“Ayo ke ruanganku kalau kalian masih ingin bicara.” Bagas mengajak Intan dan Seruni setelah menyusul mereka di tangga darurat.
“Terima kasih atas bantuannya, Mas, tapi saya mau pulang saja,” tolak Seruni.
“Kamu yakin mau pulang, Run? Tidak menenangkan diri dulu. Khusus hari ini, aku akan temani kamu ke mana saja,” timpal Intan yang mengkhawatirkan keadaan mental sahabatnya.
Seruni menggeleng. “Aku tidak mau ke mana-mana, In. Aku cuma mau pulang.”
“Oke kalau itu maumu. Aku antar ya,” tawar Intan.
Sekali lagi Seruni menggeleng. “Tidak usah. Aku bisa pulang sendiri. Aku masih ingat jalan pulang kok.” Dia tersenyum, lalu kembali berkata, “Kamu tenang saja, aku tidak akan melakukan hal bodoh hanya karena pengkhianatan Mas Panca.”
“Tapi, Run.” Intan merasa keberatan dengan keputusan sahabatnya.
“Kamu ke sini 'kan sama keponakanmu, In. Harusnya kamu juga pulang bersama mereka. Terima kasih ya atas bantuanmu hari ini,” ucap Seruni dengan tulus.
“Silakan kalau mau pulang, tapi bukankah sebaiknya merapikan diri dulu. Kamu masih tetap cantik, tapi riasanmu jadi agak rusak karena air mata. Ayo ke ruang kerjaku, di sana ada kamar dan kamar mandi. Kamu bisa merapikan diri di sana.” Kali ini Bagas yang berbicara pada Seruni dengan kalimat yang lebih santai daripada sebelumnya.
“Mas Bagas benar, Run. Kalau kamu mau pulang sebaiknya merapikan diri dulu. Jangan sampai kamu dianggap ODGJ karena penampilanmu itu.” Intan ikut membujuk sahabatnya.
Meskipun penampilan Seruni tidak terlalu berantakan, tapi sangat terlihat kalau dia baru saja menangis karena kedua matanya agak bengkak. Eye liner yang tidak waterproof jadi luntur karena kena air mata, begitu juga bedaknya.
Seruni menarik napas panjang dan mengembuskan dengan pelan sebelum memberi jawaban. “Kalau begitu kita ke ruangan Mas Bagas dulu,” putusnya kemudian.
“Pakai ini untuk menutupi wajahmu.” Bagas memberikan topi pada Seruni.
“Terima kasih, Mas,” ucap Seruni sambil mengenakan topi di atas kepalanya.
Mereka bertiga kemudian pergi ke ruang kerja Bagas. Seruni merapikan diri di kamar mandi yang ada di ruangan tersebut. Setelah penampilannya lebih enak dipandang, dia keluar dari sana.
“Nah, gitu ‘kan lebih cantik. Ini pakai kacamata biar matamu ga kelihatan bengkak.” Intan memberikan kacamata hitam pada sahabatnya.
“Makasih, In. Kamu memang sahabat yang terbaik. Selalu jadi penolongku di saat-saat sulit.” Seruni memegang erat tangan sang sahabat.
“Ah, biasa saja. Ga usah lebai deh, Run.” Intan jadi salah tingkah sendiri setelah mendapat pujian dari Seruni.
“Jadi mau pulang?” Tiba-tiba Bagas bertanya pada Seruni.
“Jadi, Mas. Terima kasih banyak atas bantuan Mas Bagas. Maaf sudah banyak merepotkan,” sahut Seruni.
“Aku antar ya. Kebetulan aku ada urusan ke luar,” tawar Bagas.
Seruni menggeleng. “Terima kasih atas tawarannya, tapi tidak usah, Mas. Saya bisa pulang sendiri.”
Wanita berusia 25 tahun itu pun keluar dari ruangan Bagas bersama Intan, yang mengantarnya sampai di lobi hotel.
