“Ayo ke ruanganku kalau kalian masih ingin bicara.” Bagas mengajak Intan dan Seruni setelah menyusul mereka di tangga darurat.
“Terima kasih atas bantuannya, Mas, tapi saya mau pulang saja,” tolak Seruni.
“Kamu yakin mau pulang, Run? Tidak menenangkan diri dulu. Khusus hari ini, aku akan temani kamu ke mana saja,” timpal Intan yang mengkhawatirkan keadaan mental sahabatnya.
Seruni menggeleng. “Aku tidak mau ke mana-mana, In. Aku cuma mau pulang.”
“Oke kalau itu maumu. Aku antar ya,” tawar Intan.
Sekali lagi Seruni menggeleng. “Tidak usah. Aku bisa pulang sendiri. Aku masih ingat jalan pulang kok.” Dia tersenyum, lalu kembali berkata, “Kamu tenang saja, aku tidak akan melakukan hal bodoh hanya karena pengkhianatan Mas Panca.”
“Tapi, Run.” Intan merasa keberatan dengan keputusan sahabatnya.
“Kamu ke sini 'kan sama keponakanmu, In. Harusnya kamu juga pulang bersama mereka. Terima kasih ya atas bantuanmu hari ini,” ucap Seruni dengan tulus.
“Silakan kalau mau pulang, tapi bukankah sebaiknya merapikan diri dulu. Kamu masih tetap cantik, tapi riasanmu jadi agak rusak karena air mata. Ayo ke ruang kerjaku, di sana ada kamar dan kamar mandi. Kamu bisa merapikan diri di sana.” Kali ini Bagas yang berbicara pada Seruni dengan kalimat yang lebih santai daripada sebelumnya.
“Mas Bagas benar, Run. Kalau kamu mau pulang sebaiknya merapikan diri dulu. Jangan sampai kamu dianggap ODGJ karena penampilanmu itu.” Intan ikut membujuk sahabatnya.
Meskipun penampilan Seruni tidak terlalu berantakan, tapi sangat terlihat kalau dia baru saja menangis karena kedua matanya agak bengkak. Eye liner yang tidak waterproof jadi luntur karena kena air mata, begitu juga bedaknya.
Seruni menarik napas panjang dan mengembuskan dengan pelan sebelum memberi jawaban. “Kalau begitu kita ke ruangan Mas Bagas dulu,” putusnya kemudian.
“Pakai ini untuk menutupi wajahmu.” Bagas memberikan topi pada Seruni.
“Terima kasih, Mas,” ucap Seruni sambil mengenakan topi di atas kepalanya.
Mereka bertiga kemudian pergi ke ruang kerja Bagas. Seruni merapikan diri di kamar mandi yang ada di ruangan tersebut. Setelah penampilannya lebih enak dipandang, dia keluar dari sana.
“Nah, gitu ‘kan lebih cantik. Ini pakai kacamata biar matamu ga kelihatan bengkak.” Intan memberikan kacamata hitam pada sahabatnya.
“Makasih, In. Kamu memang sahabat yang terbaik. Selalu jadi penolongku di saat-saat sulit.” Seruni memegang erat tangan sang sahabat.
“Ah, biasa saja. Ga usah lebai deh, Run.” Intan jadi salah tingkah sendiri setelah mendapat pujian dari Seruni.
“Jadi mau pulang?” Tiba-tiba Bagas bertanya pada Seruni.
“Jadi, Mas. Terima kasih banyak atas bantuan Mas Bagas. Maaf sudah banyak merepotkan,” sahut Seruni.
“Aku antar ya. Kebetulan aku ada urusan ke luar,” tawar Bagas.
Seruni menggeleng. “Terima kasih atas tawarannya, tapi tidak usah, Mas. Saya bisa pulang sendiri.”
Wanita berusia 25 tahun itu pun keluar dari ruangan Bagas bersama Intan, yang mengantarnya sampai di lobi hotel.
