Mendengar itu, Dean seketika mengangkat kepalanya. Ditatapnya wajah cantik Lucia yang terlihat kecewa. "Tidak bisakah kau memaafkan aku?" "Dean, jika kau jadi aku, apa kau bisa semudah itu memaafkan orang yang begitu kau percaya akan melindungimu, tapi ternyata menjadi orang yang paling menyakitimu?"Dean sudah menebak dari awal, kalau Lucia pasti membecinya. Itu sebabnya, Lucia tidak pernah menghubunginya setelah kembali ke kota Y. Sepertinya, Lucia menikah dengannya, karena terpaksa. "Jadi, kau tidak mau memaafkanku?" Tatapan Dean mengunci wajah mungil Lucia lalu berkata, "Apa jangan-jangan kau sengaja menerima pernikahan ini untuk menyiksaku dengan rasa bersalah?"Lucia nampak bungkam. Namun, pandangannya tidak lepas dari Dean."Karena kau merasa sakit hati dengan perbuatanku dulu. Jadi, sekarang kau ingin membalas dendam padaku?" Wajah Dean terlihat datar. Namun, selintas ada kekecewaan yang sempat Lucia tangkap ketika Dean mengajukan pertanyaan tersebut."Dean, perbuatanmu dulu
"Jawab Lucia, apa kau masih mencintaiku?" Dean kembali mengulang pertanyaannya, karena Lucia tidak kunjung menjawab sejak tadi. "Atau sudah ada pria lain yang menempati hatimu?"Lucia menelan salivanya dengan susah payah ketika melihat tatapan menuntut dari Dean. "Aku-aku ..." Dia kembali terdiam dengan kepala tertunduk."Baik, jika kau tidak bisa menjawabnya, akan kucari jawabannya dengan cara lain."Mendengar itu, Lucia seketika mengangkat wajahnya hingga dia kembali bertatapan dengan Dean."Jika kau tidak mencintaiku lagi, kau bisa menolakku kali ini." Dean merengkuh pinggang Lucia dan menarik ke arahnya hingga kedua tubuh mereka kembali menempel. "Tapi, jika kau tidak menolak sentuhanku, maka kuanggap kau masih mencintaiku."Belum juga Lucia sempat memberikan respon atas ucapan Dean, suaminya itu sudah menyatukan bibir keduanya.Setelah 5 menit berlalu, Lucia tidak juga menolak dan mendorongnya menjauh, Dean pun menarik sudut bibirnya disela-sela pagutannya dengan perasaan senang.
"Cemburu dengan mereka?" tanya Dean dengan tatapan lekatnya. Sudut bibirnya tertarik ketika melihat wajah Lucia nampak memerah."Tidak," elak Lucia seraya memalingkan wajahnya ke samping.Dean menangkup wajah Lucia, lalu berkata, "Kukatakan sekali lagi padaku, aku hanya mencintaimu. Mereka tidak berarti apa-apa untukku. Kau harus ingat itu."Wajah Lucia semakin merona. Melihat itu, Dean tidak tahan untuk mencium bibirnya. "Jangan tampilkan wajah seperti itu. Kau sama saja memancingku." Setelah itu, dia menjauhkan wajah setelah melumat singkat bibir istrinya hingga membuat wajah Lucia semakin merona. "Cepat keluar, sebelum aku berubah pikiran."Dia bisa saja menerkam istrinya kembali jika terus berada di dalam kamar mandi itu. Dean melangkah keluar dari kamar mandi, meninggalkan Lucia yang nampak masih mematung di tempat dengan ekspresi bingung.“Cepatlah, jika tidak, aku akan masuk kembali.”Lusia bergegas turun dan merapihkan rambutnya. Sudah tidak ada waktu lagi untuk menyemarkan b
