Seorang wanita mondar-mandir di depan pintu UGD sembari terus menangis. Raut wajahnya sendu, dengan air mata mengalir deras. Baju putihnya berlumuran darah.
Dia adalah Melinda. Wanita berusia 25 tahun yang tengah menunggu Bimantara-tunangannya yang berada di dalam ruang UGD. “Ya Tuhan, selamatkan Mas Bima,” lirihnya, mengatupkan kedua tangan dengan cemas. Lama ia mondar-mandir, akhirnya memutuskan untuk duduk. Ingatannya kembali pada kejadian yang baru saja menimpa, di mana niatnya untuk menyusul sang tunangan, malah berakhir dengan melihatnya terjatuh dari ketinggian. “Andai Mas Bima tidak pergi. Kalau saja kami tidak bertemu Tuan Gerald .... “ Melinda menyesali semua. Pertemuan keduanya dengan Gerald Abiyasa selaku Sekretaris Athena Holding di butik menjadi awal mula insiden itu terjadi. Gerald yang marah melihat karyawannya keluar di jam kerja, memberi hukuman berdalih tugas. Bima diminta melakukan sesuatu agar semua dewan berpihak pada Gerald saat Rapat Umum Pemegang Saham. “Ahhh!” Melinda memekik pelan. Suara dentuman keras disusul jatuhnya Bima yang menimpa vas bunga tak bisa lenyap dari ingatannya. “Kalau saja aku melarangnya untuk pergi.” Melinda terisak. Dengan iming-iming akan diberi jabatan yang lebih baik dan diancam akan di-blacklist jika menolak, Bima setuju tanpa berpikir panjang. “Semoga Paman dan Bibi segera sampai. Aku takut,” lirih Melinda, membayangkan yang tidak-tidak. Tak lama berselang, pintu UGD dibuka. Spontan Melinda berdiri, mendekati dokter yang membuka masker. “Bagaimana keadaan Mas Bima, Dok? Dia baik-baik saja, kan?” Melinda mengguncang lengan dokter yang kedapatan menarik napas panjang. “Mohon maaf, kami tidak bisa menyelamatkan pasien. Luka di kepalanya cukup parah dan kekurangan banyak darah.” “A-apa? Tidak mungkin!” Melinda membekap mulutnya, mundur beberapa langkah sampai terjatuh. “Nona baik-baik saja?” Dokter sedikit membungkuk, menepuk pundak Melinda pelan. Kali ini Melinda tersentak, membiarkan dokter membantunya berdiri. “Tidak! Tidak mungkin!” Melinda menggeleng, tak percaya dengan apa yang dokter katakan tadi. Didorongnya dokter ke samping, lantas memasuki ruang UGD. Tampak tubuh terbujur kaku ditutupi kain putih. “M-Mas Bima!” Melinda berhambur mendekat. Perlahan dan gemetaran tangannya membuka kain penutup. Benar saja. Sosok itu adalah Bima. Perban membalut kepala dan beberapa bagian tubuhnya nyaris membuat Melinda terjatuh. “Tidak, jangan tinggalkan aku. Mas Bima! Bangun, Mas!” Diguncangnya tubuh itu dengan harapan akan terbangun. Tangisnya kian nyaring terdengar. “Kita akan menikah dua Minggu lagi. Teganya kau meninggalkan aku,” lirih Melinda, terkulai lemas. Rentetan peristiwa yang pernah dilalui bersama sang tunangan kembali terbayang. Lama Melinda meratapi, hingga panggilan seseorang menyentak lamunannya. “Linda!” Spontan wanita itu berdiri, lalu berhambur memeluk sang Bibi. “Apa yang terjadi? Kenapa Bima bisa jatuh?” tanya Irma-Bibinya kala Melinda melepaskan pelukan. “Iya, Nak, bagaimana dia bisa jatuh? Apa yang terjadi? Siapa yang membawa kalian? Kenapa bisa meninggal?” Rusdi, paman Melinda memberondong dengan banyak pertanyaan. Ditatapnya lekat-lekat wajah Melinda yang basah karena air mata. “Jawab, Linda!” Irma mengguncang tubuh ponakannya dengan wajah dipenuhi