Sementara itu Bagas memandang ke luar melalui dinding kaca di ruangannya. “Seruni, apa kamu tidak ingat aku?” gumamnya.
***
Seperti dugaannya setelah mengatakan kalau rencana lamaran dan pernikahannya dengan Panca batal, bapak dan ibu Seruni menyalahkan dia karena tidak menuruti nasihat mereka. Sekarang sudah terbukti kalau Panca bukanlah pria yang baik. Hal itu membuat Seruni semakin merasa tak percaya pada pria, cinta, dan juga kesetiaan.
Meskipun sedang patah hati, Seruni tetap beraktivitas seperti biasa. Dia tetap bekerja dan menjalankan tanggung jawabnya pada perusahaan walau kinerjanya jadi tidak maksimal. Hal itu tak luput dari perhatian atasannya, Catra. Sebagai manajer pemasaran yang membawahi beberapa anak buah, tentu saja Catra selalu mengawasi kinerja semua bawahannya.
“Seruni, kamu sedang ada masalah?” tanya Catra kala mereka sedang mendapat giliran menjaga stan perusahaan di pameran properti yang diadakan di salah satu mal di Jogja.
Seruni yang sedang menunduk sambil membuka-buka gawainya, sontak mendongak dan memandang atasannya itu. “Kenapa Bapak tanya seperti itu?” Bukannya menjawab, dia malah balik bertanya.
“Karena kamu tidak seceria biasanya. Kinerjamu belakangan ini juga kurang bagus. Kalau ada kendala di lapangan bilang saja. Kalau punya masalah pribadi, kamu bisa cerita padaku. Siapa tahu aku bisa membantu atau meringankan masalahmu. Kita ini ujung tombak perusahaan, kalau tidak ada penjualan, bagaimana perusahaan bisa berjalan dengan baik,” jawab Catra.
“Maaf, Pak. Saya akan berusaha lebih baik lagi untuk mencari dan menggaet konsumen,” timpal Seruni.
Catra mengangguk. “Aku yakin kamu bisa melakukannya dengan baik saat kamu baik-baik saja. Selama ini di antara semua marketing, kamu yang selalu melebihi target. Tapi aku tahu kamu sekarang sedang tidak baik-baik saja.”
“Ceritakan saja apa masalahmu. Anggap aku ini temanmu, bukan atasanmu. Aku tidak mau melihatmu seperti ini, Seruni.” Catra memegang tangan Seruni.
Merasa tak nyaman, Seruni menarik tangan yang dipegang manajernya itu. “Terima kasih atas perhatiannya, Pak,” ucapnya dengan canggung.
Pembicaraan keduanya tertunda karena stan mereka didatangi oleh beberapa orang yang tertarik dengan properti yang perusahaan mereka tawarkan. Seruni dan Catra berdiri menyambut para pengunjung stan dan memberikan brosur sesuai dengan properti yang mereka cari. Seruni dan Catra dengan cekatan menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh para pengunjung tersebut.
Mereka hampir tak sempat bicara lagi karena pengunjung pameran terus saja datang ke stan perusahaan. Keduanya baru bisa beristirahat setelah para pengunjung pulang karena jam operasional mal berakhir. Seruni dan Catra membereskan brosur-brosur dan menutup stan mereka sebelum pulang.
“Seruni, kamu naik apa ke sini?” tanya Catra setelah mereka selesai beres-beres.
“Saya naik ojol, Pak,” jawab Seruni.
“Ini sudah lebih dari jam sepuluh malam, sebaiknya aku antar kamu pulang,” ucap Catra setelah melihat jam di pergelangan tangan kanannya.
“Tidak usah, Pak. Saya sudah biasa pulang jam segini kalau sedang pameran,” tolak Seruni.
“Seruni, sebagai atasan, aku melarangmu pulang sendiri. Aku harus memastikan keselamatanmu karena malam ini kita bekerja bersama. Pokoknya aku tidak terima penolakan.” Catra lantas menarik tangan Seruni dan mengajaknya pergi ke tempat parkir.