"Masih lelah?" tanya Dean sembari menunduk menatap istrinya yang masih memejamkan mata. Lucia hanya mengangguk sebagai jawaban, dia semakin membenamkan wajah di dada suaminya ketika rambutnya dibelai dengan lembut. Nampaknya, Lucia masih betah berada di pelukan suaminya dan enggan untuk membuka mata."Maaf. Karena terlalu menahannya. Jadi, aku tidak bisa mengendalikan diriku."Bagaimana tidak, selama 3 tahun dia menahannya. Tidak pernah sekali pun dia mau menyentuh wanita lain, walaupun hasratnya sudah berada di puncak. Padahal, kalau dia mau, banyak sekali wanita yang secara suka rela menyerahkan tubuh mereka padanya. Bahkan banyak yang berusaha menggoda Dean secara terang-terangan. Namun, tidak pernah sekali pun Dean tergoda oleh mereka. Dia justru merasa jijik. Sudah banyak yang berusaha mendekatinya. Namun, tidak ada yang berhasil. Jangan wanita lain, Rebecca yang sudah jelas memiliki kecantikan di atas rata-rata saja ditolak mentah-mentah oleh Dean. Sepertinya, malam yang suda
Melihat Lucia sedang berdiri di balkon kamar mereka, Dean segera menyusulnya dan memeluknya dari belakang. "Kenapa langsung pergi?" tanya Dean lembut, tepat di dekat telinga kiri Lucia."Tidak apa-apa. Aku pikir kau sedang sibuk."Tadinya, dia berencana untuk menyusul Dean ke restoran untuk sarapan bersama setelah selesai mandi. Namun, ternyata dia sudah lebih dulu melihat Dean kembali bersama dengan wanita lain. Jadi, dia memutuskan untuk kembali ke kamar dan memesan layanan kamar saja."Tidak sibuk. Kau hanya berbicara dengan Nolan sebentar, dan Karin tiba-tiba datang."Dean tentu saja tahu maksud dari kata "sibuk" yang diucapkan oleh istrinya. itu sebabnya dia langsung menjelaskan pada Lucia mengenai wanita yang tadi bersamanya."Karin nama wanita tadi?" Nama itu terdengar familiar di telinga Lucia. Namun, dia lupa di mana dia mendengarnya. Apa mungkin itu salah satu wanita yang dulunya pernah mengejar Dean, melihat suaminya itu nampak akrab dengan wanita itu. Bahkan Dean sempat m
"Kenapa kak Dean jahat sekali denganku?" Karin bertanya dengan wajah kesal setelah dibawa masuk oleh Nolan ke dalam kamarnya. "Dia langsung berlari mengejar istrinya dan meninggalkanku begitu saja. Dia seperti bukan kakak Dean yang kukenal."Nolan yang sedang berdiri di depan Karin, mencoba untuk menenangkannya ketika melihat adik sepupu Dean itu terlihat sedang kesal. "Nona, seharunya kau tidak boleh terlalu menempel pada Tuan Dean.”“Apa yang salah dengan itu?” Karin bertanya dengan ekspresi marah. “Aku sudah sering melakukannya dulu. Lagi, pula, aku melakukan itu, karena aku merindukannya.”Nolan menghela napas sejenak, sebelum memberikan pengertian kembali pada wanita muda di depannya itu. “Nona, Tuan Dean sudah menikah, kau tidak boleh melakukan itu lagi. Kau bisa membuat mereka salah paham jika kau terus melakukan itu.” Dia masih berusaha tetap bersikap sopan pada Karin, meskipun wanita di depannya sudah mulai meninggikan suaranya tadi."Biarkan saja dia salah paham padaku. Aku
Saat terbangun di pagi hari, Lucia tidak melihat keberadaan Dean tidak kamar tersebut. Dia pun segera menyingkap selimut dan turun dari ranjangx kemudian melangkah menuju jendela kamarnya yang langsung menghadap ke arah teras luar. Dia melihat Dean sedang berenang di kolam renang pribadi.Senyuman lebar langsung terukir jelas di bibir tipisnya ketika melihat itu. Dengan segera, dia berjalan menuju kamar mandi untuk menggosok gigi serta mencuci wajahnya. Baru setelah itu, dia melangkah keluar, menyusul suaminya. “Sudah bangun?” tanya Dean ketika melihat istrinya berjalan mendekat ke arah kolam renang.“Iya,” jawab Lucia seraya mengangguk. “Kenapa tidak membangunkanku?” Lucia bertanya seraya duduk di kursi pantai yang berada di dekat kolam renang.“Aku tidak mau mengganggu tidurmu.” Dean berenang ke tepian, setelah itu naik ke atas. Ketika melihat pemandangan di depannya itu, Lucia nampak tertegunn dengan ekspresi kagum.'Astaga, kenapa dia terlihat sangat tampan dan seksi dalam keadaan
