Seruni seketika menoleh pada Catra. “Pak Catra mau mengajak saya makan di sana? Kenapa tidak di warung makan biasa saja, Pak?” cecarnya.
“Kita pasti ga akan nyaman ngobrol kalau di warung makan biasa. Orang lain bisa dengar apa yang kita bicarakan. Gimana kalau di hotel saja biar lebih privat?” sahut Catra.
Netra Seruni sontak membola. “Apa? Di hotel?” Dia sampai berteriak karena terkejut.
Catra mengangguk. “Iya, di hotel. Kamu pasti pernah pergi ke hotel sama mantan tunanganmu ‘kan?” Pria berkacamata itu mengerling sekilas ke samping kirinya.
“Ba-bagaimana Pak Catra tahu?” Sekali lagi Seruni dibuat terkejut oleh atasannya itu.
Catra tersenyum miring. “Mendengar sifat mantan tunanganmu, pasti dia sudah mengambil banyak hal dari kamu. Selain uang, perhatian, termasuk mungkin, maaf, mahkotamu.”
Pria berkacamata itu lagi-lagi membuat Seruni terperanjat. Bagaimana Catra bisa tahu hal itu? Apa terlihat jelas kalau dia bukan lagi perawan?
“Karena kamu diam, berarti apa yang aku katakan benar ‘kan?” Catra menoleh pada Seruni saat mobil berhenti karena lampu lalu lintas menyala merah.
“Tidak usah malu, Seruni. Di zaman sekarang, hal kaya gitu sudah biasa. Wanita yang masih perawan saat menikah itu jadi hal yang langka. Gaya pacaran anak sekolah saat ini saja sudah sangat mengerikan. Mereka pacarannya sudah di hotel, tidak lagi di rumah, mal, nongkrong sama teman atau belajar bersama,” ujar Catra.
“Bagaimana Pak Catra tahu kalau saya sudah tidak gadis lagi?” Seruni memberanikan diri bertanya pada pria yang memegang kemudi itu.
Catra tersenyum. “Aku tadi hanya menebak. Aku ingat kamu mau menuruti apa pun yang mantan tunanganmu inginkan. Jadi kemungkinan besar kamu pun mau menyerahkan mahkotamu.”
“Saya memang bodoh ya, Pak. Mau saja dimanfaatkan sama mantan tunangan saya itu.” Seruni menunduk sambil memainkan jemarinya.
Catra menggeleng. “Tidak bodoh hanya terlalu cinta.”
“Ya itu, saya jadi bodoh karena cinta, Pak. Hanya karena dia bilang serius dan mau menikahi saya, terus saya mau menyerahkan segalanya,” tukas Seruni yang menyesalkan sikapnya dahulu.
“Kita jadi makan siang di mana ini? Keasyikan ngobrol jadi lupa tujuan awal.” Catra mengalihkan pembicaraan karena mereka sudah semakin jauh dari perusahaan.
“Terserah Pak Catra saja, saya ikut,” sahut Seruni.
“Oh ya, di mana kantor mantan tunanganmu?” tanya Catra.
“Kenapa Pak Catra mau tahu kantornya?” tanya Seruni setelah menyebutkan alamat kantor Panca.
“Tiba-tiba aku dapat ide bagus. Kita makan siang di dekat kantornya saja. Tempatnya tidak jauh dari sini,” jawab Catra tanpa menjelaskan lebih lanjut.
“Kalau boleh tahu apa idenya, Pak?” Seruni menoleh ke samping kanannya.
“Kita bersikap seperti orang pacaran di sana. Pasti mantan tunanganmu jadi panas melihat kamu dengan pria lain,” jelas Catra.
“Oh ya, apa kamu tahu di mana biasanya dia makan?” Pria berkacamata itu kembali bertanya.
Seruni menggeleng. “Saya tidak tahu, Pak. Ya, kemungkinan di dekat-dekat sana soalnya ga ada kantin di kantornya.”
“Oke, mari coba peruntungan kita hari ini. Semoga saja keputusanku tidak salah,” cakap Catra.
Pria itu kemudian menghentikan kendaraannya di sebuah rumah makan yang cukup ramai pengunjungnya yang terletak di samping kantor Panca.
“Jangan turun dulu. Aku nanti yang akan buka pintu mobil buatmu. Selama di sini, kamu cukup ikuti apa yang aku lakukan. Jangan protes. Oke!” pesan Catra sebelum membuka pintu dan turun dari mobil.
“Iya, Pak,” sahut Seruni yang merasa sangat gugup. Jantungnya tiba-tiba berdebar kencang dan tangannya berkeringat.
“Ayo turun,” titah Catra setelah dia membukakan pintu mobil untuk Seruni.
Wanita berusia 25 tahun itu pun keluar dari kendaraan berwarna putih tersebut. Catra langsung menggandeng tangan Seruni setelah menutup pintu mobil. Dia mengajak bawahannya itu masuk ke rumah makan tersebut.
