Qiyana menerima sebuah dompet basah yang sangat mirip dengan dompet milik suaminya dengan tangan gemetar. Ketika memberanikan diri untuk melihat isinya, ia langsung menemukan foto pernikahannya dengan Kenzo juga foto janin mereka. Kartu-kartu identitas di dalam dompet itu juga memang milik suaminya. Tim SAR mengatakan jika dompet itu tersangkut di dekat mayat laki-laki yang mereka temukan beberapa jam lalu. Sebenarnya bukan hanya dompet itu saja yang ditemukan mengapung, tetapi juga beberapa benda yang diduga milik penumpang pesawat lainnya. Qiyana berusaha tetap mempertahankan ekspresi datarnya, padahal hatinya sedang menjerit pilu. Ketakutannya semakin menjadi-jadi di sepanjang perjalanan menuju ke tempat ini. Ia tidak akan sanggup menerima kenyataan pahit lagi setelah ini. “Maaf, Nyonya, apa Anda sudah siap?” tanya Rangga menginterupsi lamunan Qiyana. “Kalau Nyonya ingin menunggu di sini juga tidak masalah. Biar saya saja yang melihat—” “Aku ikut bersamamu,” potong Qiyana tegas.
“Apa yang kamu katakan barusan? Kamu ingin menggantikan posisi suamiku?” sembur Qiyana dengan suara tertahan tepat setelah mendaratkan telapak tangannya di wajah Gino. “Jadi, itu tujuanmu mendekatiku selama ini?” Qiyana spontan melangkah mundur dengan tatapan nanar. Ia benar-benar tidak menyangka Gino akan berkata seperti itu di saat dirinya masih terluka karena kabar tentang suaminya tak kunjung datang. Selama ini dirinya menganggap Gino sebagai teman. Wanita itu mengira Gino tulus menemaninya tanpa niat terselubung. Setetes cairan bening lolos dari manik mata Qiyana. Gino yang juga terkejut karena tamparan wanita pujaan hatinya bertambah panik melihat wanita itu menangis. Namun, ketika lelaki itu bergerak maju, Qiyana langsung memberi isyarat untuk tetap berada di tempat. “Qiyana, maafkan aku. Aku hanya keceplosan saja. Aku tidak bermaksud berkata seperti itu. Tolong jangan menangis,” ucap Gino yang terlihat serba salah. “Aku tulus ingin menemanimu. Tapi, kamu tahu, perasaan y
Seulas senyum kecut muncul di bibir Qiyana setelah mendengar jawaban menggebu-gebu dari Amanda itu. “Amanda, aku pernah mendapatkan informasi seperti ini. Ternyata setelah jauh-jauh ke sana, aku tidak menemukan apa yang aku cari.”Qiyana memang berharap Kenzo segera ditemukan. Bagaimanapun keadaan lelaki itu nantinya pasti akan ia terima dengan lapang dada. Namun, wanita itu juga tidak bisa serta merta percaya, apalagi pada orang seperti Amanda setelah semua yang pernah dia lakukan sebelumnya. Qiyana sudah berniat beranjak pergi ketika Amanda tiba-tiba berhasil menerobos masuk. Sepupu Kenzo itu langsung menarik lengan Qiyana. Para bodyguard Kenzo yang sedari tadi memang sudah bersiap mengusir Amanda terkejut dan langsung menghampiri wanita yang sangat nekat itu. “Kamu akan sangat menyesal kalau tidak ikut denganku sekarang!” ancam Amanda yang masih mencekal lengan Qiyana. “Jika kamu menolak ikut, itu sama saja kamu menyerahkan dia padaku. Setelah dia sehat lagi nanti, kamu tidak
Qiyana terbelalak melihat sosok dalam balutan seragam perawat itu yang ternyata adalah Ambar—ibu tirinya. Wanita paruh baya itu membawa sebuah jarum suntik yang pastinya bukan berisi obat untuk suaminya. Qiyana bergerak cepat menyingkirkan suntikan yang berada dalam genggaman Ambar. Ia tidak akan membiarkan ibu tirinya melakukan sesuatu yang membahayakan suaminya. Namun, Ambar bergerak lebih cepat dan langsung mendorong Qiyana sekuat tenaga hingga tergelincir dan menabrak besi penyangga di bawah brankar Kenzo. Nyeri yang menjalari pinggang sampai perutnya tak wanita itu pedulikan. Dengan sisa tenaganya, Qiyana berusaha kembali bangkit meski akhirnya terduduk lagi. “Apa yang ingin kamu lakukan hah?! Jangan macam-macam.” Gelak tawa sinis meluncur dari mulut wanita paruh baya berseragam perawat itu. “Kamu pikir aku takut? Silakan saja kamu berteriak, tapi sebelum itu terjadi, mungkin aku sudah menyuntikkan racun ini ke tubuh suamimu. Atau kamu ingin mencobanya lebih dulu?” “Kalian ber