“Dean, kita akan pulang ke mana?” Lucia akhirnya bertanya setelah dia memasuki mobil yang terparkir tidak jauh dari pintu keluar bandara. Mereka baru saja tiba di kota Y, setelah berbulan madu selama 12 hari, lebih panjang dari rencana sebelumnya. Orang yang menjemput mereka adalah supir pribadi dari kakek Dean.“Kita ke tempat kakek dulu. Nanti kita baru pindah.”Itu sebenarnya permintaan kakek dan nenek Dean. Mereka merasa kesepian. Sebab itu meminta cucu mereka untuk tinggal sementara di kediaman Anderson.“Baiklah.”“Apa kau keberatan jika kita tinggal sementara di tempat kakek?”Lucia menoleh pada suami seraya tersenyum. “Tidak. Aku justru senang,” jawab Lucia. Setibanya di kediaman Anderson, keduanya langsung disambut antusias oleh kakek dan nenek Dean. Mereka terlihat sangat bahagia melihat kedatangan Lucia dan Dean. Tuan Federick dan nyonya Sheema segera membawa mereka ke ruangan keluarga, dan menyuruh pelayan untuk menyiapkan makan untuk Lucia dan Dea.Setelah makan siang d
"Bernice, maafkan aku. Aku tidak bisa menepati janjiku untuk membawa Jensen." Lucia memeluk adik Dean dengan mata yang memerah. Setelah pulang dari pusat perbelanjaan, Lucia langsung meminta Dean untuk mengantarnya ke rumah sakit tempat Bernice dirawat. Setelah itu, Dean mengantar ibunya untuk pulang ke apartemen. Jadi saat ini, mereka hanya berdua. "Jensen tidak akan kembali. Dia sudah memiliki kehidupan baru dengan orang lain. Tolong relakan dia. Aku yakin suatu saat nanti, kau akan menemukan pria yang tulus mencintaimu," ucap Lucia dengan suara bergetar. "Kau bisa melampiaskan kemarahanmu padaku, kapan pun kau mau. Aku berjanji akan menebus kesalahan kakakku seumur hidupku." Lucia tidak bisa lagi membendung air mata yang sejak tadi dia berusaha tahan. Tubuh bergetar, karena berusaha meredam suara tangisnya. "Akan kulakukan apa pun demi kesembuhanmu." Hening selama beberapa saat. Setelah itu, tiba-tiba saja Lucia mendengar suara lirih Bernice, "Kak, aku mau pulang." Lucia langs
"Lucia, aku ke toilet dulu," kata Dean sambil berdiri. "Kau tunggu di sini dulu." "Baiklah." Saat ini, mereka sedang berada di restoran yang ada di pusat perbelanjaan di kota Bristol. Mereka baru saja dari rumah sakit sebelum ke sana. Rencananya mereka akan kembali ke kota Y tiga hari lagi. Itu sebabnya, mereka ke rumah sakit untuk berkonsultasi dengan Dokter kandungan sekaligus meminta surat izin untuk melakukan penerbangan jarak jauh. Untuk pulang ke negaranya, Dean sengaja menyewa seorang Dokter Kandungan selama mereka melakukan penerbangan, karena takut terjadi apa-apa dengan istrinya selama penerbangan. Beruntung Dean menggunakan jet pribadi. Jadi, segala sesuatunya sudah diurus sedemikian rupa demi kenyaman Lucia selama penerbangan. Sudah 4 hari Dean berada di Bristol. Jadi, dia harus segera kembali ke kota Y, dikarenakan banyak pekerjaan yang sudah menunggunya. Sebenarnya, Lucia masih ingin di Bristol menemani Bernice dan ibu mertuanya. Hanya saja, Dean melarangnya, karena