kebencian. Pandangannya dialihkan pada tubuh terbujur kaku di depannya. “Aku juga tak tahu apa yang terjadi. Saat aku sampai dan hendak mencarinya, Mas Bima ... Mas Bima jatuh.” Dengan nada bergetar, Melinda menceritakan kronologi kejadiannya. “Apa? Astaga! Apa tidak bisa sekali saja kau tidak membebaniku dengan masalah?” Sang bibi mondar-mandir dengan dongkol. Dipijatnya kepala dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya berkacak pinggang. “Irma! Jaga ucapanmu! Ini musibah. Nak, tenang dulu, ya. Kita tunggu dokter. Jangan dengarkan Bibimu.” Rusdi berusaha menenangkan meski istrinya mengomel. “Musibah apanya? Dia pasti sengaja,” ketus Irma, membela diri. Rusdi menghela napas, memeluk erat sang keponakan. Dilihatnya wajah Bima dipenuhi luka dan kepalanya diperban. “Kau pasti tahu lebih banyak, kan? Katakan padaku sekarang!” desak Irma pada Melinda. Melinda mencoba menenangkan pikiran. Merangkai kembali hal-hal yang terjadi. “Mas Bima diberi tugas Tuan Gerald untuk ... untuk ke kantor secepatnya,” kata Melinda. “Tuh, kan! Pria itu pasti terlibat. Bukan kita yang harus menanggung semua, tapi dia.” Irma mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi. Tepat saat Rusdi menutup tubuh Bima dengan kain putih, dokter dan perawat memasuki ruangan “Dokter, apa yang sebenarnya terjadi? Kami ... kami mendapat informasi bahwa Bima meninggal setelah jatuh. Benar seperti itu?” tanya Rusdi. “Benar. Kondisinya cukup parah dan patah tulang di beberapa bagian tubuhnya. Tidak ada tanda-tanda kekerasan, kecuali luka akibat jatuhnya korban,” jelas dokter. Perawat pun menyerahkan hasil autopsi jenazah pada Irma yang langsung menahan geram setelah membaca hasilnya. “Ini seharusnya tidak terjadi. Kalau Bima mati dan Melinda gagal menikah, dia akan tetap di rumahku dan menjadi benalu.” Kalimat Irma membuat Rusdi meradang. “Dia kan tidak punya keluarga. Pasti aku yang dibebani biaya,” sambung Irma, meremas jemari. “Tutup mulutmu! Bukannya bersedih, kau malah sibuk memikirkan diri sendiri!” Rusdi menahan diri agar tangannya yang gatal tak sampai bergerak. “Jangan salahkan aku. Bima jatuh kan pasti ada sebabnya. Aku rasa, Tuan Gerald itu terlibat. Awas saja dia!” cemooh Irma. Irma memutar bola mata. Tak dipedulikan sang suami yang mencoba menenangkan Melinda agar menerima kenyataan tunangannya sudah meninggal. “Sudahlah, Nak. Yang sabar. Relakan kepergiannya. Kita urus pemakamannya segera, ya. Arwah Bima pasti sedih melihatmu begini.” Rusdi berupaya membujuk. Sayangnya, tangis Melinda semakin menjadi-jadi. Teringat wajah Bima yang pucat, Melinda merasa seolah merenggut separuh nyawanya juga. “Tak guna kau menangis. Bima tidak akan hidup hanya karena kau tangisi. Lebih cepat dia dimakamkan, akan lebih baik bagi kita,” cerca Irma. “Tidak bisakah kau menenangkan Melinda? Dia keponakanmu,” tegur Rusdi. “Dari mana kita bisa mendapat biaya untuk membayar rumah sakit? Apa harus pakai daun? Kau lupa, anak kita ada tiga.” Irma berdecak, melempar hasil autopsi pada jenazah Bima. Wanita itu pun keluar saat dirasa amarahnya kian memuncak.