Melihat Lucia sedang berdiri di balkon kamar mereka, Dean segera menyusulnya dan memeluknya dari belakang. "Kenapa langsung pergi?" tanya Dean lembut, tepat di dekat telinga kiri Lucia."Tidak apa-apa. Aku pikir kau sedang sibuk."Tadinya, dia berencana untuk menyusul Dean ke restoran untuk sarapan bersama setelah selesai mandi. Namun, ternyata dia sudah lebih dulu melihat Dean kembali bersama dengan wanita lain. Jadi, dia memutuskan untuk kembali ke kamar dan memesan layanan kamar saja."Tidak sibuk. Kau hanya berbicara dengan Nolan sebentar, dan Karin tiba-tiba datang."Dean tentu saja tahu maksud dari kata "sibuk" yang diucapkan oleh istrinya. itu sebabnya dia langsung menjelaskan pada Lucia mengenai wanita yang tadi bersamanya."Karin nama wanita tadi?" Nama itu terdengar familiar di telinga Lucia. Namun, dia lupa di mana dia mendengarnya. Apa mungkin itu salah satu wanita yang dulunya pernah mengejar Dean, melihat suaminya itu nampak akrab dengan wanita itu. Bahkan Dean sempat m
"Kenapa kak Dean jahat sekali denganku?" Karin bertanya dengan wajah kesal setelah dibawa masuk oleh Nolan ke dalam kamarnya. "Dia langsung berlari mengejar istrinya dan meninggalkanku begitu saja. Dia seperti bukan kakak Dean yang kukenal."Nolan yang sedang berdiri di depan Karin, mencoba untuk menenangkannya ketika melihat adik sepupu Dean itu terlihat sedang kesal. "Nona, seharunya kau tidak boleh terlalu menempel pada Tuan Dean.”“Apa yang salah dengan itu?” Karin bertanya dengan ekspresi marah. “Aku sudah sering melakukannya dulu. Lagi, pula, aku melakukan itu, karena aku merindukannya.”Nolan menghela napas sejenak, sebelum memberikan pengertian kembali pada wanita muda di depannya itu. “Nona, Tuan Dean sudah menikah, kau tidak boleh melakukan itu lagi. Kau bisa membuat mereka salah paham jika kau terus melakukan itu.” Dia masih berusaha tetap bersikap sopan pada Karin, meskipun wanita di depannya sudah mulai meninggikan suaranya tadi."Biarkan saja dia salah paham padaku. Aku
Saat terbangun di pagi hari, Lucia tidak melihat keberadaan Dean tidak kamar tersebut. Dia pun segera menyingkap selimut dan turun dari ranjangx kemudian melangkah menuju jendela kamarnya yang langsung menghadap ke arah teras luar. Dia melihat Dean sedang berenang di kolam renang pribadi.Senyuman lebar langsung terukir jelas di bibir tipisnya ketika melihat itu. Dengan segera, dia berjalan menuju kamar mandi untuk menggosok gigi serta mencuci wajahnya. Baru setelah itu, dia melangkah keluar, menyusul suaminya. “Sudah bangun?” tanya Dean ketika melihat istrinya berjalan mendekat ke arah kolam renang.“Iya,” jawab Lucia seraya mengangguk. “Kenapa tidak membangunkanku?” Lucia bertanya seraya duduk di kursi pantai yang berada di dekat kolam renang.“Aku tidak mau mengganggu tidurmu.” Dean berenang ke tepian, setelah itu naik ke atas. Ketika melihat pemandangan di depannya itu, Lucia nampak tertegunn dengan ekspresi kagum.'Astaga, kenapa dia terlihat sangat tampan dan seksi dalam keadaan
“Dean, kita akan pulang ke mana?” Lucia akhirnya bertanya setelah dia memasuki mobil yang terparkir tidak jauh dari pintu keluar bandara. Mereka baru saja tiba di kota Y, setelah berbulan madu selama 12 hari, lebih panjang dari rencana sebelumnya. Orang yang menjemput mereka adalah supir pribadi dari kakek Dean.“Kita ke tempat kakek dulu. Nanti kita baru pindah.”Itu sebenarnya permintaan kakek dan nenek Dean. Mereka merasa kesepian. Sebab itu meminta cucu mereka untuk tinggal sementara di kediaman Anderson.“Baiklah.”“Apa kau keberatan jika kita tinggal sementara di tempat kakek?”Lucia menoleh pada suami seraya tersenyum. “Tidak. Aku justru senang,” jawab Lucia. Setibanya di kediaman Anderson, keduanya langsung disambut antusias oleh kakek dan nenek Dean. Mereka terlihat sangat bahagia melihat kedatangan Lucia dan Dean. Tuan Federick dan nyonya Sheema segera membawa mereka ke ruangan keluarga, dan menyuruh pelayan untuk menyiapkan makan untuk Lucia dan Dea.Setelah makan siang d
