“Dean, kita akan pulang ke mana?” Lucia akhirnya bertanya setelah dia memasuki mobil yang terparkir tidak jauh dari pintu keluar bandara. Mereka baru saja tiba di kota Y, setelah berbulan madu selama 12 hari, lebih panjang dari rencana sebelumnya. Orang yang menjemput mereka adalah supir pribadi dari kakek Dean.“Kita ke tempat kakek dulu. Nanti kita baru pindah.”Itu sebenarnya permintaan kakek dan nenek Dean. Mereka merasa kesepian. Sebab itu meminta cucu mereka untuk tinggal sementara di kediaman Anderson.“Baiklah.”“Apa kau keberatan jika kita tinggal sementara di tempat kakek?”Lucia menoleh pada suami seraya tersenyum. “Tidak. Aku justru senang,” jawab Lucia. Setibanya di kediaman Anderson, keduanya langsung disambut antusias oleh kakek dan nenek Dean. Mereka terlihat sangat bahagia melihat kedatangan Lucia dan Dean. Tuan Federick dan nyonya Sheema segera membawa mereka ke ruangan keluarga, dan menyuruh pelayan untuk menyiapkan makan untuk Lucia dan Dea.Setelah makan siang d
“Ada apa denganmu? Kenapa wajahmu murung begitu?” Renata bertanya seraya memandang wajah Lucia yang nampak tidak bersemangat. Sudah satu jam, Renata berada di apartemen miliknya yang masih di tempati orang tua Lucia, dan sejak tadi, Renata perhatikan kalau Lucia terus menatap ke arah ponselnya. Seperti sedang menunggu sesuatu.“Bukankah seharusnya kau bahagia, karena sudah menikah dengan Dean?” tanya Renata lagi setelah mendengar helaan napas halus sahabatnya.“Dean pergi sejak pagi tadi dan dia belum menghubungiku sampai sekarang.” Setelah menelpon Jossy, Lucia meminta izin pada pada tuan Federick dan nyonya Sheema untuk mengunjungi orang tuanya. Beruntung, Renata juga sedang tidak bekerja. Jadi, dia menghubungi Renata dan memintanya untuk datang menemuinya.“Memangnya dia ke mana?”Lucia yang sedang berbaring di tempat tidur, akhirnya menggeleng dengan wajah lesu. “Dia tidak memberitahuku.” “Mungkin saja dia ada urusan penting.”“Urusan penting apa sampai dia tidak bisa mengabarik
Pria tampan yang ditatap oleh Bernice nampak mengernyit. Belum sempat dia membuka suara, Bernice sudah lebih dulu menghambur ke pelukannya.“Kak Jensen, kau ke mana saja? Aku sangat merindukanmu." Tubuh pria tinggi itu seketika menengang ketika mendapatkan pelukan tiba-tiba dari Bernice. Untuk sesaat, dia berdiri mematung dengan ekspresi tercengang.“Aku pikir tidak akan pernah bertemu denganmu lagi.”Bernice tidak memperdulikan lagi rasa sakit yang menyerang punggung telapak tangannya, akibat melepas infus dari tangannya sebelum akhirnya berlari ke arah pria yang dia pikir Jensen. Bahkan, dia tidak sadar kalau bekas infus yang terjabut itu mengeluarkan cairan merah.“Maaf, Nona. Kau salah orang.” Pria tegap yang berdiri di samping pria tinggi tersebut menarik paksa Bernice hingga pelukannya terurai. “Namanya Tuan Gevin, bukan Jensen.”Bernice yang sempat tersentak akibat ditarik secara tiba-tiba oleh pria tegap itu, akhirnya beralih menatap pria tinggi di depannya dengan alis menya
“Nyonya, sebaiknya kau menghubungi Psikiater putrimu yang sebelumnya, atau kau bisa kembalikan dia ke Bristol lagi,” ucap Dokter yang baru saja menangani Bernice.“Kenapa? Kenapa aku harus membawanya ke sana lagi?” tanya Nyonya Arnetta dengan menggebu.“Ini bukan tempat yang cocok untuk putrimu. Sepertinya mentalnya kembali …” Dokter menjeda ucapannya sembari menatap ke arah Bernice yang nampak duduk dengan tatapan kosong. “Kau tahu sendiri maksudku.”“Tapi, kenapa bisa terjadi? Selama ini, dia sudah bisa hidup normal seperti orang lain.”“Ada hal yang menjadi pemicunya. Mungkin juga ini berkaitan dengan kejadian di masa lalu.”“Apa tidak bisa ditangani di sini saja?”Jika harus pergi ke Bristol lagi, itu akan memakan banyak waktu, dan juga dia tidak ingin anaknya di rawat di sana lagi. Sudah cukup selama ini anaknya tinggal di sana.“Bisa. Namun, akan membutuhkan waktu lama untul proses penyembuhannya. Kami harus memiliki riwayat medis Nona Bernice sebelumnya, dan juga kami harus memp