Seruni akhirnya pasrah mengikuti manajernya. Menolak pun percuma karena Catra bersikeras mengantarnya pulang. Kalau dipikir sebenarnya itu menguntungkan dirinya karena Seruni bisa beristirahat di mobil sang manajer dan melepas high heels yang setengah hari ini cukup menyiksanya. Terlalu sering berdiri dengan sepatu hak tinggi membuat kakinya terasa sangat pegal. Dia memang dituntut menggunakan high heels dan berpenampilan menarik bila sedang pameran.
“Seruni, kita mampir makan dulu ya. Aku lapar banget. Kamu juga pasti lapar ‘kan?” Catra menghentikan mobilnya di depan sebuah warung pecel lele yang tak jauh dari mal.
“Saya pulang naik ojol saja, Pak. Silakan kalau Pak Catra mau makan dulu. Saya tidak enak sama tetangga kalau kemalaman sampai rumah,” lontar Seruni.
Catra menghela napas panjang. “Seruni, kamu ‘kan belum makan dari tadi. Aku tidak mau kamu jatuh sakit karena tidak makan. Bekerja keras boleh, tapi jangan sampai menyakiti diri sendiri. Aku nanti yang bilang sama orang tuamu kalau kamu takut dimarahi mereka karena pulang telat,” tegasnya tanpa mau dibantah.
Seruni akhirnya mengikuti Catra keluar dari mobil. Mereka duduk bersisian di dalam warung pecel lele yang malam itu cukup ramai.“Kamu mau makan dan minum apa?” tanya Catra setelah duduk.“Ayam bakar sama jeruk panas, Pak,” jawab Seruni.“Nasinya uduk apa biasa?” tanya Catra lagi sambil menulis menu yang dipesan.“Sama kaya Pak Catra saja,” sahut Seruni.Setelah menulis makanan dan minuman yang dipesan, Catra menyerahkan nota pesanan pada salah satu karyawan pecel lele. Sambil menunggu pesanan datang, Catra mengajak Seruni berbicara agar tidak bosan. Dia sekaligus ingin mencari tahu masalah yang sedang dihadapi oleh salah satu bawahannya itu.“Seruni, sekarang kamu bisa ceritakan masalahmu. Santai saja, anggap aku ini temanmu,” pinta Catra sambil menyentuh tangan Seruni yang ada di atas meja.“Saya tidak punya masalah apa-apa, Pak,” sangkal Seruni seraya menarik tangan yang disentuh oleh Catra. Dia merasa tak nyaman dengan sentuhan tersebut. Namun pria berkacamata itu menahan tangan S
Seruni menggeleng. “Bukannya saya tidak mau, Pak. Tapi saya tidak enak dengan teman-teman yang lain. Masa cuma saya yang makan siang dengan Pak Catra,” ungkapnya.Pria berkacamata itu tersenyum. “Kamu tenang saja. Besok aku cari alasan biar kita bisa keluar bersama.”“Apa tidak akan jadi masalah, Pak?” Seruni merasa ragu dengan apa yang akan atasannya itu lakukan.Catra menggeleng. “Kenapa harus jadi masalah? Tinggal bilang saja mau follow up konsumen yang hari ini datang. Janji ketemu besok siang di rumah atau kantornya. Selesai ‘kan masalahnya,” ucapnya dengan enteng.“Wah Pak Catra hebat, langsung bisa menemukan alasan yang tepat.” Seruni mengacungkan dua jempol pada atasannya. Merasa kagum pada pria berkacamata itu.Catra pun tertawa kecil mendapat pujian dari bawahannya itu.“Terima kasih atas tumpangannya, Pak,” ucap Seruni kala mobil Catra sudah tiba di depan rumah orang tuanya.“Sama-sama,” sahut Catra sambil melepas sabuk pengamannya.Melihat apa yang dilakukan oleh sang atas
