“Siaaaalllll!” Naura mengamuk setibanya di kamar hotel. Semua barang yang ada di hadapannya dilempar ke segala arah, termasuk tasnya.
Pyaaarrr!!! Naura yang sudah dipenuhi emosi, memecahkan kaca meja rias dengan melempar high heels sekuat tenaga. “Beraninya dia masuk ke dalam kehidupan rumah tanggaku! Aku tidak akan memaafkannya. Aaaaaaaa!!!!” Naura melampiaskan kebencian dengan berteriak keras. Tentu saja dia berhasil menipu semua orang dengan aktingnya sebab Naura adalah artis papan atas. Mudah baginya berlakon seperti orang menderita. Teringat ia bagaimana Gerald berhasil membujuknya untuk dimadu. Pria itu kembali membujuk setelah sang istri tersadar dari pingsan. “Sayang, aku janji akan tetap mengutamakan dirimu.” Naura melepaskan genggaman tangan Gerald seketika. Selain tak sanggup berbagi, Naura juga memikirkan kariernya. “Aku tidak bisa, Mas. Film-ku tengah tayang. Bagaimana kalau dihentikan karena masalah ini?” Naura menahan isak. “Justru itu, pernikahan harus diadakan. Popularitasmu akan semakin terkenal. Semua akan bersimpati dan menjadikanmu panutan.” “Kau mau aku dipenjara karena masalah ini? Kau tega membiarkan suamimu kedinginan di dalam sel?” Tak mau menyerah, Gerald tetap memaksa. “Tidak, tidak! Kau tidak boleh dipenjara. Namun, aku juga tak bisa membiarkanmu dengannya. Satu rumah, satu kamar .... “ Naura mulai membayangkan yang tidak-tidak. “Dia tidak akan berani mendekati kita. Kau kan tahu, Melinda baru saja kehilangan tunangan. Mustahil dia akan menggodaku.” Gerald gigih untuk membuat istrinya menuruti. Beberapa saat Naura terdiam. Berpikir dengan keras, sampai akhirnya menjawab, “Baiklah, aku setuju dengan usulmu. Kau akan menepati janji, kan?” Naura terisak. “Aku janji.” Gerald memeluk erat istrinya, mengeluarkan kata-kata indah yang memabukkan. "Aku tidak akan membiarkan semua ini. Akan aku hancurkan siapa pun yang berani mengambil alih peranku sebagai istri Mas Gerald." Naura kembali pada dunianya. Dunia yang mulai membuat darahnya mendidih. Kehadiran Melinda tentu menjadi hal yang patut diwaspadai. "Aku juga akan menemukan siapa yang berani mengancamku. Aku takut dia sampai tahu lebih banyak," ujarnya, teringat surat misterius dari orang yang belum ia ketahui dengan pasti.*** Gerald keluar dari kamar mandi dengan pakaian rapi. Dipasangnya kancing pada lengan kemeja putih yang dikenakan. Pandangannya tertuju pada sesosok tubuh meringkuk di sudut ruangan dengan tangan memeluk lutut, masih mengenakan gaun pengantin. “Aku bahkan tidak melakukan apa pun padanya.” Pria berusia 35 tahun itu duduk di sofa, mengenakan jas hitam. Semalam ia hanya berniat menakut-nakuti Melinda dengan pura-pura ingin memukul menggunakan ikat pinggang. Bukannya takut, Melinda malah sangat berani mengumpulkan kelopak mawar dari lantai, lantas melemparnya ke wajah Gerald. Menantang pria itu untuk benar-benar memukulnya. “Kalau kau masih ingin menginap di sini, tidak masalah. Aku akan pulang.” Gerald menyisir rambut dengan tangan, sedikit mengacak-acak hingga tatanannya cukup menarik. Melinda mendongak. Wajahnya sayu, dengan kelopak mata