Share

Bab 6

Seruni seketika menoleh pada Catra. “Pak Catra mau mengajak saya makan di sana? Kenapa tidak di warung makan biasa saja, Pak?” cecarnya.

“Kita pasti ga akan nyaman ngobrol kalau di warung makan biasa. Orang lain bisa dengar apa yang kita bicarakan. Gimana kalau di hotel saja biar lebih privat?” sahut Catra.

Netra Seruni sontak membola. “Apa? Di hotel?” Dia sampai berteriak karena terkejut.

Catra mengangguk. “Iya, di hotel. Kamu pasti pernah pergi ke hotel sama mantan tunanganmu ‘kan?” Pria berkacamata itu mengerling sekilas ke samping kirinya.

“Ba-bagaimana Pak Catra tahu?” Sekali lagi Seruni dibuat terkejut oleh atasannya itu.

Catra tersenyum miring. “Mendengar sifat mantan tunanganmu, pasti dia sudah mengambil banyak hal dari kamu. Selain uang, perhatian, termasuk mungkin, maaf, mahkotamu.”

Pria berkacamata itu lagi-lagi membuat Seruni terperanjat. Bagaimana Catra bisa tahu hal itu? Apa terlihat jelas kalau dia bukan lagi perawan?

“Karena kamu diam, berarti apa yang aku katakan benar ‘kan?” Catra menoleh pada Seruni saat mobil berhenti karena lampu lalu lintas menyala merah.

“Tidak usah malu, Seruni. Di zaman sekarang, hal kaya gitu sudah biasa. Wanita yang masih perawan saat menikah itu jadi hal yang langka. Gaya pacaran anak sekolah saat ini saja sudah sangat mengerikan. Mereka pacarannya sudah di hotel, tidak lagi di rumah, mal, nongkrong sama teman atau belajar bersama,” ujar Catra.

“Bagaimana Pak Catra tahu kalau saya sudah tidak gadis lagi?” Seruni memberanikan diri bertanya pada pria yang memegang kemudi itu.

Catra tersenyum. “Aku tadi hanya menebak. Aku ingat kamu mau menuruti apa pun yang mantan tunanganmu inginkan. Jadi kemungkinan besar kamu pun mau menyerahkan mahkotamu.”

“Saya memang bodoh ya, Pak. Mau saja dimanfaatkan sama mantan tunangan saya itu.” Seruni menunduk sambil memainkan jemarinya.

Catra menggeleng. “Tidak bodoh hanya terlalu cinta.”

“Ya itu, saya jadi bodoh karena cinta, Pak. Hanya karena dia bilang serius dan mau menikahi saya, terus saya mau menyerahkan segalanya,” tukas Seruni yang menyesalkan sikapnya dahulu.

“Kita jadi makan siang di mana ini? Keasyikan ngobrol jadi lupa tujuan awal.” Catra mengalihkan pembicaraan karena mereka sudah semakin jauh dari perusahaan.

“Terserah Pak Catra saja, saya ikut,” sahut Seruni.

“Oh ya, di mana kantor mantan tunanganmu?” tanya Catra.

“Kenapa Pak Catra mau tahu kantornya?” tanya Seruni setelah menyebutkan alamat kantor Panca.

“Tiba-tiba aku dapat ide bagus. Kita makan siang di dekat kantornya saja. Tempatnya tidak jauh dari sini,” jawab Catra tanpa menjelaskan lebih lanjut.

“Kalau boleh tahu apa idenya, Pak?” Seruni menoleh ke samping kanannya.

“Kita bersikap seperti orang pacaran di sana. Pasti mantan tunanganmu jadi panas melihat kamu dengan pria lain,” jelas Catra.

“Oh ya, apa kamu tahu di mana biasanya dia makan?” Pria berkacamata itu kembali bertanya.

Seruni menggeleng. “Saya tidak tahu, Pak. Ya, kemungkinan di dekat-dekat sana soalnya ga ada kantin di kantornya.”

“Oke, mari coba peruntungan kita hari ini. Semoga saja keputusanku tidak salah,” cakap Catra.

Pria itu kemudian menghentikan kendaraannya di sebuah rumah makan yang cukup ramai pengunjungnya yang terletak di samping kantor Panca.

“Jangan turun dulu. Aku nanti yang akan buka pintu mobil buatmu. Selama di sini, kamu cukup ikuti apa yang aku lakukan. Jangan protes. Oke!” pesan Catra sebelum membuka pintu dan turun dari mobil.

