"Seruni, balas dendam pertamamu sudah berhasil," ucap Catra saat Panca sudah pergi meninggalkan rumah makan.
"Terima kasih atas bantuannya, Pak," sahut Seruni dengan mata berbinar-binar. Rasa sakit hati yang dirasakan akibat pengkhianatan Panca setidaknya sedikit terbayar melihat mantan tunangannya itu mati kutu di hadapan Catra.
Memang pria mok0ndo seperti Panca harus mendapat balasan yang setimpal karena biasanya punya banyak k0rban. Mengatasnamakan cinta di atas perbuatan yang dilarang agama dan juga norma. Memanfaatkan kep0losan seorang wanita demi mendapatkan apa yang diinginkan.
"Kamu pasti senang 'kan melihat mantan tunanganmu kelimpungan seperti tadi?" Catra menatap Seruni yang wajahnya berubah ceria setelah sebelumnya sempat tegang.
Seruni mengangguk. "Tentu saja saya senang, Pak. Baru kali ini saya lihat dia tidak berkutik seperti tadi. Sekali lagi terima kasih, Pak."
Catra tersenyum. "Senang boleh, tapi jangan lupa makan biar tetap kuat menghadapi mantan," sahutnya.
"Mari, Pak." Seruni mulai mengambil makanan yang sudah ada di hadapan mereka.
Atasan dan bawahan itu pun menikmati makan siang sambil terus mengobrol. Meskipun sudah tidak ada Panca di sana, Catra tetap bersikap manis pada Seruni. Pria itu bahkan mengusap sudut bibir Seruni saat melihat ada noda saos di sana. Membuat Seruni jadi malu dan salah tingkah.
Usai makan siang, mereka pergi ke rumah pengunjung yang semalam datang ke pameran. Menindaklanjuti ketertarikan pengunjung tersebut dengan properti yang mereka tawarkan.
***
"Wah, kamu hebat sudah closing satu," puji Catra kala mereka dalam perjalanan ke kantor.
"Itu semua juga berkat Pak Catra yang membantu saya memberikan diskon tambahan," sahut Seruni merendah.
"Bukan. Itu semua karena kamu berhasil meyakinkan mereka. Aku hanya sedikit membantu," timpal Catra.
"Nah, kinerjamu seperti ini yang aku inginkan, hasilnya jadi maksimal 'kan? Tidak seperti waktu kamu baru patah hati kemarin. Sekarang sudah tidak galau lagi 'kan," sambung pria berkacamata itu.
"Semua karena kebaikan Pak Catra. Kalau Pak Catra tidak membantu saya, entah apa bisa secepat ini saya bisa kembali ceria," ujar wanita berusia 25 tahun itu.
Catra tertawa kecil. "Sudah jadi tugasku sebagai atasan membantu bawahan yang sedang kesulitan. Tidak perlu memujiku seperti itu."
"Saya tidak berlebihan, Pak. Memang kenyataannya seperti itu. Saya banyak berutang budi sama Bapak. Entah bagaimana saya membalasnya," ucap Seruni sungguh-sungguh.
"Sebenarnya kamu bekerja dengan baik dan bisa closing itu sudah membuatku senang," ungkap Catra.
"Beda, Pak. Itu 'kan memang tanggung jawab saya sebagai anggota tim marketing,"
"Kalau begitu kapan-kapan kamu traktir aku makan, gimana?" seloroh Catra.
"Boleh, Pak. Tapi tunggu bonus saya turun ya. Nanti biar saya bisa traktir Pak Catra makan di tempat yang enak dan bagus," timpal Seruni.
"Terserah kamu saja. Padahal aku ditraktir bakso juga gapapa," tukas Catra.
"Duh, saya yang malu kalau cuma bakso, Pak. Kaya saya ga menghargai kebaikan Pak Catra kalau begitu," tandas Seruni.
Catra tersenyum simpul. Entah kenapa dia senang melihat Seruni yang kembali ceria.
Sejak saat itu Catra dan Seruni menjadi lebih dekat. Mereka sering keluar bersama untuk makan siang atau mem-follow up konsumen yang tertarik pada properti yang mereka tawarkan.
Pameran di mal beberapa waktu yang lalu berhasil mendapatkan banyak pembeli. Karena itu Catra mengajak seluruh tim marketing makan dan karaoke bersama setelah pulang kerja. Mereka melepas lelah dengan bernyanyi bersama.
