Qiyana melotot kaget mendengar tawaran yang begitu enteng keluar dari mulut Kenzo. Wanita itu langsung menyentak cekalan Kenzo hingga terlepas. “Sepertinya kamu yang sudah gila. Kamu pikir menikah itu masalah sepele? Aku tidak bisa mengikuti kegilaanmu. Terima kasih atas bantuanmu. Permisi, aku harus pergi.”
Qiyana juga ingin membalas sakit hatinya kepada orang-orang yang telah menusuknya dari belakang. Namun, ia akan menggunakan caranya sendiri. Bukan mengikuti rencana Kenzo yang tidak masuk akal seperti ini. Apalagi sampai menikah hanya demi melampiaskan dendam semata.Wanita itu tidak ingin mempermainkan pernikahan hanya demi memuaskan obsesinya. Sebab, ia masih meyakini jika mempermainkan suatu ikatan yang sakral akan mendatangkan masalah besar di kemudian hari.Tak menyerah, Kenzo kembali mengejar Qiyana yang sudah melanjutkan langkah. “Memangnya kamu ingin pergi ke mana? Kalau kamu tinggal sendirian, itu malah akan membahayakan dirimu juga. Apa kamu tidak takut ibu tirimu bisa menemukan keberadaanmu?”Kata-kata Kenzo berhasil membuat langkah Qiyana terhenti. Wanita itu tercenung selama beberapa saat. Perkataan lelaki yang berdiri di sampingnya ini ada benarnya juga. Ambar masih terobsesi untuk membuatnya menandatangi surat itu.Akan tetapi, Qiyana tidak bisa tinggal di sini bersama lelaki yang bahkan tidak terlalu akrab dengannya. Wanita itu belum bisa berpikir jernih sekarang. Ia tidak ingin mengambil keputusan yang mungkin akan dirinya sesali suatu saat nanti.“Qiyana, jika kamu tinggal di sini, aku bisa lebih mudah menjagamu. Ibu tirimu tidak akan berani memaksamu melakukan apa pun yang dia inginkan. Kalau tentang pernikahan itu, aku tidak memaksa. Tapi, kalau kamu tidak mau tinggal satu atap dengan lelaki yang tidak memiliki ikatan denganmu, kita bisa menikah.” Kenzo kembali bersuara.Lelaki itu merangsek maju, memangkas jarak di antara dirinya dan Qiyana. Kemudian, menggenggam jemari wanita itu erat. “Aku akan membantumu merebut semua yang seharusnya menjadi milikmu. Di saat yang sama, aku juga bisa membalaskan dendamku pada mereka. Semuanya akan jauh lebih mudah jika kita bekerja sama, ‘kan?”Qiyana tidak menjawab. Sorot matanya masih tertuju ke lantai alih-alih membalas tatapan lelaki di hadapannya. Ia benar-benar bingung harus melakukan apa. Tawaran yang Kenzo berikan memang menggiurkan. Namun, ada banyak resiko yang akan mengikuti di belakangnya.Kenzo mengangkat ujung dagu Qiyana, membuat manik mata mereka saling bertubrukan satu sama lain. “Kamu tidak perlu memutuskannya sekarang. Aku tahu kamu perlu memikirkan semuanya sekarang. Aku bisa menunggu. Sekarang istirahatlah dulu, kamu pasti lelah.”Kenzo menuntun Qiyana menuju kamar yang memang sudah disiapkan untuk wanita itu. Dan kali ini tidak ada penolakan sedikitpun dari Qiyana. “Kamu bisa beristirahat di sini dan ini kamarku.” Lelaki itu menunjuk kamar di samping kamar tersebut. “Katakan saja kalau kamu membutuhkan sesuatu.”Qiyana melirik pintu di belakangnya yang telah kembali tertutup rapat. Kemudian, manik matanya berpendar menatap sekelilingnya. Helaan napas berat lolos dari bibirnya. Sepertinya tidak ada salahnya ia tinggal di sini dulu untuk sementara waktu.Qiyana tersentak saat mendengar pintu kamarnya diketuk. Rupanya dua orang berseragam pelayan lah yang datang membawakan makanan untuknya. Setelah menyantap habis semua makanan yang dibawakan untuknya, wanita itu langsung terlelap. Hati, pikiran, dan tubuhnya sudah sangat lelah.Qiyana yang lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar itu tidak bertemu lagi dengan Kenzo hingga hari berganti. Bahkan, ketika dirinya hendak berpamitan untuk pergi ke kantor pun lelaki itu sudah tidak ada.Walaupun suasana hatinya masih berantakan, Qiyana tetap tidak bisa melalaikan pekerjaannya. Wanita itu berusaha tegar dan baik-baik saja meski hatinya hancur lebur. Namun, Qiyana kembali dibuat terkejut bukan main saat melihat barang-barangnya yang sudah berserakan di depan lobi kantor.