Seruni seketika menoleh pada Catra. “Pak Catra mau mengajak saya makan di sana? Kenapa tidak di warung makan biasa saja, Pak?” cecarnya.
“Kita pasti ga akan nyaman ngobrol kalau di warung makan biasa. Orang lain bisa dengar apa yang kita bicarakan. Gimana kalau di hotel saja biar lebih privat?” sahut Catra.
Netra Seruni sontak membola. “Apa? Di hotel?” Dia sampai berteriak karena terkejut.
Catra mengangguk. “Iya, di hotel. Kamu pasti pernah pergi ke hotel sama mantan tunanganmu ‘kan?” Pria berkacamata itu mengerling sekilas ke samping kirinya.
“Ba-bagaimana Pak Catra tahu?” Sekali lagi Seruni dibuat terkejut oleh atasannya itu.
Catra tersenyum miring. “Mendengar sifat mantan tunanganmu, pasti dia sudah mengambil banyak hal dari kamu. Selain uang, perhatian, termasuk mungkin, maaf, mahkotamu.”
Pria berkacamata itu lagi-lagi membuat Seruni terperanjat. Bagaimana Catra bisa tahu hal itu? Apa terlihat jelas kalau dia bukan lagi perawan?
“Karena kamu diam, berarti apa yang aku katakan benar ‘kan?” Catra menoleh pada Seruni saat mobil berhenti karena lampu lalu lintas menyala merah.
“Tidak usah malu, Seruni. Di zaman sekarang, hal kaya gitu sudah biasa. Wanita yang masih perawan saat menikah itu jadi hal yang langka. Gaya pacaran anak sekolah saat ini saja sudah sangat mengerikan. Mereka pacarannya sudah di hotel, tidak lagi di rumah, mal, nongkrong sama teman atau belajar bersama,” ujar Catra.
“Bagaimana Pak Catra tahu kalau saya sudah tidak gadis lagi?” Seruni memberanikan diri bertanya pada pria yang memegang kemudi itu.
Catra tersenyum. “Aku tadi hanya menebak. Aku ingat kamu mau menuruti apa pun yang mantan tunanganmu inginkan. Jadi kemungkinan besar kamu pun mau menyerahkan mahkotamu.”
“Saya memang bodoh ya, Pak. Mau saja dimanfaatkan sama mantan tunangan saya itu.” Seruni menunduk sambil memainkan jemarinya.
Catra menggeleng. “Tidak bodoh hanya terlalu cinta.”
“Ya itu, saya jadi bodoh karena cinta, Pak. Hanya karena dia bilang serius dan mau menikahi saya, terus saya mau menyerahkan segalanya,” tukas Seruni yang menyesalkan sikapnya dahulu.
“Kita jadi makan siang di mana ini? Keasyikan ngobrol jadi lupa tujuan awal.” Catra mengalihkan pembicaraan karena mereka sudah semakin jauh dari perusahaan.
“Terserah Pak Catra saja, saya ikut,” sahut Seruni.
“Oh ya, di mana kantor mantan tunanganmu?” tanya Catra.
“Kenapa Pak Catra mau tahu kantornya?” tanya Seruni setelah menyebutkan alamat kantor Panca.
“Tiba-tiba aku dapat ide bagus. Kita makan siang di dekat kantornya saja. Tempatnya tidak jauh dari sini,” jawab Catra tanpa menjelaskan lebih lanjut.
“Kalau boleh tahu apa idenya, Pak?” Seruni menoleh ke samping kanannya.
“Kita bersikap seperti orang pacaran di sana. Pasti mantan tunanganmu jadi panas melihat kamu dengan pria lain,” jelas Catra.
“Oh ya, apa kamu tahu di mana biasanya dia makan?” Pria berkacamata itu kembali bertanya.
Seruni menggeleng. “Saya tidak tahu, Pak. Ya, kemungkinan di dekat-dekat sana soalnya ga ada kantin di kantornya.”
