“Marcus! Kenapa pukul segini kau masih belum ada di kantor?! Jangan lupa kau harus menjamu Tuan Richard Ng dari Macao sebelum makan siang!”
Itu bukan suara gagak, ataupun omelan ibu mertua. Itu suara Kevin Lau, wakil CEO Wong Enterprise. Kevin menelepon Marcus saat mobil Marcus masih di tengah jalan.
“Bibi Susan bilang semalam kau tidak pulang dan Hana bilang kau sempat ditahan polisi! Apa yang sebenarnya terjadi?! Kenapa aku selalu jadi orang terakhir yang tahu?!”
Karena audio ponsel Marcus disambungkan ke perangkat audio mobil, Cecilia dapat menyimak omelan Kevin.
“Sebentar lagi aku sampai di kantor,” sahut Marcus. “Suruh Hana menyiapkan pakaianku.”
“Heeei, kau belum menjawab pertanyaan—”
Tap. Marcus menekan sebuah tombol di setir dan memutus sambungan. Pria itu menghela napas berat.
Saat itu gedung pencakar langit yang dia tuju sudah tampak seratus meter di hadapan. Cecilia melirik Marcus. Cecilia merasa tidak nyaman karena Marcus membawanya ke kantor, tapi tak ada yang dapat dia katakan.
Mobil Marcus pun berbelok memasuki area parkir. Usai memarkir mobil, Marcus kembali mengenakan jasnya serta mengencangkan dasinya yang longgar. Marcus turun lebih dulu dan membukakan pintu untuk Cecilia.
“A-aku tunggu di mobil saja—”
Tanpa menghiraukan permintaan Cecilia, Marcus menyambar tangan Cecilia, dan nyaris menyeret Cecilia supaya mengikutinya.
Saat Marcus dan Cecilia melewati lobi dan berjalan tergesa menuju lift, berpasang-pasang mata menatap mereka dengan tatapan heran. Gosip dengan cepat menyebar, CEO Wong Enterprise itu merangkul seorang perempuan tidak dikenal yang tampak lusuh dan berantakan.
Cecilia mengulur rambut panjangnya ke depan menutupi wajah. Ketika dia masuk lift, orang-orang di sebelahnya berbisik-bisik mengeluh dan menutup hidung karena bau tidak sedap alkohol terendus dari tubuh perempuan itu.
Marcus dan Cecilia naik ke lantai 63. Begitu pintu lift terbuka, Hana langsung menyambut Marcus.
Di lantai itu hanya ada dua ruangan, dibelah satu koridor.
Ruangan barat adalah ruangan Marcus, yang di timur ruangan Kevin. Meja sekretaris Marcus dan Kevin berada di ujung koridor, di bawah lambang Wong Enterprise yang terbuat dari kuningan dan bersinar megah.
Marcus pun masuk ke dalam ruangannya bersama Cecilia.
Marcus berseru pada Hana, “Panggil dua penjaga, awasi Nona Song!”
“Baik, Tuan!”
Di dalam ruangan Marcus, Cecilia semakin menyadari bahwa Marcus bukanlah laki-laki biasa. Ruangan berdinding panel hitam itu dua kali lebih luas daripada klinik ayah Cecilia.
Ruang kerja Marcus seperti penthouse yang dilengkapi ruang tamu dan bar, bilik tidur, juga kamar mandi. Ruang tamunya saja bagaikan galeri yang dihiasi lukisan dan karya seni kontemporer.
Sementara Marcus ganti pakaian di kamar mandi, Kevin masuk ke ruangan itu. Kevin melihat Cecilia dan tertegun.
“Siapa dia?” Kevin berbisik pada Hana.
“Nona Song,” jawab Hana.
“Si pelacur buta?” gumam Kevin heran. “Kenapa di sini?”
Dari tempatnya berdiri, Cecilia dapat mendengar gumaman Kevin.
Setelah mendapat banyak cemooh di lift karena penampilan yang lusuh dan bau yang menjijikkan, sekarang Cecilia dengar dirinya disebut pelacur oleh rekan kerja Marcus.
