“Ada apa denganmu? Kenapa wajahmu murung begitu?” Renata bertanya seraya memandang wajah Lucia yang nampak tidak bersemangat. Sudah satu jam, Renata berada di apartemen miliknya yang masih di tempati orang tua Lucia, dan sejak tadi, Renata perhatikan kalau Lucia terus menatap ke arah ponselnya. Seperti sedang menunggu sesuatu.“Bukankah seharusnya kau bahagia, karena sudah menikah dengan Dean?” tanya Renata lagi setelah mendengar helaan napas halus sahabatnya.“Dean pergi sejak pagi tadi dan dia belum menghubungiku sampai sekarang.” Setelah menelpon Jossy, Lucia meminta izin pada pada tuan Federick dan nyonya Sheema untuk mengunjungi orang tuanya. Beruntung, Renata juga sedang tidak bekerja. Jadi, dia menghubungi Renata dan memintanya untuk datang menemuinya.“Memangnya dia ke mana?”Lucia yang sedang berbaring di tempat tidur, akhirnya menggeleng dengan wajah lesu. “Dia tidak memberitahuku.” “Mungkin saja dia ada urusan penting.”“Urusan penting apa sampai dia tidak bisa mengabarik
Pria tampan yang ditatap oleh Bernice nampak mengernyit. Belum sempat dia membuka suara, Bernice sudah lebih dulu menghambur ke pelukannya.“Kak Jensen, kau ke mana saja? Aku sangat merindukanmu." Tubuh pria tinggi itu seketika menengang ketika mendapatkan pelukan tiba-tiba dari Bernice. Untuk sesaat, dia berdiri mematung dengan ekspresi tercengang.“Aku pikir tidak akan pernah bertemu denganmu lagi.”Bernice tidak memperdulikan lagi rasa sakit yang menyerang punggung telapak tangannya, akibat melepas infus dari tangannya sebelum akhirnya berlari ke arah pria yang dia pikir Jensen. Bahkan, dia tidak sadar kalau bekas infus yang terjabut itu mengeluarkan cairan merah.“Maaf, Nona. Kau salah orang.” Pria tegap yang berdiri di samping pria tinggi tersebut menarik paksa Bernice hingga pelukannya terurai. “Namanya Tuan Gevin, bukan Jensen.”Bernice yang sempat tersentak akibat ditarik secara tiba-tiba oleh pria tegap itu, akhirnya beralih menatap pria tinggi di depannya dengan alis menya
“Nyonya, sebaiknya kau menghubungi Psikiater putrimu yang sebelumnya, atau kau bisa kembalikan dia ke Bristol lagi,” ucap Dokter yang baru saja menangani Bernice.“Kenapa? Kenapa aku harus membawanya ke sana lagi?” tanya Nyonya Arnetta dengan menggebu.“Ini bukan tempat yang cocok untuk putrimu. Sepertinya mentalnya kembali …” Dokter menjeda ucapannya sembari menatap ke arah Bernice yang nampak duduk dengan tatapan kosong. “Kau tahu sendiri maksudku.”“Tapi, kenapa bisa terjadi? Selama ini, dia sudah bisa hidup normal seperti orang lain.”“Ada hal yang menjadi pemicunya. Mungkin juga ini berkaitan dengan kejadian di masa lalu.”“Apa tidak bisa ditangani di sini saja?”Jika harus pergi ke Bristol lagi, itu akan memakan banyak waktu, dan juga dia tidak ingin anaknya di rawat di sana lagi. Sudah cukup selama ini anaknya tinggal di sana.“Bisa. Namun, akan membutuhkan waktu lama untul proses penyembuhannya. Kami harus memiliki riwayat medis Nona Bernice sebelumnya, dan juga kami harus memp