lumayan menghitam gara-gara semalaman menangisi hidup. “Tinggalkan saja. Saya akan pulang,” katanya, mulai bangkit. “Pulang? Ke mana? Bukannya Bibimu mengajukan syarat bahwa setelah pernikahan kau tidak boleh kembali?” Diingatkan olehnya apa yang sempat Irma ucapkan. Melinda menarik napas panjang. Tangannya yang semula mengepal, kini bergerak menunjuk wajah sang suami yang terlihat meremehkan. “Tu—“ “Bersihkan dirimu sekarang juga! Kini kau istriku. Apa pun yang kuperintah, harus segera kau turuti!” Gerald mengambil paper bag di atas meja. Dilemparnya benda itu pada Melinda. “Dasar!” Dengan kesal, Melinda terpaksa menuruti perintah suaminya yang memasukkan surat kontrak pernikahan yang sudah ia remas semalam ke dalam map. Beberapa saat kemudian .... Mobil sedan hitam berhenti di depan rumah mewah milik Gerald. Tampak pria itu keluar dari mobil diikuti Naura dan Melinda. Beberapa orang sudah pun menunggu untuk menyambut kedatangan mereka. “Selamat datang, Tuan, Nyonya, Nona Muda.” Semua menyapa seraya membungkuk. Baik Gerald maupun Naura, keduanya hanya menebar senyum, saling bergandengan tangan. Berbeda dengan Melinda yang malah terpaku menatap rumah mewah di depannya. Alih-alih merasa bahagia, Melinda malah cemas. Bukan melihat surga, tapi ia seperti akan memasuki neraka yang setiap saat dapat membakar diri. “Ayo, Mel! Masuklah. Sekarang kau bagian dari rumah ini juga,” ajak Naura, menarik tangannya yang semula saling bertaut. “Tapi, Nyonya, bagaimana dengan semua pakaian saya?” Ditolehnya dress berwarna cream pemberian Gerald yang tentunya mahal. “Bibimu berbaik hati mengirim semuanya tadi pagi. Aku pun sudah menyiapkan semua.” Naura menarik tangan ‘madu’ yang bahkan mulai semakin tak tenang. ‘Itu bukan baik hati, tapi mengusir dengan halus,’ batin Melinda. Saat memasuki rumah, Melinda dibuat menganga. Dia merasa sangat kerdil di dalam ruangan luas itu. “Selamat datang. Karena ini hari pertamamu, biar aku jelaskan semua peraturan yang ada di sini.” Wanita dengan rok merah itu memberi isyarat semua pelayan untuk mendekat dengan menepuk tangan. “Sambut Nona Muda baru kalian,” ujar Naura. “Selamat datang, Nona Muda.” Kompak mereka berujar. Melinda hanya tersenyum, sedikit mengangkat tangan, risih dipanggil Nona Muda. “Ini adalah Suzy, asisten pribadiku, yang ini Jiddan, orang kepercayaan Mas Gerald, ini Rina, .... “ Naura memperkenalkan semua. Tampak Suzy menatap dengan ketidaksukaan. Bibirnya samar-samar bergerak bagai mengejek. “Lanjutkan pekerjaan kalian!” titah Gerald, duduk dengan kaki menyilang setelah sekilas pengenalan. Spontan semua meninggalkan ruangan, kecuali Jiddan. “Aku mengatur semua hal di rumah ini. Pertama .... “ Naura berbalik menatap Jiddan yang bergerak mundur, memberi jarak bagi mereka. “Tidak boleh ada yang mengganggu aktivitas pemilik rumah saat beristirahat. Kalaupun penting, mereka hanya boleh menunggu dari jarak 10 meter. Tidak boleh lebih!” Gerakan jari Naura seolah mempertegas bahwa peraturannya adalah hukum di rumah ini. Ia juga menerangkan apa saja yang boleh dan terlarang di rumahnya. Gerald hanya