“Apa-apaan ini? Siapa yang memindahkan barang-barangku?” cerca Qiyana pada security yang berjaga di depan kantor peninggalan ayahnya itu.Manik matanya berkobar menahan amarah, menatap barang-barangnya yang berserakan di mana-mana. Kedua tangannya mengepal kuat. Bisik-bisik dari beberapa orang yang melintas di sekitar sana tidak wanita itu hiraukan. Entah apa lagi yang terjadi sebenarnya di sini.“Kenapa kalian hanya diam? Jawab pertanyaanku! Siapa yang melakukan ini?!” bentak Qiyana tak sabaran.“Mohon maaf, Nona Qiyana. Kami membereskan barang-barang Anda atas perintah Tuan Jovan. Beliau mengatakan jika Anda sudah dipecat dari sini. Jadi, barang-barang Anda harus segera dibereskan,” jawab salah seorang security itu.Qiyana terbelalak. Wajahnya merah padam seiring dengan emosinya yang semakin membumbung tinggi. Ia tidak menyangka lelaki yang dirinya cintai tega mengkhianatinya bertubi-tubi. Lukanya masih belum sembuh atas pengkhianatan yang lelaki itu lakukan sebelumnya. Dan sekarang Jovan kembali menambah luka itu.Qiyana menyesal telah mempercayakan Jovan menjadi CEO di perusahaan peninggalan ayahnya ini. Rasanya seperti mimpi, ia sudah mencintai orang yang salah selama ini. Kepercayaannya yang sangat mahal dihancurkan begitu saja seolah-olah tak ada harganya.Di saat yang sama, tak sengaja Qiyana melihat Jovan melintas bersama beberapa orang yang merupakan investor perusahaan ini. Tanpa membuang waktu lagi, wanita itu langsung menerobos masuk dan menerjang Jovan dengan tamparan keras.“Brengsek! Kamu pikir kamu siapa sampai berani memecatku dari perusahaan peninggalan ayahku sendiri?!” murka Qiyana sembari menunjuk wajah Jovan.Bukan hanya Jovan yang terkejut karena tindakan Qiyana itu, tetapi semua orang yang ada di sana. Selama ini Qiyana dikenal sebagai sosok yang selalu menjaga sopan santun di mana pun ia berada. Namun, sekarang Qiyana tidak memedulikan hal itu lagi.Jovan menyentuh wajahnya yang baru saja mendapat tamparan dari Qiyana. Sebelah sudut bibirnya terangkat membentuk senyum sinis. “Siapa bilang aku tidak bisa melakukannya? Aku CEO di perusahaan ini dan aku bisa memecat siapa pun yang tidak diperlukan lagi. Termasuk dirimu.”“Kenapa kamu tega melakukan ini padaku? Apa salahku?” cerca Qiyana dengan mata memerah dan berkaca-kaca. Sebisa mungkin, ia menahan desakan air mata yang hendak keluar dari pelupuk matanya.Jovan mencondongkan tubuhnya ke arah Qiyana, kemudian berisik tepat di telinga wanita itu. “Kamu memang tidak bersalah, Sayang. Hanya saja, sejak awal aku memang tidak pernah mencintaimu. Kamu terlalu lugu dan mudah sekali mempercayai orang lain.”Setelah mengatakan itu, Jovan kembali menegakkan tubuhnya. Lelaki itu memberi isyarat pada asisten pribadinya untuk menunjukkan sesuatu pada Qiyana. Manik mata Qiyana membulat sempurna melihat surat yang kemarin Ambar berikan padanya kini berada di tangan asisten Jovan.Yang membuat Qiyana semakin terkejut, sudah ada tanda tangan di atas namanya. Padahal ia tidak pernah membubuhkan tanda tangannya di sana. Tanda tangan itu palsu.Qiyana menggeram rendah. Rasa cintanya pada lelaki di hadapannya ini sudah menguap. Yang tersisa hanyalah kebencian yang mengakar di hatinya. Wanita itu bersumpah akan membalaskan semua pengkhianatan ini dengan cara apa pun.Ketika Qiyana ingin merebut kertas itu, dua security yang entah sejak kapan berada di belakangnya langsung menahannya. Wanita itu berteriak, meminta dilepaskan, namun tidak ada yang mendengarnya. Tubuhnya diseret keluar tanpa belas kasihan. Lalu, dihempaskan begitu saja di pinggir jalan.