Mendadak Cecilia ingat bahwa kemarin tunangan Marcus memukulinya, lalu tadi pagi polisi yang membelanya malah dimarahi atasan karena menangkap Marcus.
‘Sial …’ umpat Cecilia dalam hati. ‘Dosa besar apa yang sudah kulakukan di kehidupanku sebelumnya hingga aku harus menerima semua penghinaan ini?’
Marcus keluar dari kamar mandi, rapi dan wangi.
“Hana, beli pakaian untuk Nona Song,” perintah Marcus. “Dia akan makan malam denganku.”
“Ya, Tuan.”
Di ambang pintu, Marcus berhenti sejenak, lantas dia berkata pada Cecilia.
“Jangan coba-coba kabur, Cecilia.”
“Nona.” Hana mendekati Cecilia setelah bosnya meninggalkan ruangan. “Mari saya tuntun Anda menggunakan kamar mandi.”
‘Ah, ya, aku harus kembali pura-pura buta …’ pikir Cecilia.
Hana memegang lengan Cecilia, kemudian dengan hati-hati membimbing Cecilia ke kamar mandi. Hana menjelaskan letak barang-barang di kamar mandi itu. Sikap lembut sekretaris Marcus tersebut membuat Cecilia terharu.
“Sejujurnya, adik saya tuna netra,” kata Hana sambil mengecek suhu air shower untuk Cecilia mandi. “Adik saya memilih hidup mandiri walaupun tak bisa melihat, dan mungkin Nona juga demikian.”
“Terima kasih …” ucap Cecilia sambil menahan air mata. Ini hari yang berat. Kelembutan seseorang sungguh berarti bagi Cecilia.
“Saya akan menunggu Nona di depan pintu. Berteriaklah kalau Nona perlu bantuan.”
Setelah Hana menutup pintu, tangis Cecilia pun pecah.
Cecilia tidak ingin mengasihani diri. Namun, Cecilia benar-benar lelah. Dia ingin menyerah.
Cecilia teringat masa kecilnya bersama sang ayah, sebelum Angel merusak hidup mereka.
Cecilia memang jarang bertemu ayahnya karena sang ayah sibuk mencari nafkah. Sebelum memiliki klinik sendiri, Chris bekerja di Thailand dan hanya pulang setengah tahun sekali.
Cecilia yang telah ditinggalkan ibunya sejak berusia 5 tahun pun seringkali dilanda kesepian. Tetapi, apabila Chris pulang, dia selalu membawakan putrinya berkotak-kotak oleh-oleh.
Akhirnya, ketika Cecilia berusia 9 tahun, Chris punya klinik sendiri di tanah air. Walaupun masih sibuk, Chris mencurahkan perhatian pada putrinya.
Meski sebenarnya Chris sangat lelah sepulang bekerja, Chris selalu menyempatkan diri bermain sebentar dengan Cecilia. Atau membacakan Cecilia buku dongeng pengantar tidur.
Entah kenapa hari ini Cecilia sangat merindukan ayahnya, lebih daripada hari-hari sebelumnya.
Saat ini hati Cecilia terusik keinginan untuk menyusul sang ayah.
“Ayah …” isak Cecilia. “Apa yang harus kulakukan …?”
Setengah jam lebih Cecilia berada di kamar mandi untuk menenangkan diri. Setelah menangis sepuasnya, dia membersihkan diri. Begitu Cecilia muncul dari kamar mandi, Hana sudah menyiapkan beberapa potong gaun serta beberapa pasang sepatu baru untuknya.
“Tuan memerintahkan saya mendandani Nona,” kata Hana seraya menuntun Cecilia menuju sofa.
“Oh … baiklah … mohon bantuan Anda …” sahut Cecilia gugup.
“Saya bukan ahli rias, tapi akan saya upayakan sebaik mungkin.”
Pukul setengah tiga sore, pertemuan Marcus dan Tuan Ng pemilik resor di Macao berakhir.
