Setelah menyapu sekelilingnya dengan tombak, hanya tersisa Firus saja yang masih berdiri di arena latihan itu."Kalian benar-benar makin lemah saja, berlatihlah lebih keras lagi. Mengerti?" marah Firus."Siap!" jawab para pengawal sambil berlutut."Baiklah, kalian pergi saja," kata Firus sambil melambaikan tangannya sebagai isyarat agar semua pengawal itu pergi, lalu berbalik dan menatap Huston dan yang lainnya."Teknik tombak Paman Firus luar biasa, nggak ada yang bisa menandinginya di seluruh Atlandia ini. Aku sangat kagum!" Huston yang menyapa terlebih dahulu."Pangeran Huston, aku tahu kamu nggak mungkin datang jauh ke sini tanpa alasan. Apa ada instruksi yang ingin dibicarakan?" kata Firus sambil mengambil handuk dan mulai mengelap keringatnya."Aku nggak berani memberi instruksi, aku hanya ingin meminta bantuan," kata Huston sambil memberi hormat."Apa ini tentang ayahmu?" Firus terlihat tidak terkejut, seolah-olah sudah menduga hal ini."Paman Firus sudah tahu?" kata Huston samb
Melihat tatapan Firus yang tajam dan mengangkat tombak panjang, Huston sama sekali tidak gentar dan tetap membusungkan dada."Paman Firus, tawaran dua kota itu memang sangat menggoda. Kalau aku menjadi kamu, aku mungkin nggak akan menolaknya. Kalau Paman Firus ingin menukar kepalaku dengan dua kota, aku bersedia memenuhinya," kata Huston sambil memberi hormat dan ekspresinya tenang.Firus menyipitkan matanya. "Kenapa? Kamu nggak takut? Atau kamu pikir aku nggak berani membunuhmu?"Huston berkata dengan tenang, "Aku tentu saja takut mati. Kalau bisa tetap hidup, aku tentu saja nggak akan memilih untuk mati. Lagi pula, Paman Firus sudah berperang selama bertahun-tahun dan membunuh siapa pun yang menghalangi. Mengambil nyawaku hanya masalah mudah, nggak perlu usaha apa pun.""Kalau kamu takut mati, kenapa kamu tetap tenang?" kata Firus dengan bingung.Huston berkata dengan serius, "Takut mati dan berani untuk menghadapi kematian adalah hal yang berbeda. Sejak masuk ke sini, aku sudah memp
Sore hari, Huston dan Luther tiba di benteng perbatasan, Kota Demai. Kota Demai adalah wilayah Sandya. Belasan tahun lalu, kota ini masih sangat terbelakang.Di bawah pimpinan Sandya, kota ini menjadi salah satu dari lima kota teratas di Atlandia. Baik itu kemiliteran, ekonomi, politik, budaya, pendidikan, ataupun perawatan medis, semuanya adalah yang terbaik.Bisa dibilang, Kota Demai memiliki kejayaan seperti ini berkat kecerdasan dan kebijaksanaan Sandya. Sandya dan Firus sama-sama merupakan menteri yang berjasa.Saat ini, di luar kediaman Sandya, terlihat sebuah mobil MPV hitam pelan-pelan berhenti di pinggir jalan. Begitu pintu mobil dibuka, terlihat Luther dan Huston turun."Kak, ini tempat terakhir." Huston menatap papan nama di depan pintu, lalu mendesah dan berujar, "Tuan Sandya dan Ayah punya hubungan dekat. Dia orang yang ramah dan baik hati. Ditambah lagi surat dari Firus, seharusnya semua akan baik-baik saja.""Sulit dikatakan." Luther menggeleng. "Kita harus makin waspada
"Tuan Sandya tahu kamu akan datang, jadi menyuruhku menunggu di depan," sahut si kepala pelayan sambil mengangguk."Tahu aku akan datang?" Huston mengangkat alis dengan heran. Kemudian, dia melirik Luther yang berada di sebelahnya dan merasa agak gelisah.Sandya sudah menduga kedatangan mereka. Kemungkinannya hanya 2, yaitu Firus mengabarinya duluan atau utusan Jayden tiba duluan."Pangeran, Tuan Sandya sudah menunggu sejak tadi. Silakan masuk." Kepala pelayan membungkuk dan mempersilakan.Huston mengangguk tanpa berbasa-basi lagi. Dia tidak mungkin menyerah di tengah jalan begini. Sekalipun itu sarang harimau, dia tetap harus masuk.Luther dan Huston sama-sama masuk. Setelah melewati berbagai ruangan, mereka tiba di ruang makan.Saat ini, hidangan mewah telah disajikan. Aroma masakan dan aroma anggur yang bercampur sangat menggugah selera.Luther dan Huston bepergian seharian sampai tidak punya waktu untuk makan. Jadi, begitu melihat hidangan mewah itu, mereka tak kuasa merasa lapar.
