yang terpasang di mulutnya setelah mengumpulkan tenaga untuk mengangkat tangannya. “Sayang, apa kamu baik-baik saja? Lehermu pasti sakit karena tidur dengan posisi duduk,” tanya lelaki itu dengan suara serak.Suara bariton yang sangat Qiyana rindukan itu kembali terdengar. Meskipun sangat serak dan lirih, itu sudah cukup untuk membayar perasaan campur aduk yang selalu membelenggunya setiap hari selama berbulan-bulan ini. Sekali lagi Qiyana menatap sang suami yang juga menatapnya, memastikan jika ini semua bukanlah halusinasi. Tanpa membalas pertanyaan suaminya, Qiyana langsung merengkuh tubuh lelaki itu dengan isak tangis yang berurai dari bibirnya. Ketika kulitnya bersentuhan dengan kulit Kenzo, ada kehangatan yang teras