Seruni seketika menoleh pada Catra. “Pak Catra mau mengajak saya makan di sana? Kenapa tidak di warung makan biasa saja, Pak?” cecarnya.“Kita pasti ga akan nyaman ngobrol kalau di warung makan biasa. Orang lain bisa dengar apa yang kita bicarakan. Gimana kalau di hotel saja biar lebih privat?” sahut Catra.Netra Seruni sontak membola. “Apa? Di hotel?” Dia sampai berteriak karena terkejut.Catra mengangguk. “Iya, di hotel. Kamu pasti pernah pergi ke hotel sama mantan tunanganmu ‘kan?” Pria berkacamata itu mengerling sekilas ke samping kirinya.“Ba-bagaimana Pak Catra tahu?” Sekali lagi Seruni dibuat terkejut oleh atasannya itu.Catra tersenyum miring. “Mendengar sifat mantan tunanganmu, pasti dia sudah mengambil banyak hal dari kamu. Selain uang, perhatian, termasuk mungkin, maaf, mahkotamu.”Pria berkacamata itu lagi-lagi membuat Seruni terperanjat. Bagaimana Catra bisa tahu hal itu? Apa terlihat jelas kalau dia bukan lagi perawan?“Karena kamu diam, berarti apa yang aku katakan bena
Seruni dan Catra seketika menoleh ke arah Panca. Keduanya tak dapat menyembunyikan keterkejutan mereka. Sungguh hal itu sama sekali tak diduga.Catra kemudian berdiri. Manajer pemasaran itu terlihat lebih tinggi dari Panca saat mereka berdiri berhadapan."Maaf, Anda siapa? Kenapa tiba-tiba marah pada kekasih saya?" cecar Catra yang berperan dengan sangat baik sebagai kekasih Seruni.Panca membelalakkan mata begitu mendengar ucapan Catra. Dia hampir tidak percaya dengan apa yang didengarnya sampai harus bertanya untuk memastikan. "Apa? Seruni kekasih Anda?"Catra mengangguk. "Ya, benar. Seruni adalah kekasih saya. Kenapa? Anda bermasalah dengan hal itu?"Panca gegas menggeleng. "Sudah berapa lama Anda pacaran dengan dia?" Pria itu sekilas melirik pada mantan tunangan yang tampak semakin cantik saja di matanya."Itu privasi kami. Anda tidak berhak tahu," sahut Catra dengan tenang. Pria berkacamata itu sama sekali tidak tampak grogi menghadapi
"Seruni, balas dendam pertamamu sudah berhasil," ucap Catra saat Panca sudah pergi meninggalkan rumah makan."Terima kasih atas bantuannya, Pak," sahut Seruni dengan mata berbinar-binar. Rasa sakit hati yang dirasakan akibat pengkhianatan Panca setidaknya sedikit terbayar melihat mantan tunangannya itu mati kutu di hadapan Catra.Memang pria mok0ndo seperti Panca harus mendapat balasan yang setimpal karena biasanya punya banyak k0rban. Mengatasnamakan cinta di atas perbuatan yang dilarang agama dan juga norma. Memanfaatkan kep0losan seorang wanita demi mendapatkan apa yang diinginkan."Kamu pasti senang 'kan melihat mantan tunanganmu kelimpungan seperti tadi?" Catra menatap Seruni yang wajahnya berubah ceria setelah sebelumnya sempat tegang.Seruni mengangguk. "Tentu saja saya senang, Pak. Baru kali ini saya lihat dia tidak berkutik seperti tadi. Sekali lagi terima kasih, Pak."Catra tersenyum. "Senang boleh, tapi jangan lupa makan biar tetap kuat
Sabtu malam, Seruni pergi makan malam dengan Catra. Malam ini dandanannya berbeda dari biasanya. Dia mengenakan sheat dress atau gaun terusan pas badan yang menunjukkan lekuk tubuhnya. Gaun selutut warna putih dan tanpa lengan itu membuat Seruni tampak semakin menarik. Agar tidak terlalu terbuka dia menambahkan blazer selutut dengan warna senada.Seruni memakai high heels dan tas tangan warna putih untuk melengkapi penampilannya. Riasan wajah yang biasanya natural, sekarang tampak lebih mencolok tapi tidak terlihat berlebihan. Rambut panjang yang tadi sudah dicatok, dibiarkan terurai begitu saja.Sebelum pergi, dia memastikan lagi penampilannya di depan cermin kamar. Setelah yakin tampilannya sudah paripurna, wanita berusia 25 tahun itu pun keluar dari kamar.Seruni sangat terkejut saat melihat Catra duduk di ruang tamu dan sedang mengobrol dengan bapaknya. “Pak Catra, kok di sini?” Dia refleks bertanya begitu bertatapan dengan atasannya itu.
