“Kak?” Bagai bertanya pada diri sendiri, Melinda kebingungan.
“Kak Gerald sepupuku. Papa kami bersaudara,” tegas Haedar, membuat mata Melinda sedikit membulat. Barulah ia tahu semua tak lebih dari persaingan antar keluarga. Tugas yang Gerald berikan agar dirinya menjadi lebih unggul dari atasannya menjelaskan betapa egois dan serakahnya ia. “Semalam aku memintanya untuk mengecek berkas yang akan kita bahas di Rapat Umum Pemegang Saham. Aku baru mendengar tadi pagi dari Jiddan kalau dia jatuh,” tutur Gerald. Mendengar penuturan itu, Melinda menahan geram. Sudah diduga, Gerald akan melakukan sesuatu untuk menyelamatkan diri sendiri. Mendadak pria itu sedikit menggeser posisi duduknya, membisikkan sesuatu pada Melinda. “Katakan seperti yang aku ucapkan tadi, atau kau mau Bima disalahkan dan dianggap berpotensi mencuri data? Terserah kau,” bisiknya. Ia pura-pura membetulkan posisi duduknya. Sang istri yang duduk di samping hanya menggigit jari, terus merangkul tanpa mau melepaskan. Saat calon suami Melinda tewas hanya untuk memenuhi ambisi atasannya, Gerald malah bersikap egois. “Kami belum menemukan penyebab korban bisa jatuh selain pecahan kaca dan tirai yang kotor bekas sepatu korban.” Polisi lainnya menunjukkan foto-foto di tempat kejadian pada semua. “Dan kalian langsung menyimpulkan Mas Bima bunuh diri?” Melinda tertawa yang tentunya bukan karena senang, melainkan kesal. “Bagaimana Nona bisa kebetulan menemukannya jatuh?” tanya Haedar, merasa ada yang mencurigakan. “Begini.” Melinda menelan ludah, kemudian menceritakan kejadiannya tanpa menyebut nama Gerald karena ancaman tadi. Polisi mencatat apa yang Melinda katakan. Lagi-lagi wanita itu menangis dalam dekapan Rusdi, mengenang nasib tragis yang menimpa. “Nona sabar dulu. Biar kami terus kembangkan kasus ini sampai menemui titik terang. Kami minta izin untuk memeriksa Athena Holding,” ucap polisi. “Silakan. Jika perlu sesuatu, hubungi kami.” Gerald menyerahkan kartu nama, diikuti Haedar. “Kami harap kehadiran Tuan-Tuan ke kantor polisi guna memberikan keterangan lanjutan.” Polisi pun berpamitan tanpa menunggu jawaban. “Nona tenang saja. Aku akan bertanggung jawab sepenuhnya,” kata Haedar, mengeluarkan dompet dari saku celana. Sebelum pria itu mengeluarkan dompet, Gerald mendahului. “Tak usah, Dik. Sudah kubayar semua. Aku yang bertanggung jawab karena aku yang menyuruhnya.” Sebagai CEO, Haedar merasa paling bertanggung jawab atas insiden itu walaupun Bima meninggal saat diberi tugas Gerald. “Tidak, Kak. Aku merasa bersalah. Biarlah aku yang menanggung biaya hidupnya.” Haedar mencoba tersenyum. Gerald terdiam. Dilihatnya beberapa wartawan berebut untuk masuk, tapi dicegah anak buah Haedar. ‘Kalau kubiarkan si payah ini, yang ada semua orang bersimpati dan berpihak padanya. Aku harus mencari cara,’ batin Gerald. “Sudahlah. Aku penanggung jawabnya. Biar aku saja yang atasi. Kau cukup bantu aku mencari tahu penyebab kematiannya.” Gerald memaksakan kehendak. Ketika Melinda hendak bicara, mendadak seorang pria mendekat dengan tangan memegang sesuatu. “Mbak, undangannya sudah jadi,” katanya, menyerahkan bungkusan kecil pada Melinda yang langsung terkulai, menjatuhkan semuanya. Beruntung Haedar sigap menopang tubuhnya. “Linda!” Irma bangkit bersama