**** Panas matahari mulai menyengat saat Melinda beserta keluarganya berada di area pemakaman umum. Dengan pengawasan beberapa polisi, proses pemakaman pun selesai cepat. “Aku tak menyangka kita tidak jadi menikah, Mas. Padahal gaun pengantin dan persiapan pernikahan sudah hampir rampung. Kenapa kau bisa jatuh? Kenapa .... “ Melinda menyentuh batu nisan bertuliskan nama tunangannya. Air matanya menetes membasahi tanah yang masih basah. “Sudah, jangan menangis lagi. Pokoknya sekarang, kita usut tuntas masalah ini. Paman ingin kau memberi tahu polisi dengan detail,” kata Rusdi, berjongkok di dekat keponakannya. Irma hanya melengos, memerhatikan para polisi yang berkumpul tak jauh dari tempatnya kini. “Kau juga harus mengabari Tuan Gerald itu. Dia harus tahu apa yang terjadi,” ujarnya. Melinda mengangguk. Pandangannya dialihkan pada makam-makam. Sejurus kemudian, ia melangkah menuju para polisi. “Mari, ikut saya ke rumah. Kita bicarakan semua di sana,” ajak Rusdi. Para polisi mengangguk, mengikuti keduanya yang melangkah meninggalkan area pemakaman. “Kami sudah mengirim petugas untuk mendatangi rumah Tuan Gerald dan memeriksa kantornya,” kata polisi, membuka pintu mobil. Melinda hanya diam, sementara Rusdi manggut-manggut. Mereka pun terpaksa pulang naik mobil polisi. Tanpa mereka sadari, tak jauh dari makam Bima, sesosok misterius berpakaian serba hitam dan masker tengah mengintai dengan tangan memegang kamera. Siapakah sosok misterius itu? Adakah hubungannya dengan kematian Bima?****Seorang pria dengan setelan jas hitam dan celana berwarna senada menuruni tangga sembari merangkul seorang wanita. Senyumnya mengembang, turun perlahan.“Nyenyak sekali tidurmu. Aku berendam sampai subuh pun kau tak sadar,” ucap wanita itu.“Maaf, Sayang. Hari ini aku yakin akan ada kabar gembira, makanya tidurku nyenyak. Kau tunggu saja, ya.” Pria yang tak lain adalah Gerald Abiyasa itu mencubit dagu istrinya, Naura Sabela.Begitu sampai pada anak tangga terakhir, tampak seorang pria berdiri dengan raut wajah cemas. “Selamat pagi, Tuan, Nyonya,” sapa Jiddan, asisten sekaligus orang kepercayaan Gerald dari jarak agak jauh. “Pagi.” Gerald membalas dengan senyuman. “Tuan tidak membaca pesan saya semalam?” Jiddan tak berani mendekat. Pria itu tertunduk dengan kaki dipaksakan untuk tetap berdiri tenang. “Tidak. Memang kenapa?” Gerald balas bertanya. Dikecupnya sang istri, lalu merapikan rambut panjang Naura yang menghalangi pandangan. “Se-semalam ada insiden, Tuan. Karyawan itu jatuh
“Kak?” Bagai bertanya pada diri sendiri, Melinda kebingungan. “Kak Gerald sepupuku. Papa kami bersaudara,” tegas Haedar, membuat mata Melinda sedikit membulat. Barulah ia tahu semua tak lebih dari persaingan antar keluarga. Tugas yang Gerald berikan agar dirinya menjadi lebih unggul dari atasannya menjelaskan betapa egois dan serakahnya ia.“Semalam aku memintanya untuk mengecek berkas yang akan kita bahas di Rapat Umum Pemegang Saham. Aku baru mendengar tadi pagi dari Jiddan kalau dia jatuh,” tutur Gerald.Mendengar penuturan itu, Melinda menahan geram. Sudah diduga, Gerald akan melakukan sesuatu untuk menyelamatkan diri sendiri. Mendadak pria itu sedikit menggeser posisi duduknya, membisikkan sesuatu pada Melinda. “Katakan seperti yang aku ucapkan tadi, atau kau mau Bima disalahkan dan dianggap berpotensi mencuri data? Terserah kau,” bisiknya. Ia pura-pura membetulkan posisi duduknya. Sang istri yang duduk di samping hanya menggigit jari, terus merangkul tanpa mau melepaskan.