“Oke, mari coba peruntungan kita hari ini. Semoga saja keputusanku tidak salah,” cakap Catra.
Pria itu kemudian menghentikan kendaraannya di sebuah rumah makan yang cukup ramai pengunjungnya yang terletak di samping kantor Panca.
“Jangan turun dulu. Aku nanti yang akan buka pintu mobil buatmu. Selama di sini, kamu cukup ikuti apa yang aku lakukan. Jangan protes. Oke!” pesan Catra sebelum membuka pintu dan turun dari mobil.
“Iya, Pak,” sahut Seruni yang merasa sangat gugup. Jantungnya tiba-tiba berdebar kencang dan tangannya berkeringat.
“Ayo turun,” titah Catra setelah dia membukakan pintu mobil untuk Seruni.
Wanita berusia 25 tahun itu pun keluar dari kendaraan berwarna putih tersebut. Catra langsung menggandeng tangan Seruni setelah menutup pintu mobil. Dia mengajak bawahannya itu masuk ke rumah makan tersebut.
Pria berkacamata itu mengedarkan pandangan. Mencari tempat duduk yang masih kosong. Begitu pula Seruni. Namun tanpa diduga pandangannya malah bertemu dengan Panca, mantan tunangannya, yang duduk di salah satu kursi di dalam rumah makan. Wanita itu gegas mengalihkan pandangan dan seolah tidak melihat sosok Panca.
Tepat saat itu ada dua pengunjung yang berdiri karena sudah selesai makan. Catra lalu mengajak Seruni duduk di kursi yang baru saja kosong itu.
“Pak, saya duduk menghadap luar saja. Ada mantan tunangan saya di sini. Saya tidak mau melihat wajahnya.” Seruni berbisik pada Catra saat mereka berjalan menuju kursi yang kosong.
“Oke. Kamu tenang saja. Tetap bersikap biasa,” sahut Catra.
Pria berkacamata itu memanggil pelayan untuk membersihkan meja yang akan mereka tempati. Setelah mejanya bersih, Catra menarik kursi untuk Seruni, baru kemudian dia duduk berhadapan dengan bawahannya itu.
“Pesan saja apa pun yang kamu mau,” ucap Catra saat menyerahkan buku menu pada wanita yang rambut panjangnya dikuncir ekor kuda itu.
Seruni mengangguk lantas membaca buku menu. Tak lama kemudian dia menyebutkan makanan dan minuman yang diinginkan. Setelah itu baru Catra yang menentukan pilihan. Usai memanggil pelayan dan menyerahkan kertas pesanan, pria berkacamata itu kembali fokus pada Seruni.
“Letakkan tanganmu di atas meja,” pinta Catra. Pria itu mulai menunjukkan sikap mesra.
Seruni pun menurut. Tangannya yang di atas meja kemudian digenggam oleh Catra. Meskipun merasa terkejut, wanita itu tak melayangkan protes.
“Bersikaplah tenang. Anggap saja kita sedang pacaran. Jangan pedulikan orang-orang di sekitar,” titah Catra.
“Mantan tunanganmu duduk di sebelah mana?” Catra bertanya sambil menunjukkan senyum manisnya.
“Kalau tidak salah di meja pojok kanan, Pak. Dia pakai kemeja cokelat yang ada garisnya,” jawab Seruni.
“Pantas sejak tadi aku merasa ingin menoleh ke sana, ternyata mantan tunanganmu terus memandang ke sini,” ungkap Catra setelah pura-pura melihat sekeliling tapi sebenarnya ingin mengetahui sosok mantan kekasih bawahannya.
“Serius, Pak?” tanya Seruni pelan.
Catra mengangguk. “Kita sudah berhasil memancing reaksinya. Terlihat sekali dia merasa terganggu karena kamu ada di sini. Entah dia merasa cemburu atau marah melihat kita.”
