Seruni menggeleng. “Bukannya saya tidak mau, Pak. Tapi saya tidak enak dengan teman-teman yang lain. Masa cuma saya yang makan siang dengan Pak Catra,” ungkapnya.
Pria berkacamata itu tersenyum. “Kamu tenang saja. Besok aku cari alasan biar kita bisa keluar bersama.”
“Apa tidak akan jadi masalah, Pak?” Seruni merasa ragu dengan apa yang akan atasannya itu lakukan.
Catra menggeleng. “Kenapa harus jadi masalah? Tinggal bilang saja mau follow up konsumen yang hari ini datang. Janji ketemu besok siang di rumah atau kantornya. Selesai ‘kan masalahnya,” ucapnya dengan enteng.
“Wah Pak Catra hebat, langsung bisa menemukan alasan yang tepat.” Seruni mengacungkan dua jempol pada atasannya. Merasa kagum pada pria berkacamata itu.
Catra pun tertawa kecil mendapat pujian dari bawahannya itu.
“Terima kasih atas tumpangannya, Pak,” ucap Seruni kala mobil Catra sudah tiba di depan rumah orang tuanya.
“Sama-sama,” sahut Catra sambil melepas sabuk pengamannya.
Melihat apa yang dilakukan oleh sang atasan, Seruni lantas bertanya, “Pak Catra, mau ikut saya turun?”
Catra mengangguk. “Iya. Aku janji ‘kan tadi mau menjelaskan sama orang tuamu kalau kamu beneran baru pulang kerja, bukan main sama teman,” sahutnya.
“Tidak usah, Pak. Saya tadi sudah pamit kok mau pulang malam karena dapat jadwal jaga stan,” tolak Seruni.
“Tidak apa-apa, Seruni. Sebagai atasan, aku harus memastikan orang tuamu tidak marah karena kamu pulang telat. Harusnya ‘kan sejak tadi kamu sampai rumah, tapi karena aku ajak makan, kamu jadi terlambat.” Catra tetap keukeuh pada pendiriannya.
Mau tak mau Seruni pun mengizinkan atasannya ikut turun dan bertemu orang tuanya. Wanita yang mengenakan blus kerja warna biru muda dan rok span selutut itu membuka pintu pagar. Dia mengetuk pintu rumah yang sudah tampak sunyi dan gelap karena lampu di ruang tamu sudah dipadamkan.
Tak lama kemudian lampu ruang tamu menyala. Setelah itu terdengar suara pergerakan anak kunci sebelum pintu dibuka dari dalam. Tampak sesosok pria paruh baya yang mengenakan singlet putih dan sarung motif kotak-kotak dengan rambut sedikit berantakan berdiri di depan pintu.
Pria itu mengernyit melihat putrinya pulang larut malam dengan seorang pria dengan penampilan khas orang kantoran.
“Selamat malam, Pak. Perkenalkan saya Catra. Saya atasannya Seruni di kantor. Mohon maaf hari ini Seruni pulangnya terlambat karena tadi saya ajak makan dulu sebelum pulang. Tadi banyak yang berkunjung ke pameran, sampai tidak sempat makan. Karena itu saya mengajaknya makan setelah pameran selesai.” Catra menyapa bapak Seruni sekaligus menjelaskan alasan putrinya terlambat pulang. Tak lupa dia mengajak pria paruh baya itu bersalaman.
“Oh, bosnya Seruni. Kenalkan saya Harun, bapaknya Seruni.” Pria yang rambutnya sudah sebagian memutih itu menimpali Catra dengan ramah.
“Tolong putrinya jangan dimarahi karena pulang terlambat, Pak,” pinta Catra.
Harun melirik Seruni yang sejak tadi diam dan menunduk. Setelah itu kembali beralih pada Catra. “Tentu saja tidak. Apalagi Pak Catra sudah menjelaskan penyebabnya. Mari silakan masuk, Pak,” ucapnya.
“Maaf, Pak, mungkin lain waktu. Sekarang sudah malam. Karena Seruni sudah sampai rumah dan saya sudah menjelaskan pada Pak Harun, saya pamit pulang, Pak,” sahut pria berkacamata itu.
“Terima kasih sudah mengantar anak saya, Pak,” ujar Harun.
“Sama-sama. Selamat malam dan selamat beristirahat, Pak.” Catra kembali menyalami Harun sebelum beranjak dari rumah itu. Dia menutup pintu pagar sebelum menuju mobil yang terparkir di depan rumah orang tua Seruni. Catra pun menekan klakson sekali saat akan meninggalkan rumah tersebut.
“Benar itu bosmu? Bukan pacar barumu?” tanya Harun saat mobil Catra sudah pergi.
“Bapak ga percaya kalau Pak Catra itu bosku?” Seruni malah balik bertanya pada sang bapak.
“Bapak ‘kan cuma tanya. Kalau benar dia bosmu, berarti orangnya baik. Mau ngantar kamu pulang karena kemalaman,” sahut Harun.
