Lucia yang mendapatkan serangan secara tiba-tiba dari Dean, hanya bisa mematung dengan iris yang melebar. Beberapa detik berlalu, kesadaran Lucia akhirnya kembali, dia segera mendorong tubuh pria yang sejak tadi terus melumat bibirnya dengan kasar. “Dean berhenti!” Tubuh keduanya pun terurai. Namun, hanya sesaat, karena setelah itu, Dean kembali mendekati Lucia dan merengkuh pinggangnya. “Jangan pernah mengatakan itu lagi. Aku tidak suka.” Dean kembali menyatukan bibir keduanya. Kali ini, Dean menekan bibirnya lebih dalam dari sebelumnya. Lucia terus berusaha mendorong tubuh Dean, tapi pria itu justru semakin merapatkan tubuh keduanya sambil menekan pinggang ramping Lucia ke arahnya. Entah apa yang merasuki pria itu, hingga dia seperti hilang akal. Karena Dean tidak juga melepaskan dirinya, Lucia akhirnya menggigit bibir pria itu, hingga membuatnya merintih dan refleks menjauhkan diri darinya. Bibir bawah Dean nampak terluka dan mengeluarkan cairan merah. Melihat bibir Dean berd
Ketika mendengar itu, mata Lucia mulai mengembun lagi. Namun, dia terus menatap pria yang wajahnya terlihat sangat marah saat ini. "Lalu apa yang harus aku lakukan?" tanya Lucia dengan raut wajah putus asa, "bahkan jika aku menjual diri, belum tentu aku bisa menghasilkan uang sebanyak itu. Tubuhku sudah tidak berharga lagi. Tidak akan ada yang mau mengeluarkan uang yang banyak hanya demi tubuh kotor ini." Dia sudah tidak suci lagi, tubuhnya pun sudah dilihat oleh semua orang, jadi Lucia merasa kalau dirinya tidak memiliki nilai lagi. Setelah vidionya tersebar, Lucia merasa sangat malu karena tubuhnya sudah menjadi tontonnya semua orang. Padahal, hanya siluetnya saja yang terlihat di vidio itu. Tubuhnya aslinya tidak terlihat jelas karena karena pencahayaan di kamar itu redup bahkan cenderung gelap. Tubuhnya pun sebenarnya tertutupi oleh Dean, jadi tidak nampak apa pun di vidio itu, kecuali siluet dua orang yang sedang melakukan hal intim. "Lucia, sebaiknya kau buang jauh-jauh p
"Masuk," titah Dean setelah membuka pintu mobil bagian depan. "Kau tidak perlu mengantarku, aku bisa minta Renata untuk menjemputku," tolak Lucia dengan halus. "Masuk." Melihat wajah Dean yang tidak ingin dibantah, Lucia akhirnya masuk ke dalam mobil. Tidak lama setelah itu, Dean melakukan hal yang sama. Mobil pun melaju meninggalkan tempat itu dengan kecepatan sedang. Butuh waktu satu setengah jam untuk tiba di kediaman Lucia. Setelah mobil berhenti, Dean menatap rumah di depannya sejenak sebelum memutuskan untuk turun bersama dengan Lucia. "Aku beri waktu 3 hari untuk berpikir," ucap Dean setelah berdiri di hadapan Lucia. Itu mengenai kesepakatan yang Dean tawarkan tadi. "Ya. Aku akan—" "Lucia!" Suara teriakan dari belakang menginterupsi ucapan Lucia. Ternyata Nyonya Helia yang memanggil nama putrinya. "Bibi," sapa Dean setelah Ibu Lucia berdiri di depan Lucia. Nyonya Helia hanya mengangguk dengan raut wajah tidak mengenakkan, setelah itu dia beralih pada putrinya. "Kau k
Di dalam kamarnya, Dean sedang menerima telpon dari seseorang. Dia berdiri di depan jendela kamarnya dengan satu tangan yang berada di saku celananya, sementara tangan lainnya memegang benda pipih berwarna hitam dan menempelkan di telingannya."Apa kau yakin?"Setelah mendengar jawaban dari ujung telpon, Dean kembali berkata, "Biarkan saja." Panggilan langsung diputus oleh Dean.Dia memasukkan ponsel ke saku celana, melepas dasinya dengan kasar, kemudian melemparnya ke lantai dengan ekspresi kesal. Baru setelah itu, dia berjalan keluar lagi dari kamarnya.Saat akan melewati ruangan tengah, Dean berpapasan dengan ibunya yang baru akan pergi ke kamar."Kau mau ke mana, Dean?""Keluar."Hanya itu jawaban Dean, dia melewati ibunya dengan raut wajah dinginnya.“Ini sudah malam, kenapa keluar lagi?”Dean mengabaikan pertanyaan ibunya dan terus berjalan keluar. Dia melajukan mobilnya, hingga berhenti di depan club malam milik Fandy.Tidak seperti biasanya yang selalu memesan ruangan VIP, kali