Rusdi, lantas memapah keponakannya agar duduk. Seketika semua orang di ruangan itu ikut terenyuh melihat Melinda menangis tersedu-sedu. “Undangan?” Haedar mengambil satu undangan yang terjatuh di dekat kakinya. Setelah melihat isinya, pria itu memejamkan mata. Sepasang kekasih batal menikah gara-gara terjatuh dari perusahaannya. Pria berjas hitam itu pun mengusap wajah, lalu menoleh pada Gerald dan istrinya yang cemas. “Aku tidak bisa menikah. Semua sudah berakhir. Aku ... aku—“ Melinda menangis, mengutip beberapa undangan yang ia jatuhkan. Sementara di luar, wartawan mulai heboh. Batalnya pernikahan Melinda membuat wartawan semakin gencar mengorek informasi. “Bagaimana ini?” Haedar meminta pendapat sepupunya. Gerald malah menyarankannya untuk pulang dan mengurus rapat dewan. “Haruskah aku menggantikan posisi korban dengan menikahimu? Setidaknya, sebagai tanggung jawabku padamu.” Tanpa berpikir panjang kalimat itu membuat Melinda melotot. “Apa Tuan tidak waras? Tunangan saya baru saja mati, mana mungkin saya akan menikahi orang lain?” “Kau ini bicara apa, Dik? Pikirkan dulu, jangan buru-buru. Kita bahkan belum tahu apa yang sebenarnya terjadi.” Gerald tak setuju. Bukan karena insidennya, tapi Gerald yang sejak tadi diawasi wartawan, merasa harus melakukan sesuatu agar dianggap orang yang baik. “Aku bingung, Kak. Baru pulang dari luar kota, aku malah dapat berita buruk,” kata Haedar yang usianya lebih muda dari Gerald. “Saya mohon, Tuan-Tuan pulang dulu. Biarkan Melinda tenang.” Rusdi dengan sopan meminta agar semua tamunya pulang. Haedar mengangguk, diikuti semua orang meninggalkan rumah duka. Mereka sepakat akan pergi ke kantor polisi untuk memberikan keterangan.*** Seminggu telah berlalu sejak kematian Bima, tapi belum juga ada titik terang. Melinda sampai bolak-balik ke kantor polisi hanya untuk memastikan perkembangan. “Kami benar-benar meminta maaf dan sangat menyesal.” Kalimat itu sudah sering didengar, bahkan mulai dihafal Melinda. Dalam seminggu terakhir, baik Haedar maupun Gerald selalu datang untuk memeriksa keadaannya. Keduanya sama-sama merasa paling bertanggung jawab. “Kau katakan saja padaku, berapa biaya hidupmu dalam sebulan. Aku akan mulai membiayainya sejak hari ini,” kata Haedar. Kali ini dia datang bersama orang kepercayaannya untuk membuat dokumen pernyataan bahwa hidup Melinda adalah tanggung jawabnya. “Sebulan cukup 150 juta, Tuan. Kami ha—“ Irma yang mendahului menjawab, langsung terhenti saat Melinda menoelh dengan tatapan tajam. “Saya tidak butuh uang Anda, Tuan. Saya hanya butuh keadilan untuk tunangan saya. Cukup Tuan temukan saja ada rahasia apa di balik insiden itu.” Irma berdecak pelan, mengomel tanpa suara. Dia merasa hidup terlalu menyedihkan karena memiliki keponakan bodoh dan polos seperti Melinda. “Bukan begitu. Ini kan tang—“ Haedar menghela napas saat Melinda langsung bangkit dari duduknya, kemudian memasuki kamar. “Mohon maaf atas kelakuan Melinda. Dia pasti masih syok dan butuh waktu untuk tenang. Mohon dimaklumi.” Rusdi mengatupkan kedua tangan. Haedar mengangguk, paham betul apa yang menimpa wanita itu bukanlah perkara mudah. Kehilangan orang terkasih tentu membawa dampak besar pada hidupnya. Haedar pun meninggalkan rumah itu dengan kecewa. Dia sudah