“Kacau, kacau! Kalau sampai Haedar menikahi Melinda, aku akan kalah. Ini saja aku kekurangan anggota untuk menang.” Gerald mondar-mandir di depan Naura yang hanya meremas jemari, tak tahu harus berbuat apa. Berkali-kali Haedar datang dengan tujuan meminta pendapat Gerald tentang niatnya menikahi Melinda. Tentu saja Gerald tak setuju. “Kenapa Mas Gerald tidak melakukan sesuatu? Kenapa tidak suap mereka saja? Mereka kan miskin,” usul Naura. Sang suami menoleh, lantas duduk di depannya dengan gelisah. “Bibinya bisa disogok, tapi Melinda bisa saja lapor pada Haedar, wartawan, atau bahkan polisi.” Pria itu mendengus dingin. Sejak polisi menyelidiki Athena Holding, duduknya jadi memanas. Posisinya mulai diawasi dan menjadi perhatian publik.Sesaat ia memikirkan sesuatu yang belakangan ini mengganggu. “Bagaimana kalau aku yang menikahi Melinda? Aku yang membuatnya kehilangan tunangan, kan?” Sontak pertanyaan itu membuat Naura yang hendak minum, menjatuhkan gelas dengan keras. “Apa kau
Melinda mulai tak bisa bergerak dengan bebas. Untuk keluar rumah saja Irma melarangnya dengan alasan pamali calon pengantin keluyuran."Bibi." Melinda mendekati Irma yang baru selesai menyisir rambut."Apa!" ketusnya.“A-aku hanya ingin mengunjungi makam Mas Bima. Itu saja. Tolong izinkan aku keluar sebentar,” rengek Melinda.“Tidak bisa! Kau urus saja dirimu agar nanti saat kau menikah, kau tampil cantik dan membuat mata hanya memandang wajahmu!” Irma mendorong Melinda yang menyentuh kakinya.Wanita itu hanya bisa menangis histeris saat Rusdi muncul dan langsung memeluknya.“Nak, mungkin ini yang terbaik untukmu. Kalau kau menikah dan pergi dari rumah ini, kau tak akan disiksa lagi.”Melinda diam, membenamkan wajahnya pada dada bidang sang paman yang selalu berhasil membuatnya tenang.Dirasa mulai tenang, Melinda memasuki kamar. Duduk ia di tepi ranjang. Hari-hari terasa berat dan panjang setelah kehilangan tunangan.“Aku ingin pergi. Aku tak bisa bertahan lagi,” lirihnya, bangkit da
“Apa alasan Tuan menikahi tunangan korban? Bukankah ini akan berpengaruh pada rumah tangga maupun bisnis?” Seorang wartawan mulai mewawancarai. Gerald menghela napas. “Berat bagiku untuk mengambil keputusan. Ini salah satu bentuk tanggung jawabku padanya meskipun aku sangat melukai istriku.” Gerald merangkul Naura yang tersentak, buru-buru memasukkan kertas tadi ke dalam tas. Diserahkannya tas itu pada pelayan. Wajah sedih dan air mata ditampilkan. Melihat itu, para wartawan bersimpati dengan keadaan Naura yang jelas-jelas tertekan. “Bagaimana Nyonya bisa setuju dimadu? Apa tidak takut posisinya akan direbut istri muda? Nyonya seorang aktris, kan? Pasti ada dampaknya.” Wartawan kembali menanyakan pertanyaan tanpa memikirkan perasaan Melinda yang kini meremas sisi kiri gaunnya. Bahwa dialah orang yang paling menderita, bukan Naura. “Sebagai sekarang wanita normal, tentu sulit bagiku untuk
“Siaaaalllll!” Naura mengamuk setibanya di kamar hotel. Semua barang yang ada di hadapannya dilempar ke segala arah, termasuk tasnya. Pyaaarrr!!! Naura yang sudah dipenuhi emosi, memecahkan kaca meja rias dengan melempar high heels sekuat tenaga. “Beraninya dia masuk ke dalam kehidupan rumah tanggaku! Aku tidak akan memaafkannya. Aaaaaaaa!!!!” Naura melampiaskan kebencian dengan berteriak keras. Tentu saja dia berhasil menipu semua orang dengan aktingnya sebab Naura adalah artis papan atas. Mudah baginya berlakon seperti orang menderita. Teringat ia bagaimana Gerald berhasil membujuknya untuk dimadu. Pria itu kembali membujuk setelah sang istri tersadar dari pingsan. “Sayang, aku janji akan tetap mengutamakan dirimu.” Naura melepaskan genggaman tangan Gerald seketika. Selain tak sanggup berbagi, Naura juga memikirkan kariernya. “Ak