Ketika akan melewati meja Dean dan Rebecca, Lucia langsung memalingkan wajahnya ke samping, memutus kontak mata keduanya. Julian sendiri, sempat melirik sekilas pada Dean dan sempat bertemu pandang dengan pria itu sebentar. "Kau ingin pesan apa?" tanya Julian setelah keduanya duduk di meja paling ujung. "Apa saja." Saat ini, dia sedang tidak berada dalam keadaan ingin memakan sesuatu. Napsu makannya langsung hilang saat melihat keberadaan Dean dan Rebecca di restoran itu. Sementara di meja lainnya, Dean terlihat menyantap makanannya kembali dengan wajah acuh tak acuh. "Dean, bukankah itu, Lucia?" Rebecca bertanya pada Dean. Namun, pandangannya tertuju pada Lucia dan Julian yang mejanya berjarak 3 meja di belakang Dean. "Habiskan makananmu, jangan pedulikan lainnya." Suara dingin Dean membuat Rebecca langsung menutup mulutnya. Dia tidak lagi bicara dan melakukan apa yang diperintahkan oleh Dean. Di meja Lucia, mereka baru saja selesai memesan makanan. "Lucia, acara nanti malam p
Setelah berpikir semalaman, Lucia akhirnya membuat keputusan mengenai tawaran Dean. Siang ini, dia berencana menghubungi Dean untuk memberitahukan mengenai keputusannya. Setelah mempersiapkan diri, Lucia menekan nomor ponsel Dean. Jantungnya berdebar kencang saat menanti panggilannya dijawab oleh Dean. Entah kenapa, dia tiba-tiba merasa gugup. "Halo." Ketika suara berat Dean terdengar, debaran jantung Lucia semakin cepat dan tidak terkendali. "Ini aku, Lucia." Tanpa basa-basi, Dean langsung bertanya. "Ada apa?" Lucia segera mengatakan kalau dirinya sudah memiliki jawaban atas tawaran pria itu. Dean sempat terdiam sebentar setelah mendengar ucapan Lucia. Mungkin dia tidak menyangka kalau Lucia akan memberikan keputusan lebih cepat dari waktu yang sudah dia berikan. Padahal, masih tersisa 2 hari untuk menjawab tawarannya. "Jadi, apa keputusanmu?" Dean berucap setelah terdiam selama beberapa detik. "Aku tidak bisa menerima tawaranmu. Berikan saja rumah itu pada Carissa jika dia m
"Bibi Nan, ada apa?" Lucia yang baru saja turun dari anak tangga terakhir, merasa heran ketika mendengar keributan dari ruangan tamunya.Bibi Nan yang baru saja dari depan, menatap ragu pada Lucia sejenak, sebelum akhirnya membuka suaranya. "Itu Nona, di depan ... ada Nona Carissa dan beberapa orang suruhannya.""Carissa?" Lucia mengerutkan kening, tapi sejurus itu dia berjalan menuju ruangan tamu tanpa banyak bertanya pada Bibi Nan.Sesampainya di ruang tamu, Lucia melihat Carissa sedang berdiri di pintu rumah dengan tangan bersidekap di dada seraya menatap orang suruhannya sedang mengangkut beberapa barang Lucia untuk dibawa keluar dari rumah."Buang semua barang-barang yang tidak perlu," perintah Carissa pada orang suruhannya. "Aku tidak mau ada sampah di rumah ini?"Ketika mendengar itu, wajah Lucia berubah menjadi merah padam. Apalagi saat melihat figura yang memuat foto keluarganya akan diturunkan oleh orang suruhan sepupunya."Carissa, apa yang sedang kau lakukan?" Lucia mengh
"Ada apa dengannya?" Peter akhirnya berbisik pada Victor karena tidak tahan melihat Dean yang sejak tadi hanya diam seraya menenggak minuman beralkohol yang ada di depannya.Sejak tadi, mulutnya sudah gatal ingin bertanya pada Dean, tapi ketika melihat wajah dingin serta sorot matanya yang tajam, dia tidak berani membuka pembicaraan lebih dulu.Sejak memasuki ruangan VIP club malam Fandy, Dean sama sekali belum mengeluarkan suaranya. Dia hanya duduk di sofa paling ujung yang memiliki pencahayaan yang redup. Dalam cahaya minim, tubuh Dean seperti memancarkan aura gelap yang membuatnya terlihat sangat menakutkan."Kenapa dia sejak tadi hanya diam? Membuatku takut saja," tambah Peter seraya mencuri pandang ke arah Dean yang terlihat masih menikmati minumannya."Jika kau penasaran, kenapa tidak kau tanyakan langsung saja?" Victor balas berbisik pada Peter.Peter menggeleng kuat seraya bergidik. Hanya membayangkannya saja, dia sudah takut duluan. Jika Dean sedang menampilkan wajah seperti,