Intan dan Bagas menghentikan langkah mereka lalu membalikkan badan, memandang Seruni yang berjalan menghampiri mereka.
“Aku ikut.” Ucapan Seruni membuat Intan menyunggingkan senyum. Gadis itu merasa lega akhirnya sang sahabat mau bertindak setelah dikhianati tunangannya. Ketiga orang itu kemudian menuju kamar Panca.
“Siapa yang akan mengetuk pintu?” tanya Intan saat mereka berada di depan pintu kamar yang disewa Panca.
“Aku saja karena ini masalahku,” sahut Seruni. Meskipun hatinya sakit dan jantungnya berdebar dengan kencang, dia berusaha menguatkan diri untuk menghadapi kenyataan yang ada. Seruni tidak mau terlihat lemah di depan pria yang sudah mengkhianati kesetiaannya selama ini.
Ketukan pertama dan kedua sama sekali tidak diindahkan. Baru pada ketukan ketiga pintu kamar itu dibuka dari dalam. Panca yang penampilannya tidak keruan dan hanya mengenakan bokser sangat terkejut melihat sosok yang ada di depan pintu kamarnya.
“Seruni,” ucapnya pelan. Wajahnya tampak pias seolah baru saja bertemu dengan makhluk tak kasat mata.
“Iya, Mas. Ini aku, Seruni,” sahut Seruni dengan senyuman dingin di wajahnya.
“Siapa, Sayang.” Terdengar suara manja seorang wanita dari dalam. Tak lama sesosok wanita yang mengenakan gaun tidur sepaha, bertali satu, dan berbahan satin putih, menampakkan diri. Rambutnya tak kalah berantakan dari Panca, yang secara tak langsung menunjukkan aktivitas yang baru saja mereka lakukan. Tampak beberapa bercak merah di leher dan dada keduanya.
“Mereka siapa, Sayang?” Wanita itu bergelayut dengan manja di lengan Panca. Namun pria itu hanya diam terpaku. Lidahnya terasa kelu. Dia seperti sedang makan buah simalakama.
“Hubungan kita cukup sampai di sini saja, Mas. Lupakan pertunangan dan rencana pernikahan kita. Semoga hubungan Mas Panca dan wanita itu langgeng. Permisi.” Setelah mengatakan itu Seruni berlalu dari depan kamar yang disewa Panca.
Dia berhasil menahan air mata yang sudah berdesakan ingin keluar saat ada di hadapan mantan tunangannya. Namun begitu melangkah menjauh, Seruni tak bisa menahannya lagi. Air mata terus keluar tanpa bisa dicegah. Meskipun begitu, dia tetap berusaha berjalan dengan tegak. Tak ingin terlihat lemah di mata Panca yang sudah membuat hatinya hancur lebur.
“Heh, dengar ya, Panca! Kamu pasti akan menyesal karena mengkhianati Seruni dan selingkuh sama perempuan gatel itu. Kamu sudah membuang berlian demi sebuah batu kali. Tunggu saja karmamu, Panca!” ucap Intan sebelum menyusul sahabatnya. Gadis itu sudah tak mengindahkan sopan santun karena langsung menyebut nama Panca tanpa embel-embel mas seperti biasanya.
Panca melepaskan tangan sang wanita dari lengannya begitu sadar apa yang sudah terjadi. Dia lantas keluar dari kamar. “Seruni, tunggu!”
Saat Panca akan mengejar Seruni, pria itu ditahan oleh Bagas yang masih berdiri di depan kamar tersebut. “Apa yang kamu lakukan hah? Lepaskan aku!” teriaknya.
“Lepaskan, Seruni! Dia berhak mendapatkan pria yang lebih baik dari Anda,” tukas Bagas.
“Kamu ini siapa berani melarangku? Hanya pegawai hotel saja belagu. Lepaskan aku atau akan aku adukan sama pimpinanmu!” ancam Panca yang frustrasi karena Seruni semakin jauh darinya.
“Silakan kalau mau mengadukan. Pasti nanti beritanya akan jadi viral. Apa Anda mau terkenal karena ketahuan sedang ngamar sama selingkuhan?” Ucapan Bagas pelan tapi terdengar mengintimidasi.
Mendengar hal tersebut Panca mengurungkan niatnya mengejar Seruni. Pria itu lantas berbalik masuk ke kamar lalu membanting pintu dengan keras.
Bagas tersenyum kemudian beranjak dari sana untuk menemui Seruni dan Intan.
***
“Siapa perempuan tadi?” tanya wanita bergaun seksi itu pada Panca.
“Bukan siapa-siapa,” jawab Panca sebelum menjatuhkan dirinya di sofa.
“Jangan bohong, Panca. Dia pasti pacarmu yang kamu bilang pasif dan sok suci itu ‘kan?” desak sang wanita.
Panca hanya menghela napas panjang, tidak menjawab pertanyaan wanita tersebut.
“Sepertinya kamu menyesal karena dia memutuskan hubungan kalian,” lontar wanita itu lagi.