“Iya, Pak,” sahut Seruni yang merasa sangat gugup. Jantungnya tiba-tiba berdebar kencang dan tangannya berkeringat.

“Ayo turun,” titah Catra setelah dia membukakan pintu mobil untuk Seruni.

Wanita berusia 25 tahun itu pun keluar dari kendaraan berwarna putih tersebut. Catra langsung menggandeng tangan Seruni setelah menutup pintu mobil. Dia mengajak bawahannya itu masuk ke rumah makan tersebut.

Pria berkacamata itu mengedarkan pandangan. Mencari tempat duduk yang masih kosong. Begitu pula Seruni. Namun tanpa diduga pandangannya malah bertemu dengan Panca, mantan tunangannya, yang duduk di salah satu kursi di dalam rumah makan. Wanita itu gegas mengalihkan pandangan dan seolah tidak melihat sosok Panca.

Tepat saat itu ada dua pengunjung yang berdiri karena sudah selesai makan. Catra lalu mengajak Seruni duduk di kursi yang baru saja kosong itu.

“Pak, saya duduk menghadap luar saja. Ada mantan tunangan saya di sini. Saya tidak mau melihat wajahnya.” Seruni berbisik pada Catra saat mereka berjalan menuju kursi yang kosong.

“Oke. Kamu tenang saja. Tetap bersikap biasa,” sahut Catra.

Pria berkacamata itu memanggil pelayan untuk membersihkan meja yang akan mereka tempati. Setelah mejanya bersih, Catra menarik kursi untuk Seruni, baru kemudian dia duduk berhadapan dengan bawahannya itu.

“Pesan saja apa pun yang kamu mau,” ucap Catra saat menyerahkan buku menu pada wanita yang rambut panjangnya dikuncir ekor kuda itu.

Seruni mengangguk lantas membaca buku menu. Tak lama kemudian dia menyebutkan makanan dan minuman yang diinginkan. Setelah itu baru Catra yang menentukan pilihan. Usai memanggil pelayan dan menyerahkan kertas pesanan, pria berkacamata itu kembali fokus pada Seruni.

“Letakkan tanganmu di atas meja,” pinta Catra. Pria itu mulai menunjukkan sikap mesra.

Seruni pun menurut. Tangannya yang di atas meja kemudian digenggam oleh Catra. Meskipun merasa terkejut, wanita itu tak melayangkan protes.

“Bersikaplah tenang. Anggap saja kita sedang pacaran. Jangan pedulikan orang-orang di sekitar,” titah Catra.

“Mantan tunanganmu duduk di sebelah mana?” Catra bertanya sambil menunjukkan senyum manisnya.

“Kalau tidak salah di meja pojok kanan, Pak. Dia pakai kemeja cokelat yang ada garisnya,” jawab Seruni.

“Pantas sejak tadi aku merasa ingin menoleh ke sana, ternyata mantan tunanganmu terus memandang ke sini,” ungkap Catra setelah pura-pura melihat sekeliling tapi sebenarnya ingin mengetahui sosok mantan kekasih bawahannya.

“Serius, Pak?” tanya Seruni pelan.

Catra mengangguk. “Kita sudah berhasil memancing reaksinya. Terlihat sekali dia merasa terganggu karena kamu ada di sini. Entah dia merasa cemburu atau marah melihat kita.”

“Kemungkinan besar marah, Pak. Mana mungkin dia cemburu. Saya baru sadar kalau selama ini dia tidak pernah menyatakan cinta pada saya,” ujar Seruni.

“Terus gimana kalian bisa pacaran kalau dia tidak pernah bilang cinta?” Catra merasa penasaran.

“Saya juga tidak tahu, Pak, tiba-tiba saja kami pacaran. Dia intens mendekati saya, terus kami sering ngobrol dan jalan bareng. Saya merasa nyaman sama dia. Ya gitu saja, sampai akhirnya kami tunangan dan merencanakan pernikahan. Tapi Pak Catra tahu sendiri akhirnya bagaimana,” terang Seruni.

“Semakin ke sini, kamu semakin tahu ‘kan bagaimana sifat aslinya. Pria seperti dia tidak layak untuk ditangisi. Sudah saatnya kamu move on dan mencari pria yang jauh lebih baik dari dia.” Catra mengelus tangan Seruni yang ada di genggamannya.

“Seruni, kamu sengaja ya makan di sini untuk memanas-manasi aku?” Panca tiba-tiba sudah berdiri di samping meja Seruni dan Catra.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status