"Apa kau tidak apa-apa?" Dean berdiri di samping kursi Lucia seraya menatap dengan cemas ketika melihat wajahnya nampak pucat. Lucia terlihat sedang duduk dengan posisi bersandar.Saat ini, mereka sedang berada di dalam pesawat, tepatnya di kabin first class menuju negara tempat mereka akan berbulan madu. Mereka mendapatkan penerbangan malam hari dan akan tiba siang hari di negara yang terkenal dengan menaranya yang menjulang tinggi.Mereka akan berbulan madu selama beberapa hari di ibu kota negara tersebut. Kota yang memiliki julukan City of Love. Itu adalah kota yang akan mereka kunjungi pertama kali."Tidak apa-apa. Aku hanya kelelahan," jawab Lucia dengan senyuman dipaksakan.Bagaimana tidak lelah, Dean menghukumnya hingga menjelang pagi. Meskipun Lucia sudah beristirahat hingga sore hari. Namun, tetap saja dia masih merasa lelah dan lemas. Apalagi, dia melewatkan sarapan pagi dan siang hari karena terus tertidur di kamar hotel saat Dean berpamitan untuk mengantar nenek dan kakekn
Dean langsung memeriksa dahi istrinya setelah membuka mata. Dia merasakan tubuh Lucia lebih panas dibandingkan semalam. Dia pun menunduk ke bawah dan melihat mata Lucia masih terpejam. Nampak tangan kanan istrinya memeluk erat dirinya dan wajahnya terbenam di dada bidangnya.Ketika ingin menjauhkan diri dari Lucia, istrinya itu tiba-tiba bergerak, tangannya semakin mendekap tubuh Dean, seolah tidak ingin kehilangan kenyamannya. Dean pun tidak jadi menjauh diri dari istrinya ketika melihat wajah Lucia semakin dia tempelkan di dadanya. Sebenarnya, dia ingin turun dari ranjang untuk menghubungi asistennya. Namun, melihat Lucia tidak mau melepaskan dirinya, Dean pun mengurungkan niatnya untuk mengambil ponselnya yang berada di atas nakas, yang berada tepat di belakang kepala istrinya.Ketika merasakan perbedaan tubuh yang sangat jauh, Dean menjadi tidak nyaman. Panasnya tubuh Lucia membuatnya gerah. Dean memang tidak menyukai hawa panas, itu sebabnya setiap tidur, dia selalu membuka baju
Setelah selesai memeriksa Lucia, Dean mengajak Dokter untuk berbicara di ruangan depan. Sementara Lucia membenahi posisi tidurnya, kemudian kembali memejamkan matanya. Tidak sampai dua menit, Dean kembali masuk ke kamar dengan membawa nampan di tangannya. Dia lantas membangunkan Lucia yang kembali tertidur.“Makan dulu.”Mata Lucia terbuka secara perlahan. Tatapannya begitu sendu dan wajahnya terlihat pucat, dan itu membuat Dean semakin merasa bersalah. "Iya."Dean membantu Lucia untuk bangun setelah menyusun beberapa bantal untuk dijadikan sandaran oleh istrinya, kemudian duduk di tepi ranjang sembari memegang mangkuk bubur yang baru saja dia ambil.“Aku bisa makan sendiri,” ucap Lucia ketika Dean akan menyuapinya.“Biar aku saja.”Lucia memandang Dean dengan wajah canggungnya. Ini pertama kalinya, dia disuapi pria lain, selain ayahnya.“Buka mulutmu,” ucap Dean sembari menyodorkan sendok ke arah mulut Lucia yang masih terkatup rapat.Lucia pun dengan patuh membuka mulutnya dan men
Dean memegang kedua bahu wanita itu, lalu menjauhkan darinya, membuat wanita itu nampak terheran.“Kenapa kau bisa di sini?” “Aku merindukanmu, Kak.”Dean menoleh ke kanan dan ke kiri, kemudian menarik masuk wanita yang tadi memeluknya. Sesampai di dalam, dia melirik pada asistennya yang nampak berdiri di dekat sofa single.“Maafkan, saya Tuan.” Nolan berucap dengan kepala tertunduk ketika mendapatkan lirikan tajam dari tuannya.“Kak Dean, jangan menyalahkan Kak Nolan. Aku yang memaksanya untuk memberitahukan nama hotel tempatmu menginap,” sela wanita itu manja, membua Dean seketika beralih menatap wanita yang bernama Karin itu.“Kembalilah, jangan mengacau di sini. “ Usai mengatakan itu, Dean beralih pada asistennya dan berkata, “Antarkan dia ke bandara. Pastikan sampai dia masuk ke dalam pesawat.”Mendengar Dean mengusirnya, wanita berumur sekitar 23 tahun nampak mengerucutkan bibir dengan wajah kesal. “Kak, aku tidak mau kembali.”Dean yang baru saja akan melangkah menuju pintu, s