Panca menatap tajam wanita itu. “Siapa bilang aku menyesal? Sama sekali tidak! Aku tadi hanya syok karena melihat dia di depan kamar kita. Siapa juga yang mau menikah sama perempuan naif seperti dia? Diajak enak-enak kok selalu nolak. Sudah jangan pikirkan dia lagi. Lebih baik kita lanjutkan saja kegiatan kita yang tertunda tadi.”
***
Intan memeluk sahabatnya di samping pintu tangga darurat. Seruni memang sengaja masuk ke sana agar tidak dilihat banyak orang saat menangis. Kalau masuk ke lift dan turun di lobi pasti akan menjadi pusat perhatian orang-orang. Untung saja otaknya masih bisa diajak bekerja sama jadi tidak mempermalukan diri sendiri di depan umum.
Ponsel Intan berdering, nama Bagas tampak di layar. Gegas gadis itu menjawab panggilan. “Halo, Mas.”
“Kalian di mana? Kok tidak ada di lobi?” tanya Bagas dari seberang telepon.
“Aku sama Seruni di tangga darurat, Mas,” jawab Intan.
“Oke. Aku ke sana. Tunggu ya.” Sebelum Intan menjawab, pria yang berprofesi sebagai manajer hotel itu langsung mengakhiri panggilan. Membuat Intan hanya bisa menghela napas pasrah.
“Sudah, Run. Jangan tangisi cowok berengsek kaya Panca itu. Masih banyak cowok lain yang jauh lebih baik dari dia.” Intan mengelus punggung sang sahabat.
“Aku ga menangisi Mas Panca, In. Tapi aku menangisi hidupku yang selalu tidak beruntung soal cinta. Apa memang aku ditakdirkan untuk selalu diselingkuhi? Padahal aku selalu setia sama pacar-pacarku.” Seruni mengungkapkan apa yang ada di pikirannya.
“Sstt, jangan bicara seperti itu! Kamu hanya belum menemukan orang yang tepat saja, Run. Percayalah suatu hari pasti ada pria yang benar-benar mencintaimu dengan tulus,” sahut Intan.
Seruni mengurai pelukan dengan Intan lalu menjauhkan diri. Dia menatap lekat gadis yang berdiri di hadapannya. “Tapi kapan itu, In?”
Intan terdiam karena dia pun tidak tahu kapan itu akan terjadi. Dia bukan Tuhan yang kuasa atas segala sesuatu. Dia hanya manusia biasa yang menjalani takdir dari Tuhannya.
“Kamu juga tidak tahu ‘kan?” Seruni mencebik.
“Aku bukan Tuhan, Run. Kalau aku tahu dan bisa menentukan takdirmu akan kubuat kamu langsung menemukan cinta sejatimu saat ini juga,” lontar Intan.
“Karena itu jangan sok tahu, In! Aku sudah lelah jatuh cinta dan setia. Aku selalu setia tetapi terus saja dikhianati. Aku juga tidak percaya lagi pada cinta. Omong kosong semuanya,” sergah Seruni yang tampak emosi.
“Run, kamu hanya belum bertemu jodohmu saja,” sanggah Intan.
Seruni tertawa sinis. “Jodoh? Oh aku hampir lupa. Entah bagaimana aku harus bilang sama bapak dan ibuku kalau pertunangan dan pernikahanku batal. Pria yang selama ini kuperjuangkan nyatanya malah memberikan luka terdalam. Mereka pasti akan menyalahkan aku karena tidak mendengar nasihat mereka. Entah apa yang akan terjadi setelah aku mengatakannya.”
“Mereka pasti akan mengerti dan tidak menyalahkanmu, Run. Kamu harusnya bersyukur sebelum menikah sudah ditunjukkan bagaimana sifat asli Panca. Coba kalau sudah nikah, pasti kamu akan bercerai dan menyandang status janda. Apalagi kalau punya anak, kamu akan jadi orang tua tunggal.” Intan coba menenangkan dan memberi sahabatnya pengertian.
“Mungkin aku tidak akan pernah menikah, In,” celetuk Seruni dengan wajah datar.