Setelah pesawat yang dia naiki mendarat di bandara ibu kota, Lucia segera menaiki taksi menuju alamat yang baru saja dikirim oleh seseorang. Dengan perasaan kalut, dia mencoba untuk memejamkan kedua mata hingga tiba di tempat tujuan. Setela turun dari taksi, Lucia langsung menuju ke bagian resepsionis untuk memesan kamar. "Aku ingin kamar di lantai 30, bersebelahan dengan kamar 3010," ucap Lucia langsung pada intinya.Wanita yang memakai seragam khas pegawai hotel itu nampak tertegun. Mungkin dia heran dengan permintaan Lucia yang tiba-tiba. Biasanya, orang lain jika datang ke hotel, dia akan bertanya apakah ada kamar kosong atau tidak. Jenis kamar apa saja yang tersedia. Jika tidak, bagian resepsionis sendiri yang akan menanyakan tipe kamar seperti apa yang tamu inginkan. Berbeda sekali dengan Lucia yang langsung menyebutkan lantai dan nomor kamar, seolah dia sudah pernah ke sana dan mengetahui seluk-beluk hotel tersebut."Bagaimana?" Lucia kembali bertanya, karena melihat wanita
“Dean, mari berpisah. Aku sudah tidak sanggup lagi meneruskan pernikahan ini.”"Aku tidak mau berpisah denganmu," tolak Dean dengan tegas. Sorot mata terlihat tajam dan rahangnya nampak mengeras."Aku tidak peduli. Kau setuju atau tidak, aku akan tetap mengurus perceraian kita."Saat melihat ketegangan di antara keduanya, Carissa segera menghampri mereka dan berkata, "Lucia, biar aku jelaskan padamu, semua—"Plaak!Tamparan keras mendarat di pipi kiri Carissa hingga membuat wajahnya langsung memerah. "Lucia, kau ...." Carissa menatap Lucia sembari memegang pipinya yang terasa kebas akibat kuatnya tamparan yang dilayangkan oleh Lucia. "Itu balasan untukmu, karena sudah berani menjebakku dan juga menyebarkan vidioku.""Lucia, tenanglah," kata Dean."Kenapa? Tidak terima?" tanya Lucia dengan marah. "Kau bisa menamparku juga jika kau tidak puas dengan apa yang aku lakukan pada wanitamu itu.""Sudah kubilang, aku tidak memiliki hubungan apa pun dengan Carissa. Apa kau tidak mengerti juga
"Cari dia sampai dapat. Aku tidak peduli kau menggunakan metode apa, yang kuinginkan adalah segera temukan istriku," perintah Dean pada pria tegap yang memakai seragam lengkap berwarna hitam yang sedang berdiri di hadapannya."Baik, Tuan."Ketika pria itu akan melangkah pergi, Dean segera menghentikannya. "Ingat, aku tidak ingin menunggu lama. Waktumu hanya 3 hari."Usai pria tegap itu pergi, Nolan masuk ke dalam ruangan kerja Dean. "Apa kau sudah menemukan siapa yang mengirimkan pesan pada Lucia?" Sudah 5 hari Dean mencari keberadaan Lucia. Namun, sampai saat ini, dia belum menemukan jejak apa pun dari istrinya. Setelah menghilang hari itu, Dean langsung kembali ke kota Y. Padahal, dia masih memiliki urusan penting di saat itu. Dia pikir, Lucia kembali ke kediaman Anderson setelah pergi diam-diam, tapi ternyata dia tidak pernah ke sana. Dean semakin panik saat tahu kalau Lucia tidak kembali ke tempat orang tuanya. "Belum, Tuan." Nomor ponsel itu, hanya sekali pakai dan sudah tid
“Lucia, sampai kapan kau akan menghindari Dean? Apa kau tidak ada niat kembali ke kota Y?” tanya pria tampan yang memiliki wajah campuran itu.“Nanti aku pasti akan kembali, tapi tidak sekarang.”Masih banyak yang menjadi pertimbangannya untuk pulang ke kota Y.“Lucia, Dean akan menghabisiku jika sampai dia tahu aku yang membantumu bersembunyi.”Lucia yang sejak tadi sedang duduk termenung di meja makan, menatap pria di depannya yang baru saja meletakkan makanan di atas meja dengan wajah bersalah. “Victor, maafkan aku. Hanya kau yang bisa membantuku saat ini.”Setelah berhasul keluar dari hotel itu, Lucia memutuskan untuk segera pergi ke bandara. Dia bukannya pulang ke kota Y, tapi justru dia pergi ke negara yang tidak jauh dari tempatnya melarikan diri 3 tahun lalu. Namun, baru saja tiba di bandara tujuan, dia tidak sengaja bertemu dengan Victor di bandara. Ingin kabur, tapi pria itu sudah terlanjur melihatnya. Mau tidak mau dia meminta Victor untuk merahasiakan pertemuan mereka dar