“Qiyana, akhirnya aku menemukanmu. Aku mencarimu ke mana-mana, ternyata kamu malah berada di sini. Apa yang terjadi?”Qiyana yang masih terisak spontan mendongak. Manik matanya yang penuh air mata bertemu dengan tatapan khawatir Kenzo. Lelaki itu langsung membantunya berdiri. Tanpa basa-basi, Qiyana memeluk tubuh Kenzo. Menumpahkan sesak yang membelenggu dadanya sembari memeluk lelaki di hadapannya. “Aku bersedia menikah denganmu.”Qiyana dapat melihat keterkejutan yang sangat ketara dari wajah Kenzo. Namun, lelaki itu tidak memberi respon apa pun atas keputusan gila yang dirinya ambil. Kenzo langsung membimbingnya menuju mobil lelaki itu yang terparkir di pinggir jalan. Qiyana tidak memiliki niatan sama sekali untuk meralat kata-kata yang baru saja meluncur dari mulutnya. Ia sadar betul seberapa gila keputusan yang dirinya ambil tanpa pikir panjang ini. Tetapi, jika cara ini bisa mempermudah dirinya mengambil kembali miliknya sekaligus membalas sakit hatinya, Qiyana akan melakukannya. “Aku serius dengan keputusanku,” ucap Qiyana setelah menerima sebotol air mineral yang Kenzo berikan. Wanita itu menghapus sisa-sisa lelehan air mata yang memenuhi wajahnya. Kemudian, membuka botol air mineral di tangannya dan meneguknya perlahan-lahan. “Apa kamu yakin? Kamu bisa memikirkan semuanya matang-matang, tidak perlu terburu-buru. Karena kalau kamu sudah mengambil keputusan, kamu tidak bisa mundur lagi,” tanya Kenz
Qiyana spontan bangkit dari tempat duduknya setelah mendengar jawaban Kenzo. Dari semua rencana yang dapat dilakukan, ia tidak Kenzo malah memilih rencana seperti ini. Sudah pasti, Qiyana tidak akan menyetujuinya. “Apa? Kamu ingin membuat perusahaan ayahku bangkrut? Kenapa kamu malah melakukan itu? Perusahaan itu ayahku bangun dari nol, kamu tidak boleh membuat perusahaan ayahku bangkrut. Aku yakin pasti ada—” “Tunggu dulu, Qiyana. Aku belum selesai bicara,” potong Kenzo cepat. Lelaki itu menegakkan tubuhnya dan melangkah mendekati Qiyana. “Jangan panik dulu. Maksudku begini, aku akan melakukan sesuatu yang membuat perusahaan itu kolaps. Kamu pasti mengerti kalau kebanyakan orang tidak akan mau menanam modal di perusahaan yang sudah kolaps. Bahkan, saham yang sudah ada juga akan mereka tarik lagi.” Kenzo menjelaskan rencananya pelan-pelan. “Ketika sudah tidak ada lagi yang bersedia membantu mereka, aku akan datang. Aku akan menanamkan saham di sana. Namun, tanpa mereka sadari aku a
Qiyana terlonjak hebat menyadari apa yang baru saja dirinya lakukan. Wajahnya langsung berubah pucat pasi dengan jantung yang berdetak dua kali lebih cepat. “Kenapa aku bodoh sekali?!” rutuknya dalam hati. Wanita itu mengedarkan pandangan ke sekitarnya, khawatir ada orang yang melihatnya di sini. Qiyana ingin segera pergi dari sana. Namun, ia tidak mungkin meninggalkan bekas kekacauan yang baru saja dirinya perbuat begitu saja. Buru-buru wanita itu membereskan serpihan guci yang berserakan di lantai. Ringisan pelan lolos dari bibirnya karena ujung telunjuknya tak sengaja terkena serpihan guci yang tajam. Mengabaikan nyeri dan darahnya yang mulai keluar, Qiyana tetap melanjutkan aktivitasnya secepat mungkin. Ia harus segera pergi dari sini. “Apa yang kamu lakukan di sini?”Suara bariton yang familiar itu membuat tubuh Qiyana menegang. Wanita itu sontak mengangkat kepalanya dan manik matanya langsung bertemu dengan sorot tajam Kenzo. Qiyana gelagapan hingga jemarinya tak sengaja