Sandya tidak terburu-buru menjawab. Dia duduk, lalu menuangkan anggur untuk diri sendiri dan Huston. Setelah bersulang, Sandya meneguk anggurnya hingga habis dan berkata, "Hm, lezat sekali!"Huston juga tidak mendesak. Dia meneguk anggurnya dan menunggu jawaban Sandya. Kemudian, Sandya meneruskan, "Jayden ingin merekrutku, bahkan menawarkanku keuntungan besar. Tapi, aku menolaknya."Ekspresi Huston sontak dipenuhi kegembiraan. Namun, kalimat Sandya yang selanjutnya membuat Huston termangu."Pangeran, jangan senang terlalu cepat. Aku memang menolak tawaran Jayden, tapi aku juga nggak akan membantumu. Aku nggak suka perang, jadi aku memilih untuk netral," lanjut Sandya dengan terang-terangan."Netral?" Huston mengernyit, lalu membujuk, "Paman, kamu bagian dari Atlandia. Masa kamu tega melihat Atlandia terpecah?""Kemampuanku terbatas. Aku benar-benar nggak bisa membantu." Sandya menggeleng. "Aku nggak punya ambisi apa pun dan hanya ingin hidup tenang. Aku nggak ingin terlibat dalam peran
"Kalau Pangeran nggak ingin mewarisi takhta, kenapa ikut serta dalam perselisihan ini?" tanya Sandya dengan ekspresi tenang."Aku memang nggak pantas menjadi raja, tapi ada seseorang yang pantas, bahkan lebih pantas dari Jayden," sahut Huston dengan lantang."Oh? Siapa itu?" tanya Sandya sambil mengangkat alis."Kakakku, Gerald," jawab Huston dengan tegas."Gerald?" Sandya memicingkan mata sambil mengangguk. "Kamu benar. Pangeran Gerald lebih dari cukup untuk menjadi Raja Atlandia. Masalahnya, dia hilang selama 10 tahun, bahkan nggak bisa dipastikan masih hidup. Gimana dia bisa mewarisi takhta?""Kakakku nggak mati, bahkan sudah kembali ke Atlandia. Jadi, posisi itu harus menjadi miliknya," timpal Huston."Pangeran, apa kamu punya bukti?" tanya Sandya. Apabila Gerald benar-benar pulang ke Atlandia, orang-orang pasti sudah heboh. Sandya merasa Huston hanya mencari alasan untuk mendapatkan dukungannya."Paman, aku bisa memberimu buktinya. Tapi, aku ingin tanya. Apa kamu bersedia mendukun
"Paman merindukanku ya? Hehe. Aku masih hidup, Paman," sahut Luther yang mengangguk. Dia tidak mengetahui apa pun tentang masa lalu Sandya sehingga cukup terkejut melihat Sandya yang tampak terharu."Syukurlah!" Sandya merasa terkejut sekaligus gembira. "Tanpa disadari, 10 tahun sudah berlalu. Pangeran tinggi sekali sekarang. Aku hampir nggak bisa mengenalimu!""Ya, 10 tahun sudah berlalu. Banyak hal yang berubah." Luther turut merasa emosional. Ibunya meninggal 10 tahun lalu dan sekarang ayahnya juga meninggal. Dia telah kehilangan orang tuanya."Paman, tadi kamu bilang akan mendukung kami kalau melihat kakakku. Sekarang kakakku sudah menampakkan diri. Kamu nggak bakal ingkar janji, 'kan?" tanya Huston."Kalau Pangeran Gerald bersedia mewarisi takhta, aku pasti akan mendukungnya meskipun harus mengorbankan nyawaku!" ujar Sandya dengan serius. Jika dibandingkan dengan sebelumnya, Sandya terlihat dipenuhi semangat juang sekarang. Sosoknya terlihat makin berwibawa."Oke! Paman memang ora
"Hm ...." Luther mengangkat alis dengan ragu."Pangeran!" Sandya tiba-tiba menangkupkan tangan dan berkata dengan lantang, "Kalau Pangeran percaya padaku, serahkan saja urusan ini kepadaku. Aku akan diam-diam menghubungi mereka dan mengumpulkan kekuatan untukmu. Setelah peluangnya tepat, kami pasti akan membantumu!""Paman Sandya memang setia. Aku salut sekali padamu," puji Huston dengan tulus."Baiklah, mohon bantuannya kalau begitu," balas Luther yang ikut menangkupkan tangan."Suatu kehormatan bagiku bisa membantu Pangeran," ujar Sandya."Tuan Amangkurat! Ini gawat!" Tiba-tiba, seorang pengawal berlari masuk dengan ekspresi panik. Dia melapor, "Kami menerima kabar kalau kediaman Raja Atlandia dikepung! Sekarang situasinya kritis!""Apa? Dikepung?" Begitu ucapan ini dilontarkan, ekspresi Luther dah Huston sama-sama berubah. Mereka hanya keluar sebentar, tetapi sudah terjadi perubahan sebesar itu?"Apa yang terjadi? Jelaskan secara rinci," desak Huston.Pengawal itu melirik Sandya sek