Saking asyiknya menyanyi, mereka sampai lupa waktu. Rombongan tim marketing itu baru pulang saat jam menunjukkan pukul 10.00 malam. Karena sudah malam, Catra mengantar pulang Seruni dan dua orang lainnya yang tidak membawa kendaraan. Sebagai atasan, pria berkacamata itu tidak tega membiarkan ketiga wanita tersebut pulang dengan ojol.
Catra mengantar dua orang tadi terlebih dahulu karena rumah mereka lebih dekat dari Seruni.
"Kamu sudah bilang orang tuamu kalau pulang telat?" tanya Catra setelah berdua dengan Seruni di mobil.
"Sudah. Pak Catra, tidak perlu khawatir," jawab Seruni sambil menoleh pada atasannya.
"Syukurlah, tapi nanti aku akan tetap jelaskan sama orang tuamu," ujar Catra.
"Tidak juga tidak apa-apa, tapi terserah Pak Catra saja," timpal Seruni.
"Aku tetap harus mengantarmu sampai masuk ke rumah dan bertemu orang tuamu. Itu salah satu bentuk sopan santun," cetus Catra.
"Pak, bonus saya 'kan sudah keluar. Kapan kira-kira Pak Catra ada waktu untuk saya traktir makan?" lontar Seruni.
"Malam Minggu besok gimana?" sahut Catra.
"Memangnya Pak Catra tidak pergi sama Ibu? Biasanya kalau sudah berkeluarga, akhir pekan waktunya bersama keluarga, Pak," ujar Seruni.
Pria berusia 35 tahun itu menghela napas panjang. "Istriku sibuk, tidak ada waktu. Dia lebih memilih bekerja atau berkumpul dengan teman-temannya. Bisa dibilang kami jarang menghabiskan waktu bersama."
"Maaf, Pak. Saya tidak tahu." Seruni merasa tak enak hati mendengar pengakuan sang atasan.
Catra tersenyum tipis. "Tidak apa-apa. Selama ini aku memang tak pernah bercerita soal keluargaku. Wajar kalau kamu tidak tahu."
"Apa berarti selama ini Pak Catra tidak bahagia?" tanya Seruni.
"Tidak juga. Bahagia itu tergantung dari bagaimana kita menikmati hidup. Kalau aku hanya meratapi nasib, ya tidak akan bahagia," jawab Catra.
"Pak Catra hebat bisa tetap bahagia." Seruni mengacungkan dua jempol, memuji atasannya.
Pria berkacamata itu tertawa kecil. "Kamu berlebihan. Masih banyak orang yang lebih hebat. Mereka bisa bahagia, tetap tertawa, dan bersyukur meskipun hidup dalam keadaan yang serba terbatas. Aku hanya diuji dengan rumah tangga, itu tak seberapa dibandingkan dengan masalah mereka."
"Bagi saya, Pak Catra tetap hebat. Kalau saya mungkin tidak akan bisa seperti Bapak yang tetap ceria dan bekerja dengan baik," timpal Seruni.
Catra kembali tertawa. "Itu 'kan hanya yang terlihat, aslinya kamu tidak tahu. Apa yang kita rasakan dan alami tidak perlu semua orang tahu. Cukup kita saja yang tahu biar orang-orang menganggap kita baik-baik saja."
"Sepertinya saya harus lebih banyak belajar pada Pak Catra bagaimana menghadapi kerasnya hidup agar tetap tersenyum dan tertawa meskipun hati terluka," lontar Seruni.
"Ada bayarannya loh kalau mau belajar," seloroh Catra.
"Wah, gitu ya. Jangan mahal-mahal lho biayanya. Nanti saya tidak kuat bayarnya." Seruni menanggapinya juga dengan bercanda.
Catra menoleh ke samping kirinya seraya tersenyum manis. Entah bagaimana, tangan kirinya tiba-tiba terulur lantas mengelus kepala Seruni.
Wanita berusia 25 tahun itu terkesiap begitu mendapat sentuhan di kepalanya. Dia diam dan tak melayangkan protes karena merasa nyaman dan dilindungi. Baru kali ini Seruni merasakan hal tersebut meskipun sudah beberapa kali berpacaran.
"Maaf," ucap Catra yang baru menyadari apa yang dilakukannya. Dia pun gegas menarik tangannya.
"Tidak apa-apa, Pak," sahut Seruni dengan wajah tersipu.