“Ini kantorku, kenapa kamu terkejut seperti itu?” tanya Kenzo yang telah memarkirkan mobilnya di area khusus untuk jajaran direksi di kantornya. “Ayo turun!” “Tunggu dulu! Bukannya kamu ingin pernikahan kita dirahasiakan dari semua orang? Kalau kamu membawaku ke kantormu, orang-orang pasti penasaran. Apa itu tidak akan membahayakan rencana kita? Kamu juga tidak mengatakan apa pun tadi. Harusnya kamu bilang kalau kamu ingin mengajakku ke kantormu,” sahut Qiyana agak kesal. Sejenak, Qiyana menyingkirkan ketakutan tak berdasar yang dirinya rasakan pada lelaki di sampingnya ini. Ia mulai kesal karena Kenzo selalu merencanakan sesuatu tanpa berkompromi dengannya terlebih dahulu. Kalau tahu lelaki itu akan mengajaknya ke kantor miliknya, lebih baik dirinya tidak perlu ikut. “Aku memang ingin memberitahumu. Tapi, kamu sengaja menghindariku sampai melewatkan waktu sarapanmu juga. Padahal aku sudah menunggumu nyaris satu jam. Bukankah aku yang lebih pantas marah?” balas Kenzo setengah menyin
“Kenapa kamu malah berhenti di sini? Ayo, aku sudah memesan meja untuk—” Kalimat yang Kenzo ucapkan terhenti saat menyadari ke mana arah pandang Qiyana berlabuh. Seulas senyum sinis tersungging di bibirnya, sebelum wajahnya kembali datar. “Ayo kita makan di tempat lain saja.”Qiyana yang masih terpaku melihat pemandangan di hadapannya tersentak saat Kenzo menariknya kembali keluar dari restoran itu. “Tidak perlu, kita makan siang di sini saja. Di mana meja yang sudah kamu pesan?”Qiyana mengalihkan pandangannya dari pemandangan menyakitkan itu dan langsung menggandeng Kenzo ke arah lain. Ia tidak ingin terlalu lama menatap sesuatu yang hanya membuatnya terlihat semakin menyedihkan. Dunia ini terasa begitu sempit. Di depan sana, tepatnya di tengah-tengah restoran ini Jovan dan Feli sedang makan bersama. Yang lebih menjijikkannya lagi, tanpa malu mereka bersikap mesra dan saling menyuapi satu sama lain. Benar-benar tidak tahu diri!Qiyana memang sangat membenci dua manusia biadab i
Qiyana tidak berhasil menemukan siapa dalang dari perekam video tersebut yang sebenarnya. Hanya selang beberapa menit sejak insiden tersebut terjadi dan video yang menampilkan dirinya menampar Feli sudah tersebar di mana-mana. Anehnya, hanya bagian saat Qiyana menampar Feli saja yang ada dalam video-video itu. Apa yang terjadi di sana sebelumnya tidak terlihat. Seolah-olah sengaja dipangkas menjadi seperti itu. Walaupun tidak mengetahui siapa yang merekam video tersebut, ia yakin ada campur tangan Feli di sana. “Ada apa? Kenapa wajahmu terlihat tegang seperti itu?” tanya Kenzo yang melirik sekilas ke arah Qiyana. Qiyana yang tersentak langsung menggeleng dan buru-buru mematikan ponselnya sebelum Kenzo semakin curiga. Ia tidak ingin lelaki itu mengetahui masalahnya kali ini. Lagipula semuanya bermula karena dirinya tidak bisa menahan emosi. “Tidak apa-apa. Mungkin aku hanya terkejut karena kejadian barusan. Maaf sudah membuatmu malu di sana. Harusnya kamu tidak perlu menghampiriku s