menjadi pengamat, malas ikut campur. “Kau boleh ke area mana pun di rumah ini, kecuali ruang kerja Mas Gerald, ruang pribadiku, kamar kami, juga taman samping.” “Sebab kau sekarang istri muda sekaligus pengantin baru, semua peraturan di rumah ini juga berlaku untukmu,” sambungnya. Melinda hanya mengangguk. Selain tak tahu harus bicara apa, dia juga malas membicarakan sesuatu yang sebenarnya tak penting. “Jiddan, antar Melinda ke kamarnya!” titah Naura. “Baik, Nyonya.” Jiddan sigap menarik koper, lalu mengajak Melinda menuju ke kamarnya. “Terima kasih, Nyonya, Tuan.” Melinda mengikuti Jiddan dengan terpaksa. “Kau tidak perlu melakukan ini, Sayang.” Gerald menghampiri istrinya yang mengamati Melinda. “Apa salahnya berbuat baik? Hidupnya pasti sangat sulit,” ujar Naura, bersandar pada lengan suaminya. ‘Dan mulai sekarang, hidupnya yang sulit akan kubuat semakin sulit sampai dia tidak punya sekat untuk bernapas!’ batin Naura. “Di kamar mana dia akan tinggal?” tanya Gerald. “Kamar sebelah ruang pribadiku.” Naura menatap sang suami. “Loh, kenapa di sana?” Tampak keterkejutan di wajah Gerald, sementara istrinya terdiam, memandangi punggung Melinda yang kian menjauh. Apa yang sebenarnya Naura rencanakan? Kenapa dia menempatkan Melinda di dekat ruang pribadinya?****Melinda memandangi kamar mewah yang kini menjadi tempatnya. Semua disiapkan dengan sangat detail dan penuh perhitungan, termasuk deretan pakaian baru. “Aku merindukan Mas Bima,” lirihnya. Seminggu sudah ia hanya berdiam diri di kamar setelah menikah. Makan pun pelayan akan mengantarkan ke kamar. Perlahan Melinda menyeka air mata, menyingkap gorden putih yang melambai-lambai. Ada balkon di sana, tapi tak menarik perhatian. Tok tok tok! Melinda mengalihkan perhatian pada pintu yang diketuk seseorang. “Masuk saja.” Wanita berbaju putih itu menghela napas. Di balik pintu, Naura mengepalkan tangan. “Ayo, Naura. Tunjukkan bakatmu sebagai aktris. Aku harus bisa memulai drama panjang ini.” Naura menghirup udara sebanyak mungkin, lalu memasang wajah ramah, membuka pintu kamar. “Kau tidak mau ke luar? Sampai kapan kau akan berduka? Keluarlah, ini sudah waktunya sarapan.” Naura dengan sty
“Mas, a-aku bisa jelaskan.” Naura meletakkan ponsel di atas meja dengan kondisi terbalik. Wanita itu mulai kebingungan untuk mencari alasan. Detak jantungnya seperti menjelaskan betapa paniknya ia saat ini. “Ini ... dialog film, kan? Apa kau sedang menghafal bahasa ini untuk keperluan syuting?” tanya Gerald, mengira apa yang tertulis di kertas adalah bagian dari naskah. Mendengar itu, Naura menghela napas lega. Untung saja hal itu muda dikaitkan dengan dirinya yang memang seorang aktris. “Y-ya. Ada ... ada salah satu dialog berbahasa Belanda. Aku takut salah, jadi aku menulisnya. Kan malu kalau salah pengucapan.” Dengan cepat Naura merebut kertas di tangan suaminya. Gerald hanya manggut-manggut, mengambil jaket yang tadi sempat ia letakkan di lantai. Tak sadari perubahan di wajah sang istri setelah kertas itu berpindah tangan. “Kau tahu artinya?” pancing Naura, ingin tahu apakah suaminya tahu atau tidak.