Melinda memandangi kamar mewah yang kini menjadi tempatnya. Semua disiapkan dengan sangat detail dan penuh perhitungan, termasuk deretan pakaian baru. “Aku merindukan Mas Bima,” lirihnya. Seminggu sudah ia hanya berdiam diri di kamar setelah menikah. Makan pun pelayan akan mengantarkan ke kamar. Perlahan Melinda menyeka air mata, menyingkap gorden putih yang melambai-lambai. Ada balkon di sana, tapi tak menarik perhatian. Tok tok tok! Melinda mengalihkan perhatian pada pintu yang diketuk seseorang. “Masuk saja.” Wanita berbaju putih itu menghela napas. Di balik pintu, Naura mengepalkan tangan. “Ayo, Naura. Tunjukkan bakatmu sebagai aktris. Aku harus bisa memulai drama panjang ini.” Naura menghirup udara sebanyak mungkin, lalu memasang wajah ramah, membuka pintu kamar. “Kau tidak mau ke luar? Sampai kapan kau akan berduka? Keluarlah, ini sudah waktunya sarapan.” Naura dengan sty
“Mas, a-aku bisa jelaskan.” Naura meletakkan ponsel di atas meja dengan kondisi terbalik. Wanita itu mulai kebingungan untuk mencari alasan. Detak jantungnya seperti menjelaskan betapa paniknya ia saat ini. “Ini ... dialog film, kan? Apa kau sedang menghafal bahasa ini untuk keperluan syuting?” tanya Gerald, mengira apa yang tertulis di kertas adalah bagian dari naskah. Mendengar itu, Naura menghela napas lega. Untung saja hal itu muda dikaitkan dengan dirinya yang memang seorang aktris. “Y-ya. Ada ... ada salah satu dialog berbahasa Belanda. Aku takut salah, jadi aku menulisnya. Kan malu kalau salah pengucapan.” Dengan cepat Naura merebut kertas di tangan suaminya. Gerald hanya manggut-manggut, mengambil jaket yang tadi sempat ia letakkan di lantai. Tak sadari perubahan di wajah sang istri setelah kertas itu berpindah tangan. “Kau tahu artinya?” pancing Naura, ingin tahu apakah suaminya tahu atau tidak.
Melinda dan Gerald berdiri menatap Lily Hotel di depannya yang sudah beroperasi beberapa bulan terakhir. Hotel baru yang langsung menjadi pusat perhatian dan populer di berbagai kalangan. Keduanya melangkah sambil memasuki tempat itu dengan senyuman. Para karyawan kompak menyambut kedatangan mereka yang sudah dikabari sejak beberapa hari lalu. Setelah pernikahan ulang dilaksanakan, Melinda dan sang suami semakin mesra. Ke mana-mana selalu bersama. Kali ini mereka datang untuk menikmati fasilitas hotel yang ada. Layaknya pasangan muda-mudi yang bulan madu. “Pokoknya aku mau lima ronde!” kata Gerald, memasuki salah satu kamar VVIP. “Ingat umur, Mas! Mana bisa tenagamu mengimbangiku?” ledek Melinda, menutup pintu dan menguncinya. “Jangan remehkan aku. Sebelum ke sini, Mama Zaskia sudah membuatkan aku jamu kuat. Dia bilang, aku akan sanggup sampai lima ronde sekali pun!” Geral
“Mama?” Baru saja kata itu terucap, seorang wanita mengeluarkan pistol dari dalam tas, lalu mengarahkannya kepada mereka. Melinda menganga, terkejut melihat kehadiran Zaskia tiba-tiba. “Kau pikir aku akan diam saja? Aku akan menuntut balas. Aku tak bisa datang saat kematian Naura, tapi aku datang saat kematian kalian.” Zaskia mengarahkan pistol kepada Gerald. Segera Melinda berdiri di depannya, menghalangi. “Sebelum kau membunuhnya, bunuh aku lebih dulu. Aku tak bisa hidup tanpa suamiku,” ujar Melinda. “Tidak! Bunuh aku saja. Mama pasti marah dan benci karena aku memilih Melinda, kan? Kalau begitu, bunuh saja aku, jangan dia.” Gerald mendorong Melinda ke samping. Berganti menjadi pelindung bagi sang istri. Melinda menggeleng. Digenggamnya tangan sang suami. Jika harus mati, maka dia lebih memilih mati bersama daripada harus kehilangan.