“Pak Catra memang baik, Pak. Makanya aku betah kerja di sana. Aku ke kamar dulu ya, Pak,” pamit Seruni sebelum Harun banyak bertanya soal Catra.
***
“Seruni, sudah kamu hubungi konsumen yang semalam?” tanya Catra saat melewati meja salah satu anak buahnya itu.
Seruni yang paham dengan apa yang dimaksud Catra langsung mengangguk. “Sudah, Pak. Mereka jadi minta bertemu siang ini,” jawabnya.
“Kamu sudah minta alamatnya ‘kan?” tanya Catra lagi untuk meyakinkan anggota tim pemasaran lainnya.
“Sudah, Pak. Sudah dikasih juga map-nya,” timpal Seruni.
“Sip. Kalau begitu kita nanti langsung ke sana,” ucap Catra sebelum masuk ke ruangannya.
“Semalam ramai ya stannya? Sampai ada yang mau di-follow up segala,” tanya salah satu rekan Seruni dalam tim pemasaran.
“Lumayanlah. Untung ada Pak Catra jadi aku ga kewalahan pas mereka minta diskon besar,” terang Seruni.
“Jadi nanti kamu perginya sama Pak Catra?” tanya orang itu lagi.
Seruni mengangguk. “Iya. Karena semalam Pak Catra yang melayani orang itu. Biar nanti kalau deal dan minta diskon bisa langsung bicara sama Pak Catra. Aku ‘kan ga berani memutuskan memberi diskon di luar ketentuan.”
“Iya juga sih. Semoga closing ya, biar jadi penglaris pameran kita,” lontar orang yang tadi.
“Aamiin,” sahut Seruni.
Saat memasuki jam makan siang, Catra keluar dari ruangannya. Di ruang divisi pemasaran sudah tak banyak orang. Hanya ada Seruni dan satu orang lainnya. Anggota tim yang lain ada yang mendapat jadwal berjaga pameran, ada juga yang bertemu dengan konsumen, atau mem-follow up orang yang berminat dengan properti yang mereka tawarkan.
Divisi pemasaran adalah divisi yang paling jarang berada di kantor. Mereka pasti datang pagi untuk absen setelah itu bisa pergi untuk menyebarkan brosur, janji temu dengan orang, atau melakukan hal lain yang berkaitan dengan pekerjaan. Bila tidak ada pekerjaan ke luar, mereka berdiam di kantor. Membuat laporan atau membuat daftar orang yang harus di-follow up.
“Seruni, ayo kita berangkat.” Catra sudah membawa ransel dan kunci mobil.
“Saya bereskan meja saya sebentar, Pak,” jawab Seruni yang tadi sedang memasang iklan di situs penjualan properti.
“Kalau begitu aku tunggu di mobil ya,” sahut Catra.
“Mobilnya parkir di mana, Pak?” lontar Seruni yang memang tidak tahu di mana atasannya itu biasa memarkirkan kendaraannya.
“Aku tunggu di lobi saja kalau begitu,” putus Catra daripada harus menerangkan di mana mobilnya berada.
“Ya, Pak. Secepatnya saya ke lobi.” Seruni gegas menutup laptop lalu memasukkannya ke ransel. Tak lupa dia membawa brosur, kartu nama, dan notes di dalam tas. Setelah berpamitan dengan temannya, Seruni ke luar dari ruangan divisi pemasaran.
Begitu Seruni tiba di lobi, Catra langsung mengajak bawahannya itu menuju tempat parkir mobilnya.
“Kamu mau makan siang di mana? Restoran biasa atau yang di hotel?” tanya Catra saat kendaraannya mulai melaju meninggalkan perusahaan.