Entah sudah berapa lama Melinda menatap cincin pertunangannya. Gagal menemukan pria misterius di lift, wanita itu terus saja kepikiran. Meski sudah mencari ke beberapa tempat, pria misterius itu tetap tak ditemukan. “Mau sampai kapan kau menatap cincin itu?” Suara seseorang membuat Melinda tersentak, spontan menjatuhkan cincin yang malah menggelinding. Cincin itu baru berhenti setelah seseorang menginjaknya. Seseorang yang tak lain adalah Gerald, memungut cincin itu dan menatapnya. “Tu-Tuan,” lirih Melinda, bangkit mendekati sang suami. “Istriku sudah memintamu untuk memanggilku dengan sebutan ‘Mas’. Kau juga istriku meskipun kita sama-sama tak menginginkannya.” Pria itu menyerahkan cincin pada Melinda yang berdiri. “Maaf,” ucapnya, mengambil cincin yang Gerald berikan tanpa memandang. Dimasukkannya cincin itu ke dalam saku baju. “A
Melinda buru-buru bangun dan membersihkan diri. Semalam ia sudah memikirkan tentang apa yang akan dilakukan hari ini. Seperti keinginan Naura, dia akan mulai melakukan tugasnya sebagai istri. Langkahnya cepat menuruti tangga menuju ke dapur. Di sana, dua pelayan sudah lebih dulu bersiap untuk menyiapkan sarapan. “Se-selamat pagi,” sapa Melinda, merasa canggung. Selama ini dia bahkan tak pernah ke dapur. Saat sarapan pun, baru kemarin bisa makan bersama. “Selamat pagi. Kenapa Nona ke sini? Istirahat saja. Nanti kalau sudah selesai, akan saya bangunkan,” kata Rina, pelayan muda dengan lesung pipi, tersenyum manis. “Nyonya ... ah, maksudnya, Kak Naura memintaku untuk melakukan tugas sebagai istri. Jadi, aku akan membantu apa pun yang aku bisa,” ulas Melinda. Mendengar itu, Rina tersenyum. Diserahkannya pisau dapur pada Melinda. “Kalau begitu, Nona bisa memotong brokoli,” katany
Gerald hendak bangun, tapi sang istri menahannya. Naura menggeleng laju, mengurut dada suaminya yang tampak tegang. Dimintanya pria itu untuk bertenang. “Jangan marahi dia, Mas. Ini juga keteledoran kita. Aku yang lupa memberi tahu Melinda, sedangkan kau tidak memerhatikan apa yang kau makan,” ucap Naura. Bibir Gerald mendesis pelan. Dadanya yang nyeri berangsur-angsur membaik. Dilihatnya Jiddan yang tengah memerhatikan ponsel. “Apa yang kau lakukan?” tanyanya, dengan nada yang mulai stabil, tak seperti beberapa saat lalu yang suaranya bahkan terdengar nyaring. “Mengecek jadwal Tuan hari ini. Saya membatalkan rapat dan memberi tahu anggota dewan dalam grup percakapan bahwa Tuan masuk rumah sakit,” jawab Jiddan. Sembari mendekat, pria itu memasukkan ponsel ke dalam saku celana. Diperhatikan wajah atasannya yang masih memucat. “Kau mau aku terlihat lemah, begitu? Bagaimana kalau dengan demi
Gerald tengah menatap berkas-berkas di atas meja. Menumpuk sudah berkas yang perlu ia periksa segera. Beberapa di antaranya harus secepatnya diserahkan kepada Haedar selaku CEO. “Sial! Banyak agenda yang harus aku atur, tapi kondisi perusahaan kian merosot,” ujarnya. Sebulan terakhir perusahaan mendapatkan banyak masalah, terutama dalam hal keuangan. Adanya insiden di perusahaan membuat beberapa investor menarik diri dari proyek besar. “Kalau saja aku meminta Jiddan yang menangani langsung, sudah pasti Rapat Umum Pemegang Saham bisa dilaksanakan hari itu.” Gerald terus saja mengomel sembari memeriksa berkas. Tangannya lincah membuka lembar demi lembar sembari terus berpikir. Saat masih fokus pada pekerjaan, mendadak ponselnya berdering. Sekilas ia menoleh pada layar ponsel yang menyala. “Tumben Naura menelepon sore-sore begini,” ujarnya, meletakkan bulpen, lantas mengambil p