“Selamat malam. Selamat datang, Tuan dan Nyonya,” sapa seorang resepsionis restoran yang menyambut kedatangan mereka dengan ramah.“Selamat malam juga. Terima kasih,” sahut Catra.“Meja untuk berapa orang, Tuan?” tanya resepsionis tersebut.“Saya kemarin sudah reservasi atas nama Seruni Jayanti,” jawab Seruni.“Mohon ditunggu sebentar, saya cek terlebih dahulu.” Resepsionis itu kemudian membuka tablet yang dipegangnya. “Mari saya antar ke meja Tuan dan Nyonya,” ucapnya setelah mengecek daftar tamu yang sudah melakukan reservasi.Catra dan Seruni kemudian mengikuti resepsionis itu. Tanpa Catra duga, mereka diantar ke sebuah ruangan. Ternyata Seruni memesan ruang privat untuk mereka makan malam.“Silakan duduk, Tuan dan Nyonya,” cakap wanita yang mengenakan setelan blazer itu.Catra menarik kursi lalu meminta Seruni duduk di sana. Setelah itu dia baru du
Catra tersenyum kecut. “Bercerai itu tidak mudah, Seruni. Apalagi kami dijodohkan. Pasti orang tua kami akan menentang dengan keras. Istriku juga telihat enjoy saja menjalani pernikahan yang tidak jelas ini. Aku tidak tahu apa sebenarnya mau dia dan akan dibawa ke mana pernikahan kami?” Pria berkacamata itu menghela napas panjang.Pembicaraan keduanya terhenti karena ketukan di pintu. Dua orang pramusaji kemudian masuk ke ruang privat itu untuk menghidangkan minuman dan makanan pesanan mereka.“Silakan dinikmati. Semoga Pak Catra suka cita rasa hidangannya,” ucap Seruni setelah kedua pramusaji keluar.“Ayo kita makan,” sahut Catra kemudian. Mereka pun mulai menyantap hidangan.“Maaf ya, malam ini kamu malah mendengar masalah rumah tanggaku,” lontar Catra di sela makan malam.Seruni tersenyum. “Tidak apa-apa, Pak. Mungkin dengan bercerita, beban Pak Catra jadi lebih ringan,” sahutnya.“Entah kenapa aku menceritakan semuanya sama kamu? Aku yang terlalu percaya kalau kamu tidak akan membo
Runi terkesiap mendengar pertanyaan Bagas. Dia tidak menduga manajer hotel itu akan menanyakan hal itu padanya. "Maksud Mas Bagas pacarku?" Bagas menggeleng. "Ga harus pacar, siapa pun yang sekarang sedang dekat denganmu."Seruni diam sejenak sebelum menanggapi Bagas. "Aku ga punya pacar, Mas. Aku ga mau berkomitmen lagi, Mas. Aku trauma dikhianati," akunya."Maaf karena sudah mengingatkanmu pada hal yang menyakitkan." Bagas jadi merasa bersalah. Seruni tersenyum ke arah Bagas. "Tidak ada yang perlu dimaafkan karena Mas Bagas tidak salah," ucapnya.Setelah itu tak ada lagi yang berbicara. Hening menguasai saat mobil Bagas melaju dengan kecepatan sedang. Seruni yang duduk di samping Bagas, memilih menatap keluar jendela, sementara manajer hotel itu fokus mengendarai mobil sambil sesekali melirik ke samping kirinya."Runi, kamu marah sama aku?" tanya Bagas tiba-tiba. Memecah kesunyian di antara mereka.Seruni menoleh dengan kening mengerut. "Marah? Enggak kok. Memangnya aku kelihatan