“Ada apa denganmu? Kenapa wajahmu murung begitu?” Renata bertanya seraya memandang wajah Lucia yang nampak tidak bersemangat. Sudah satu jam, Renata berada di apartemen miliknya yang masih di tempati orang tua Lucia, dan sejak tadi, Renata perhatikan kalau Lucia terus menatap ke arah ponselnya. Seperti sedang menunggu sesuatu.“Bukankah seharusnya kau bahagia, karena sudah menikah dengan Dean?” tanya Renata lagi setelah mendengar helaan napas halus sahabatnya.“Dean pergi sejak pagi tadi dan dia belum menghubungiku sampai sekarang.” Setelah menelpon Jossy, Lucia meminta izin pada pada tuan Federick dan nyonya Sheema untuk mengunjungi orang tuanya. Beruntung, Renata juga sedang tidak bekerja. Jadi, dia menghubungi Renata dan memintanya untuk datang menemuinya.“Memangnya dia ke mana?”Lucia yang sedang berbaring di tempat tidur, akhirnya menggeleng dengan wajah lesu. “Dia tidak memberitahuku.” “Mungkin saja dia ada urusan penting.”“Urusan penting apa sampai dia tidak bisa mengabarik
Pria tampan yang ditatap oleh Bernice nampak mengernyit. Belum sempat dia membuka suara, Bernice sudah lebih dulu menghambur ke pelukannya.“Kak Jensen, kau ke mana saja? Aku sangat merindukanmu." Tubuh pria tinggi itu seketika menengang ketika mendapatkan pelukan tiba-tiba dari Bernice. Untuk sesaat, dia berdiri mematung dengan ekspresi tercengang.“Aku pikir tidak akan pernah bertemu denganmu lagi.”Bernice tidak memperdulikan lagi rasa sakit yang menyerang punggung telapak tangannya, akibat melepas infus dari tangannya sebelum akhirnya berlari ke arah pria yang dia pikir Jensen. Bahkan, dia tidak sadar kalau bekas infus yang terjabut itu mengeluarkan cairan merah.“Maaf, Nona. Kau salah orang.” Pria tegap yang berdiri di samping pria tinggi tersebut menarik paksa Bernice hingga pelukannya terurai. “Namanya Tuan Gevin, bukan Jensen.”Bernice yang sempat tersentak akibat ditarik secara tiba-tiba oleh pria tegap itu, akhirnya beralih menatap pria tinggi di depannya dengan alis menya
“Nyonya, sebaiknya kau menghubungi Psikiater putrimu yang sebelumnya, atau kau bisa kembalikan dia ke Bristol lagi,” ucap Dokter yang baru saja menangani Bernice.“Kenapa? Kenapa aku harus membawanya ke sana lagi?” tanya Nyonya Arnetta dengan menggebu.“Ini bukan tempat yang cocok untuk putrimu. Sepertinya mentalnya kembali …” Dokter menjeda ucapannya sembari menatap ke arah Bernice yang nampak duduk dengan tatapan kosong. “Kau tahu sendiri maksudku.”“Tapi, kenapa bisa terjadi? Selama ini, dia sudah bisa hidup normal seperti orang lain.”“Ada hal yang menjadi pemicunya. Mungkin juga ini berkaitan dengan kejadian di masa lalu.”“Apa tidak bisa ditangani di sini saja?”Jika harus pergi ke Bristol lagi, itu akan memakan banyak waktu, dan juga dia tidak ingin anaknya di rawat di sana lagi. Sudah cukup selama ini anaknya tinggal di sana.“Bisa. Namun, akan membutuhkan waktu lama untul proses penyembuhannya. Kami harus memiliki riwayat medis Nona Bernice sebelumnya, dan juga kami harus memp
Setelah pesawat yang dia naiki mendarat di bandara ibu kota, Lucia segera menaiki taksi menuju alamat yang baru saja dikirim oleh seseorang. Dengan perasaan kalut, dia mencoba untuk memejamkan kedua mata hingga tiba di tempat tujuan. Setela turun dari taksi, Lucia langsung menuju ke bagian resepsionis untuk memesan kamar. "Aku ingin kamar di lantai 30, bersebelahan dengan kamar 3010," ucap Lucia langsung pada intinya.Wanita yang memakai seragam khas pegawai hotel itu nampak tertegun. Mungkin dia heran dengan permintaan Lucia yang tiba-tiba. Biasanya, orang lain jika datang ke hotel, dia akan bertanya apakah ada kamar kosong atau tidak. Jenis kamar apa saja yang tersedia. Jika tidak, bagian resepsionis sendiri yang akan menanyakan tipe kamar seperti apa yang tamu inginkan. Berbeda sekali dengan Lucia yang langsung menyebutkan lantai dan nomor kamar, seolah dia sudah pernah ke sana dan mengetahui seluk-beluk hotel tersebut."Bagaimana?" Lucia kembali bertanya, karena melihat wanita