berniat sungguh-sungguh ingin menebus kesalahan, tapi reaksi Melinda berbeda. Sepeninggal Haedar, Gerald datang bersama Naura. Keduanya kaget mendengar penuturan Irma tentang Haedar. “Kenapa dia tidak bertanya lebih dulu padaku?” Gerald menahan tangannya yang mulai meremas kursi rotan tempatnya duduk. Sesekali ia melirik ke arah luar, di mana para wartawan masih ramai berdatangan, seperti hari pertama kejadian. “Aku harus melakukan sesuatu,” pikirnya. “Apa lagi yang dia katakan? Beri tahu kami,” ujar Naura. Wajahnya tampak menahan cemas, dengan jemari yang saling bertaut. “Katanya ... kalau Melinda setuju, Tuan Haedar akan menikahinya bulan depan dan langsung dibelikan rumah.” Irma menambahkan cerita palsu agar mendapatkan kepercayaan sekaligus keuntungan. “Apa???” Naura dan Gerald saling berpandangan. Keduanya terbelalak, sangat terkejut. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Akankah Gerald menyiapkan rencana lebih baik dari Haedar?****“Kacau, kacau! Kalau sampai Haedar menikahi Melinda, aku akan kalah. Ini saja aku kekurangan anggota untuk menang.” Gerald mondar-mandir di depan Naura yang hanya meremas jemari, tak tahu harus berbuat apa. Berkali-kali Haedar datang dengan tujuan meminta pendapat Gerald tentang niatnya menikahi Melinda. Tentu saja Gerald tak setuju. “Kenapa Mas Gerald tidak melakukan sesuatu? Kenapa tidak suap mereka saja? Mereka kan miskin,” usul Naura. Sang suami menoleh, lantas duduk di depannya dengan gelisah. “Bibinya bisa disogok, tapi Melinda bisa saja lapor pada Haedar, wartawan, atau bahkan polisi.” Pria itu mendengus dingin. Sejak polisi menyelidiki Athena Holding, duduknya jadi memanas. Posisinya mulai diawasi dan menjadi perhatian publik.Sesaat ia memikirkan sesuatu yang belakangan ini mengganggu. “Bagaimana kalau aku yang menikahi Melinda? Aku yang membuatnya kehilangan tunangan, kan?” Sontak pertanyaan itu membuat Naura yang hendak minum, menjatuhkan gelas dengan keras. “Apa kau
Melinda mulai tak bisa bergerak dengan bebas. Untuk keluar rumah saja Irma melarangnya dengan alasan pamali calon pengantin keluyuran."Bibi." Melinda mendekati Irma yang baru selesai menyisir rambut."Apa!" ketusnya.“A-aku hanya ingin mengunjungi makam Mas Bima. Itu saja. Tolong izinkan aku keluar sebentar,” rengek Melinda.“Tidak bisa! Kau urus saja dirimu agar nanti saat kau menikah, kau tampil cantik dan membuat mata hanya memandang wajahmu!” Irma mendorong Melinda yang menyentuh kakinya.Wanita itu hanya bisa menangis histeris saat Rusdi muncul dan langsung memeluknya.“Nak, mungkin ini yang terbaik untukmu. Kalau kau menikah dan pergi dari rumah ini, kau tak akan disiksa lagi.”Melinda diam, membenamkan wajahnya pada dada bidang sang paman yang selalu berhasil membuatnya tenang.Dirasa mulai tenang, Melinda memasuki kamar. Duduk ia di tepi ranjang. Hari-hari terasa berat dan panjang setelah kehilangan tunangan.“Aku ingin pergi. Aku tak bisa bertahan lagi,” lirihnya, bangkit da