Sementara itu Bagas memandang ke luar melalui dinding kaca di ruangannya. “Seruni, apa kamu tidak ingat aku?” gumamnya.
***
Seperti dugaannya setelah mengatakan kalau rencana lamaran dan pernikahannya dengan Panca batal, bapak dan ibu Seruni menyalahkan dia karena tidak menuruti nasihat mereka. Sekarang sudah terbukti kalau Panca bukanlah pria yang baik. Hal itu membuat Seruni semakin merasa tak percaya pada pria, cinta, dan juga kesetiaan.
Meskipun sedang patah hati, Seruni tetap beraktivitas seperti biasa. Dia tetap bekerja dan menjalankan tanggung jawabnya pada perusahaan walau kinerjanya jadi tidak maksimal. Hal itu tak luput dari perhatian atasannya, Catra. Sebagai manajer pemasaran yang membawahi beberapa anak buah, tentu saja Catra selalu mengawasi kinerja semua bawahannya.
“Seruni, kamu sedang ada masalah?” tanya Catra kala mereka sedang mendapat giliran menjaga stan perusahaan di pameran properti yang diadakan di salah satu mal di Jogja.
Seruni yang sedang menunduk sambil membuka-buka gawainya, sontak mendongak dan memandang atasannya itu. “Kenapa Bapak tanya seperti itu?” Bukannya menjawab, dia malah balik bertanya.
“Karena kamu tidak seceria biasanya. Kinerjamu belakangan ini juga kurang bagus. Kalau ada kendala di lapangan bilang saja. Kalau punya masalah pribadi, kamu bisa cerita padaku. Siapa tahu aku bisa membantu atau meringankan masalahmu. Kita ini ujung tombak perusahaan, kalau tidak ada penjualan, bagaimana perusahaan bisa berjalan dengan baik,” jawab Catra.
“Maaf, Pak. Saya akan berusaha lebih baik lagi untuk mencari dan menggaet konsumen,” timpal Seruni.
Catra mengangguk. “Aku yakin kamu bisa melakukannya dengan baik saat kamu baik-baik saja. Selama ini di antara semua marketing, kamu yang selalu melebihi target. Tapi aku tahu kamu sekarang sedang tidak baik-baik saja.”
“Ceritakan saja apa masalahmu. Anggap aku ini temanmu, bukan atasanmu. Aku tidak mau melihatmu seperti ini, Seruni.” Catra memegang tangan Seruni.
Merasa tak nyaman, Seruni menarik tangan yang dipegang manajernya itu. “Terima kasih atas perhatiannya, Pak,” ucapnya dengan canggung.
Pembicaraan keduanya tertunda karena stan mereka didatangi oleh beberapa orang yang tertarik dengan properti yang perusahaan mereka tawarkan. Seruni dan Catra berdiri menyambut para pengunjung stan dan memberikan brosur sesuai dengan properti yang mereka cari. Seruni dan Catra dengan cekatan menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh para pengunjung tersebut.
Mereka hampir tak sempat bicara lagi karena pengunjung pameran terus saja datang ke stan perusahaan. Keduanya baru bisa beristirahat setelah para pengunjung pulang karena jam operasional mal berakhir. Seruni dan Catra membereskan brosur-brosur dan menutup stan mereka sebelum pulang.
“Seruni, kamu naik apa ke sini?” tanya Catra setelah mereka selesai beres-beres.
“Saya naik ojol, Pak,” jawab Seruni.
“Ini sudah lebih dari jam sepuluh malam, sebaiknya aku antar kamu pulang,” ucap Catra setelah melihat jam di pergelangan tangan kanannya.
“Tidak usah, Pak. Saya sudah biasa pulang jam segini kalau sedang pameran,” tolak Seruni.