“Kemungkinan besar marah, Pak. Mana mungkin dia cemburu. Saya baru sadar kalau selama ini dia tidak pernah menyatakan cinta pada saya,” ujar Seruni.
“Terus gimana kalian bisa pacaran kalau dia tidak pernah bilang cinta?” Catra merasa penasaran.
“Saya juga tidak tahu, Pak, tiba-tiba saja kami pacaran. Dia intens mendekati saya, terus kami sering ngobrol dan jalan bareng. Saya merasa nyaman sama dia. Ya gitu saja, sampai akhirnya kami tunangan dan merencanakan pernikahan. Tapi Pak Catra tahu sendiri akhirnya bagaimana,” terang Seruni.
“Semakin ke sini, kamu semakin tahu ‘kan bagaimana sifat aslinya. Pria seperti dia tidak layak untuk ditangisi. Sudah saatnya kamu move on dan mencari pria yang jauh lebih baik dari dia.” Catra mengelus tangan Seruni yang ada di genggamannya.
“Seruni, kamu sengaja ya makan di sini untuk memanas-manasi aku?” Panca tiba-tiba sudah berdiri di samping meja Seruni dan Catra.
Seruni dan Catra seketika menoleh ke arah Panca. Keduanya tak dapat menyembunyikan keterkejutan mereka. Sungguh hal itu sama sekali tak diduga.Catra kemudian berdiri. Manajer pemasaran itu terlihat lebih tinggi dari Panca saat mereka berdiri berhadapan."Maaf, Anda siapa? Kenapa tiba-tiba marah pada kekasih saya?" cecar Catra yang berperan dengan sangat baik sebagai kekasih Seruni.Panca membelalakkan mata begitu mendengar ucapan Catra. Dia hampir tidak percaya dengan apa yang didengarnya sampai harus bertanya untuk memastikan. "Apa? Seruni kekasih Anda?"Catra mengangguk. "Ya, benar. Seruni adalah kekasih saya. Kenapa? Anda bermasalah dengan hal itu?"Panca gegas menggeleng. "Sudah berapa lama Anda pacaran dengan dia?" Pria itu sekilas melirik pada mantan tunangan yang tampak semakin cantik saja di matanya."Itu privasi kami. Anda tidak berhak tahu," sahut Catra dengan tenang. Pria berkacamata itu sama sekali tidak tampak grogi menghadapi
"Seruni, balas dendam pertamamu sudah berhasil," ucap Catra saat Panca sudah pergi meninggalkan rumah makan."Terima kasih atas bantuannya, Pak," sahut Seruni dengan mata berbinar-binar. Rasa sakit hati yang dirasakan akibat pengkhianatan Panca setidaknya sedikit terbayar melihat mantan tunangannya itu mati kutu di hadapan Catra.Memang pria mok0ndo seperti Panca harus mendapat balasan yang setimpal karena biasanya punya banyak k0rban. Mengatasnamakan cinta di atas perbuatan yang dilarang agama dan juga norma. Memanfaatkan kep0losan seorang wanita demi mendapatkan apa yang diinginkan."Kamu pasti senang 'kan melihat mantan tunanganmu kelimpungan seperti tadi?" Catra menatap Seruni yang wajahnya berubah ceria setelah sebelumnya sempat tegang.Seruni mengangguk. "Tentu saja saya senang, Pak. Baru kali ini saya lihat dia tidak berkutik seperti tadi. Sekali lagi terima kasih, Pak."Catra tersenyum. "Senang boleh, tapi jangan lupa makan biar tetap kuat
Sabtu malam, Seruni pergi makan malam dengan Catra. Malam ini dandanannya berbeda dari biasanya. Dia mengenakan sheat dress atau gaun terusan pas badan yang menunjukkan lekuk tubuhnya. Gaun selutut warna putih dan tanpa lengan itu membuat Seruni tampak semakin menarik. Agar tidak terlalu terbuka dia menambahkan blazer selutut dengan warna senada.Seruni memakai high heels dan tas tangan warna putih untuk melengkapi penampilannya. Riasan wajah yang biasanya natural, sekarang tampak lebih mencolok tapi tidak terlihat berlebihan. Rambut panjang yang tadi sudah dicatok, dibiarkan terurai begitu saja.Sebelum pergi, dia memastikan lagi penampilannya di depan cermin kamar. Setelah yakin tampilannya sudah paripurna, wanita berusia 25 tahun itu pun keluar dari kamar.Seruni sangat terkejut saat melihat Catra duduk di ruang tamu dan sedang mengobrol dengan bapaknya. “Pak Catra, kok di sini?” Dia refleks bertanya begitu bertatapan dengan atasannya itu.