"Kau yakin tidak mau dirawat?" tanya Dean setelah keluar dari ruangan Dokter Kandungan. Mereka baru saja selesai memeriksakan kehamilan Lucia. Setelah istrinya bangun dan selesai sarapan, Dean langsung mengajaknya ke rumah sakit. Dia sangat khawatir dengan kondisi janin dalam perut istrinya, mengingat bagaimana semalam dia menggempur istrinya. Selain itu juga, Lucia belum pernah memeriksakan lagi kehamilannya semenjak mengetahui dirinya hamil seminggu yang lalu. Itu sebabnya, dia mengajak istrinya untuk memeriksakan kondisi kehamilannya. Lucia yang juga ingin tahu tentang janin dalam kandunganya, tidak menolak ketika Dean mengajaknya untuk ke rumah sakit. Lagi pula, dia memang sengaja menunggu Dean karena ingin memeriksakan kehamilannya bersama suaminya. "Aku baik-baik saja, Dean. Kau dengar sendiri bukan apa yang dikatakan oleh Dokter tadi?" Dean mengangguk ringan, kemudian tersenyum tipis. Setelah mengetahui tidak terjadi apa-apa dengan kandungan istrinya, dia baru bisa bernapas
"Bu, di mana istriku?" Dean bertanya sembari berjalan mendekati ibunya yang sedang duduk di sofa ruangan keluarga. Dean baru saja tiba di apartemen yang disewa ibunya selama tinggal di Bristol. "Dia di kamarnya," jawab Nyonya Arnetta. "Kenapa kau baru ke sini?"Dean menggulung lengan kemejanya setelah itu berkata, "Ada sedikit masalah di perusahaan. Jadi, terpaksa aku memundurkan penerbanganku.""Istrimu sudah menunggumu sejak dua hari yang lalu. Kasihan dia kecewa saat tahu kau tidak jadi ke sini. Sudah dua hari ini dia nampak sedih dan lesu."Dean sedikit terkejut mendengar itu. Pasalnya, setiap berkomunikasi dengan istrinya, Lucia tidak pernah menampilkan raut wajah sedih dan kecewa. "Apa dia sedang sakit?""Dia sedang tidak enak badan. Sejak kemarin dia—"Belum usai ibunya bicara, Dean langsung memotongnya setelah mendengar istrinya tidak enak badan. "Aku akan menemuinya.""Dean istrimu sedang ..."Dean bergegas menuju kamar yang ditempati Lucia tanpa menunggu penjelasan lengkap
"Di mana Carissa?" tanya Dean setelah asistennya masuk ke ruangan kerjanya."Sedang dalam perjalanan, Tuan.""Lalu Rebecca?""Sudah di tempat yang Tuan perintahkan."Dean berpikir sebentar, lalu berkata, "Tunggu di bawah. Aku hubungi istriku dulu."Nolan menjawab seraya mengangguk, kemudian keluar dari ruangan itu."Sayang, kau sedang apa?" tanya Dean setelah panggilan telponnya tersambung. "Baru selesai makan. Kau kapan ke sini?" Terdengar suara Lucia di ujung telpon."Belum tahu. Pekerjaanku masih banyak."Tidak terdengar apa pun di sebrang sana, hingga Dean kembali membuka suaranya, "Kenapa? Sudah merindukan aku?""Bekerjalah, aku tutup dulu telponnya."Tahu kalau istrinya sedang marah, Dean segera berbicara, "Aku akan ke sana lusa.""Benarkah?" Suara Lucia terdengar antusias, tidak lesu seperti sebelumnya. "Kau tidak berbohong, kan?""Tidak. Setelah urusanku selesai. Aku akan langsung terbang ke sana."Lucia terdengar memekik kegirangan. Sepertinya dia merasa sangat senang saat t
"Sayang, makanlah. Ini sudah sore." Dean sedang berusaha membujuk istrinya untuk makan, karena sejak pulang dari rumah sakit, Lucia langsung mengurung diri kamar hotel. Dia terus berbaring sambil melamun.Sudah berkali-kali Dean mengajaknya untuk makan, tapi Lucia menolak. Alasannya, karena dia tidak selera makan. Akhirnya Dean membiarkan istrinya untuk sendiri dulu. Dia tahu kalau istrinya itu masih terkejut dengan dengan kondisi Bernice. Jadi, butuh waktu untuk menerima kenyataan yang ada."Aku belum lapar," jawab Lucia tanpa menoleh pada Dean. Lucia nampak sedang duduk di dekat dinding kaca kamarnya sembari menatap ke luar dengan tatapan kosong.Dean akhirnya menghampiri istrinya setelah meletakkan makanan yang tadi baru saja diambil dari atas nakas. "Tapi, kau harus tetap makan. Aku tidak mau kau sakit."Lucia memutar tubuhnya ke samping setelah suaminya berdiri tepat di sampingnya. "Nanti aku akan makan jika sudah lapar."Kau masih memikirkan Bernice?”Lucia mengangguk dengan waj