Tidak ada pembicaraan apa pun sampai mereka tiba di tujuan. Keduanya nampak berhenti di dekat dermaga sungai Seine yang berada di dekat menara yang menjadi icon negara tersebut. ."Kita akan naik ini?" tunjuk Lucia pada kapal besar yang ada di hadapannya."Hmmm."Keduanya pun berjalan menuju dermaga diikuti oleh Nolan di belakang. Mereka akan melakukan perjalanan menyusuri sungai Seine menggunakan kapal pesiar. Dean sengaja memesan paket makan malam VIP untuk keduanya agar mendapatkan viw yang bagus.Layanan VIP menawarkan tempat duduk istimewa di bagian depan perahu di meja bundar, beserta segelas sampanye sebagai minuman beralkohol yang disajikan dengan hidangan pembuka, hidangan utama, serta hidangan penutup. Ada juga sajian anggur mahal, air mineral, kopi, dan juga minuman bersoda.Perjalanan itu, di mulai dari kaki Menara Eiffel untuk pelayaran makan malam di sungai Seine. Pemandangan yang bisa dilihat adalah Menara Eiffel, Invalides, Parlemen, museum Orsay, Institut de France, N
Setelah merasa puas berjalan-jalan di sekitar menara tersebut, Lucia memutuskan untuk mengajak Dean kembali ke hotel. Selain karena sudah larut malam, dia juga merasa kasihan pada suaminya.Meskipun, Dean tidak mengatakan apa pun. Namun, Lucia tahu pria itu sejak tadi sedang menahan dingin. Wajah dan hidungnya saja sudah terlihat sangat memerah. Bahkan lengan yang tidak tertutupo oleh kain juga ikut memerah. Apalagi, warna kulih Dean putih. Jadi, wajahnya terlihat sangat pucat, seperti tidak dialiri oleh darah. Karena merasa kasihan pada suaminya, Lucia pun akhirnya melepas coat milik suaminya dan berniat untuk mengembalikannya. Namun, ditolak oleh Dean. Dia justru kembali memakaikan coat itu padanya. Lucia pun tidak menolak lagi, karena percuma saja dia menolak, Dean tetap akan memaksanya untuk memakai coat itu.Ketika Dean sedang membenahi coat di tubuh Lucia, tiba-tiba saja ada yang memanggil nama istrinya. Keduanya pun serempak menoleh ke belakanh dan melihat seorang pria tinggi y
"Terima kasih." Dean mengecup dahi Lucia dan mendekap erat tubuh istrinya setelah mereka selesai melepas peluh. "Tidurlah, kau pasti lelah."Diperlakukan begitu lembut oleh Dean, membuat hati Lucia menghangat. Begitu mengingat apa yang baru saja mereka lakukan, wajahnya seketika merona. Tiba-tiba saja dia merasa sangat malu ketika kembali terbayang hal itu. Apalagi, ketika mengingat dirinya begitu menikmati setiap sentuhan yang Dean berikan pada tubuhnya tadi."Aku belum mengantuk."Bagaimana bisa dia tertidur, jika sejak tadi, dia tidak bisa mengalihkan pikirannya dari aktifitas yang baru saja mereka lakukan. Ini kedua kalinya, Dean menyentuhnya dengan lembut, seolah pria itu melakukannya dengan cinta, bukan sekedar menyalurkan kebutuhan biologisnya semata."Pejamkan matamu, kau pasti akan tertidur nanti." Dean berkata dengan lembut, masih dengan mendekap Lucia dalam pelukannya. Lucia nampak tertegun. Dia sepertinya heran dengan sikap Dean yang tiba-tiba berubah menjadi lembut. Wala
Mendengar itu, Dean seketika mengangkat kepalanya. Ditatapnya wajah cantik Lucia yang terlihat kecewa. "Tidak bisakah kau memaafkan aku?" "Dean, jika kau jadi aku, apa kau bisa semudah itu memaafkan orang yang begitu kau percaya akan melindungimu, tapi ternyata menjadi orang yang paling menyakitimu?"Dean sudah menebak dari awal, kalau Lucia pasti membecinya. Itu sebabnya, Lucia tidak pernah menghubunginya setelah kembali ke kota Y. Sepertinya, Lucia menikah dengannya, karena terpaksa. "Jadi, kau tidak mau memaafkanku?" Tatapan Dean mengunci wajah mungil Lucia lalu berkata, "Apa jangan-jangan kau sengaja menerima pernikahan ini untuk menyiksaku dengan rasa bersalah?"Lucia nampak bungkam. Namun, pandangannya tidak lepas dari Dean."Karena kau merasa sakit hati dengan perbuatanku dulu. Jadi, sekarang kau ingin membalas dendam padaku?" Wajah Dean terlihat datar. Namun, selintas ada kekecewaan yang sempat Lucia tangkap ketika Dean mengajukan pertanyaan tersebut."Dean, perbuatanmu dulu