“Apa alasan Tuan menikahi tunangan korban? Bukankah ini akan berpengaruh pada rumah tangga maupun bisnis?” Seorang wartawan mulai mewawancarai. Gerald menghela napas. “Berat bagiku untuk mengambil keputusan. Ini salah satu bentuk tanggung jawabku padanya meskipun aku sangat melukai istriku.” Gerald merangkul Naura yang tersentak, buru-buru memasukkan kertas tadi ke dalam tas. Diserahkannya tas itu pada pelayan. Wajah sedih dan air mata ditampilkan. Melihat itu, para wartawan bersimpati dengan keadaan Naura yang jelas-jelas tertekan. “Bagaimana Nyonya bisa setuju dimadu? Apa tidak takut posisinya akan direbut istri muda? Nyonya seorang aktris, kan? Pasti ada dampaknya.” Wartawan kembali menanyakan pertanyaan tanpa memikirkan perasaan Melinda yang kini meremas sisi kiri gaunnya. Bahwa dialah orang yang paling menderita, bukan Naura. “Sebagai sekarang wanita normal, tentu sulit bagiku untuk
“Siaaaalllll!” Naura mengamuk setibanya di kamar hotel. Semua barang yang ada di hadapannya dilempar ke segala arah, termasuk tasnya. Pyaaarrr!!! Naura yang sudah dipenuhi emosi, memecahkan kaca meja rias dengan melempar high heels sekuat tenaga. “Beraninya dia masuk ke dalam kehidupan rumah tanggaku! Aku tidak akan memaafkannya. Aaaaaaaa!!!!” Naura melampiaskan kebencian dengan berteriak keras. Tentu saja dia berhasil menipu semua orang dengan aktingnya sebab Naura adalah artis papan atas. Mudah baginya berlakon seperti orang menderita. Teringat ia bagaimana Gerald berhasil membujuknya untuk dimadu. Pria itu kembali membujuk setelah sang istri tersadar dari pingsan. “Sayang, aku janji akan tetap mengutamakan dirimu.” Naura melepaskan genggaman tangan Gerald seketika. Selain tak sanggup berbagi, Naura juga memikirkan kariernya. “Ak
Melinda memandangi kamar mewah yang kini menjadi tempatnya. Semua disiapkan dengan sangat detail dan penuh perhitungan, termasuk deretan pakaian baru. “Aku merindukan Mas Bima,” lirihnya. Seminggu sudah ia hanya berdiam diri di kamar setelah menikah. Makan pun pelayan akan mengantarkan ke kamar. Perlahan Melinda menyeka air mata, menyingkap gorden putih yang melambai-lambai. Ada balkon di sana, tapi tak menarik perhatian. Tok tok tok! Melinda mengalihkan perhatian pada pintu yang diketuk seseorang. “Masuk saja.” Wanita berbaju putih itu menghela napas. Di balik pintu, Naura mengepalkan tangan. “Ayo, Naura. Tunjukkan bakatmu sebagai aktris. Aku harus bisa memulai drama panjang ini.” Naura menghirup udara sebanyak mungkin, lalu memasang wajah ramah, membuka pintu kamar. “Kau tidak mau ke luar? Sampai kapan kau akan berduka? Keluarlah, ini sudah waktunya sarapan.” Naura dengan sty
“Mas, a-aku bisa jelaskan.” Naura meletakkan ponsel di atas meja dengan kondisi terbalik. Wanita itu mulai kebingungan untuk mencari alasan. Detak jantungnya seperti menjelaskan betapa paniknya ia saat ini. “Ini ... dialog film, kan? Apa kau sedang menghafal bahasa ini untuk keperluan syuting?” tanya Gerald, mengira apa yang tertulis di kertas adalah bagian dari naskah. Mendengar itu, Naura menghela napas lega. Untung saja hal itu muda dikaitkan dengan dirinya yang memang seorang aktris. “Y-ya. Ada ... ada salah satu dialog berbahasa Belanda. Aku takut salah, jadi aku menulisnya. Kan malu kalau salah pengucapan.” Dengan cepat Naura merebut kertas di tangan suaminya. Gerald hanya manggut-manggut, mengambil jaket yang tadi sempat ia letakkan di lantai. Tak sadari perubahan di wajah sang istri setelah kertas itu berpindah tangan. “Kau tahu artinya?” pancing Naura, ingin tahu apakah suaminya tahu atau tidak.