“Ka-kamu sudah sadar?” gumam Qiyana dengan tatapan terbelalak. Sepasang mata berwarna kecokelatan itu berkaca-kaca. “Aku akan—aw!” Wanita refleks meneggakkan kepalanya dan saat itu juga nyeri yang menjalari tengkuknya semakin terasa.Kenzo membuka peralatan medis yang terpasang di mulutnya setelah mengumpulkan tenaga untuk mengangkat tangannya. “Sayang, apa kamu baik-baik saja? Lehermu pasti sakit karena tidur dengan posisi duduk,” tanya lelaki itu dengan suara serak.Suara bariton yang sangat Qiyana rindukan itu kembali terdengar. Meskipun sangat serak dan lirih, itu sudah cukup untuk membayar perasaan campur aduk yang selalu membelenggunya setiap hari selama berbulan-bulan ini. Sekali lagi Qiyana menatap sang suami yang juga menatapnya, memastikan jika ini semua bukanlah halusinasi. Tanpa membalas pertanyaan suaminya, Qiyana langsung merengkuh tubuh lelaki itu dengan isak tangis yang berurai dari bibirnya. Ketika kulitnya bersentuhan dengan kulit Kenzo, ada kehangatan yang teras
“Coba ulangi kata-kata terakhirmu tadi,” cerca Kenzo sembari mencekal lengan Qiyana. Qiyana yang sebenarnya sedang menenangkan debar jantungnya yang menggila tetap memasang senyum di wajahnya. Seolah-olah kata-kata yang barusan terlontar dari mulutnya bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Padahal sesungguhnya wanita itu ingin segera melarikan diri dari sini karena malu. Kata-kata itu tiba-tiba meluncur dari mulutnya tanpa bisa dicegah. Tetapi, Qiyana tidak menyesalinya sama sekali. Selama ini ia terlalu banyak bersembunyi di balik gengsi dan harga diri. Tidak ada salahnya mencoba lebih jujur dibanding hanya menyimpannya seorang diri. “Aku hanya mengatakannya sekali dan tidak ada pengulangan lagi. Sekarang bukan waktunya mengobrol, jadi lebih baik kamu tidur saja. Kamu masih dalam masa pemulihan, harus banyak-banyak beristirahat,” sahut Qiyana dengan senyum miring. Kenzo menggeram rendah. “Kamu pikir aku bisa tidur setelah kamu mengatakan itu tanpa kejelasan lagi? Aku tidak akan t
“Apa? Kamu akan melahirkan sekarang?! Bagaimana mungkin? Bukannya dokter mengatakan kamu akan melahirkan minggu depan?” cerca Kenzo seraya berusaha meminta tolong pada orang-orang yang ada di sekitar taman tersebut. Di saat seperti ini, Kenzo merasa dirinya benar-benar tidak berguna. Seharusnya ia langsung bangkit dan menggendong istrinya ke ruang IGD atau ruangan apa pun itu. Namun, untuk bangkit dari kursi rodanya saja dirinya sangat kesulitan. Qiyana yang sudah tidak kuat menahan bobot tubuhnya sudah terduduk di rerumputan sembari mencengkeram blouse selutut yang dikenakannya. Nyeri yang menjalari perutnya semakin kuat dengan sakit yang tidak bisa didefinisikan dengan kata-kata. “Aku tidak tahu kenapa seperti ini. Sakit sekali, aku tidak kuat,” lirih Qiyana dengan keringat dan air mata yang bercucuran. Sejak bangun tidur pagi ini, Qiyana memang tetalh merasakan sesuatu yang janggal dari tubuhnya. Sejak beberapa jam lalu dirinya selalu bolak-balik ke toilet untuk buang air kecil
Qiyana menatap sosok yang baru saja datang dan kini berdiri tepat di hadapannya dari atas sampai bawah. Tatapan tak percaya masih terlihat sangat jelas dari sorot matanya. Wanita itu mengerjapkan matanya berulang kali, khawatir sesuatu yang terlihat di depan matanya hanya ilusi. “Kamu sudah bisa berjalan?” tanya Qiyana dengan ekspresi campur aduk melihat Kenzo sudah dapat kembali berjalan meski dengan langkah tertatih-tatih. “Ssshhh … di mana kursi rodamu? Jangan memaksakan diri, bagaimana kalau keadaanmu malah semakin parah?” Sejak beberapa hari terakhir, Kenzo memang sangat gencar berlatih agar otot tubuhnya tidak kaku dan dapat segera digerakkan normal lagi seperti sediakala. Namun, sejauh ini belum terlihat hasil yang memuaskan karena lelaki itu masih kesulitan berdiri. Dan seharusnya lelaki itu tidak memaksakan diri sampai seperti ini. “Maaf, aku meninggalkanmu sendirian terlalu lama. Kenapa kamu turun dari brankar? Kamu pasti ingin ke toilet lagi ya?” Alih-alih menanggapi pert