Share

Bab 3

“Ayo ke ruanganku kalau kalian masih ingin bicara.” Bagas mengajak Intan dan Seruni setelah menyusul mereka di tangga darurat.

“Terima kasih atas bantuannya, Mas, tapi saya mau pulang saja,” tolak Seruni.

“Kamu yakin mau pulang, Run? Tidak menenangkan diri dulu. Khusus hari ini, aku akan temani kamu ke mana saja,” timpal Intan yang mengkhawatirkan keadaan mental sahabatnya.

Seruni menggeleng. “Aku tidak mau ke mana-mana, In. Aku cuma mau pulang.”

“Oke kalau itu maumu. Aku antar ya,” tawar Intan.

Sekali lagi Seruni menggeleng. “Tidak usah. Aku bisa pulang sendiri. Aku masih ingat jalan pulang kok.” Dia tersenyum, lalu kembali berkata, “Kamu tenang saja, aku tidak akan melakukan hal bodoh hanya karena pengkhianatan Mas Panca.”

“Tapi, Run.” Intan merasa keberatan dengan keputusan sahabatnya.

“Kamu ke sini 'kan sama keponakanmu, In. Harusnya kamu juga pulang bersama mereka. Terima kasih ya atas bantuanmu hari ini,” ucap Seruni dengan tulus.

“Silakan kalau mau pulang, tapi bukankah sebaiknya merapikan diri dulu. Kamu masih tetap cantik, tapi riasanmu jadi agak rusak karena air mata.  Ayo ke ruang kerjaku, di sana ada kamar dan kamar mandi. Kamu bisa merapikan diri di sana.” Kali ini Bagas yang berbicara pada Seruni dengan kalimat yang lebih santai daripada sebelumnya.

“Mas Bagas benar, Run. Kalau kamu mau pulang sebaiknya merapikan diri dulu. Jangan sampai kamu dianggap ODGJ karena penampilanmu itu.” Intan ikut membujuk sahabatnya.

Meskipun penampilan Seruni tidak terlalu berantakan, tapi sangat terlihat kalau dia baru saja menangis karena kedua matanya agak bengkak. Eye liner yang tidak waterproof jadi luntur karena kena air mata, begitu juga bedaknya.

Seruni menarik napas panjang dan mengembuskan dengan pelan sebelum memberi jawaban. “Kalau begitu kita ke ruangan Mas Bagas dulu,” putusnya kemudian.

“Pakai ini untuk menutupi wajahmu.” Bagas memberikan topi pada Seruni.

“Terima kasih, Mas,” ucap Seruni sambil mengenakan topi di atas kepalanya.

Mereka bertiga kemudian pergi ke ruang kerja Bagas. Seruni merapikan diri di kamar mandi yang ada di ruangan tersebut. Setelah penampilannya lebih enak dipandang, dia keluar dari sana.

“Nah, gitu ‘kan lebih cantik. Ini pakai kacamata biar matamu ga kelihatan bengkak.” Intan memberikan kacamata hitam pada sahabatnya.

“Makasih, In. Kamu memang sahabat yang terbaik. Selalu jadi penolongku di saat-saat sulit.” Seruni memegang erat tangan sang sahabat.

“Ah, biasa saja. Ga usah lebai deh, Run.” Intan jadi salah tingkah sendiri setelah mendapat pujian dari Seruni.

“Jadi mau pulang?” Tiba-tiba Bagas bertanya pada Seruni.

“Jadi, Mas. Terima kasih banyak atas bantuan Mas Bagas. Maaf sudah banyak merepotkan,” sahut Seruni.

“Aku antar ya. Kebetulan aku ada urusan ke luar,” tawar Bagas.

Seruni menggeleng. “Terima kasih atas tawarannya, tapi tidak usah, Mas. Saya bisa pulang sendiri.”

Wanita berusia 25 tahun itu pun keluar dari ruangan Bagas bersama Intan, yang mengantarnya sampai di lobi hotel.

Sementara itu Bagas memandang ke luar melalui dinding kaca di ruangannya. “Seruni, apa kamu tidak ingat aku?” gumamnya.

***

Seperti dugaannya setelah mengatakan kalau rencana lamaran dan pernikahannya dengan Panca batal, bapak dan ibu Seruni menyalahkan dia karena tidak menuruti nasihat mereka. Sekarang sudah terbukti kalau Panca bukanlah pria yang baik. Hal itu membuat Seruni semakin merasa tak percaya pada pria, cinta, dan juga kesetiaan.