Entah sudah berapa lama Melinda menatap cincin pertunangannya. Gagal menemukan pria misterius di lift, wanita itu terus saja kepikiran. Meski sudah mencari ke beberapa tempat, pria misterius itu tetap tak ditemukan. “Mau sampai kapan kau menatap cincin itu?” Suara seseorang membuat Melinda tersentak, spontan menjatuhkan cincin yang malah menggelinding. Cincin itu baru berhenti setelah seseorang menginjaknya. Seseorang yang tak lain adalah Gerald, memungut cincin itu dan menatapnya. “Tu-Tuan,” lirih Melinda, bangkit mendekati sang suami. “Istriku sudah memintamu untuk memanggilku dengan sebutan ‘Mas’. Kau juga istriku meskipun kita sama-sama tak menginginkannya.” Pria itu menyerahkan cincin pada Melinda yang berdiri. “Maaf,” ucapnya, mengambil cincin yang Gerald berikan tanpa memandang. Dimasukkannya cincin itu ke dalam saku baju. “A
Melinda buru-buru bangun dan membersihkan diri. Semalam ia sudah memikirkan tentang apa yang akan dilakukan hari ini. Seperti keinginan Naura, dia akan mulai melakukan tugasnya sebagai istri. Langkahnya cepat menuruti tangga menuju ke dapur. Di sana, dua pelayan sudah lebih dulu bersiap untuk menyiapkan sarapan. “Se-selamat pagi,” sapa Melinda, merasa canggung. Selama ini dia bahkan tak pernah ke dapur. Saat sarapan pun, baru kemarin bisa makan bersama. “Selamat pagi. Kenapa Nona ke sini? Istirahat saja. Nanti kalau sudah selesai, akan saya bangunkan,” kata Rina, pelayan muda dengan lesung pipi, tersenyum manis. “Nyonya ... ah, maksudnya, Kak Naura memintaku untuk melakukan tugas sebagai istri. Jadi, aku akan membantu apa pun yang aku bisa,” ulas Melinda. Mendengar itu, Rina tersenyum. Diserahkannya pisau dapur pada Melinda. “Kalau begitu, Nona bisa memotong brokoli,” katany
Melinda dan Gerald berdiri menatap Lily Hotel di depannya yang sudah beroperasi beberapa bulan terakhir. Hotel baru yang langsung menjadi pusat perhatian dan populer di berbagai kalangan. Keduanya melangkah sambil memasuki tempat itu dengan senyuman. Para karyawan kompak menyambut kedatangan mereka yang sudah dikabari sejak beberapa hari lalu. Setelah pernikahan ulang dilaksanakan, Melinda dan sang suami semakin mesra. Ke mana-mana selalu bersama. Kali ini mereka datang untuk menikmati fasilitas hotel yang ada. Layaknya pasangan muda-mudi yang bulan madu. “Pokoknya aku mau lima ronde!” kata Gerald, memasuki salah satu kamar VVIP. “Ingat umur, Mas! Mana bisa tenagamu mengimbangiku?” ledek Melinda, menutup pintu dan menguncinya. “Jangan remehkan aku. Sebelum ke sini, Mama Zaskia sudah membuatkan aku jamu kuat. Dia bilang, aku akan sanggup sampai lima ronde sekali pun!” Geral
“Mama?” Baru saja kata itu terucap, seorang wanita mengeluarkan pistol dari dalam tas, lalu mengarahkannya kepada mereka. Melinda menganga, terkejut melihat kehadiran Zaskia tiba-tiba. “Kau pikir aku akan diam saja? Aku akan menuntut balas. Aku tak bisa datang saat kematian Naura, tapi aku datang saat kematian kalian.” Zaskia mengarahkan pistol kepada Gerald. Segera Melinda berdiri di depannya, menghalangi. “Sebelum kau membunuhnya, bunuh aku lebih dulu. Aku tak bisa hidup tanpa suamiku,” ujar Melinda. “Tidak! Bunuh aku saja. Mama pasti marah dan benci karena aku memilih Melinda, kan? Kalau begitu, bunuh saja aku, jangan dia.” Gerald mendorong Melinda ke samping. Berganti menjadi pelindung bagi sang istri. Melinda menggeleng. Digenggamnya tangan sang suami. Jika harus mati, maka dia lebih memilih mati bersama daripada harus kehilangan.