Pria berkacamata itu mengedarkan pandangan. Mencari tempat duduk yang masih kosong. Begitu pula Seruni. Namun tanpa diduga pandangannya malah bertemu dengan Panca, mantan tunangannya, yang duduk di salah satu kursi di dalam rumah makan. Wanita itu gegas mengalihkan pandangan dan seolah tidak melihat sosok Panca.
Tepat saat itu ada dua pengunjung yang berdiri karena sudah selesai makan. Catra lalu mengajak Seruni duduk di kursi yang baru saja kosong itu.
“Pak, saya duduk menghadap luar saja. Ada mantan tunangan saya di sini. Saya tidak mau melihat wajahnya.” Seruni berbisik pada Catra saat mereka berjalan menuju kursi yang kosong.
“Oke. Kamu tenang saja. Tetap bersikap biasa,” sahut Catra.
Pria berkacamata itu memanggil pelayan untuk membersihkan meja yang akan mereka tempati. Setelah mejanya bersih, Catra menarik kursi untuk Seruni, baru kemudian dia duduk berhadapan dengan bawahannya itu.
“Pesan saja apa pun yang kamu mau,” ucap Catra saat menyerahkan buku menu pada wanita yang rambut panjangnya dikuncir ekor kuda itu.
Seruni mengangguk lantas membaca buku menu. Tak lama kemudian dia menyebutkan makanan dan minuman yang diinginkan. Setelah itu baru Catra yang menentukan pilihan. Usai memanggil pelayan dan menyerahkan kertas pesanan, pria berkacamata itu kembali fokus pada Seruni.
“Letakkan tanganmu di atas meja,” pinta Catra. Pria itu mulai menunjukkan sikap mesra.
Seruni pun menurut. Tangannya yang di atas meja kemudian digenggam oleh Catra. Meskipun merasa terkejut, wanita itu tak melayangkan protes.
“Bersikaplah tenang. Anggap saja kita sedang pacaran. Jangan pedulikan orang-orang di sekitar,” titah Catra.
“Mantan tunanganmu duduk di sebelah mana?” Catra bertanya sambil menunjukkan senyum manisnya.
“Kalau tidak salah di meja pojok kanan, Pak. Dia pakai kemeja cokelat yang ada garisnya,” jawab Seruni.
“Pantas sejak tadi aku merasa ingin menoleh ke sana, ternyata mantan tunanganmu terus memandang ke sini,” ungkap Catra setelah pura-pura melihat sekeliling tapi sebenarnya ingin mengetahui sosok mantan kekasih bawahannya.
“Serius, Pak?” tanya Seruni pelan.
Catra mengangguk. “Kita sudah berhasil memancing reaksinya. Terlihat sekali dia merasa terganggu karena kamu ada di sini. Entah dia merasa cemburu atau marah melihat kita.”
“Kemungkinan besar marah, Pak. Mana mungkin dia cemburu. Saya baru sadar kalau selama ini dia tidak pernah menyatakan cinta pada saya,” ujar Seruni.
“Terus gimana kalian bisa pacaran kalau dia tidak pernah bilang cinta?” Catra merasa penasaran.
“Saya juga tidak tahu, Pak, tiba-tiba saja kami pacaran. Dia intens mendekati saya, terus kami sering ngobrol dan jalan bareng. Saya merasa nyaman sama dia. Ya gitu saja, sampai akhirnya kami tunangan dan merencanakan pernikahan. Tapi Pak Catra tahu sendiri akhirnya bagaimana,” terang Seruni.
“Semakin ke sini, kamu semakin tahu ‘kan bagaimana sifat aslinya. Pria seperti dia tidak layak untuk ditangisi. Sudah saatnya kamu move on dan mencari pria yang jauh lebih baik dari dia.” Catra mengelus tangan Seruni yang ada di genggamannya.
“Seruni, kamu sengaja ya makan di sini untuk memanas-manasi aku?” Panca tiba-tiba sudah berdiri di samping meja Seruni dan Catra.