Pagi yang sepi. Ditemani semilir angin dan dedaunan yang berguguran. Hujan baru saja reda saat pemakaman Naura dilangsungkan. Melinda, Gerald, Jiddan, serta lainnya menyempatkan diri untuk datang. Menyaksikan bagaimana tubuh fana itu mulai ditutupi tanah yang lumayan berlumpur. Kabar kematiannya yang benar-benar mengenaskan baru terdengar menjelang pagi. Polisi mengatakan kematiannya karena bunuh diri. Overdosis obat penghilang cemas. Tubuhnya yang lemah, tak mampu menahan. “Seminggu lagi dia akan dieksekusi mati, tapi ternyata memilih mengakhiri hidup.” Begitulah yang Gerald dengar dari polisi yang datang untuk mengabari. “Kami menemukan surat di dalam kantong celananya. Mungkin Tuan berkenan menerimanya.” Polisi menyerahkan selembar kertas yang dilipat pada Gerald yang terkejut dengan kabar buruk itu. Tangannya bergetar saat menerima surat itu. "Di
“Di mana otakmu, hah? Kau ingin membakar anak kecil demi memuaskan egomu? Kau benar-benar sudah tidak waras!” Gerald merasa dadanya mulai bergetar, saking amarahnya tak bisa dibendung. “Aku tak peduli! Biar dia mati sekalian. Kalau dia mati, kau akan menderita bersama wanita itu. Aku akan tertawa sepuas hati,” jawab Naura, tersenyum lebar. Dilihatnya Melinda mengusap wajah Lily yang basah karena bensin. Rasanya Naura sudah gelap mata. Dia ingin hari ini juga, ada yang mati di antara mereka. Siapa pun itu, pokoknya hanya ada satu yang bisa tenang, dan itu adalah dirinya. “Kau sangat mencintai mereka, kan? Itulah kenapa kau menceraikan aku,” kata Naura, perlahan melangkah ke samping, di mana korek api yang terlempar tadi berada di rumput. “Itu semua karena kesalahanmu! Kau serakah! Kau egois! Kau penjahat yang hanya bisa menghancurkan hidup orang lain!” kecam Gerald, menunjuk wajah Naura. Tak jauh darinya,
Haedar berlari di Bandara. Semalam ia mendapat telepon dari temannya bahwa anak Gerald diculik mantan istrinya yang kabur dari penjara. Karena panik, Haedar izin kembali ke Indonesia. Pria itu berlari mendekati Radit yang menunggu dengan senyuman. Majikannya kembali. Walaupun mungkin hanya sebentar, setidaknya dia tampak baik-baik saja. “Selamat datang, Tuan,” sapa Radit, membungkuk hormat. “Lily sudah ditemukan?” tanya Haedar, memasuki mobil yang pintunya dibuka. “Tadi pagi saat saya ke sana, katanya mereka sudah menemukan keberadaan Lily. Ada Kenan dan Suzy yang membantu Nyonya Naura,” tutur Radit. Ia memasuki mobil, lantas segera membawa majikannya ke bandara. Sengaja tak memberi tahu keluarga Gerald bahwa dirinya pulang. Hanya seminggu di Turki, tapi dia terpaksa pulang. “Aku sudah curiga. Mustahil dia akan diam saja menerima kenyataan akan dipenjara selama beberapa tahun.” Haedar men
Saat semua orang masih panik, tiba-tiba ponsel Melinda berdering. Wanita itu mengangkat telepon dari nomor asing. Tangannya sedikit bergetar saat ponsel itu didekatkan ke telinga. “Ha-halo. Siapa?” tanyanya, menggigit jari. “Apa perlu aku beri tahu siapa aku?” Melinda membulatkan mata. Suara itu milik Naura. Dia yakin seratus persen bahwa yang kini menelepon adalah mantan istri Gerald. “Sayang!” Gerald mendekat. “Apa maumu? Katakan padaku, di mana Lily? Kau yang menculiknya, kan? Katakan, Naura!” Melinda membekap mulut, menahan isak tangisnya. Gerald meletakkan kedua tangannya ke pundak sang istri. Ikut mendengarkan apa yang akan Naura katakan. “Aku akan memberimu anak ini, asal kau datang ke alamat yang akan aku sebutkan. Sampai kau membawa orang lain, apalagi Mas Gerald ataupun polisi, aku tak jamin Anakmu akan bernapas.”