“Selamat malam. Selamat datang, Tuan dan Nyonya,” sapa seorang resepsionis restoran yang menyambut kedatangan mereka dengan ramah.“Selamat malam juga. Terima kasih,” sahut Catra.“Meja untuk berapa orang, Tuan?” tanya resepsionis tersebut.“Saya kemarin sudah reservasi atas nama Seruni Jayanti,” jawab Seruni.“Mohon ditunggu sebentar, saya cek terlebih dahulu.” Resepsionis itu kemudian membuka tablet yang dipegangnya. “Mari saya antar ke meja Tuan dan Nyonya,” ucapnya setelah mengecek daftar tamu yang sudah melakukan reservasi.Catra dan Seruni kemudian mengikuti resepsionis itu. Tanpa Catra duga, mereka diantar ke sebuah ruangan. Ternyata Seruni memesan ruang privat untuk mereka makan malam.“Silakan duduk, Tuan dan Nyonya,” cakap wanita yang mengenakan setelan blazer itu.Catra menarik kursi lalu meminta Seruni duduk di sana. Setelah itu dia baru du
Catra tersenyum kecut. “Bercerai itu tidak mudah, Seruni. Apalagi kami dijodohkan. Pasti orang tua kami akan menentang dengan keras. Istriku juga telihat enjoy saja menjalani pernikahan yang tidak jelas ini. Aku tidak tahu apa sebenarnya mau dia dan akan dibawa ke mana pernikahan kami?” Pria berkacamata itu menghela napas panjang.Pembicaraan keduanya terhenti karena ketukan di pintu. Dua orang pramusaji kemudian masuk ke ruang privat itu untuk menghidangkan minuman dan makanan pesanan mereka.“Silakan dinikmati. Semoga Pak Catra suka cita rasa hidangannya,” ucap Seruni setelah kedua pramusaji keluar.“Ayo kita makan,” sahut Catra kemudian. Mereka pun mulai menyantap hidangan.“Maaf ya, malam ini kamu malah mendengar masalah rumah tanggaku,” lontar Catra di sela makan malam.Seruni tersenyum. “Tidak apa-apa, Pak. Mungkin dengan bercerita, beban Pak Catra jadi lebih ringan,” sahutnya.“Entah kenapa aku menceritakan semuanya sama kamu? Aku yang terlalu percaya kalau kamu tidak akan membo
Seruni terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk. Kalau dipikir-pikir, dia sebenarnya juga butuh hiburan. Sudah cukup lama wanita itu tidak bersenang-senang. Jadi Seruni memutuskan meneriwa tawaran Catra.“Saya nanti tetap diantar pulang ‘kan, Pak?” tanyanya kemudian.Catra menoleh dengan senyum di wajahnya. “Tentu saja. Memangnya kamu mau menginap di unitku? Kalau mau ya gapapa. Kita bisa nonton film sampai pagi,” timpalnya.“Saya ‘kan hanya pamit untuk makan malam kantor, bukan acara gathering atau pelatihan yang mengharuskan menginap, Pak. Jadi saya harus pulang malam ini meskipun sudah larut,” lontar Seruni.“Kalau begitu lain waktu kita agendakan nonton film sampai pagi. Aku akan carikan alasannya. Bagaimana?” cetus Catra.“Lihat nanti saja, Pak,” sahut wanita bergaun putih itu.“Bagaimana kalau kita ke apartemenku sekarang? Biar kamu pulangnya tidak terlalu malam,” usul pria berkacamata itu.Seruni mengangguk. Dia lantas meminta dibawakan tagihan dan mesin EDC mela