“Run, aku lihat Mas Panca di hotel sama cewek,” ucap Intan dari seberang telepon.Seruni yang sedang bermalas-malasan di atas tempat tidur sontak bangun. Seketika badannya terasa dingin mendengar sang tunangan berada di hotel bersama wanita lain. “Kamu jangan bercanda, In,” sahutnya. Dalam hati dia berharap sahabatnya sejak SMA itu hanya bercanda dan menggodanya.“Buat apa aku bercanda, Run. Demi Allah aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri,” jelas Intan.Seruni merasakan jantungnya berdebar semakin kencang. “Memangnya kamu sekarang di mana kok bisa lihat Mas Panca di hotel?” tanyanya berusaha tetap tenang.“Aku lagi ngantar keponakanku berenang di hotel. Pas aku datang dia baru keluar dari restoran terus berjalan ke lift. Berarti dia menginap di sini ‘kan. Aku pikir tadi sama kamu, tapi setelah benar-benar aku perhatikan ternyata bukan kamu. Mana mereka rangkulan mesra banget, Run,” jawab Intan.“Memangnya kamu sudah putus sama Mas Panca?” tanyanya kemudian.Seruni menggeleng me
Intan dan Bagas menghentikan langkah mereka lalu membalikkan badan, memandang Seruni yang berjalan menghampiri mereka.“Aku ikut.” Ucapan Seruni membuat Intan menyunggingkan senyum. Gadis itu merasa lega akhirnya sang sahabat mau bertindak setelah dikhianati tunangannya. Ketiga orang itu kemudian menuju kamar Panca.“Siapa yang akan mengetuk pintu?” tanya Intan saat mereka berada di depan pintu kamar yang disewa Panca.“Aku saja karena ini masalahku,” sahut Seruni. Meskipun hatinya sakit dan jantungnya berdebar dengan kencang, dia berusaha menguatkan diri untuk menghadapi kenyataan yang ada. Seruni tidak mau terlihat lemah di depan pria yang sudah mengkhianati kesetiaannya selama ini.Ketukan pertama dan kedua sama sekali tidak diindahkan. Baru pada ketukan ketiga pintu kamar itu dibuka dari dalam. Panca yang penampilannya tidak keruan dan hanya mengenakan bokser sangat terkejut melihat sosok yang ada di depan pintu kamarnya.“Seruni,” ucapnya pelan. Wajahnya tampak pias seolah baru s
“Ayo ke ruanganku kalau kalian masih ingin bicara.” Bagas mengajak Intan dan Seruni setelah menyusul mereka di tangga darurat.“Terima kasih atas bantuannya, Mas, tapi saya mau pulang saja,” tolak Seruni.“Kamu yakin mau pulang, Run? Tidak menenangkan diri dulu. Khusus hari ini, aku akan temani kamu ke mana saja,” timpal Intan yang mengkhawatirkan keadaan mental sahabatnya.Seruni menggeleng. “Aku tidak mau ke mana-mana, In. Aku cuma mau pulang.”“Oke kalau itu maumu. Aku antar ya,” tawar Intan.Sekali lagi Seruni menggeleng. “Tidak usah. Aku bisa pulang sendiri. Aku masih ingat jalan pulang kok.” Dia tersenyum, lalu kembali berkata, “Kamu tenang saja, aku tidak akan melakukan hal bodoh hanya karena pengkhianatan Mas Panca.”“Tapi, Run.” Intan merasa keberatan dengan keputusan sahabatnya.“Kamu ke sini 'kan sama keponakanmu, In. Harusnya kamu juga pulang bersama mereka. Terima kasih ya atas bantuanmu hari ini,” ucap Seruni dengan tulus.“Silakan kalau mau pulang, tapi bukankah sebaikn
Seruni akhirnya mengikuti Catra keluar dari mobil. Mereka duduk bersisian di dalam warung pecel lele yang malam itu cukup ramai.“Kamu mau makan dan minum apa?” tanya Catra setelah duduk.“Ayam bakar sama jeruk panas, Pak,” jawab Seruni.“Nasinya uduk apa biasa?” tanya Catra lagi sambil menulis menu yang dipesan.“Sama kaya Pak Catra saja,” sahut Seruni.Setelah menulis makanan dan minuman yang dipesan, Catra menyerahkan nota pesanan pada salah satu karyawan pecel lele. Sambil menunggu pesanan datang, Catra mengajak Seruni berbicara agar tidak bosan. Dia sekaligus ingin mencari tahu masalah yang sedang dihadapi oleh salah satu bawahannya itu.“Seruni, sekarang kamu bisa ceritakan masalahmu. Santai saja, anggap aku ini temanmu,” pinta Catra sambil menyentuh tangan Seruni yang ada di atas meja.“Saya tidak punya masalah apa-apa, Pak,” sangkal Seruni seraya menarik tangan yang disentuh oleh Catra. Dia merasa tak nyaman dengan sentuhan tersebut. Namun pria berkacamata itu menahan tangan S
Seruni menggeleng. “Bukannya saya tidak mau, Pak. Tapi saya tidak enak dengan teman-teman yang lain. Masa cuma saya yang makan siang dengan Pak Catra,” ungkapnya.Pria berkacamata itu tersenyum. “Kamu tenang saja. Besok aku cari alasan biar kita bisa keluar bersama.”“Apa tidak akan jadi masalah, Pak?” Seruni merasa ragu dengan apa yang akan atasannya itu lakukan.Catra menggeleng. “Kenapa harus jadi masalah? Tinggal bilang saja mau follow up konsumen yang hari ini datang. Janji ketemu besok siang di rumah atau kantornya. Selesai ‘kan masalahnya,” ucapnya dengan enteng.“Wah Pak Catra hebat, langsung bisa menemukan alasan yang tepat.” Seruni mengacungkan dua jempol pada atasannya. Merasa kagum pada pria berkacamata itu.Catra pun tertawa kecil mendapat pujian dari bawahannya itu.“Terima kasih atas tumpangannya, Pak,” ucap Seruni kala mobil Catra sudah tiba di depan rumah orang tuanya.“Sama-sama,” sahut Catra sambil melepas sabuk pengamannya.Melihat apa yang dilakukan oleh sang atas