Pukul 8 malam, Café La'vie.Ariana duduk di kursi yang berdekatan dengan jendela. Kedua tangannya memegang cangkir kopi sambil melihat rintik hujan di luar. Perasaannya sangat kalut saat ini. Wajahnya yang cantik menyimpan kelelahan dan kesedihan. Sejak kemarin malam, Ariana jadi tidak fokus dan suasana hatinya sangat buruk.Sosok Luther terus membayang dalam benaknya, begitu juga dengan segala kejadian di masa lalu. Ariana sudah berusaha untuk menebus kesalahannya. Namun, sebesar apa pun usahanya, sepertinya hubungannya dan Luther hanya terus memburuk.Lambat laun, Ariana menyadari bahwa Luther mulai tidak peduli lagi terhadapnya. Ariana bukan lagi pusat perhatian Luther. Pria itu tidak lagi terus memikirkannya. Apalagi setelah melihat tatapan Luther yang beringas kemarin malam, Ariana bahkan merasa ketakutan. Sepertinya, Luther dan dirinya memang sudah menjadi musuh.Ding, ding ....Pada saat ini, lonceng angin di pintu café berbunyi. Ariana menoleh ke arah pintu secara refleks, kemu
"Tunggu dulu!" teriak Ariana sambil menyusul Luther dan menarik pundaknya. "Apa kamu harus begitu? Apa nggak bisa bicarakan baik-baik?""Menurutku nggak perlu lagi. Sia-sia saja dibicarakan lagi. Lagi pula, aku sangat sibuk. Kita nggak usah saling menghabiskan waktu satu sama lain." Luther malas berbicara lebih lanjut lagi, sehingga dia langsung berjalan ke arah pintu."Nggak boleh pergi!" Tiba-tiba Ariana memeluk pinggang Luther dari belakang dengan erat. Gerakannya ini sangat berani. Bagi Ariana yang selama ini bersikap dingin, butuh keberanian besar untuk melakukan hal ini."Aku nggak izinkan kamu pergi!" Ariana kembali memeluk dengan erat hingga pipinya menempel di punggung Luther. Kemudian, dia bergumam, "Anggap saja masalah ini adalah kesalahanku, ya? Aku benar-benar takut akan kehilangan kamu. Kita baikan saja, ya? Aku nggak akan keras kepala dan memukulmu lagi, aku bersumpah.""Aku rela melakukan apa pun, asalkan kamu tetap bersamaku. Aku bisa melepaskan kemewahan, kekuasaan, k
Keesokan paginya di Vila Embun, Luther duduk di atap sambil melihat matahari terbit. Wajahnya tidak menunjukkan emosi apa pun. Sejak perpisahannya dengan Ariana semalam, Luther terus duduk di atap, tidak bergerak sama sekali. Dari tengah malam hingga senja, sampai matahari terbit.Emosinya tetap seperti sebelumnya, tanpa perubahan apa pun. Setelah berpikir semalaman, Luther sudah melepaskan banyak hal. Dia tidak lagi berkelit dengan masa lalu."Tuan Luther ...," panggil Johan yang tiba-tiba muncul di atap. Dia melapor, "Kami baru dapat kabar tentang keberadaan Kitab Hawa yang Anda cari.""Oh ya? Ada di mana?" tanya Luther."Ada di tangan sekelompok pedagang asing. Kami sudah menyelidikinya, mereka tidak mau menjualnya. Katanya mau bicara secara langsung," balas Johan."Mau bicara langsung?" Luther mengangguk. "Boleh juga, panggil Xena. Kita pergi sama-sama.""Baik!" Setelah menanggapi perintah Luther, Johan melompat turun dari atap lagi.Satu jam kemudian di pintu depan Restoran Makmur
Xena mengernyit saat bertanya, "Apa maksudmu? Bukannya kamu mau langsung menjualnya pada kami?""Belakangan ini banyak sekali orang yang mencari tahu Kitab Hawa, aku juga kesulitan menentukan pembelinya. Jadi, aku mengundang semuanya untuk bertemu secara langsung dan membahas harganya agar lebih adil," ujar Shafri menjelaskan."Adil?" Luther menggeleng sambil tertawa, "Bos Shafri benar-benar pandai bicara. Kamu bisa membuat pelelangan terdengar begitu indah." Jika dia mengundang semua pembeli untuk bertemu langsung, sama saja dengan menyuruh mereka untuk bersaing harga. Dengan demikian, harga Kitab Hawa juga akan naik berkali-kali lipat. Ini benar-benar rencana yang bagus."Anda terlalu memuji. Aku ini hanya pedagang biasa, tentu saja berharap bisa dapat lebih banyak untung." Shafri masih tetap tersenyum seperti sebelumnya. Ekspresinya tetap tidak berubah bahkan setelah disindir oleh Luther. Hal ini membuktikan bahwa Shafri punya mental yang cukup kuat."Huh! Aku paling nggak suka deng