Melinda dan Gerald tengah memerhatikan peti mati yang disimpan di dalam gudang tua di belakang paviliun. Bentuknya yang tak terlalu besar, membuat alis Gerald bertaut. “Jadi, kau dalam keadaan meringkuk saat bangun?” tanyanya. “Benar, Mas. Aku bahkan kehilangan cincinku saat kejadian.” Sekilas Melinda mengangkat tangan, membayangkan keberadaan cincin di tangannya. “Hilang? Yang melingkar ini apa? Donat?” Gerald menarik tangan sang istri. Berdecak pelan setelah melepaskan tangan itu dengan cukup kasar. “Bukan cincin pernikahan kita, tapi cincin pertunangan dengan Mas Bima,” lirih Melinda, memelankan suara. “Oh.” Gerald mengangguk. Pria itu sedikit mencibir. “Sudahlah, kau istirahat saja. Biarkan Jiddan mengurusnya. Kalau kau sakit, kau pasti menyusahkan. Itulah kenapa Bibimu selalu marah, kan?” Gerald yang berpakaian santai dengan c
Melinda membuka lemari. Pandangannya tertuju pada sebuah kotak mini dari kardus yang diletakkan di bagian bawah lemari. Diambilnya benda itu, lantas duduk di tepi ranjang. Dibuka kotak berwarna cokelat itu. Tampak pakaian berwarna putih yang sangat bersih. Melihatnya, Melinda tak bisa menahan air mata. “Mas Bima,” lirihnya, teringat malam itu. Malam di mana ia menemukan Bima jatuh dari ketinggian dalam keadaan tertelungkup. Baju putih yang sempat berlumuran darah itu menjadi saksi bagaimana darah Bima menyatu dengan tanah dari vas bunga yang pecah. “Di mana aku akan mendapatkan bukti? Apa yang terjadi padamu, Mas? Sampai detik ini, aku tak bisa melakukan apa pun. Aku bodoh. Sangat bodoh!” Melinda memukul dadanya dengan keras. Meluapkan amarah dan kekesalan yang tak bisa ia tunjukkan pada dunia. Tanpa disadari, Rina mendengarkan dari balik pintu. Sedikit
Melinda dan Gerald berdiri menatap Lily Hotel di depannya yang sudah beroperasi beberapa bulan terakhir. Hotel baru yang langsung menjadi pusat perhatian dan populer di berbagai kalangan. Keduanya melangkah sambil memasuki tempat itu dengan senyuman. Para karyawan kompak menyambut kedatangan mereka yang sudah dikabari sejak beberapa hari lalu. Setelah pernikahan ulang dilaksanakan, Melinda dan sang suami semakin mesra. Ke mana-mana selalu bersama. Kali ini mereka datang untuk menikmati fasilitas hotel yang ada. Layaknya pasangan muda-mudi yang bulan madu. “Pokoknya aku mau lima ronde!” kata Gerald, memasuki salah satu kamar VVIP. “Ingat umur, Mas! Mana bisa tenagamu mengimbangiku?” ledek Melinda, menutup pintu dan menguncinya. “Jangan remehkan aku. Sebelum ke sini, Mama Zaskia sudah membuatkan aku jamu kuat. Dia bilang, aku akan sanggup sampai lima ronde sekali pun!” Geral
“Mama?” Baru saja kata itu terucap, seorang wanita mengeluarkan pistol dari dalam tas, lalu mengarahkannya kepada mereka. Melinda menganga, terkejut melihat kehadiran Zaskia tiba-tiba. “Kau pikir aku akan diam saja? Aku akan menuntut balas. Aku tak bisa datang saat kematian Naura, tapi aku datang saat kematian kalian.” Zaskia mengarahkan pistol kepada Gerald. Segera Melinda berdiri di depannya, menghalangi. “Sebelum kau membunuhnya, bunuh aku lebih dulu. Aku tak bisa hidup tanpa suamiku,” ujar Melinda. “Tidak! Bunuh aku saja. Mama pasti marah dan benci karena aku memilih Melinda, kan? Kalau begitu, bunuh saja aku, jangan dia.” Gerald mendorong Melinda ke samping. Berganti menjadi pelindung bagi sang istri. Melinda menggeleng. Digenggamnya tangan sang suami. Jika harus mati, maka dia lebih memilih mati bersama daripada harus kehilangan.