“Sayang, Minggu depan ikut aku, ya,” ajak Gerald. Meletakkan tangannya pada sandaran sofa. Istrinya yang fokus menonton acara anak-anak, menoleh sekilas. “Ke mana?” tanyanya, kembali menatap layar televisi, di mana kartun lucu tengah tampil. Lily yang sangat menyukai tayangannya, tak sedikit pun menoleh. Duduk di lantai beralaskan karpet tebal di bawah keduanya, dengan sejumlah mainan yang mulai berantakan. “Kau ikut saja. Aku ada kejutan untukmu,” kata Gerald, memeluk istrinya dari samping. “Tergantung,” jawab Melinda. “Tergantung apa?” Gerald menarik telinga Lily pelan, lalu pura-pura tidak melihat saat sang anak menoleh. “Tergantung suasana hati. Kalau suasana hatiku sedang baik, mungkin aku akan ikut. Kalau tidak, ya maaf.” Melinda mengganti tayangan saat iklan. “Ih, kau ini!” Gerald berdecak. Ia mulai mengganggu Lily yang asyik menikmati camilan. “Kau kadang suka aneh. Men
Dea menambah kecepatan motornya. Merasa takut tak akan bertemu Haedar lagi. Air matanya menetes. Sungguh, dia benar-benar menyukai pria itu. Walaupun berusaha untuk melupakannya, perasaan itu kian bertambah. Semakin subur setiap saat. Dea menangis tanpa suara. Jalanan di depannya yang lumayan lengang membuat wanita dengan kaos hitam itu semakin berusaha untuk sampai lebih cepat. Di Bandara .... Haedar dan Saroon baru saja sampai. Pria itu memeluk Radit yang tampak tak mau berpisah. “Saya ikut ya, Tuan,” ujarnya. “Mana bisa? Nanti siapa yang akan membantu Kak Gerald dan Jiddan? Lagi pula, kau juga butuh tiket pesawat, Visa dan paspor. Tidak mungkin dalam satu jam kau bisa menyiapkan semua. Sudah, tenang saja.” Ditepuknya pundak Radit yang sudah seperti anggota keluarganya juga. Memeluknya erat tanda sebentar lagi akan berpisah. “Jaga rumah baik-baik, ya. Kalau ada apa-apa, hubungi kami.” Saroon
Naura langsung dibawa ke ruang UGD untuk mendapatkan penanganan medis. Dua penjaga yang mengantar pun menunggu di luar. Satu jam kemudian, dokter keluar dari ruangan dan memberi tahu keadaan Naura yang sudah membaik. “Kapan kiranya bisa pulang?” tanya penjaga bertubuh kurus. “Dua atau tiga hari sudah boleh pulang. Saya permisi dulu.” Dokter berlalu meninggalkan dua penjaga yang sepakat akan bergantian berjaga karena Naura adalah tahanan. Selang beberapa saat .... Naura membuka mata. Ia langsung bangun, memegangi perutnya yang terluka. Nyeri hebat dirasakan saat ia menyentak selang infus hingga darah dari tangannya menetes. “Aku harus segera pergi.” Naura turun dari ranjang. Perlahan ia mendekati jendela. Beruntung tadi sempat mengambil gunting yang dokter letakkan tak jauh darinya. Wanita itu pun mencungkil jendela menggunakan gunting dengan susah payah. Berusaha untuk kabur dari tempat itu ta