Seruni menatap Intan lekat. Dia seolah bertanya pada sahabatnya itu lewat tatapan mata, apakah mau menemani Bagas mencari sepatu atau pulang saja seperti niat mereka sebelumnya. Intan memandang Bagas dengan senyum menyeringai. "Nanti kita dapat apa kalau nemenin Mas Bagas?" Dia tidak mau kalau tidak mendapatkan apa-apa dari kakak sepupunya itu. "Kalian bisa beli apa pun yang kalian mau. Sepatu, tas, baju, atau apa saja terserah," timpal Bagas dengan santai. Dia terus menampakkan senyum di wajah tampannya. Intan mengangguk. "Oke kalau begitu. Ayo, kita temani Mas Bagas, Run," ucapnya dengan penuh antusias. Ketiga orang itu akhirnya masuk ke salah satu toko yang menjual sepatu impor. Bagas melihat-lihat model sepatu olahraga, tapi tak ada yang cocok di hatinya. Mereka pun masuk dan keluar toko beberapa kali karena lagi-lagi Bagas belum menemukan yang sesuai keinginannya. "Mas, sebenarnya model kaya apa sih yang pengen dibeli. Masa sudah lima toko kita masuki tapi belum ada yan
Seruni menutup matanya sambil menghela napas panjang. “Aku tahu, In, tapi aku ga bisa berhenti begitu saja. Jujur, aku nyaman saat bersama dia. Baru kali ini aku merasa dihargai.”"Apa dia pernah menyatakan cinta dan bilang mau berpisah dengan istrinya kalau kamu menerimanya?" tanya Intan dengan nada sinis.Seruni mengangguk. "Pernah. Tapi aku ga mau, In. Aku ga mau jatuh cinta dan berkomitmen lagi. Aku benar-benar trauma."“Terus hubunganmu sama dia itu apa kalau tidak ada komitmen, Run?” desak Intan yang merasa gemas pada sahabatnya.“Kami tidak ada komitmen apa pun, In. Hanya saling memberi kenyamanan satu sama lain,” aku Seruni.Intan membelalakkan mata mendengar pengakuan sahabatnya. Dia tak percaya sahabatnya yang dulu sangat lugu, benar-benar berubah 180 derajat dalam waktu sebentar. Tak bertemu dua bulan saja, Intan sudah merasa asing dengan perubahan Seruni.“Jadi hubungan kalian tanpa status?” tanya Intan memastikan.Seruni mengangguk. “Iya, In. Aku sudah trauma dikhianati.
Pertanyaan Intan sontak membuat Seruni terkejut. Bukannya bercerita tentang keseharian mereka malah menanyakan pria yang sudah mengkhianati cintanya. Namun dia juga bisa mengerti kenapa sahabatnya itu bertanya, mengingat betapa hancur hatinya saat mengetahui perselingkuhan sang mantan tunangan. Dan setelah peristiwa tersebut, baru hari ini mereka bertemu.Seruni mengulum senyum. “Buang-buang waktu dan energi saja kalau aku tidak langsung move on dari dia, In. Buat apa mengingat-ingat pria yang sudah mengkhianati cinta tulus kita,” tukasnya.Intan tampak menghela napas lega. “Syukurlah kalau kamu sudah move on. Apa itu berarti sekarang kamu lagi dekat sama seseorang?” tanyanya sambil menatap san
Intan tertawa mendengar pertanyaan kakak sepupunya. “Normalnya ‘kan orang itu sukanya sama yang sebaya atau yang selisih umurnya tidak banyak, bukan sama anak kecil, Mas. Udah kaya pedo—” Belum sempat gadis itu menyelesaikan kalimatnya, Bagas sudah menyela.“Heh, aku pria normal ya. Aku bukan pria seperti yang ada di pikiranmu itu.” Bagas dengan cepat meluruskan pemikiran sang adik sepupu yang mengira dia punya kelainan s3ksual karena suka dengan Seruni yang selisih umurnya delapan tahun lebih muda darinya.Intan kembali tertawa. “Iya, aku percaya Mas Bagas pria yang normal, kalau ga normal pasti udah jadi tulang lunak.” Gadis itu malah makin meledek sang kakak sepupu.