Pagi yang sepi. Ditemani semilir angin dan dedaunan yang berguguran. Hujan baru saja reda saat pemakaman Naura dilangsungkan. Melinda, Gerald, Jiddan, serta lainnya menyempatkan diri untuk datang. Menyaksikan bagaimana tubuh fana itu mulai ditutupi tanah yang lumayan berlumpur. Kabar kematiannya yang benar-benar mengenaskan baru terdengar menjelang pagi. Polisi mengatakan kematiannya karena bunuh diri. Overdosis obat penghilang cemas. Tubuhnya yang lemah, tak mampu menahan. “Seminggu lagi dia akan dieksekusi mati, tapi ternyata memilih mengakhiri hidup.” Begitulah yang Gerald dengar dari polisi yang datang untuk mengabari. “Kami menemukan surat di dalam kantong celananya. Mungkin Tuan berkenan menerimanya.” Polisi menyerahkan selembar kertas yang dilipat pada Gerald yang terkejut dengan kabar buruk itu. Tangannya bergetar saat menerima surat itu. "Di
“Di mana otakmu, hah? Kau ingin membakar anak kecil demi memuaskan egomu? Kau benar-benar sudah tidak waras!” Gerald merasa dadanya mulai bergetar, saking amarahnya tak bisa dibendung. “Aku tak peduli! Biar dia mati sekalian. Kalau dia mati, kau akan menderita bersama wanita itu. Aku akan tertawa sepuas hati,” jawab Naura, tersenyum lebar. Dilihatnya Melinda mengusap wajah Lily yang basah karena bensin. Rasanya Naura sudah gelap mata. Dia ingin hari ini juga, ada yang mati di antara mereka. Siapa pun itu, pokoknya hanya ada satu yang bisa tenang, dan itu adalah dirinya. “Kau sangat mencintai mereka, kan? Itulah kenapa kau menceraikan aku,” kata Naura, perlahan melangkah ke samping, di mana korek api yang terlempar tadi berada di rumput. “Itu semua karena kesalahanmu! Kau serakah! Kau egois! Kau penjahat yang hanya bisa menghancurkan hidup orang lain!” kecam Gerald, menunjuk wajah Naura. Tak jauh darinya,
Haedar berlari di Bandara. Semalam ia mendapat telepon dari temannya bahwa anak Gerald diculik mantan istrinya yang kabur dari penjara. Karena panik, Haedar izin kembali ke Indonesia. Pria itu berlari mendekati Radit yang menunggu dengan senyuman. Majikannya kembali. Walaupun mungkin hanya sebentar, setidaknya dia tampak baik-baik saja. “Selamat datang, Tuan,” sapa Radit, membungkuk hormat. “Lily sudah ditemukan?” tanya Haedar, memasuki mobil yang pintunya dibuka. “Tadi pagi saat saya ke sana, katanya mereka sudah menemukan keberadaan Lily. Ada Kenan dan Suzy yang membantu Nyonya Naura,” tutur Radit. Ia memasuki mobil, lantas segera membawa majikannya ke bandara. Sengaja tak memberi tahu keluarga Gerald bahwa dirinya pulang. Hanya seminggu di Turki, tapi dia terpaksa pulang. “Aku sudah curiga. Mustahil dia akan diam saja menerima kenyataan akan dipenjara selama beberapa tahun.” Haedar men
Saat semua orang masih panik, tiba-tiba ponsel Melinda berdering. Wanita itu mengangkat telepon dari nomor asing. Tangannya sedikit bergetar saat ponsel itu didekatkan ke telinga. “Ha-halo. Siapa?” tanyanya, menggigit jari. “Apa perlu aku beri tahu siapa aku?” Melinda membulatkan mata. Suara itu milik Naura. Dia yakin seratus persen bahwa yang kini menelepon adalah mantan istri Gerald. “Sayang!” Gerald mendekat. “Apa maumu? Katakan padaku, di mana Lily? Kau yang menculiknya, kan? Katakan, Naura!” Melinda membekap mulut, menahan isak tangisnya. Gerald meletakkan kedua tangannya ke pundak sang istri. Ikut mendengarkan apa yang akan Naura katakan. “Aku akan memberimu anak ini, asal kau datang ke alamat yang akan aku sebutkan. Sampai kau membawa orang lain, apalagi Mas Gerald ataupun polisi, aku tak jamin Anakmu akan bernapas.”