"Jangan terlalu dipikirkan. Aku akan meminta orang untuk mencarinya lagi." Dean akhirnya angkat bicara setelah melihat istrinya sejak tadi diam saja. Saat ini, mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit tempat Bernice dirawat. Semenjak tidak berhasil mengikuti mobil hitam yang diduga dinaiki Jensen, Lucia menjandi murung. Entah apa yang ada di pikirannya, tapi dia lebih banyak diam sejak kemarin."Kita pasti bisa menemukannya. Jangan cemas lagi," ujar Dean sembari menatap istrinya yang duduk di sebelahnya."Aku tidak mencemaskannya, tapi aku marah padanya." Suara Lucia mulai terdengar bergetar. "Bagaimana bisa dia hidup tanpa beban setelah menghancurkan hidup Bernice." Mata Lucia pun mulai berkaca-kaca, dan tidak lama setelahnya, air matanya pun luruh begitu saja. Entah kenapa, belakangan ini, dia merasa sangat sensitif. Mudah sekali menangis. Padahal, dulu dia tidak begitu."Jika dia tidak peduli denganku, aku masih bisa memakluminya, tapi aku tidak bisa memaafkannya, karena
"Kenapa tidak tidur?" tanya Dean lembut usai menarik selimut untuk menutupi tubuh keduanya. "Tidak mengantuk?"Lucia menggeleng pelan seraya memainkan jemari tangannya di dada suaminya. Saat ini, dia sedang berbaring miring dengan kepala yang berada di lengan suaminya. Sementara itu, ada tangan Dean melingkar di pinggangnya."Tidur sebentar. Setelah itu kita makan di bawah."Bagaimanapun, mereka belum istirahat. Dia langsung mengajak istrinya ke rumah sakit tempat adiknya dirawat, setelah tiba di Bristol. Setelah itu, baru membawanya ke hotel. Bukannya membiarkan istrinya istirahat, dia justru menghajar istrinya tanpa ampun. Jadi, dia takut istrinya lelah."Aku tidak mengantuk."Lucia sudah lama tidur di pesawat. Jadi, wajar saja kalau tidak mengantuk. Meskipun dia merasa tubuhnya pegal, tapi matanya tidak mau terpejam."Tidak lelah?" tanya Dean seraya menunduk ke bawah untuk melihat wajah istrinya. "Tidak."Tidak?Dean nampak mengerutkan keningnya. Istrinya terlalu tanggguh atau sta
Lucia mengurai pelukan Dean, mendongakkan kepada hingga netranya bertabrakan dengan mata hitam Dean. "Kau belum menjelaskan mengenai pertemuanmu dengan Carissa. Kenapa kau sering sekali bertemu dengannya di hotel berbeda?"Bukannya menjawab pertanyaan Lucia, Dean justru menarik senyuman sangat tipis di bibirnya, kemudian menggodan Lucia. "Kau sungguh berpikir aku memiliki hubungan dengan Carissa?""Sudahlah. Percuma saja bertanya padamu." Wajah Lucia nampak cemberut, dia mendorong dada suaminya dengan pelan. Saat dia akan bangkit, tangan Dean langsung menahan pinggangnya."Mau ke mana?""Tidak ke mana-mana," jawan Lucia acuh tak acuh."Masih cemburu dengannya?" tanya Dean seraya mengamati eskpresi istrinya. Tatapannya begitu lekat hingga membuat Lucia menjadi salah tingkah.Melihat Lucia bungkam, Dean kembali tersenyum tipis. "Aku tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Carissa. Aku bertemu dengannya, karena ada hal penting yang harus aku bicarakan dengannya.""Hal penting apa?"Dean m