“Jhon, apa kau sudah menemukan sedikit informasi mengenai keberadaan kakakku?” tanya Lucia setelah panggilan telponnya diangkat oleh Jhon.“Belum. Aku sudah menyebarkan foto kakakmu pada orang-orang yang aku kenal. Aku juga sudah meminta bantuan pada beberapa temanku untuk mencari kakakmu.”Raut wajah Lucia nampak lesu. Sudah hampir dua minggu lebih dia mencari kakaknya, tapi belum juga mendapatkan kabar mengenai kakaknya. “Apa kau yakin pernah melihat kakakku sebelumnya?”Dua minggu lalu, saat Lucia meminta tolong pada Jhon menemukan kakaknya. Pria itu mengatakan kalau dia pernah melihat wajah yang mirip dengan foto yang ditunjukkan oleh Lucia, tapi dia lupa pernah melihatnya di mana. Dia sudah mencoba mengingat beberapa kali. Namun, dia sama sekali tidak ingat.“Iya. Aku yakin, tapi sepertinya sudah sangat lama. Maka dari itu, aku tidak bisa mengingatnya dengan jelas kapan aku melihatnya. Aku pasti akan menghubungimu jika aku mendapatkan kabar sekecil apa pun tentang kakakmu.”“Baik
"Bernice, maafkan aku. Aku tidak bisa menepati janjiku untuk membawa Jensen." Lucia memeluk adik Dean dengan mata yang memerah. Setelah pulang dari pusat perbelanjaan, Lucia langsung meminta Dean untuk mengantarnya ke rumah sakit tempat Bernice dirawat. Setelah itu, Dean mengantar ibunya untuk pulang ke apartemen. Jadi saat ini, mereka hanya berdua. "Jensen tidak akan kembali. Dia sudah memiliki kehidupan baru dengan orang lain. Tolong relakan dia. Aku yakin suatu saat nanti, kau akan menemukan pria yang tulus mencintaimu," ucap Lucia dengan suara bergetar. "Kau bisa melampiaskan kemarahanmu padaku, kapan pun kau mau. Aku berjanji akan menebus kesalahan kakakku seumur hidupku." Lucia tidak bisa lagi membendung air mata yang sejak tadi dia berusaha tahan. Tubuh bergetar, karena berusaha meredam suara tangisnya. "Akan kulakukan apa pun demi kesembuhanmu." Hening selama beberapa saat. Setelah itu, tiba-tiba saja Lucia mendengar suara lirih Bernice, "Kak, aku mau pulang." Lucia langs
"Lucia, aku ke toilet dulu," kata Dean sambil berdiri. "Kau tunggu di sini dulu." "Baiklah." Saat ini, mereka sedang berada di restoran yang ada di pusat perbelanjaan di kota Bristol. Mereka baru saja dari rumah sakit sebelum ke sana. Rencananya mereka akan kembali ke kota Y tiga hari lagi. Itu sebabnya, mereka ke rumah sakit untuk berkonsultasi dengan Dokter kandungan sekaligus meminta surat izin untuk melakukan penerbangan jarak jauh. Untuk pulang ke negaranya, Dean sengaja menyewa seorang Dokter Kandungan selama mereka melakukan penerbangan, karena takut terjadi apa-apa dengan istrinya selama penerbangan. Beruntung Dean menggunakan jet pribadi. Jadi, segala sesuatunya sudah diurus sedemikian rupa demi kenyaman Lucia selama penerbangan. Sudah 4 hari Dean berada di Bristol. Jadi, dia harus segera kembali ke kota Y, dikarenakan banyak pekerjaan yang sudah menunggunya. Sebenarnya, Lucia masih ingin di Bristol menemani Bernice dan ibu mertuanya. Hanya saja, Dean melarangnya, karena