“Sayang, Minggu depan ikut aku, ya,” ajak Gerald. Meletakkan tangannya pada sandaran sofa. Istrinya yang fokus menonton acara anak-anak, menoleh sekilas. “Ke mana?” tanyanya, kembali menatap layar televisi, di mana kartun lucu tengah tampil. Lily yang sangat menyukai tayangannya, tak sedikit pun menoleh. Duduk di lantai beralaskan karpet tebal di bawah keduanya, dengan sejumlah mainan yang mulai berantakan. “Kau ikut saja. Aku ada kejutan untukmu,” kata Gerald, memeluk istrinya dari samping. “Tergantung,” jawab Melinda. “Tergantung apa?” Gerald menarik telinga Lily pelan, lalu pura-pura tidak melihat saat sang anak menoleh. “Tergantung suasana hati. Kalau suasana hatiku sedang baik, mungkin aku akan ikut. Kalau tidak, ya maaf.” Melinda mengganti tayangan saat iklan. “Ih, kau ini!” Gerald berdecak. Ia mulai mengganggu Lily yang asyik menikmati camilan. “Kau kadang suka aneh. Men
Dea menambah kecepatan motornya. Merasa takut tak akan bertemu Haedar lagi. Air matanya menetes. Sungguh, dia benar-benar menyukai pria itu. Walaupun berusaha untuk melupakannya, perasaan itu kian bertambah. Semakin subur setiap saat. Dea menangis tanpa suara. Jalanan di depannya yang lumayan lengang membuat wanita dengan kaos hitam itu semakin berusaha untuk sampai lebih cepat. Di Bandara .... Haedar dan Saroon baru saja sampai. Pria itu memeluk Radit yang tampak tak mau berpisah. “Saya ikut ya, Tuan,” ujarnya. “Mana bisa? Nanti siapa yang akan membantu Kak Gerald dan Jiddan? Lagi pula, kau juga butuh tiket pesawat, Visa dan paspor. Tidak mungkin dalam satu jam kau bisa menyiapkan semua. Sudah, tenang saja.” Ditepuknya pundak Radit yang sudah seperti anggota keluarganya juga. Memeluknya erat tanda sebentar lagi akan berpisah. “Jaga rumah baik-baik, ya. Kalau ada apa-apa, hubungi kami.” Saroon
Naura langsung dibawa ke ruang UGD untuk mendapatkan penanganan medis. Dua penjaga yang mengantar pun menunggu di luar. Satu jam kemudian, dokter keluar dari ruangan dan memberi tahu keadaan Naura yang sudah membaik. “Kapan kiranya bisa pulang?” tanya penjaga bertubuh kurus. “Dua atau tiga hari sudah boleh pulang. Saya permisi dulu.” Dokter berlalu meninggalkan dua penjaga yang sepakat akan bergantian berjaga karena Naura adalah tahanan. Selang beberapa saat .... Naura membuka mata. Ia langsung bangun, memegangi perutnya yang terluka. Nyeri hebat dirasakan saat ia menyentak selang infus hingga darah dari tangannya menetes. “Aku harus segera pergi.” Naura turun dari ranjang. Perlahan ia mendekati jendela. Beruntung tadi sempat mengambil gunting yang dokter letakkan tak jauh darinya. Wanita itu pun mencungkil jendela menggunakan gunting dengan susah payah. Berusaha untuk kabur dari tempat itu ta