Qiyana membuka matanya perlahan-lahan. Ringisan pelan lolos dari bibirnya karena pening tiba-tiba menyerang kepalanya. Wanita itu mengerjapkan matanya berulang kali. Keningnya mengerut saat menyadari kalau tempatnya berada saat ini bukanlah kamarnya yang ada di rumah Kenzo. Qiyana terlonjak hebat ketika merasakan pergerakan seseorang di belakangnya. Saat itu pula ia baru menyadari ada lengan kokoh yang memeluk perutnya dari belakang. Mengabaikan pening yang masih mendera, wanita itu langsung mengubah posisinya menjadi duduk. Tubuhnya berubah pucat pasi dan gemetar ketakutan. Qiyana masih belum berani menoleh ke belakang. Ia berusaha mengingat apa yang terjadi sebelumnya, namun dirinya tidak bisa mengingat apa pun. Wanita itu membekap mulutnya dengan kedua tangan setelah memberanikan diri melihat siapa yang berbaring di sampingnya. “Kenapa bisa sampai begini? Apa yang sudah aku lakukan?” lirih wanita itu dengan mata berkaca-kaca. Qiyana menyingkirkan tangan yang melingkari peru
Sebelah sudut bibir Qiyana terangkat membentuk senyum miris. Setelah menyentuhnya tanpa izin, kini ia malah mendapati Kenzo sedang bermesraan dengan wanita lain. Qiyana semakin meyakini kalau lelaki itu memang sama saja dengan lelaki lain di luar sana. Qiyana ingin beranjak pergi dari sana, mungkin lebih baik ia menitipkan berkas di tangannya pada sekretaris lelaki itu. Tetapi, kakinya tak bisa bergerak ke mana pun. Seolah-olah ada sesuatu yang menahannya agar tetap berdiri di sana. Kenzo dan perempuan itu memang hanya berpelukan, begitulah yang terlihat di depan mata Qiyana. Namun, entah apa yang sedang mereka lakukan sebelumnya. Mungkin malah sudah lebih dari yang terlihat saat ini. Kedatangan Qiyana menyebabkan Kenzo dan perempuan yang bersama lelaki itu terkejut. Sang perempuan langsung mengambil tasnya yang berada di atas sofa. “Sepertinya aku harus pergi. Sampai jumpa lagi, jangan lupa dengan janjimu!” Sebelum benar-benar pergi, perempuan itu mengecup pipi Kenzo sekilas.
“Aku hanya ingin memberi ucapan selamat ulang tahun pada keponakanku, apa itu salah?” sahut Amanda yang tidak terlihat tersinggung sama sekali oleh kata-kata kasar yang Kenzo ucapkan. “Aku tahu keponakanku berulang tahun hari ini dan aku hanya ingin memberi sedikit hadiah untuknya.”“Dari mana kamu tahu kalau ulang tahun putraku dirayakan di sini?” Kenzo kembali mengulang pertanyaannya dengan nada lebih menuntut dan tatapan yang semakin tajam. “Kalau kamu hanya berniat mengacaukan acara ini, lebih baik kamu pergi.”Qiyana yang bingung harus melakukan apa hanya mengelus bahu Kenzo, berusaha menenangkan lelaki itu. Walaupun selama ini Amanda memang sering melakukan hal-hal tak terduga, tetapi ia yakin kali ini Amanda tidak memiliki niatan buruk. “Jangan terlalu keras padanya, mungkin dia memang hanya ingin memberi ucapan selamat untuk Rey,” bisik Qiyana pada Kenzo. “Jangan langsung mengusirnya seperti ini. Setidaknya kita bisa bicara baik-baik dengannya.”Amanda berdeham pelan sera
“Apa kamu yakin acaranya tidak diadakan di rumah saja? Kalau acaranya di luar, bisa saja ada wartawan yang melihat kita. Hari ini sangat spesial dan aku tidak mau terjadi masalah baru,” tutur Qiyana yang sedang menyuapi putranya. “Tentu saja tidak, Sayang. Semuanya sudah dipersiapkan sejak jauh-jauh hari, sedikit merepotkan jika tempatnya dipindah. Lagipula Rey sangat menyukai tempatnya dan kamu juga tahu kalau aku tidak mengundang banyak orang. Percayalah tidak akan ada masalah yang terjadi,” sahut Kenzo tanpa keraguan sedikitpun. Tepat hari ini, Reynand Pratama Abimana genap berusia satu tahun. Sejak jauh-jauh hari, Qiyana dan Kenzo telah berencana untuk merayakan hari ulang tahun putra mereka. Tentu saja awalnya Qiyana hanya berniat mengadakan acara di rumah, namun siapa sangka Kenzo malah menawarkan untuk menggunakan salah satu ballroom hotelnya. Meskipun sudah saling terbuka sejak lama, nyatanya sampai saat ini Kenzo belum memiliki niatan untuk membuka hubungan mereka di de