Sabtu malam, Seruni pergi makan malam dengan Catra. Malam ini dandanannya berbeda dari biasanya. Dia mengenakan sheat dress atau gaun terusan pas badan yang menunjukkan lekuk tubuhnya. Gaun selutut warna putih dan tanpa lengan itu membuat Seruni tampak semakin menarik. Agar tidak terlalu terbuka dia menambahkan blazer selutut dengan warna senada.Seruni memakai high heels dan tas tangan warna putih untuk melengkapi penampilannya. Riasan wajah yang biasanya natural, sekarang tampak lebih mencolok tapi tidak terlihat berlebihan. Rambut panjang yang tadi sudah dicatok, dibiarkan terurai begitu saja.Sebelum pergi, dia memastikan lagi penampilannya di depan cermin kamar. Setelah yakin tampilannya sudah paripurna, wanita berusia 25 tahun itu pun keluar dari kamar.Seruni sangat terkejut saat melihat Catra duduk di ruang tamu dan sedang mengobrol dengan bapaknya. “Pak Catra, kok di sini?” Dia refleks bertanya begitu bertatapan dengan atasannya itu.
“Selamat malam. Selamat datang, Tuan dan Nyonya,” sapa seorang resepsionis restoran yang menyambut kedatangan mereka dengan ramah.“Selamat malam juga. Terima kasih,” sahut Catra.“Meja untuk berapa orang, Tuan?” tanya resepsionis tersebut.“Saya kemarin sudah reservasi atas nama Seruni Jayanti,” jawab Seruni.“Mohon ditunggu sebentar, saya cek terlebih dahulu.” Resepsionis itu kemudian membuka tablet yang dipegangnya. “Mari saya antar ke meja Tuan dan Nyonya,” ucapnya setelah mengecek daftar tamu yang sudah melakukan reservasi.Catra dan Seruni kemudian mengikuti resepsionis itu. Tanpa Catra duga, mereka diantar ke sebuah ruangan. Ternyata Seruni memesan ruang privat untuk mereka makan malam.“Silakan duduk, Tuan dan Nyonya,” cakap wanita yang mengenakan setelan blazer itu.Catra menarik kursi lalu meminta Seruni duduk di sana. Setelah itu dia baru du
Catra tersenyum kecut. “Bercerai itu tidak mudah, Seruni. Apalagi kami dijodohkan. Pasti orang tua kami akan menentang dengan keras. Istriku juga telihat enjoy saja menjalani pernikahan yang tidak jelas ini. Aku tidak tahu apa sebenarnya mau dia dan akan dibawa ke mana pernikahan kami?” Pria berkacamata itu menghela napas panjang.Pembicaraan keduanya terhenti karena ketukan di pintu. Dua orang pramusaji kemudian masuk ke ruang privat itu untuk menghidangkan minuman dan makanan pesanan mereka.“Silakan dinikmati. Semoga Pak Catra suka cita rasa hidangannya,” ucap Seruni setelah kedua pramusaji keluar.“Ayo kita makan,” sahut Catra kemudian. Mereka pun mulai menyantap hidangan.“Maaf ya, malam ini kamu malah mendengar masalah rumah tanggaku,” lontar Catra di sela makan malam.Seruni tersenyum. “Tidak apa-apa, Pak. Mungkin dengan bercerita, beban Pak Catra jadi lebih ringan,” sahutnya.“Entah kenapa aku menceritakan semuanya sama kamu? Aku yang terlalu percaya kalau kamu tidak akan membo
Seruni terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk. Kalau dipikir-pikir, dia sebenarnya juga butuh hiburan. Sudah cukup lama wanita itu tidak bersenang-senang. Jadi Seruni memutuskan meneriwa tawaran Catra.“Saya nanti tetap diantar pulang ‘kan, Pak?” tanyanya kemudian.Catra menoleh dengan senyum di wajahnya. “Tentu saja. Memangnya kamu mau menginap di unitku? Kalau mau ya gapapa. Kita bisa nonton film sampai pagi,” timpalnya.“Saya ‘kan hanya pamit untuk makan malam kantor, bukan acara gathering atau pelatihan yang mengharuskan menginap, Pak. Jadi saya harus pulang malam ini meskipun sudah larut,” lontar Seruni.“Kalau begitu lain waktu kita agendakan nonton film sampai pagi. Aku akan carikan alasannya. Bagaimana?” cetus Catra.“Lihat nanti saja, Pak,” sahut wanita bergaun putih itu.“Bagaimana kalau kita ke apartemenku sekarang? Biar kamu pulangnya tidak terlalu malam,” usul pria berkacamata itu.Seruni mengangguk. Dia lantas meminta dibawakan tagihan dan mesin EDC mela