“Seruni, sebagai atasan, aku melarangmu pulang sendiri. Aku harus memastikan keselamatanmu karena malam ini kita bekerja bersama. Pokoknya aku tidak terima penolakan.” Catra lantas menarik tangan Seruni dan mengajaknya pergi ke tempat parkir.
Seruni akhirnya pasrah mengikuti manajernya. Menolak pun percuma karena Catra bersikeras mengantarnya pulang. Kalau dipikir sebenarnya itu menguntungkan dirinya karena Seruni bisa beristirahat di mobil sang manajer dan melepas high heels yang setengah hari ini cukup menyiksanya. Terlalu sering berdiri dengan sepatu hak tinggi membuat kakinya terasa sangat pegal. Dia memang dituntut menggunakan high heels dan berpenampilan menarik bila sedang pameran.
“Seruni, kita mampir makan dulu ya. Aku lapar banget. Kamu juga pasti lapar ‘kan?” Catra menghentikan mobilnya di depan sebuah warung pecel lele yang tak jauh dari mal.
“Saya pulang naik ojol saja, Pak. Silakan kalau Pak Catra mau makan dulu. Saya tidak enak sama tetangga kalau kemalaman sampai rumah,” lontar Seruni.
Catra menghela napas panjang. “Seruni, kamu ‘kan belum makan dari tadi. Aku tidak mau kamu jatuh sakit karena tidak makan. Bekerja keras boleh, tapi jangan sampai menyakiti diri sendiri. Aku nanti yang bilang sama orang tuamu kalau kamu takut dimarahi mereka karena pulang telat,” tegasnya tanpa mau dibantah.
Seruni akhirnya mengikuti Catra keluar dari mobil. Mereka duduk bersisian di dalam warung pecel lele yang malam itu cukup ramai.“Kamu mau makan dan minum apa?” tanya Catra setelah duduk.“Ayam bakar sama jeruk panas, Pak,” jawab Seruni.“Nasinya uduk apa biasa?” tanya Catra lagi sambil menulis menu yang dipesan.“Sama kaya Pak Catra saja,” sahut Seruni.Setelah menulis makanan dan minuman yang dipesan, Catra menyerahkan nota pesanan pada salah satu karyawan pecel lele. Sambil menunggu pesanan datang, Catra mengajak Seruni berbicara agar tidak bosan. Dia sekaligus ingin mencari tahu masalah yang sedang dihadapi oleh salah satu bawahannya itu.“Seruni, sekarang kamu bisa ceritakan masalahmu. Santai saja, anggap aku ini temanmu,” pinta Catra sambil menyentuh tangan Seruni yang ada di atas meja.“Saya tidak punya masalah apa-apa, Pak,” sangkal Seruni seraya menarik tangan yang disentuh oleh Catra. Dia merasa tak nyaman dengan sentuhan tersebut. Namun pria berkacamata itu menahan tangan S
Seruni menggeleng. “Bukannya saya tidak mau, Pak. Tapi saya tidak enak dengan teman-teman yang lain. Masa cuma saya yang makan siang dengan Pak Catra,” ungkapnya.Pria berkacamata itu tersenyum. “Kamu tenang saja. Besok aku cari alasan biar kita bisa keluar bersama.”“Apa tidak akan jadi masalah, Pak?” Seruni merasa ragu dengan apa yang akan atasannya itu lakukan.Catra menggeleng. “Kenapa harus jadi masalah? Tinggal bilang saja mau follow up konsumen yang hari ini datang. Janji ketemu besok siang di rumah atau kantornya. Selesai ‘kan masalahnya,” ucapnya dengan enteng.“Wah Pak Catra hebat, langsung bisa menemukan alasan yang tepat.” Seruni mengacungkan dua jempol pada atasannya. Merasa kagum pada pria berkacamata itu.Catra pun tertawa kecil mendapat pujian dari bawahannya itu.“Terima kasih atas tumpangannya, Pak,” ucap Seruni kala mobil Catra sudah tiba di depan rumah orang tuanya.“Sama-sama,” sahut Catra sambil melepas sabuk pengamannya.Melihat apa yang dilakukan oleh sang atas