"Kau yakin tidak mau dirawat?" tanya Dean setelah keluar dari ruangan Dokter Kandungan. Mereka baru saja selesai memeriksakan kehamilan Lucia. Setelah istrinya bangun dan selesai sarapan, Dean langsung mengajaknya ke rumah sakit. Dia sangat khawatir dengan kondisi janin dalam perut istrinya, mengingat bagaimana semalam dia menggempur istrinya. Selain itu juga, Lucia belum pernah memeriksakan lagi kehamilannya semenjak mengetahui dirinya hamil seminggu yang lalu. Itu sebabnya, dia mengajak istrinya untuk memeriksakan kondisi kehamilannya. Lucia yang juga ingin tahu tentang janin dalam kandunganya, tidak menolak ketika Dean mengajaknya untuk ke rumah sakit. Lagi pula, dia memang sengaja menunggu Dean karena ingin memeriksakan kehamilannya bersama suaminya. "Aku baik-baik saja, Dean. Kau dengar sendiri bukan apa yang dikatakan oleh Dokter tadi?" Dean mengangguk ringan, kemudian tersenyum tipis. Setelah mengetahui tidak terjadi apa-apa dengan kandungan istrinya, dia baru bisa bernapas
"Bu, di mana istriku?" Dean bertanya sembari berjalan mendekati ibunya yang sedang duduk di sofa ruangan keluarga. Dean baru saja tiba di apartemen yang disewa ibunya selama tinggal di Bristol. "Dia di kamarnya," jawab Nyonya Arnetta. "Kenapa kau baru ke sini?"Dean menggulung lengan kemejanya setelah itu berkata, "Ada sedikit masalah di perusahaan. Jadi, terpaksa aku memundurkan penerbanganku.""Istrimu sudah menunggumu sejak dua hari yang lalu. Kasihan dia kecewa saat tahu kau tidak jadi ke sini. Sudah dua hari ini dia nampak sedih dan lesu."Dean sedikit terkejut mendengar itu. Pasalnya, setiap berkomunikasi dengan istrinya, Lucia tidak pernah menampilkan raut wajah sedih dan kecewa. "Apa dia sedang sakit?""Dia sedang tidak enak badan. Sejak kemarin dia—"Belum usai ibunya bicara, Dean langsung memotongnya setelah mendengar istrinya tidak enak badan. "Aku akan menemuinya.""Dean istrimu sedang ..."Dean bergegas menuju kamar yang ditempati Lucia tanpa menunggu penjelasan lengkap
"Di mana Carissa?" tanya Dean setelah asistennya masuk ke ruangan kerjanya."Sedang dalam perjalanan, Tuan.""Lalu Rebecca?""Sudah di tempat yang Tuan perintahkan."Dean berpikir sebentar, lalu berkata, "Tunggu di bawah. Aku hubungi istriku dulu."Nolan menjawab seraya mengangguk, kemudian keluar dari ruangan itu."Sayang, kau sedang apa?" tanya Dean setelah panggilan telponnya tersambung. "Baru selesai makan. Kau kapan ke sini?" Terdengar suara Lucia di ujung telpon."Belum tahu. Pekerjaanku masih banyak."Tidak terdengar apa pun di sebrang sana, hingga Dean kembali membuka suaranya, "Kenapa? Sudah merindukan aku?""Bekerjalah, aku tutup dulu telponnya."Tahu kalau istrinya sedang marah, Dean segera berbicara, "Aku akan ke sana lusa.""Benarkah?" Suara Lucia terdengar antusias, tidak lesu seperti sebelumnya. "Kau tidak berbohong, kan?""Tidak. Setelah urusanku selesai. Aku akan langsung terbang ke sana."Lucia terdengar memekik kegirangan. Sepertinya dia merasa sangat senang saat t
"Sayang, makanlah. Ini sudah sore." Dean sedang berusaha membujuk istrinya untuk makan, karena sejak pulang dari rumah sakit, Lucia langsung mengurung diri kamar hotel. Dia terus berbaring sambil melamun.Sudah berkali-kali Dean mengajaknya untuk makan, tapi Lucia menolak. Alasannya, karena dia tidak selera makan. Akhirnya Dean membiarkan istrinya untuk sendiri dulu. Dia tahu kalau istrinya itu masih terkejut dengan dengan kondisi Bernice. Jadi, butuh waktu untuk menerima kenyataan yang ada."Aku belum lapar," jawab Lucia tanpa menoleh pada Dean. Lucia nampak sedang duduk di dekat dinding kaca kamarnya sembari menatap ke luar dengan tatapan kosong.Dean akhirnya menghampiri istrinya setelah meletakkan makanan yang tadi baru saja diambil dari atas nakas. "Tapi, kau harus tetap makan. Aku tidak mau kau sakit."Lucia memutar tubuhnya ke samping setelah suaminya berdiri tepat di sampingnya. "Nanti aku akan makan jika sudah lapar."Kau masih memikirkan Bernice?”Lucia mengangguk dengan waj