“Ayo ke ruanganku kalau kalian masih ingin bicara.” Bagas mengajak Intan dan Seruni setelah menyusul mereka di tangga darurat.“Terima kasih atas bantuannya, Mas, tapi saya mau pulang saja,” tolak Seruni.“Kamu yakin mau pulang, Run? Tidak menenangkan diri dulu. Khusus hari ini, aku akan temani kamu ke mana saja,” timpal Intan yang mengkhawatirkan keadaan mental sahabatnya.Seruni menggeleng. “Aku tidak mau ke mana-mana, In. Aku cuma mau pulang.”“Oke kalau itu maumu. Aku antar ya,” tawar Intan.Sekali lagi Seruni menggeleng. “Tidak usah. Aku bisa pulang sendiri. Aku masih ingat jalan pulang kok.” Dia tersenyum, lalu kembali berkata, “Kamu tenang saja, aku tidak akan melakukan hal bodoh hanya karena pengkhianatan Mas Panca.”“Tapi, Run.” Intan merasa keberatan dengan keputusan sahabatnya.“Kamu ke sini 'kan sama keponakanmu, In. Harusnya kamu juga pulang bersama mereka. Terima kasih ya atas bantuanmu hari ini,” ucap Seruni dengan tulus.“Silakan kalau mau pulang, tapi bukankah sebaikn
Seruni akhirnya mengikuti Catra keluar dari mobil. Mereka duduk bersisian di dalam warung pecel lele yang malam itu cukup ramai.“Kamu mau makan dan minum apa?” tanya Catra setelah duduk.“Ayam bakar sama jeruk panas, Pak,” jawab Seruni.“Nasinya uduk apa biasa?” tanya Catra lagi sambil menulis menu yang dipesan.“Sama kaya Pak Catra saja,” sahut Seruni.Setelah menulis makanan dan minuman yang dipesan, Catra menyerahkan nota pesanan pada salah satu karyawan pecel lele. Sambil menunggu pesanan datang, Catra mengajak Seruni berbicara agar tidak bosan. Dia sekaligus ingin mencari tahu masalah yang sedang dihadapi oleh salah satu bawahannya itu.“Seruni, sekarang kamu bisa ceritakan masalahmu. Santai saja, anggap aku ini temanmu,” pinta Catra sambil menyentuh tangan Seruni yang ada di atas meja.“Saya tidak punya masalah apa-apa, Pak,” sangkal Seruni seraya menarik tangan yang disentuh oleh Catra. Dia merasa tak nyaman dengan sentuhan tersebut. Namun pria berkacamata itu menahan tangan S
Seruni menggeleng. “Bukannya saya tidak mau, Pak. Tapi saya tidak enak dengan teman-teman yang lain. Masa cuma saya yang makan siang dengan Pak Catra,” ungkapnya.Pria berkacamata itu tersenyum. “Kamu tenang saja. Besok aku cari alasan biar kita bisa keluar bersama.”“Apa tidak akan jadi masalah, Pak?” Seruni merasa ragu dengan apa yang akan atasannya itu lakukan.Catra menggeleng. “Kenapa harus jadi masalah? Tinggal bilang saja mau follow up konsumen yang hari ini datang. Janji ketemu besok siang di rumah atau kantornya. Selesai ‘kan masalahnya,” ucapnya dengan enteng.“Wah Pak Catra hebat, langsung bisa menemukan alasan yang tepat.” Seruni mengacungkan dua jempol pada atasannya. Merasa kagum pada pria berkacamata itu.Catra pun tertawa kecil mendapat pujian dari bawahannya itu.“Terima kasih atas tumpangannya, Pak,” ucap Seruni kala mobil Catra sudah tiba di depan rumah orang tuanya.“Sama-sama,” sahut Catra sambil melepas sabuk pengamannya.Melihat apa yang dilakukan oleh sang atas
Seruni seketika menoleh pada Catra. “Pak Catra mau mengajak saya makan di sana? Kenapa tidak di warung makan biasa saja, Pak?” cecarnya.“Kita pasti ga akan nyaman ngobrol kalau di warung makan biasa. Orang lain bisa dengar apa yang kita bicarakan. Gimana kalau di hotel saja biar lebih privat?” sahut Catra.Netra Seruni sontak membola. “Apa? Di hotel?” Dia sampai berteriak karena terkejut.Catra mengangguk. “Iya, di hotel. Kamu pasti pernah pergi ke hotel sama mantan tunanganmu ‘kan?” Pria berkacamata itu mengerling sekilas ke samping kirinya.“Ba-bagaimana Pak Catra tahu?” Sekali lagi Seruni dibuat terkejut oleh atasannya itu.Catra tersenyum miring. “Mendengar sifat mantan tunanganmu, pasti dia sudah mengambil banyak hal dari kamu. Selain uang, perhatian, termasuk mungkin, maaf, mahkotamu.”Pria berkacamata itu lagi-lagi membuat Seruni terperanjat. Bagaimana Catra bisa tahu hal itu? Apa terlihat jelas kalau dia bukan lagi perawan?“Karena kamu diam, berarti apa yang aku katakan bena
“Run, aku lihat Mas Panca di hotel sama cewek,” ucap Intan dari seberang telepon.Seruni yang sedang bermalas-malasan di atas tempat tidur sontak bangun. Seketika badannya terasa dingin mendengar sang tunangan berada di hotel bersama wanita lain. “Kamu jangan bercanda, In,” sahutnya. Dalam hati dia berharap sahabatnya sejak SMA itu hanya bercanda dan menggodanya.“Buat apa aku bercanda, Run. Demi Allah aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri,” jelas Intan.Seruni merasakan jantungnya berdebar semakin kencang. “Memangnya kamu sekarang di mana kok bisa lihat Mas Panca di hotel?” tanyanya berusaha tetap tenang.“Aku lagi ngantar keponakanku berenang di hotel. Pas aku datang dia baru keluar dari restoran terus berjalan ke lift. Berarti dia menginap di sini ‘kan. Aku pikir tadi sama kamu, tapi setelah benar-benar aku perhatikan ternyata bukan kamu. Mana mereka rangkulan mesra banget, Run,” jawab Intan.“Memangnya kamu sudah putus sama Mas Panca?” tanyanya kemudian.Seruni menggeleng me