Marcus pun kembali ke ruangannya. Dilihatnya Cecilia terlelap dalam posisi duduk bersandar di sofa.
Sekali lagi kecantikan Cecilia mengejutkan Marcus sampai pria itu mematung cukup lama.
“Aku ingin istirahat,” kata Marcus pada Hana. “Jangan masuk kecuali kau kupanggil.”
“Baik, Tuan,” jawab Hana sambil membungkuk, kemudian dia meninggalkan ruangan.
Marcus memandangi Cecilia dari ujung kepala sampai ujung kaki sambil melipat tangan. Perempuan itu bagaikan putri tidur yang anggun sekaligus seksi.
Untuk menutupi lebam di wajah Cecilia, Hana menggunakan riasan tebal, namun tidak membuat Cecilia seputih badut. Rambut panjangnya yang lebat bergelombang tergerai rapi sampai ke dada.
Cecilia mengenakan gaun velvet hitam pas badan. Sepatu hak tinggi yang Cecilia pakai membuat tungkai kakinya terlihat jenjang.
“Huh.” Marcus mendengus seraya mengangkat dagu Cecilia dengan ujung telunjuk. “Tak ada apapun yang istimewa dari dirimu, Nona. Kuakui kau cantik. Tapi mungkin cuma itu kelebihanmu.”
Marcus duduk di samping Cecilia, lalu membetulkan posisi kepala Cecilia agar bersandar di bahunya.
Marcus memejamkan mata dan tertidur. Entah berapa lama Marcus terlelap, yang pasti hari sudah gelap. Ketika matanya membuka, Cecilia tidak ada di sisinya.
Marcus tersentak berdiri. Dia melihat ke sekeliling. Cecilia tidak ditemukan di ruangan itu.
[Akhir Bab 8]
Matahari sudah terbenam ketika Cecilia terbangun. Lehernya pegal akibat beberapa jam bersandar miring ke bahu Marcus. Cecilia menegakkan duduknya, lalu menoleh, memperhatikan Marcus yang masih pulas di sisinya. Setelah kesadarannya terkumpul penuh, Cecilia beranjak ke arah sebidang jendela besar di balik meja kerja Marcus. Panorama kota yang Cecilia saksikan dari lantai 63 begitu mempesona. Gedung-gedung pencakar langit bahu-membahu, seumpama barisan tombak-tombak raksasa yang menghunjam awan kelabu. Jendela-jendela yang menyala tampak bagaikan gemintang. Baru kali ini Cecilia melihat pemandangan seindah itu seumur hidup. ‘Apa seperti ini rasanya naik pesawat?’ Cecilia belum pernah sekali pun naik pesawat. Sejak lahir, karena ayahnya sangat sibuk dan Cecilia tinggal dengan bibi pengasuh yang sudah renta, Cecilia selalu mendekam di rumah. Setelah ayah Cecilia menikah dengan Angel pun, Cecilia tidak pernah diajak kalau sang ayah pergi bersama Angel, sebab Angel tidak mau diganggu.