Seruni menyadari perubahan sikap Catra jadi dia harus bisa bersikap bijak agar tidak membuat pria yang sudah banyak membantunya itu tidak tersinggung atau sakit hati. “Kalau memang benar apa yang Pak Catra katakan tadi, saya tidak peduli. Saya tidak kenal dekat dengan Mas Bagas, kami juga baru dua kali bertemu,” ucapnya.“Berulang kali sudah saya katakan kalau saya tidak percaya lagi pada cinta dan komitmen. Jadi tidak mungkin saya menerima cintanya atau pria mana pun. Kita yang sudah sedekat ini dan melakukan hubungan yang sudah melampaui batas saja, tetap tidak ada komitmen 'kan?” sambung Seruni.“Banyaknya luka dan sakit yang sayang rasakan, membuat saya tidak mau membuka hati lagi. Bi
Petang itu, Catra mengajak Seruni mandi bersama. Tentu saja keduanya tak hanya mandi, tapi juga menyatukan diri. Mereka tak ubahnya pasangan pengantin baru yang sedang dimabuk cinta dan mencoba berbagai gaya dan tempat untuk memadu cinta.Usai mandi, Seruni mengeringkan rambut dengan hair dryer yang tadi dibeli. Kini dia bisa menata rambut karena sudah ada bermacam sisir. Mau membentuk rambut dengan model apa pun, dia bisa. Sesudah itu Seruni merias diri dengan kosmetik yang tadi juga dibelikan oleh Catra.Catra mengisi waktunya dengan melihat semua pergerakan Seruni. Matanya seolah tak mau lepas sedetik pun dari wanita itu. Seruni sudah benar-benar menguasai dirinya.
Kening Catra mengerut mendengar pertanyaan Seruni. “Kamu tidak mau melakukannya?” Dia tak dapat menyembunyikan rasa kecewanya. Tatapan matanya tampak sangat terluka.Namun tak lama kemudian Seruni tertawa kecil. “Tentu saja saya mau memasangkan cincin. Maaf, tadi saya sengaja menggoda Pak Catra,” akunya.Catra pun menghela napas lega. Senyum di wajahnya kemudian mengembang sempurna. “Kamu sudah berani ya sekarang menggodaku. Awas saja nanti aku beri hukuman. Sekarang pasang cincinnya.” Dia mengulurkan tangan kanannya pada Seruni.Wanita yang menutupi tubuhnya dengan selimut itu kemudian ba
Catra menggeleng. “Buat apa? Tidak ada gunanya.”“Apa Pak Catra tidak merasa dikhianati?” Seruni semakin penasaran.Pria berkacamata itu diam sejenak. “Harga diriku jelas terluka, tapi aku tak mau ambil pusing dan mempermasalahkan soal itu. Toh kami sama-sama tidak saling mencintai. Untuk apa terus bertahan dalam pernikahan palsu itu,” ujarnya.“Tapi sebelum ini bahkan Pak Catra tidak mau bercerai karena tidak mudah dan akan mendapat tentangan dari orang tua. Kenapa sekarang berubah pikiran?” pancing Seruni.Catra tersenyum manis pada wanita yang sudah mencuri hatinya itu. “Semua kulakukan karena kamu. Andai kita tidak seperti sekarang, mungkin aku juga tidak akan berpikir untuk bercerai. Tapi karena sekarang ada wanita yang harus aku perjuangkan cintanya, maka aku harus secepatnya mengakhiri pernikahan yang tidak sehat itu,” ungkapnya.“Saya jadi pihak ketiga dong, Pak,” lonta