Pagi yang sepi. Ditemani semilir angin dan dedaunan yang berguguran. Hujan baru saja reda saat pemakaman Naura dilangsungkan. Melinda, Gerald, Jiddan, serta lainnya menyempatkan diri untuk datang. Menyaksikan bagaimana tubuh fana itu mulai ditutupi tanah yang lumayan berlumpur. Kabar kematiannya yang benar-benar mengenaskan baru terdengar menjelang pagi. Polisi mengatakan kematiannya karena bunuh diri. Overdosis obat penghilang cemas. Tubuhnya yang lemah, tak mampu menahan. “Seminggu lagi dia akan dieksekusi mati, tapi ternyata memilih mengakhiri hidup.” Begitulah yang Gerald dengar dari polisi yang datang untuk mengabari. “Kami menemukan surat di dalam kantong celananya. Mungkin Tuan berkenan menerimanya.” Polisi menyerahkan selembar kertas yang dilipat pada Gerald yang terkejut dengan kabar buruk itu. Tangannya bergetar saat menerima surat itu. "Di
“Di mana otakmu, hah? Kau ingin membakar anak kecil demi memuaskan egomu? Kau benar-benar sudah tidak waras!” Gerald merasa dadanya mulai bergetar, saking amarahnya tak bisa dibendung. “Aku tak peduli! Biar dia mati sekalian. Kalau dia mati, kau akan menderita bersama wanita itu. Aku akan tertawa sepuas hati,” jawab Naura, tersenyum lebar. Dilihatnya Melinda mengusap wajah Lily yang basah karena bensin. Rasanya Naura sudah gelap mata. Dia ingin hari ini juga, ada yang mati di antara mereka. Siapa pun itu, pokoknya hanya ada satu yang bisa tenang, dan itu adalah dirinya. “Kau sangat mencintai mereka, kan? Itulah kenapa kau menceraikan aku,” kata Naura, perlahan melangkah ke samping, di mana korek api yang terlempar tadi berada di rumput. “Itu semua karena kesalahanmu! Kau serakah! Kau egois! Kau penjahat yang hanya bisa menghancurkan hidup orang lain!” kecam Gerald, menunjuk wajah Naura. Tak jauh darinya,
Haedar berlari di Bandara. Semalam ia mendapat telepon dari temannya bahwa anak Gerald diculik mantan istrinya yang kabur dari penjara. Karena panik, Haedar izin kembali ke Indonesia. Pria itu berlari mendekati Radit yang menunggu dengan senyuman. Majikannya kembali. Walaupun mungkin hanya sebentar, setidaknya dia tampak baik-baik saja. “Selamat datang, Tuan,” sapa Radit, membungkuk hormat. “Lily sudah ditemukan?” tanya Haedar, memasuki mobil yang pintunya dibuka. “Tadi pagi saat saya ke sana, katanya mereka sudah menemukan keberadaan Lily. Ada Kenan dan Suzy yang membantu Nyonya Naura,” tutur Radit. Ia memasuki mobil, lantas segera membawa majikannya ke bandara. Sengaja tak memberi tahu keluarga Gerald bahwa dirinya pulang. Hanya seminggu di Turki, tapi dia terpaksa pulang. “Aku sudah curiga. Mustahil dia akan diam saja menerima kenyataan akan dipenjara selama beberapa tahun.” Haedar men
Saat semua orang masih panik, tiba-tiba ponsel Melinda berdering. Wanita itu mengangkat telepon dari nomor asing. Tangannya sedikit bergetar saat ponsel itu didekatkan ke telinga. “Ha-halo. Siapa?” tanyanya, menggigit jari. “Apa perlu aku beri tahu siapa aku?” Melinda membulatkan mata. Suara itu milik Naura. Dia yakin seratus persen bahwa yang kini menelepon adalah mantan istri Gerald. “Sayang!” Gerald mendekat. “Apa maumu? Katakan padaku, di mana Lily? Kau yang menculiknya, kan? Katakan, Naura!” Melinda membekap mulut, menahan isak tangisnya. Gerald meletakkan kedua tangannya ke pundak sang istri. Ikut mendengarkan apa yang akan Naura katakan. “Aku akan memberimu anak ini, asal kau datang ke alamat yang akan aku sebutkan. Sampai kau membawa orang lain, apalagi Mas Gerald ataupun polisi, aku tak jamin Anakmu akan bernapas.”