Seruni seketika menoleh pada Catra. “Pak Catra mau mengajak saya makan di sana? Kenapa tidak di warung makan biasa saja, Pak?” cecarnya.“Kita pasti ga akan nyaman ngobrol kalau di warung makan biasa. Orang lain bisa dengar apa yang kita bicarakan. Gimana kalau di hotel saja biar lebih privat?” sahut Catra.Netra Seruni sontak membola. “Apa? Di hotel?” Dia sampai berteriak karena terkejut.Catra mengangguk. “Iya, di hotel. Kamu pasti pernah pergi ke hotel sama mantan tunanganmu ‘kan?” Pria berkacamata itu mengerling sekilas ke samping kirinya.“Ba-bagaimana Pak Catra tahu?” Sekali lagi Seruni dibuat terkejut oleh atasannya itu.Catra tersenyum miring. “Mendengar sifat mantan tunanganmu, pasti dia sudah mengambil banyak hal dari kamu. Selain uang, perhatian, termasuk mungkin, maaf, mahkotamu.”Pria berkacamata itu lagi-lagi membuat Seruni terperanjat. Bagaimana Catra bisa tahu hal itu? Apa terlihat jelas kalau dia bukan lagi perawan?“Karena kamu diam, berarti apa yang aku katakan bena
“Run, aku lihat Mas Panca di hotel sama cewek,” ucap Intan dari seberang telepon.Seruni yang sedang bermalas-malasan di atas tempat tidur sontak bangun. Seketika badannya terasa dingin mendengar sang tunangan berada di hotel bersama wanita lain. “Kamu jangan bercanda, In,” sahutnya. Dalam hati dia berharap sahabatnya sejak SMA itu hanya bercanda dan menggodanya.“Buat apa aku bercanda, Run. Demi Allah aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri,” jelas Intan.Seruni merasakan jantungnya berdebar semakin kencang. “Memangnya kamu sekarang di mana kok bisa lihat Mas Panca di hotel?” tanyanya berusaha tetap tenang.“Aku lagi ngantar keponakanku berenang di hotel. Pas aku datang dia baru keluar dari restoran terus berjalan ke lift. Berarti dia menginap di sini ‘kan. Aku pikir tadi sama kamu, tapi setelah benar-benar aku perhatikan ternyata bukan kamu. Mana mereka rangkulan mesra banget, Run,” jawab Intan.“Memangnya kamu sudah putus sama Mas Panca?” tanyanya kemudian.Seruni menggeleng me
Intan dan Bagas menghentikan langkah mereka lalu membalikkan badan, memandang Seruni yang berjalan menghampiri mereka.“Aku ikut.” Ucapan Seruni membuat Intan menyunggingkan senyum. Gadis itu merasa lega akhirnya sang sahabat mau bertindak setelah dikhianati tunangannya. Ketiga orang itu kemudian menuju kamar Panca.“Siapa yang akan mengetuk pintu?” tanya Intan saat mereka berada di depan pintu kamar yang disewa Panca.“Aku saja karena ini masalahku,” sahut Seruni. Meskipun hatinya sakit dan jantungnya berdebar dengan kencang, dia berusaha menguatkan diri untuk menghadapi kenyataan yang ada. Seruni tidak mau terlihat lemah di depan pria yang sudah mengkhianati kesetiaannya selama ini.Ketukan pertama dan kedua sama sekali tidak diindahkan. Baru pada ketukan ketiga pintu kamar itu dibuka dari dalam. Panca yang penampilannya tidak keruan dan hanya mengenakan bokser sangat terkejut melihat sosok yang ada di depan pintu kamarnya.“Seruni,” ucapnya pelan. Wajahnya tampak pias seolah baru s
“Ayo ke ruanganku kalau kalian masih ingin bicara.” Bagas mengajak Intan dan Seruni setelah menyusul mereka di tangga darurat.“Terima kasih atas bantuannya, Mas, tapi saya mau pulang saja,” tolak Seruni.“Kamu yakin mau pulang, Run? Tidak menenangkan diri dulu. Khusus hari ini, aku akan temani kamu ke mana saja,” timpal Intan yang mengkhawatirkan keadaan mental sahabatnya.Seruni menggeleng. “Aku tidak mau ke mana-mana, In. Aku cuma mau pulang.”“Oke kalau itu maumu. Aku antar ya,” tawar Intan.Sekali lagi Seruni menggeleng. “Tidak usah. Aku bisa pulang sendiri. Aku masih ingat jalan pulang kok.” Dia tersenyum, lalu kembali berkata, “Kamu tenang saja, aku tidak akan melakukan hal bodoh hanya karena pengkhianatan Mas Panca.”“Tapi, Run.” Intan merasa keberatan dengan keputusan sahabatnya.“Kamu ke sini 'kan sama keponakanmu, In. Harusnya kamu juga pulang bersama mereka. Terima kasih ya atas bantuanmu hari ini,” ucap Seruni dengan tulus.“Silakan kalau mau pulang, tapi bukankah sebaikn
Seruni akhirnya mengikuti Catra keluar dari mobil. Mereka duduk bersisian di dalam warung pecel lele yang malam itu cukup ramai.“Kamu mau makan dan minum apa?” tanya Catra setelah duduk.“Ayam bakar sama jeruk panas, Pak,” jawab Seruni.“Nasinya uduk apa biasa?” tanya Catra lagi sambil menulis menu yang dipesan.“Sama kaya Pak Catra saja,” sahut Seruni.Setelah menulis makanan dan minuman yang dipesan, Catra menyerahkan nota pesanan pada salah satu karyawan pecel lele. Sambil menunggu pesanan datang, Catra mengajak Seruni berbicara agar tidak bosan. Dia sekaligus ingin mencari tahu masalah yang sedang dihadapi oleh salah satu bawahannya itu.“Seruni, sekarang kamu bisa ceritakan masalahmu. Santai saja, anggap aku ini temanmu,” pinta Catra sambil menyentuh tangan Seruni yang ada di atas meja.“Saya tidak punya masalah apa-apa, Pak,” sangkal Seruni seraya menarik tangan yang disentuh oleh Catra. Dia merasa tak nyaman dengan sentuhan tersebut. Namun pria berkacamata itu menahan tangan S