Seruni seketika menoleh pada Catra. “Pak Catra mau mengajak saya makan di sana? Kenapa tidak di warung makan biasa saja, Pak?” cecarnya.“Kita pasti ga akan nyaman ngobrol kalau di warung makan biasa. Orang lain bisa dengar apa yang kita bicarakan. Gimana kalau di hotel saja biar lebih privat?” sahut Catra.Netra Seruni sontak membola. “Apa? Di hotel?” Dia sampai berteriak karena terkejut.Catra mengangguk. “Iya, di hotel. Kamu pasti pernah pergi ke hotel sama mantan tunanganmu ‘kan?” Pria berkacamata itu mengerling sekilas ke samping kirinya.“Ba-bagaimana Pak Catra tahu?” Sekali lagi Seruni dibuat terkejut oleh atasannya itu.Catra tersenyum miring. “Mendengar sifat mantan tunanganmu, pasti dia sudah mengambil banyak hal dari kamu. Selain uang, perhatian, termasuk mungkin, maaf, mahkotamu.”Pria berkacamata itu lagi-lagi membuat Seruni terperanjat. Bagaimana Catra bisa tahu hal itu? Apa terlihat jelas kalau dia bukan lagi perawan?“Karena kamu diam, berarti apa yang aku katakan bena
“Run, aku lihat Mas Panca di hotel sama cewek,” ucap Intan dari seberang telepon.Seruni yang sedang bermalas-malasan di atas tempat tidur sontak bangun. Seketika badannya terasa dingin mendengar sang tunangan berada di hotel bersama wanita lain. “Kamu jangan bercanda, In,” sahutnya. Dalam hati dia berharap sahabatnya sejak SMA itu hanya bercanda dan menggodanya.“Buat apa aku bercanda, Run. Demi Allah aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri,” jelas Intan.Seruni merasakan jantungnya berdebar semakin kencang. “Memangnya kamu sekarang di mana kok bisa lihat Mas Panca di hotel?” tanyanya berusaha tetap tenang.“Aku lagi ngantar keponakanku berenang di hotel. Pas aku datang dia baru keluar dari restoran terus berjalan ke lift. Berarti dia menginap di sini ‘kan. Aku pikir tadi sama kamu, tapi setelah benar-benar aku perhatikan ternyata bukan kamu. Mana mereka rangkulan mesra banget, Run,” jawab Intan.“Memangnya kamu sudah putus sama Mas Panca?” tanyanya kemudian.Seruni menggeleng me
Intan dan Bagas menghentikan langkah mereka lalu membalikkan badan, memandang Seruni yang berjalan menghampiri mereka.“Aku ikut.” Ucapan Seruni membuat Intan menyunggingkan senyum. Gadis itu merasa lega akhirnya sang sahabat mau bertindak setelah dikhianati tunangannya. Ketiga orang itu kemudian menuju kamar Panca.“Siapa yang akan mengetuk pintu?” tanya Intan saat mereka berada di depan pintu kamar yang disewa Panca.“Aku saja karena ini masalahku,” sahut Seruni. Meskipun hatinya sakit dan jantungnya berdebar dengan kencang, dia berusaha menguatkan diri untuk menghadapi kenyataan yang ada. Seruni tidak mau terlihat lemah di depan pria yang sudah mengkhianati kesetiaannya selama ini.Ketukan pertama dan kedua sama sekali tidak diindahkan. Baru pada ketukan ketiga pintu kamar itu dibuka dari dalam. Panca yang penampilannya tidak keruan dan hanya mengenakan bokser sangat terkejut melihat sosok yang ada di depan pintu kamarnya.“Seruni,” ucapnya pelan. Wajahnya tampak pias seolah baru s