Setelah pesawat yang dia naiki mendarat di bandara ibu kota, Lucia segera menaiki taksi menuju alamat yang baru saja dikirim oleh seseorang. Dengan perasaan kalut, dia mencoba untuk memejamkan kedua mata hingga tiba di tempat tujuan. Setela turun dari taksi, Lucia langsung menuju ke bagian resepsionis untuk memesan kamar. "Aku ingin kamar di lantai 30, bersebelahan dengan kamar 3010," ucap Lucia langsung pada intinya.Wanita yang memakai seragam khas pegawai hotel itu nampak tertegun. Mungkin dia heran dengan permintaan Lucia yang tiba-tiba. Biasanya, orang lain jika datang ke hotel, dia akan bertanya apakah ada kamar kosong atau tidak. Jenis kamar apa saja yang tersedia. Jika tidak, bagian resepsionis sendiri yang akan menanyakan tipe kamar seperti apa yang tamu inginkan. Berbeda sekali dengan Lucia yang langsung menyebutkan lantai dan nomor kamar, seolah dia sudah pernah ke sana dan mengetahui seluk-beluk hotel tersebut."Bagaimana?" Lucia kembali bertanya, karena melihat wanita
“Dean, mari berpisah. Aku sudah tidak sanggup lagi meneruskan pernikahan ini.”"Aku tidak mau berpisah denganmu," tolak Dean dengan tegas. Sorot mata terlihat tajam dan rahangnya nampak mengeras."Aku tidak peduli. Kau setuju atau tidak, aku akan tetap mengurus perceraian kita."Saat melihat ketegangan di antara keduanya, Carissa segera menghampri mereka dan berkata, "Lucia, biar aku jelaskan padamu, semua—"Plaak!Tamparan keras mendarat di pipi kiri Carissa hingga membuat wajahnya langsung memerah. "Lucia, kau ...." Carissa menatap Lucia sembari memegang pipinya yang terasa kebas akibat kuatnya tamparan yang dilayangkan oleh Lucia. "Itu balasan untukmu, karena sudah berani menjebakku dan juga menyebarkan vidioku.""Lucia, tenanglah," kata Dean."Kenapa? Tidak terima?" tanya Lucia dengan marah. "Kau bisa menamparku juga jika kau tidak puas dengan apa yang aku lakukan pada wanitamu itu.""Sudah kubilang, aku tidak memiliki hubungan apa pun dengan Carissa. Apa kau tidak mengerti juga
"Cari dia sampai dapat. Aku tidak peduli kau menggunakan metode apa, yang kuinginkan adalah segera temukan istriku," perintah Dean pada pria tegap yang memakai seragam lengkap berwarna hitam yang sedang berdiri di hadapannya."Baik, Tuan."Ketika pria itu akan melangkah pergi, Dean segera menghentikannya. "Ingat, aku tidak ingin menunggu lama. Waktumu hanya 3 hari."Usai pria tegap itu pergi, Nolan masuk ke dalam ruangan kerja Dean. "Apa kau sudah menemukan siapa yang mengirimkan pesan pada Lucia?" Sudah 5 hari Dean mencari keberadaan Lucia. Namun, sampai saat ini, dia belum menemukan jejak apa pun dari istrinya. Setelah menghilang hari itu, Dean langsung kembali ke kota Y. Padahal, dia masih memiliki urusan penting di saat itu. Dia pikir, Lucia kembali ke kediaman Anderson setelah pergi diam-diam, tapi ternyata dia tidak pernah ke sana. Dean semakin panik saat tahu kalau Lucia tidak kembali ke tempat orang tuanya. "Belum, Tuan." Nomor ponsel itu, hanya sekali pakai dan sudah tid
“Lucia, sampai kapan kau akan menghindari Dean? Apa kau tidak ada niat kembali ke kota Y?” tanya pria tampan yang memiliki wajah campuran itu.“Nanti aku pasti akan kembali, tapi tidak sekarang.”Masih banyak yang menjadi pertimbangannya untuk pulang ke kota Y.“Lucia, Dean akan menghabisiku jika sampai dia tahu aku yang membantumu bersembunyi.”Lucia yang sejak tadi sedang duduk termenung di meja makan, menatap pria di depannya yang baru saja meletakkan makanan di atas meja dengan wajah bersalah. “Victor, maafkan aku. Hanya kau yang bisa membantuku saat ini.”Setelah berhasul keluar dari hotel itu, Lucia memutuskan untuk segera pergi ke bandara. Dia bukannya pulang ke kota Y, tapi justru dia pergi ke negara yang tidak jauh dari tempatnya melarikan diri 3 tahun lalu. Namun, baru saja tiba di bandara tujuan, dia tidak sengaja bertemu dengan Victor di bandara. Ingin kabur, tapi pria itu sudah terlanjur melihatnya. Mau tidak mau dia meminta Victor untuk merahasiakan pertemuan mereka dar