Akhirnya, Marcus menggeram, mendekap Cecilia erat-erat.Cecilia berguncang mencapai pelepasannya lagi. Marcus tetap memeluk Cecilia sampai guncangan itu berhenti dan tubuh tegang Cecilia lemas dalam pelukan Marcus. Kemudian, setelah mengatur napas, Marcus mengecup kening Cecilia.Cairan kental melimpah, mengalir di paha Cecilia saat Marcus mencabut diri dari celah Cecilia.“Kau mengantuk lagi?” tanya Marcus lembut.“Gaunku jadi kusut dan lembap karena aku berkeringat,” gerutu Cecilia sambil menyandarkan kepalanya di bahu Marcus.Marcus tertawa ringan.“Tuan terlalu gegabah.” Cecilia sedikit mengomel. “Aku tak pernah minum pil kontrasepsi.”Susah-payah Cecilia menggerakkan tubuhnya yang lunglai untuk mengambil tisu dan menyeka pahanya.“Tuan pun tak pernah menggunakan pengaman selama berhubungan denganku. Tuan juga selalu keluar di dalam. Apa Tuan tidak tahu risikonya?”“Terus kenapa kalau kau hamil?” Marcus membersihkan dirinya sendiri. “Aku akan bertanggungjawab.”Cecilia terdiam mem
Krystal memiliki banyak mata-mata yang dia susupkan di kantor dan rumah Marcus untuk mengawasi sang tunangan. Salah satu mata-matanya di kantor adalah sekretaris Kevin. Kabar tentang Marcus membawa si pelacur buta ke kantor pun sampai ke telinga Krystal.“Tuan Marcus juga menyuruh sekretarisnya membeli pakaian dan sepatu untuk Nona Song, serta memesan tempat untuk makan malam di Restoran Le Caprice,” lapor Dona, sekretaris Kevin itu, melalui telepon.“Mereka makan malam berdua di restoran itu?”“Benar, Nona.”“Baiklah. Terima kasih telah memberitahuku, Dona. Aku akan menghubungimu lagi lain waktu.”Usai memutus sambungan, Krystal tertawa lantang, meski hatinya terluka.Tunangan yang selama ini begitu dingin kepadanya, sekarang bersikap begitu romantis pada perempuan lain.Bagi Krystal itu sebuah penghinaan besar yang dilakukan Marcus terhadapnya dan juga terhadap Keluarga Li.Walaupun Krystal dan Marcus hanyalah tunangan di atas kertas, namun Marcus tidak pantas berkencan di hadapan o
“Nama saya Jackson, pengawal pribadi Nona.” Jackson menatap Cecilia yang tidak berpaling ataupun menjawab perkenalan dirinya. Jackson membatin, ‘Jadi begini rupanya Si Buta Nakal yang digunjingkan orang-orang yang bekerja di rumah ini ….’ Jackson cukup terkejut karena aura Cecilia jauh dari kesan nakal. “Jika ada yang Nona perlukan, Nona katakan saja pada saya,” kata Jackson ramah. Namun Cecilia tetap membisu. Jackson menghela napas berat dan terdiam. Entah berapa menit berlalu dalam hening yang membosankan. Jackson mulai tersiksa oleh keheningan ini. Dalam hati Jackson agak menyesal, seharusnya dia tolak saja tawaran pekerjaan sebagai bodyguard dari Bibi Susan, bibinya sendiri. Kalau begini, lebih enak kerja serabutan, karena Jackson masih boleh bebas bergerak dan bicara ketika bekerja. Jackson kembali melirik Cecilia. Jackson bertanya-tanya apa yang ada di benak nona itu, sementara dia buta, dan tidak mau diajak bicara. “Apa Nona tidak merasa bosan?” Jackson kelepasan berta