Meskipun sedang patah hati, Seruni tetap beraktivitas seperti biasa. Dia tetap bekerja dan menjalankan tanggung jawabnya pada perusahaan walau kinerjanya jadi tidak maksimal. Hal itu tak luput dari perhatian atasannya, Catra. Sebagai manajer pemasaran yang membawahi beberapa anak buah, tentu saja Catra selalu mengawasi kinerja semua bawahannya.

“Seruni, kamu sedang ada masalah?” tanya Catra kala mereka sedang mendapat giliran menjaga stan perusahaan di pameran properti yang diadakan di salah satu mal di Jogja.

Seruni yang sedang menunduk sambil membuka-buka gawainya, sontak mendongak dan memandang atasannya itu. “Kenapa Bapak tanya seperti itu?” Bukannya menjawab, dia malah balik bertanya.

“Karena kamu tidak seceria biasanya. Kinerjamu belakangan ini juga kurang bagus. Kalau ada kendala di lapangan bilang saja. Kalau punya masalah pribadi, kamu bisa cerita padaku. Siapa tahu aku bisa membantu atau meringankan masalahmu. Kita ini ujung tombak perusahaan, kalau tidak ada penjualan, bagaimana perusahaan bisa berjalan dengan baik,” jawab Catra.

“Maaf, Pak. Saya akan berusaha lebih baik lagi untuk mencari dan menggaet konsumen,” timpal Seruni.

Catra mengangguk. “Aku yakin kamu bisa melakukannya dengan baik saat kamu baik-baik saja. Selama ini di antara semua marketing, kamu yang selalu melebihi target. Tapi aku tahu kamu sekarang sedang tidak baik-baik saja.”

“Ceritakan saja apa masalahmu. Anggap aku ini temanmu, bukan atasanmu. Aku tidak mau melihatmu seperti ini, Seruni.” Catra memegang tangan Seruni.

Merasa tak nyaman, Seruni menarik tangan yang dipegang manajernya itu. “Terima kasih atas perhatiannya, Pak,” ucapnya dengan canggung.

Pembicaraan keduanya tertunda karena stan mereka didatangi oleh beberapa orang yang tertarik dengan properti yang perusahaan mereka tawarkan. Seruni dan Catra berdiri menyambut para pengunjung stan dan memberikan brosur sesuai dengan properti yang mereka cari. Seruni dan Catra dengan cekatan menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh para pengunjung tersebut.

Mereka hampir tak sempat bicara lagi karena pengunjung pameran terus saja datang ke stan perusahaan. Keduanya baru bisa beristirahat setelah para pengunjung pulang karena jam operasional mal berakhir. Seruni dan Catra membereskan brosur-brosur dan menutup stan mereka sebelum pulang.

“Seruni, kamu naik apa ke sini?” tanya Catra setelah mereka selesai beres-beres.

“Saya naik ojol, Pak,” jawab Seruni.

“Ini sudah lebih dari jam sepuluh malam, sebaiknya aku antar kamu pulang,” ucap Catra setelah melihat jam di pergelangan tangan kanannya.

“Tidak usah, Pak. Saya sudah biasa pulang jam segini kalau sedang pameran,” tolak Seruni.

“Seruni, sebagai atasan, aku melarangmu pulang sendiri. Aku harus memastikan keselamatanmu karena malam ini kita bekerja bersama. Pokoknya aku tidak terima penolakan.” Catra lantas menarik tangan Seruni dan mengajaknya pergi ke tempat parkir.

Seruni akhirnya pasrah mengikuti manajernya. Menolak pun percuma karena Catra bersikeras mengantarnya pulang. Kalau dipikir sebenarnya itu menguntungkan dirinya karena Seruni bisa beristirahat di mobil sang manajer dan melepas high heels yang setengah hari ini cukup menyiksanya. Terlalu sering berdiri dengan sepatu hak tinggi membuat kakinya terasa sangat pegal. Dia memang dituntut menggunakan high heels dan berpenampilan menarik bila sedang pameran.

“Seruni, kita mampir makan dulu ya. Aku lapar banget. Kamu juga pasti lapar ‘kan?” Catra menghentikan mobilnya di depan sebuah warung pecel lele yang tak jauh dari mal.

“Saya pulang naik ojol saja, Pak. Silakan kalau Pak Catra mau makan dulu. Saya tidak enak sama tetangga kalau kemalaman sampai rumah,” lontar Seruni.

Catra menghela napas panjang. “Seruni, kamu ‘kan belum makan dari tadi. Aku tidak mau kamu jatuh sakit karena tidak makan. Bekerja keras boleh, tapi jangan sampai menyakiti diri sendiri. Aku nanti yang bilang sama orang tuamu kalau kamu takut dimarahi mereka karena pulang telat,” tegasnya tanpa mau dibantah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status