Seruni terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk. Kalau dipikir-pikir, dia sebenarnya juga butuh hiburan. Sudah cukup lama wanita itu tidak bersenang-senang. Jadi Seruni memutuskan meneriwa tawaran Catra.“Saya nanti tetap diantar pulang ‘kan, Pak?” tanyanya kemudian.Catra menoleh dengan senyum di wajahnya. “Tentu saja. Memangnya kamu mau menginap di unitku? Kalau mau ya gapapa. Kita bisa nonton film sampai pagi,” timpalnya.“Saya ‘kan hanya pamit untuk makan malam kantor, bukan acara gathering atau pelatihan yang mengharuskan menginap, Pak. Jadi saya harus pulang malam ini meskipun sudah larut,” lontar Seruni.“Kalau begitu lain waktu kita agendakan nonton film sampai pagi. Aku akan carikan alasannya. Bagaimana?” cetus Catra.“Lihat nanti saja, Pak,” sahut wanita bergaun putih itu.“Bagaimana kalau kita ke apartemenku sekarang? Biar kamu pulangnya
Seruni tak menjawab, dia malah balas memandang Catra hingga keduanya seolah bicara lewat tatapan mata. Membuat pria itu kembali mencium bibir sang wanita. Mereka pun saling memagut selama beberapa saat hingga Catra menjauhkan diri.“Seruni, tolong jawab pertanyaanku tadi,” pinta Catra sambil memegang pipi bawahannya itu.“Apa itu sangat penting buat Pak Catra?” tanya Seruni dengan ekspresi malas.Catra mengangguk. “Kita sudah sejauh ini, aku tidak mau dianggap mengambil keuntungan atau mempermainkan kamu. Kalau status kita jelas, aku akan lebih lega.”Seruni menghela napas panjang. Dia menyingkirkan tangan Catra yang ada di pipinya lantas memandang langit-langit unit tersebut. “Saya pikir Pak Catra mengerti kalau saya trauma dengan cinta dan segala ikatannya. Untuk saat ini saya tidak ingin memikirkan apa pun. Saya hanya ingin menjalani apa yang saya sukai tanpa harus ada cinta atau ikatan. Saya sudah lelah dengan
Runi terkesiap mendengar pertanyaan Bagas. Dia tidak menduga manajer hotel itu akan menanyakan hal itu padanya. "Maksud Mas Bagas pacarku?" Bagas menggeleng. "Ga harus pacar, siapa pun yang sekarang sedang dekat denganmu."Seruni diam sejenak sebelum menanggapi Bagas. "Aku ga punya pacar, Mas. Aku ga mau berkomitmen lagi, Mas. Aku trauma dikhianati," akunya."Maaf karena sudah mengingatkanmu pada hal yang menyakitkan." Bagas jadi merasa bersalah. Seruni tersenyum ke arah Bagas. "Tidak ada yang perlu dimaafkan karena Mas Bagas tidak salah," ucapnya.Setelah itu tak ada lagi yang berbicara. Hening menguasai saat mobil Bagas melaju dengan kecepatan sedang. Seruni yang duduk di samping Bagas, memilih menatap keluar jendela, sementara manajer hotel itu fokus mengendarai mobil sambil sesekali melirik ke samping kirinya."Runi, kamu marah sama aku?" tanya Bagas tiba-tiba. Memecah kesunyian di antara mereka.Seruni menoleh dengan kening mengerut. "Marah? Enggak kok. Memangnya aku kelihatan