“Kau … orang yang baik …” kata Cecilia. “Kamu seorang pemberani.”Pujian Cecilia membuat Jackson tercengang.“Untuk membela teman-temanmu di panti asuhan, kamu berani berbuat nekat, walaupun kamu pasti tahu, itu dapat membahayakan dirimu,” lanjut Cecilia. “Kalau aku jadi kamu, aku juga akan melakukan hal itu.”“Terima kasih ….” Jackson menundukkan kepala karena tersipu.Memiliki teman baru yang sefrekuensi di pengasingan ini membuat Cecilia merasa punya harapan. Jackson yang baik hati pasti akan berkenan membantu Cecilia kabur dari tempat ini. Mungkin kelak Cecilia akan minta bantuan Jackson untuk menyediakan tempat bersembunyi di pasar.“Di mana kau tinggal sekarang?” tanya Cecilia.“Di asrama pegawai Keluarga Wong. Lokasinya tidak jauh dari sini.”“Apa kau akan menemaniku setiap hari?”“Tentu saja.”Cecilia tersenyum lega. “Syukurlah, kalau begitu ….”Seorang pelayan datang ke paviliun itu.“Nona Song, Bibi Susan menawarkan, apakah Anda mau menyantap roti yang baru matang dan teh di
Dalam pelukan Marcus, Cecilia tidak dapat membendung air matanya lagi.Marcus masih tidak mengerti apa yang membuat Cecilia menangis, tapi Marcus membiarkan Cecilia mengungkapkan emosi yang lama dibendungnya.Marcus pun mengamati gadis itu. Marcus dapat membayangkan, dinding es yang gadis itu bangun untuk menyembunyikan siapa dia sebenarnya telah meleleh. Dan kini Cecilia tampak rapuh.Mata Cecilia yang berlinang pun bersorot lembut, bukan lagi mata pendendam yang selalu waspada. Raut wajahnya menunjukkan seluruh kepedihan yang tidak dia ceritakan kepada siapapun. Dan isaknya adalah melodi berbagai tragedi yang telah menimpanya sejak gadis itu masih begitu kecil.Marcus merasakan nyeri menggelenyar di dalam dada ketika dia saksikan Cecilia bangkit, duduk memunggungi Marcus untuk menyembunyikan tangisnya, seraya memeluk dirinya sendiri.Sekarang Marcus paham apa yang membuat Cecilia begitu menarik.Marcus bukan hanya terpikat oleh kecantikan yang tidak Cecilia sadari, namun juga oleh k
“Cecilia ….” Suara berbisik itu sehalus rayuan. “Ayo, bangunlah, kita harus makan ….”Perlahan Cecilia membuka matanya. Marcus mengusap pipi Cecilia.“Masakanku sudah matang. Ayo kita makan selagi hangat.”Marcus menggandeng tangan Cecilia, membawa gadis itu ke ruang makan. Ruangan itu hening dan temaram karena seluruh penerangan dipadamkan, dan satu-satunya sumber cahaya hanyalah lilin di tengah meja. Tidak ada pelayan atau penjaga, hanya mereka berdua.Marcus menarik kursi untuk Cecilia. Lantas Marcus juga menuangkan wine ke dalam gelas Cecilia. Sikap Marcus membuat jantung Cecilia berdebar keras.Setelah menempati kursi di seberang meja, Marcus menatap Cecilia dengan senyum tersungging di wajah tampannya. Penampilan rumahan Marcus–dengan t-shirt berlengan panjang dan celana piyama–membuat pria itu tampak seperti seorang suami.“Kau makan duluan.” Marcus menunggu Cecilia mencoba masakannya.Setelah mencicipi masakan Marcus, Cecilia berkomentar, “Lezat sekali.”“Syukurlah.” Marcus me
“Bibi, Jackson sudah datang?”“Ya, Nona.”“Tolong panggilkan dia,” kata Cecilia pada Bibi Susan. “Aku ingin jalan-jalan di taman.”Bibi Susan melaksanakan perintah Cecilia. Tidak lama kemudian Jackson tiba. Jackson berhenti di ambang pintu yang terbuka, menatap Cecilia sendu.“Jackson?” panggil Cecilia. “Kau di sini?”“Y-ya, Nona ….” Jackson menjawab dengan gugup.“Mendekatlah,” kata Cecilia. “Biar kupegang lenganmu.”Dengan patuh Jackson mendekat sambil mengulurkan tangan. Cecilia menggamit lengannya. Sejenak Jackson mematung.“Ada apa?” tanya Cecilia. “Kau tak mau membawaku ke taman?”“O-oh.” Jackson tersentak. “Mari kita berangkat, Nona.”Selama menuntun Cecilia, bahkan setibanya mereka di paviliun, Cecilia sadar Jackson terus menatapnya.Tampaknya pemuda itu sedang bersusah hati. Wajahnya muram. Dia jadi sangat pendiam.Tiba-tiba angin berembus cukup kencang. Jackson melepas jas. Lantas diselimutinya punggung Cecilia dengan jas itu.“Nona, Anda baik-baik saja?” Jackson membuka per