"Jangan terlalu dipikirkan. Aku akan meminta orang untuk mencarinya lagi." Dean akhirnya angkat bicara setelah melihat istrinya sejak tadi diam saja. Saat ini, mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit tempat Bernice dirawat. Semenjak tidak berhasil mengikuti mobil hitam yang diduga dinaiki Jensen, Lucia menjandi murung. Entah apa yang ada di pikirannya, tapi dia lebih banyak diam sejak kemarin."Kita pasti bisa menemukannya. Jangan cemas lagi," ujar Dean sembari menatap istrinya yang duduk di sebelahnya."Aku tidak mencemaskannya, tapi aku marah padanya." Suara Lucia mulai terdengar bergetar. "Bagaimana bisa dia hidup tanpa beban setelah menghancurkan hidup Bernice." Mata Lucia pun mulai berkaca-kaca, dan tidak lama setelahnya, air matanya pun luruh begitu saja. Entah kenapa, belakangan ini, dia merasa sangat sensitif. Mudah sekali menangis. Padahal, dulu dia tidak begitu."Jika dia tidak peduli denganku, aku masih bisa memakluminya, tapi aku tidak bisa memaafkannya, karena
"Kenapa tidak tidur?" tanya Dean lembut usai menarik selimut untuk menutupi tubuh keduanya. "Tidak mengantuk?"Lucia menggeleng pelan seraya memainkan jemari tangannya di dada suaminya. Saat ini, dia sedang berbaring miring dengan kepala yang berada di lengan suaminya. Sementara itu, ada tangan Dean melingkar di pinggangnya."Tidur sebentar. Setelah itu kita makan di bawah."Bagaimanapun, mereka belum istirahat. Dia langsung mengajak istrinya ke rumah sakit tempat adiknya dirawat, setelah tiba di Bristol. Setelah itu, baru membawanya ke hotel. Bukannya membiarkan istrinya istirahat, dia justru menghajar istrinya tanpa ampun. Jadi, dia takut istrinya lelah."Aku tidak mengantuk."Lucia sudah lama tidur di pesawat. Jadi, wajar saja kalau tidak mengantuk. Meskipun dia merasa tubuhnya pegal, tapi matanya tidak mau terpejam."Tidak lelah?" tanya Dean seraya menunduk ke bawah untuk melihat wajah istrinya. "Tidak."Tidak?Dean nampak mengerutkan keningnya. Istrinya terlalu tanggguh atau sta
Lucia mengurai pelukan Dean, mendongakkan kepada hingga netranya bertabrakan dengan mata hitam Dean. "Kau belum menjelaskan mengenai pertemuanmu dengan Carissa. Kenapa kau sering sekali bertemu dengannya di hotel berbeda?"Bukannya menjawab pertanyaan Lucia, Dean justru menarik senyuman sangat tipis di bibirnya, kemudian menggodan Lucia. "Kau sungguh berpikir aku memiliki hubungan dengan Carissa?""Sudahlah. Percuma saja bertanya padamu." Wajah Lucia nampak cemberut, dia mendorong dada suaminya dengan pelan. Saat dia akan bangkit, tangan Dean langsung menahan pinggangnya."Mau ke mana?""Tidak ke mana-mana," jawan Lucia acuh tak acuh."Masih cemburu dengannya?" tanya Dean seraya mengamati eskpresi istrinya. Tatapannya begitu lekat hingga membuat Lucia menjadi salah tingkah.Melihat Lucia bungkam, Dean kembali tersenyum tipis. "Aku tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Carissa. Aku bertemu dengannya, karena ada hal penting yang harus aku bicarakan dengannya.""Hal penting apa?"Dean m