Seruni menatap Intan lekat. Dia seolah bertanya pada sahabatnya itu lewat tatapan mata, apakah mau menemani Bagas mencari sepatu atau pulang saja seperti niat mereka sebelumnya. Intan memandang Bagas dengan senyum menyeringai. "Nanti kita dapat apa kalau nemenin Mas Bagas?" Dia tidak mau kalau tidak mendapatkan apa-apa dari kakak sepupunya itu. "Kalian bisa beli apa pun yang kalian mau. Sepatu, tas, baju, atau apa saja terserah," timpal Bagas dengan santai. Dia terus menampakkan senyum di wajah tampannya. Intan mengangguk. "Oke kalau begitu. Ayo, kita temani Mas Bagas, Run," ucapnya dengan penuh antusias. Ketiga orang itu akhirnya masuk ke salah satu toko yang menjual sepatu impor. Bagas melihat-lihat model sepatu olahraga, tapi tak ada yang cocok di hatinya. Mereka pun masuk dan keluar toko beberapa kali karena lagi-lagi Bagas belum menemukan yang sesuai keinginannya. "Mas, sebenarnya model kaya apa sih yang pengen dibeli. Masa sudah lima toko kita masuki tapi belum ada yan
Seruni menutup matanya sambil menghela napas panjang. “Aku tahu, In, tapi aku ga bisa berhenti begitu saja. Jujur, aku nyaman saat bersama dia. Baru kali ini aku merasa dihargai.”"Apa dia pernah menyatakan cinta dan bilang mau berpisah dengan istrinya kalau kamu menerimanya?" tanya Intan dengan nada sinis.Seruni mengangguk. "Pernah. Tapi aku ga mau, In. Aku ga mau jatuh cinta dan berkomitmen lagi. Aku benar-benar trauma."“Terus hubunganmu sama dia itu apa kalau tidak ada komitmen, Run?” desak Intan yang merasa gemas pada sahabatnya.“Kami tidak ada komitmen apa pun, In. Hanya saling memberi kenyamanan satu sama lain,” aku Seruni.Intan membelalakkan mata mendengar pengakuan sahabatnya. Dia tak percaya sahabatnya yang dulu sangat lugu, benar-benar berubah 180 derajat dalam waktu sebentar. Tak bertemu dua bulan saja, Intan sudah merasa asing dengan perubahan Seruni.“Jadi hubungan kalian tanpa status?” tanya Intan memastikan.Seruni mengangguk. “Iya, In. Aku sudah trauma dikhianati.
Pertanyaan Intan sontak membuat Seruni terkejut. Bukannya bercerita tentang keseharian mereka malah menanyakan pria yang sudah mengkhianati cintanya. Namun dia juga bisa mengerti kenapa sahabatnya itu bertanya, mengingat betapa hancur hatinya saat mengetahui perselingkuhan sang mantan tunangan. Dan setelah peristiwa tersebut, baru hari ini mereka bertemu.Seruni mengulum senyum. “Buang-buang waktu dan energi saja kalau aku tidak langsung move on dari dia, In. Buat apa mengingat-ingat pria yang sudah mengkhianati cinta tulus kita,” tukasnya.Intan tampak menghela napas lega. “Syukurlah kalau kamu sudah move on. Apa itu berarti sekarang kamu lagi dekat sama seseorang?” tanyanya sambil menatap san
Intan tertawa mendengar pertanyaan kakak sepupunya. “Normalnya ‘kan orang itu sukanya sama yang sebaya atau yang selisih umurnya tidak banyak, bukan sama anak kecil, Mas. Udah kaya pedo—” Belum sempat gadis itu menyelesaikan kalimatnya, Bagas sudah menyela.“Heh, aku pria normal ya. Aku bukan pria seperti yang ada di pikiranmu itu.” Bagas dengan cepat meluruskan pemikiran sang adik sepupu yang mengira dia punya kelainan s3ksual karena suka dengan Seruni yang selisih umurnya delapan tahun lebih muda darinya.Intan kembali tertawa. “Iya, aku percaya Mas Bagas pria yang normal, kalau ga normal pasti udah jadi tulang lunak.” Gadis itu malah makin meledek sang kakak sepupu.