“Aku yakin kamu memang penguntit,” jawab Qiyana sembari melirik foto-fotonya yang pernah Kenzo tunjukkan beberapa waktu lalu. “Kalau tidak, mana mungkin kamu masih menyimpannya. Lagipula tidak ada yang bagus juga dari foto-foto itu. Buang saja.” Akan tetapi, jujur saja sekarang Qiyana malah lebih penasaran dengan foto-foto tersebut daripada dokumen di tangannya. Waktu itu Kenzo sudah berjanji akan memberi penjelasan lebih lanjut, namun akhirnya terlupakan begitu saja. Qiyana yakin ayahnya tidak mungkin memberikan fotonya secara cuma-cuma pada Kenzo. Ayahnya adalah tipe orang yang tidak terlalu terbuka dengan orang lain, apalagi untuk memberikan hal privasi seperti ini. “Buang? Aku tidak mungkin melakukannya, untuk apa aku melakukan itu setelah mendapatkannya dengan susah payah? Aku berbohong tentang ayahmu yang memberikan foto-foto ini padaku. Anggap saja aku memang penguntit,” jawab Kenzo santai tanpa beban. Qiyana kontan menoleh dengan mata terbelalak dan mulut menganga. “Apa?! J
“Aku ingin ikut denganmu,” pinta Qiyana seraya mencekal lengan suaminya. Kekhawatiran terpampang jelas di wajah Qiyana. Terlepas dari segala kejahatan dan luka yang telah ibu tirinya torehkan, ia tetap tidak bisa mengelak kekhawatirannya. Baru minggu lalu mereka bertemu, meski akhirnya juga tidak menyenangkan dan sekarang dirinya mendapat kabar seperti ini. “Tidak bisa, Sayang. Kalau kamu ikut, bagaimana dengan Rey? Kita tidak bisa membawanya ke rumah sakit. Kamu tunggu di rumah saja ya? Kalau terjadi sesuatu, aku pasti langsung mengabarimu. Aku pergi.” Kenzo mengecup kening Qiyana dan Reynand sekilas sebelum beranjak pergi. “Tapi—”Sebelum Qiyana sempat melanjutkan kalimatnya, Kenzo lebih dulu beranjak pergi tanpa menoleh lagi. Lelaki itu tampak sangat terburu-buru dan kembali bertelepon, sepertinya dengan Rangga. Qiyana pun memilih tidak memaksakan diri karena menyadari jika situasi yang dihadapi saat ini cukup rumit. Qiyana hanya bisa menunggu dengan perasaan campur aduk y
Semua orang yang berada di ruangan itu panik dan langsung berusaha menjauhkan Ambar dari Qiyana. Namun, wanita paruh itu malah semakin mengeratkan cekikannya. Ia nyaris membuat Qiyana terseret dari ranjang karena mengerahkan seluruh tenaganya untuk mencekik putri sambungnya itu. Qiyana terbatuk dengan napas putus-putus setelah cekikan Ambar terlepas dari lehernya. Wajahnya sudah berubah merah padam. Cekikan itu benar-benar membuatnya nyaris kehabisan napas. Entah bagaimana caranya Ambar membuka borgol yang jelas-jelas masih terpasang di tangan wanita paruh baya itu. Ambar yang masih mengamuk langsung ditarik paksa oleh polisi yang berada di sana. Dengan sigap, para polisi itu memborgol tangan Ambar lagi dan memastikan borgol tersebut tidak akan terlepas lagi. “Panggilkan dokter sekarang!” perintah Kenzo pada sang asisten yang langsung bergegas kelaur dari ruangan tersebut. Lelaki itu menatap sang istri yang masih terbatuk dengan sorot khawatir. “Maaf, Sayang. Aku tidak tahu akhi