Seruni terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk. Kalau dipikir-pikir, dia sebenarnya juga butuh hiburan. Sudah cukup lama wanita itu tidak bersenang-senang. Jadi Seruni memutuskan meneriwa tawaran Catra.“Saya nanti tetap diantar pulang ‘kan, Pak?” tanyanya kemudian.Catra menoleh dengan senyum di wajahnya. “Tentu saja. Memangnya kamu mau menginap di unitku? Kalau mau ya gapapa. Kita bisa nonton film sampai pagi,” timpalnya.“Saya ‘kan hanya pamit untuk makan malam kantor, bukan acara gathering atau pelatihan yang mengharuskan menginap, Pak. Jadi saya harus pulang malam ini meskipun sudah larut,” lontar Seruni.“Kalau begitu lain waktu kita agendakan nonton film sampai pagi. Aku akan carikan alasannya. Bagaimana?” cetus Catra.“Lihat nanti saja, Pak,” sahut wanita bergaun putih itu.“Bagaimana kalau kita ke apartemenku sekarang? Biar kamu pulangnya
Seruni tak menjawab, dia malah balas memandang Catra hingga keduanya seolah bicara lewat tatapan mata. Membuat pria itu kembali mencium bibir sang wanita. Mereka pun saling memagut selama beberapa saat hingga Catra menjauhkan diri.“Seruni, tolong jawab pertanyaanku tadi,” pinta Catra sambil memegang pipi bawahannya itu.“Apa itu sangat penting buat Pak Catra?” tanya Seruni dengan ekspresi malas.Catra mengangguk. “Kita sudah sejauh ini, aku tidak mau dianggap mengambil keuntungan atau mempermainkan kamu. Kalau status kita jelas, aku akan lebih lega.”Seruni menghela napas panjang. Dia menyingkirkan tangan Catra yang ada di pipinya lantas memandang langit-langit unit tersebut. “Saya pikir Pak Catra mengerti kalau saya trauma dengan cinta dan segala ikatannya. Untuk saat ini saya tidak ingin memikirkan apa pun. Saya hanya ingin menjalani apa yang saya sukai tanpa harus ada cinta atau ikatan. Saya sudah lelah dengan
Seruni mengedikkan bahu. “Saya juga tidak tahu. Saya hanya berjaga-jaga kalau bapak saya tahu status Pak Catra,” jawabnya.Catra tertawa kecil. Dia mencubit ujung hidung Seruni karena gemas. “Aku pikir kamu yang ngasih tahu. Aku sendiri tidak pernah bilang kalau sudah nikah. Lagian ga kelihatan juga karena aku tidak pakai cincin nikah. Jadi selama Pak Harun tidak tahu, sebaiknya tidak usah diberi tahu. Oke!”Seruni mengacungkan jempol sebagai tanggapan lalu lanjut merias wajahnya. “Kita pulang sekarang yuk, Pak,” ucapnya tak lama kemudian.“Sudah dandannya?” Catra memastikan sambil mengamati penampilan Seruni yang semakin terlihat cantik walau hanya menggunakan bedak dan lipstik.“Sudah, Pak. Kenapa? Apa saya kelihatan jelek?” Tiba-tiba Seruni merasa tidak percaya diri.Catra menggeleng. “Siapa bilang jelek? Kamu cantik kok. Sangat cantik malah,” timpalnya.Seruni jadi t