"Hei, kuperingatkan jangan bertindak sembarangan!" Melihat gerakan Luther yang seolah-olah mau memukulnya, Venick kaget hingga mundur beberapa langkah. Dia tidak membawa pengawal hari ini, hanya ada beberapa wanita cantik yang menemaninya. Sulit sekali baginya untuk berhadapan dengan pria kasar ini."Para tamu sekalian, mohon jaga perdamaian." Melihat situasi yang kurang bagus, Shafri langsung tersenyum melerainya, "Tujuan kedatangan kita hari ini adalah untuk berbisnis, jangan sampai merusak suasana hati kalian. Kalau ada masalah, bisa dibicarakan pelan-pelan.""Baiklah, kalau Bos Shafri sudah angkat bicara, aku akan menghargaimu." Luther mengangguk, lalu kembali duduk di kursinya. Hari ini mereka datang demi Kitab Hawa, memang tidak terlalu baik jika Luther bersikap kasar. Cecunguk seperti Venick ini bisa dihabisi kapan saja."Huh! Kukira sehebat apa kamu, ternyata hanya berlagak saja!" Venick mencibir. Dia mengira Luther takut akan statusnya sehingga tidak berani turun tangan."Paka
Orang-orang di sekitarnya mulai melihat penampilan Xena dari atas hingga ke bawah."Huh! Memangnya sudah hebat ya bisa menawar 2 triliun? Aku tawar 3 triliun!" ucap Venick kembali bersaing harga. Keluarga Warsono bergelimang harta, apalagi belakangan ini dia mendapat rezeki durian runtuh sebanyak beberapa triliun. Saking kayanya, Venick sudah bingung menghambur-hamburkan uangnya."Aku tawar 4 triliun!" Xena tidak mau mengalah. Istana Hawa bisa mengeluarkan dana sekitar 10 triliun. Asalkan bisa mendapatkan Kitab Hawa, tidak masalah jika mereka harus menghabiskan 10 triliun."Wah, mau bersaing denganku? Aku mau lihat seberapa hebatnya dirimu. Aku tawar 6 triliun!" ujar Venick kembali dengan yakin. Setelah mendengar penawaran harganya, beberapa tamu lainnya memilih untuk menyerah dan meninggalkan tempat itu.Meski Kitab Hawa adalah benda berharga, benda itu punya kelemahan terbesar, yaitu hanya bisa digunakan kaum wanita. Tidak masalah kalau hanya menghabiskan ratusan miliar untuk menghib
Melihat gaya Venick yang sombong, Xena benar-benar kesal hingga hampir bertindak kasar. Sebaliknya Luther malah terlihat sangat tenang bagaikan melihat lelucon."Nak, kalau nggak ada uang, cepat pergi sana! Kenapa masih bengong saja? Mau menunggu gratisan?" sindir Venick."Huh! Beraninya melawan Tuan Venick, mempermalukan diri saja!""Bahkan 20 triliun aja nggak bisa bayar, memalukan sekali!"Beberapa wanita angkuh di sampingnya menatap Luther dengan pandangan menghina. Bagi mereka, nominal uang hanyalah sebuah angka."Kalian benar-benar keterlaluan!" Xena menggertakkan gigi dengan kesal, lalu bertanya, "Luther, berapa yang kamu punya? Pinjamkan dulu padaku semuanya. Aku harus mendapatkan Kitab Hawa hari ini juga. Orang ini nggak bisa dibiarkan begitu saja!""Pinjam uang?" Luther mengelus dagu, lalu menggeleng. "Maaf, aku nggak bawa uang. Bagaimana denganmu, Johan?""Aku juga nggak bawa," kata Johan membuka kedua lengannya. Uangnya yang sedikit itu tidak akan mungkin cukup."Nggak mung
Venick memelototinya dengan kesal. Biasanya semua orang selalu menghormatinya dan memanggilnya Tuan Venick. Lancang sekali orang itu memanggil namanya secara langsung!"Ternyata kamu Venick." Setelah memastikan targetnya, pemimpin pria bertopeng itu langsung menusukkan pisaunya.Pisau itu tertancap di perut Venick, membuatnya tertegun seketika. Dia memelototi orang itu dengan tidak percaya. Situasi macam apa ini? Apa orang itu sudah gila? Kenapa tiba-tiba membunuhnya?"Argh!" Setelah bereaksi, Venick berteriak keras dan mundur beberapa langkah. Sambil memegang luka di bagian perutnya, wajah Venick tampak mengerikan saat berkata, "Ka ... kalian .... Siapa kalian sebenarnya?""Orang yang membunuhmu." Beberapa pria bertopeng itu mendekatinya dengan niat membunuh yang kuat."Aku nggak ada dendam dengan kalian, kenapa kalian mau membunuhku?" tanya Venick dengan dahi bercucuran keringat dan panik."Kami hanya menjalankan tugas, kamu telah menyinggung Tuan Declan, berarti kamu memang pantas m