“Sayang, Minggu depan ikut aku, ya,” ajak Gerald. Meletakkan tangannya pada sandaran sofa. Istrinya yang fokus menonton acara anak-anak, menoleh sekilas. “Ke mana?” tanyanya, kembali menatap layar televisi, di mana kartun lucu tengah tampil. Lily yang sangat menyukai tayangannya, tak sedikit pun menoleh. Duduk di lantai beralaskan karpet tebal di bawah keduanya, dengan sejumlah mainan yang mulai berantakan. “Kau ikut saja. Aku ada kejutan untukmu,” kata Gerald, memeluk istrinya dari samping. “Tergantung,” jawab Melinda. “Tergantung apa?” Gerald menarik telinga Lily pelan, lalu pura-pura tidak melihat saat sang anak menoleh. “Tergantung suasana hati. Kalau suasana hatiku sedang baik, mungkin aku akan ikut. Kalau tidak, ya maaf.” Melinda mengganti tayangan saat iklan. “Ih, kau ini!” Gerald berdecak. Ia mulai mengganggu Lily yang asyik menikmati camilan. “Kau kadang suka aneh. Men
Dea menambah kecepatan motornya. Merasa takut tak akan bertemu Haedar lagi. Air matanya menetes. Sungguh, dia benar-benar menyukai pria itu. Walaupun berusaha untuk melupakannya, perasaan itu kian bertambah. Semakin subur setiap saat. Dea menangis tanpa suara. Jalanan di depannya yang lumayan lengang membuat wanita dengan kaos hitam itu semakin berusaha untuk sampai lebih cepat. Di Bandara .... Haedar dan Saroon baru saja sampai. Pria itu memeluk Radit yang tampak tak mau berpisah. “Saya ikut ya, Tuan,” ujarnya. “Mana bisa? Nanti siapa yang akan membantu Kak Gerald dan Jiddan? Lagi pula, kau juga butuh tiket pesawat, Visa dan paspor. Tidak mungkin dalam satu jam kau bisa menyiapkan semua. Sudah, tenang saja.” Ditepuknya pundak Radit yang sudah seperti anggota keluarganya juga. Memeluknya erat tanda sebentar lagi akan berpisah. “Jaga rumah baik-baik, ya. Kalau ada apa-apa, hubungi kami.” Saroon
Naura langsung dibawa ke ruang UGD untuk mendapatkan penanganan medis. Dua penjaga yang mengantar pun menunggu di luar. Satu jam kemudian, dokter keluar dari ruangan dan memberi tahu keadaan Naura yang sudah membaik. “Kapan kiranya bisa pulang?” tanya penjaga bertubuh kurus. “Dua atau tiga hari sudah boleh pulang. Saya permisi dulu.” Dokter berlalu meninggalkan dua penjaga yang sepakat akan bergantian berjaga karena Naura adalah tahanan. Selang beberapa saat .... Naura membuka mata. Ia langsung bangun, memegangi perutnya yang terluka. Nyeri hebat dirasakan saat ia menyentak selang infus hingga darah dari tangannya menetes. “Aku harus segera pergi.” Naura turun dari ranjang. Perlahan ia mendekati jendela. Beruntung tadi sempat mengambil gunting yang dokter letakkan tak jauh darinya. Wanita itu pun mencungkil jendela menggunakan gunting dengan susah payah. Berusaha untuk kabur dari tempat itu ta