“Seruni!” panggil Catra. “Jangan tinggalin Mas dong, Sayang!” teriaknya.Seruni sontak membalikkan badan lagi. Dia batal pergi karena orang-orang yang mendengar teriakan Catra jadi memperhatikan mereka. Wanita itu kembali mengambil tas yang tadi diturunkan. “Pak Catra, apa-apaan sih?” protesnya dengan suara pelan. Takut orang-orang mendengar.Catra tersenyum karena berhasil membuat Seruni tidak jadi meninggalkannya. “Kenapa memangnya? Aku ‘kan mengatakan apa yang ingin aku katakan,” ucapnya tanpa rasa bersalah.“Tapi ga perlu teriak-teriak seperti itu, Pak,” tukas Seruni yang masih cemberut.“Kan biar kamu dengar! Kalau aku ngomongnya pelan pasti ga dengar.” Catra beralasan.“Daripada kita debat di sini dan jadi perhatian orang-orang, mendingan kita masuk ke sana dulu yuk.” Catra kembali mengajak Seruni masuk ke toko perhiasan.Tak ingin jadi pusat perh
Runi terkesiap mendengar pertanyaan Bagas. Dia tidak menduga manajer hotel itu akan menanyakan hal itu padanya. "Maksud Mas Bagas pacarku?" Bagas menggeleng. "Ga harus pacar, siapa pun yang sekarang sedang dekat denganmu."Seruni diam sejenak sebelum menanggapi Bagas. "Aku ga punya pacar, Mas. Aku ga mau berkomitmen lagi, Mas. Aku trauma dikhianati," akunya."Maaf karena sudah mengingatkanmu pada hal yang menyakitkan." Bagas jadi merasa bersalah. Seruni tersenyum ke arah Bagas. "Tidak ada yang perlu dimaafkan karena Mas Bagas tidak salah," ucapnya.Setelah itu tak ada lagi yang berbicara. Hening menguasai saat mobil Bagas melaju dengan kecepatan sedang. Seruni yang duduk di samping Bagas, memilih menatap keluar jendela, sementara manajer hotel itu fokus mengendarai mobil sambil sesekali melirik ke samping kirinya."Runi, kamu marah sama aku?" tanya Bagas tiba-tiba. Memecah kesunyian di antara mereka.Seruni menoleh dengan kening mengerut. "Marah? Enggak kok. Memangnya aku kelihatan
Seruni menatap Intan lekat. Dia seolah bertanya pada sahabatnya itu lewat tatapan mata, apakah mau menemani Bagas mencari sepatu atau pulang saja seperti niat mereka sebelumnya. Intan memandang Bagas dengan senyum menyeringai. "Nanti kita dapat apa kalau nemenin Mas Bagas?" Dia tidak mau kalau tidak mendapatkan apa-apa dari kakak sepupunya itu. "Kalian bisa beli apa pun yang kalian mau. Sepatu, tas, baju, atau apa saja terserah," timpal Bagas dengan santai. Dia terus menampakkan senyum di wajah tampannya. Intan mengangguk. "Oke kalau begitu. Ayo, kita temani Mas Bagas, Run," ucapnya dengan penuh antusias. Ketiga orang itu akhirnya masuk ke salah satu toko yang menjual sepatu impor. Bagas melihat-lihat model sepatu olahraga, tapi tak ada yang cocok di hatinya. Mereka pun masuk dan keluar toko beberapa kali karena lagi-lagi Bagas belum menemukan yang sesuai keinginannya. "Mas, sebenarnya model kaya apa sih yang pengen dibeli. Masa sudah lima toko kita masuki tapi belum ada yan
Seruni menutup matanya sambil menghela napas panjang. “Aku tahu, In, tapi aku ga bisa berhenti begitu saja. Jujur, aku nyaman saat bersama dia. Baru kali ini aku merasa dihargai.”"Apa dia pernah menyatakan cinta dan bilang mau berpisah dengan istrinya kalau kamu menerimanya?" tanya Intan dengan nada sinis.Seruni mengangguk. "Pernah. Tapi aku ga mau, In. Aku ga mau jatuh cinta dan berkomitmen lagi. Aku benar-benar trauma."“Terus hubunganmu sama dia itu apa kalau tidak ada komitmen, Run?” desak Intan yang merasa gemas pada sahabatnya.“Kami tidak ada komitmen apa pun, In. Hanya saling memberi kenyamanan satu sama lain,” aku Seruni.Intan membelalakkan mata mendengar pengakuan sahabatnya. Dia tak percaya sahabatnya yang dulu sangat lugu, benar-benar berubah 180 derajat dalam waktu sebentar. Tak bertemu dua bulan saja, Intan sudah merasa asing dengan perubahan Seruni.“Jadi hubungan kalian tanpa status?” tanya Intan memastikan.Seruni mengangguk. “Iya, In. Aku sudah trauma dikhianati.