Seruni menyadari perubahan sikap Catra jadi dia harus bisa bersikap bijak agar tidak membuat pria yang sudah banyak membantunya itu tidak tersinggung atau sakit hati. “Kalau memang benar apa yang Pak Catra katakan tadi, saya tidak peduli. Saya tidak kenal dekat dengan Mas Bagas, kami juga baru dua kali bertemu,” ucapnya.“Berulang kali sudah saya katakan kalau saya tidak percaya lagi pada cinta dan komitmen. Jadi tidak mungkin saya menerima cintanya atau pria mana pun. Kita yang sudah sedekat ini dan melakukan hubungan yang sudah melampaui batas saja, tetap tidak ada komitmen 'kan?” sambung Seruni.“Banyaknya luka dan sakit yang sayang rasakan, membuat saya tidak mau membuka hati lagi. Bi
Petang itu, Catra mengajak Seruni mandi bersama. Tentu saja keduanya tak hanya mandi, tapi juga menyatukan diri. Mereka tak ubahnya pasangan pengantin baru yang sedang dimabuk cinta dan mencoba berbagai gaya dan tempat untuk memadu cinta.Usai mandi, Seruni mengeringkan rambut dengan hair dryer yang tadi dibeli. Kini dia bisa menata rambut karena sudah ada bermacam sisir. Mau membentuk rambut dengan model apa pun, dia bisa. Sesudah itu Seruni merias diri dengan kosmetik yang tadi juga dibelikan oleh Catra.Catra mengisi waktunya dengan melihat semua pergerakan Seruni. Matanya seolah tak mau lepas sedetik pun dari wanita itu. Seruni sudah benar-benar menguasai dirinya.
Kening Catra mengerut mendengar pertanyaan Seruni. “Kamu tidak mau melakukannya?” Dia tak dapat menyembunyikan rasa kecewanya. Tatapan matanya tampak sangat terluka.Namun tak lama kemudian Seruni tertawa kecil. “Tentu saja saya mau memasangkan cincin. Maaf, tadi saya sengaja menggoda Pak Catra,” akunya.Catra pun menghela napas lega. Senyum di wajahnya kemudian mengembang sempurna. “Kamu sudah berani ya sekarang menggodaku. Awas saja nanti aku beri hukuman. Sekarang pasang cincinnya.” Dia mengulurkan tangan kanannya pada Seruni.Wanita yang menutupi tubuhnya dengan selimut itu kemudian ba
Catra menggeleng. “Buat apa? Tidak ada gunanya.”“Apa Pak Catra tidak merasa dikhianati?” Seruni semakin penasaran.Pria berkacamata itu diam sejenak. “Harga diriku jelas terluka, tapi aku tak mau ambil pusing dan mempermasalahkan soal itu. Toh kami sama-sama tidak saling mencintai. Untuk apa terus bertahan dalam pernikahan palsu itu,” ujarnya.“Tapi sebelum ini bahkan Pak Catra tidak mau bercerai karena tidak mudah dan akan mendapat tentangan dari orang tua. Kenapa sekarang berubah pikiran?” pancing Seruni.Catra tersenyum manis pada wanita yang sudah mencuri hatinya itu. “Semua kulakukan karena kamu. Andai kita tidak seperti sekarang, mungkin aku juga tidak akan berpikir untuk bercerai. Tapi karena sekarang ada wanita yang harus aku perjuangkan cintanya, maka aku harus secepatnya mengakhiri pernikahan yang tidak sehat itu,” ungkapnya.“Saya jadi pihak ketiga dong, Pak,” lonta