Qiyana menatap sosok yang baru saja datang dan kini berdiri tepat di hadapannya dari atas sampai bawah. Tatapan tak percaya masih terlihat sangat jelas dari sorot matanya. Wanita itu mengerjapkan matanya berulang kali, khawatir sesuatu yang terlihat di depan matanya hanya ilusi. “Kamu sudah bisa berjalan?” tanya Qiyana dengan ekspresi campur aduk melihat Kenzo sudah dapat kembali berjalan meski dengan langkah tertatih-tatih. “Ssshhh … di mana kursi rodamu? Jangan memaksakan diri, bagaimana kalau keadaanmu malah semakin parah?” Sejak beberapa hari terakhir, Kenzo memang sangat gencar berlatih agar otot tubuhnya tidak kaku dan dapat segera digerakkan normal lagi seperti sediakala. Namun, sejauh ini belum terlihat hasil yang memuaskan karena lelaki itu masih kesulitan berdiri. Dan seharusnya lelaki itu tidak memaksakan diri sampai seperti ini. “Maaf, aku meninggalkanmu sendirian terlalu lama. Kenapa kamu turun dari brankar? Kamu pasti ingin ke toilet lagi ya?” Alih-alih menanggapi pert
“Apa? Kamu akan melahirkan sekarang?! Bagaimana mungkin? Bukannya dokter mengatakan kamu akan melahirkan minggu depan?” cerca Kenzo seraya berusaha meminta tolong pada orang-orang yang ada di sekitar taman tersebut. Di saat seperti ini, Kenzo merasa dirinya benar-benar tidak berguna. Seharusnya ia langsung bangkit dan menggendong istrinya ke ruang IGD atau ruangan apa pun itu. Namun, untuk bangkit dari kursi rodanya saja dirinya sangat kesulitan. Qiyana yang sudah tidak kuat menahan bobot tubuhnya sudah terduduk di rerumputan sembari mencengkeram blouse selutut yang dikenakannya. Nyeri yang menjalari perutnya semakin kuat dengan sakit yang tidak bisa didefinisikan dengan kata-kata. “Aku tidak tahu kenapa seperti ini. Sakit sekali, aku tidak kuat,” lirih Qiyana dengan keringat dan air mata yang bercucuran. Sejak bangun tidur pagi ini, Qiyana memang tetalh merasakan sesuatu yang janggal dari tubuhnya. Sejak beberapa jam lalu dirinya selalu bolak-balik ke toilet untuk buang air kecil
“Coba ulangi kata-kata terakhirmu tadi,” cerca Kenzo sembari mencekal lengan Qiyana. Qiyana yang sebenarnya sedang menenangkan debar jantungnya yang menggila tetap memasang senyum di wajahnya. Seolah-olah kata-kata yang barusan terlontar dari mulutnya bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Padahal sesungguhnya wanita itu ingin segera melarikan diri dari sini karena malu. Kata-kata itu tiba-tiba meluncur dari mulutnya tanpa bisa dicegah. Tetapi, Qiyana tidak menyesalinya sama sekali. Selama ini ia terlalu banyak bersembunyi di balik gengsi dan harga diri. Tidak ada salahnya mencoba lebih jujur dibanding hanya menyimpannya seorang diri. “Aku hanya mengatakannya sekali dan tidak ada pengulangan lagi. Sekarang bukan waktunya mengobrol, jadi lebih baik kamu tidur saja. Kamu masih dalam masa pemulihan, harus banyak-banyak beristirahat,” sahut Qiyana dengan senyum miring. Kenzo menggeram rendah. “Kamu pikir aku bisa tidur setelah kamu mengatakan itu tanpa kejelasan lagi? Aku tidak akan t
“Ka-kamu sudah sadar?” gumam Qiyana dengan tatapan terbelalak. Sepasang mata berwarna kecokelatan itu berkaca-kaca. “Aku akan—aw!” Wanita refleks meneggakkan kepalanya dan saat itu juga nyeri yang menjalari tengkuknya semakin terasa.Kenzo membuka peralatan medis yang terpasang di mulutnya setelah mengumpulkan tenaga untuk mengangkat tangannya. “Sayang, apa kamu baik-baik saja? Lehermu pasti sakit karena tidur dengan posisi duduk,” tanya lelaki itu dengan suara serak.Suara bariton yang sangat Qiyana rindukan itu kembali terdengar. Meskipun sangat serak dan lirih, itu sudah cukup untuk membayar perasaan campur aduk yang selalu membelenggunya setiap hari selama berbulan-bulan ini. Sekali lagi Qiyana menatap sang suami yang juga menatapnya, memastikan jika ini semua bukanlah halusinasi. Tanpa membalas pertanyaan suaminya, Qiyana langsung merengkuh tubuh lelaki itu dengan isak tangis yang berurai dari bibirnya. Ketika kulitnya bersentuhan dengan kulit Kenzo, ada kehangatan yang teras