Pertanyaan Intan sontak membuat Seruni terkejut. Bukannya bercerita tentang keseharian mereka malah menanyakan pria yang sudah mengkhianati cintanya. Namun dia juga bisa mengerti kenapa sahabatnya itu bertanya, mengingat betapa hancur hatinya saat mengetahui perselingkuhan sang mantan tunangan. Dan setelah peristiwa tersebut, baru hari ini mereka bertemu.Seruni mengulum senyum. “Buang-buang waktu dan energi saja kalau aku tidak langsung move on dari dia, In. Buat apa mengingat-ingat pria yang sudah mengkhianati cinta tulus kita,” tukasnya.Intan tampak menghela napas lega. “Syukurlah kalau kamu sudah move on. Apa itu berarti sekarang kamu lagi dekat sama seseorang?” tanyanya sambil menatap san
Intan tertawa mendengar pertanyaan kakak sepupunya. “Normalnya ‘kan orang itu sukanya sama yang sebaya atau yang selisih umurnya tidak banyak, bukan sama anak kecil, Mas. Udah kaya pedo—” Belum sempat gadis itu menyelesaikan kalimatnya, Bagas sudah menyela.“Heh, aku pria normal ya. Aku bukan pria seperti yang ada di pikiranmu itu.” Bagas dengan cepat meluruskan pemikiran sang adik sepupu yang mengira dia punya kelainan s3ksual karena suka dengan Seruni yang selisih umurnya delapan tahun lebih muda darinya.Intan kembali tertawa. “Iya, aku percaya Mas Bagas pria yang normal, kalau ga normal pasti udah jadi tulang lunak.” Gadis itu malah makin meledek sang kakak sepupu.
Seruni menyadari perubahan sikap Catra jadi dia harus bisa bersikap bijak agar tidak membuat pria yang sudah banyak membantunya itu tidak tersinggung atau sakit hati. “Kalau memang benar apa yang Pak Catra katakan tadi, saya tidak peduli. Saya tidak kenal dekat dengan Mas Bagas, kami juga baru dua kali bertemu,” ucapnya.“Berulang kali sudah saya katakan kalau saya tidak percaya lagi pada cinta dan komitmen. Jadi tidak mungkin saya menerima cintanya atau pria mana pun. Kita yang sudah sedekat ini dan melakukan hubungan yang sudah melampaui batas saja, tetap tidak ada komitmen 'kan?” sambung Seruni.“Banyaknya luka dan sakit yang sayang rasakan, membuat saya tidak mau membuka hati lagi. Bi
Petang itu, Catra mengajak Seruni mandi bersama. Tentu saja keduanya tak hanya mandi, tapi juga menyatukan diri. Mereka tak ubahnya pasangan pengantin baru yang sedang dimabuk cinta dan mencoba berbagai gaya dan tempat untuk memadu cinta.Usai mandi, Seruni mengeringkan rambut dengan hair dryer yang tadi dibeli. Kini dia bisa menata rambut karena sudah ada bermacam sisir. Mau membentuk rambut dengan model apa pun, dia bisa. Sesudah itu Seruni merias diri dengan kosmetik yang tadi juga dibelikan oleh Catra.Catra mengisi waktunya dengan melihat semua pergerakan Seruni. Matanya seolah tak mau lepas sedetik pun dari wanita itu. Seruni sudah benar-benar menguasai dirinya.
Kening Catra mengerut mendengar pertanyaan Seruni. “Kamu tidak mau melakukannya?” Dia tak dapat menyembunyikan rasa kecewanya. Tatapan matanya tampak sangat terluka.Namun tak lama kemudian Seruni tertawa kecil. “Tentu saja saya mau memasangkan cincin. Maaf, tadi saya sengaja menggoda Pak Catra,” akunya.Catra pun menghela napas lega. Senyum di wajahnya kemudian mengembang sempurna. “Kamu sudah berani ya sekarang menggodaku. Awas saja nanti aku beri hukuman. Sekarang pasang cincinnya.” Dia mengulurkan tangan kanannya pada Seruni.Wanita yang menutupi tubuhnya dengan selimut itu kemudian ba
Catra menggeleng. “Buat apa? Tidak ada gunanya.”“Apa Pak Catra tidak merasa dikhianati?” Seruni semakin penasaran.Pria berkacamata itu diam sejenak. “Harga diriku jelas terluka, tapi aku tak mau ambil pusing dan mempermasalahkan soal itu. Toh kami sama-sama tidak saling mencintai. Untuk apa terus bertahan dalam pernikahan palsu itu,” ujarnya.“Tapi sebelum ini bahkan Pak Catra tidak mau bercerai karena tidak mudah dan akan mendapat tentangan dari orang tua. Kenapa sekarang berubah pikiran?” pancing Seruni.Catra tersenyum manis pada wanita yang sudah mencuri hatinya itu. “Semua kulakukan karena kamu. Andai kita tidak seperti sekarang, mungkin aku juga tidak akan berpikir untuk bercerai. Tapi karena sekarang ada wanita yang harus aku perjuangkan cintanya, maka aku harus secepatnya mengakhiri pernikahan yang tidak sehat itu,” ungkapnya.“Saya jadi pihak ketiga dong, Pak,” lonta