Gerald tengah menatap berkas-berkas di atas meja. Menumpuk sudah berkas yang perlu ia periksa segera.
Beberapa di antaranya harus secepatnya diserahkan kepada Haedar selaku CEO. “Sial! Banyak agenda yang harus aku atur, tapi kondisi perusahaan kian merosot,” ujarnya. Sebulan terakhir perusahaan mendapatkan banyak masalah, terutama dalam hal keuangan. Adanya insiden di perusahaan membuat beberapa investor menarik diri dari proyek besar. “Kalau saja aku meminta Jiddan yang menangani langsung, sudah pasti Rapat Umum Pemegang Saham bisa dilaksanakan hari itu.” Gerald terus saja mengomel sembari memeriksa berkas. Tangannya lincah membuka lembar demi lembar sembari terus berpikir. Saat masih fokus pada pekerjaan, mendadak ponselnya berdering. Sekilas ia menoleh pada layar ponsel yang menyala. “Tumben Naura menelepon sore-sore begini,” ujarnya, meletakkan bulpen, lantas mengambil pMelinda dan Gerald tengah memerhatikan peti mati yang disimpan di dalam gudang tua di belakang paviliun. Bentuknya yang tak terlalu besar, membuat alis Gerald bertaut. “Jadi, kau dalam keadaan meringkuk saat bangun?” tanyanya. “Benar, Mas. Aku bahkan kehilangan cincinku saat kejadian.” Sekilas Melinda mengangkat tangan, membayangkan keberadaan cincin di tangannya. “Hilang? Yang melingkar ini apa? Donat?” Gerald menarik tangan sang istri. Berdecak pelan setelah melepaskan tangan itu dengan cukup kasar. “Bukan cincin pernikahan kita, tapi cincin pertunangan dengan Mas Bima,” lirih Melinda, memelankan suara. “Oh.” Gerald mengangguk. Pria itu sedikit mencibir. “Sudahlah, kau istirahat saja. Biarkan Jiddan mengurusnya. Kalau kau sakit, kau pasti menyusahkan. Itulah kenapa Bibimu selalu marah, kan?” Gerald yang berpakaian santai dengan c
Melinda membuka lemari. Pandangannya tertuju pada sebuah kotak mini dari kardus yang diletakkan di bagian bawah lemari. Diambilnya benda itu, lantas duduk di tepi ranjang. Dibuka kotak berwarna cokelat itu. Tampak pakaian berwarna putih yang sangat bersih. Melihatnya, Melinda tak bisa menahan air mata. “Mas Bima,” lirihnya, teringat malam itu. Malam di mana ia menemukan Bima jatuh dari ketinggian dalam keadaan tertelungkup. Baju putih yang sempat berlumuran darah itu menjadi saksi bagaimana darah Bima menyatu dengan tanah dari vas bunga yang pecah. “Di mana aku akan mendapatkan bukti? Apa yang terjadi padamu, Mas? Sampai detik ini, aku tak bisa melakukan apa pun. Aku bodoh. Sangat bodoh!” Melinda memukul dadanya dengan keras. Meluapkan amarah dan kekesalan yang tak bisa ia tunjukkan pada dunia. Tanpa disadari, Rina mendengarkan dari balik pintu. Sedikit
“Aku benci saat semua mata tertuju padamu. Kau lebih diperhatikan, padahal peranmu dalam film ini adalah antagonis. Seorang wanita perebut suami orang.” Naura menunjuk-nunjuk Ambar. Mendorong tubuhnya dengan jari telunjuk hingga mundur beberapa langkah. “Harusnya, kubuat kau cedera parah agar peranmu diganti,” sambungnya. Ambar menunjukkan senyum sinis. Wanita di depannya yang sempat ia kagumi saat awal-awal menjadi aktris, kini bertolak belakang dengan kenyataan aslinya. Wanita yang manis di depan kamera hingga mampu membuat penonton terbuai isi cerita sampai ke dunia nyata, ternyata hanyalah wanita angkuh dan ambisius. “Kau merasa tersaingi karena aku lebih muda, begitu? Kau kan sudah 37 tahun, sementara aku baru 27 tahun. Kita selisih 10 tahun.” Kalimat itu membuat Naura semakin meradang. Matanya mendelik tajam seolah-olah bola matanya akan keluar. “Atau karena aku masi
Malam yang cukup indah. Bintang bertaburan di angkasa. Rembulan pun berlindung di balik awan kelabu yang berarak perlahan. Ini adalah pertama kalinya Melinda menginjakkan kaki di balkon. Sisi samping rumah seolah dapat dijangkau dengan penglihatannya. Sepoi-sepoi angin malam mulai menyapa. Menampar pelan wajah Melinda yang tertunduk, menatap ponselnya. “Aku hanya punya nomor Paman,” lirihnya. Awalnya, Melinda berniat untuk menghubungi sang paman untuk bertanya kabar sekalian berbagi pendapat. Namun, ketika Irma yang menjawab, buru-buru ia mengakhiri perbincangan. “Aku bingung. Harus apa aku sekarang? Apa harus melanjutkan hidup menjadi istri kedua? Ataukah aku memaksakan diri untuk mundur dan memilih menjauhi semua?" Melinda bersandar membelakangi pemandangan malam yang menyejukkan mata. Tangannya masih memegang ponsel baru yang Gerald belikan untuknya. Jam sudah menunjukkan pukul 23.15 s
"Walau bagaimana pun, aku pikir kau akan lebih tenang hidup jauh dari Mak Lampir itu, Mel,” ucap Sasa. “Aku rasa begitu meskipun aku dan suamiku akan lebih banyak tak sependapat.” Melinda menarik napas, bersandar sembari menatap langit-langit ruangan. Suara bising di sekitar tak jua menarik perhatiannya untuk mengalihkan pandangan. Tempat yang sama inilah tempatnya bertemu Bima. Pria yang baru saja menyelesaikan kuliah dan mampir ke tempat ini. Saat itu, Melinda ingin menemui Sasa. “Hai, boleh aku mengajakmu berkenalan? Beberapa kali aku melihatmu datang dan itu membuatku tertarik.” Kalimat pertama yang Bima katakan saat tak sengaja bertemu. “Oh, bo-leh.” Melinda menjawab sambil menyelipkan rambut panjangnya ke balik telinga. “Namaku Bimantara. Siapa namamu?” Bima mengulurkan tangan. “Melinda.” Wanita cantik dengan rambut digerai itu menyambut uluran tangan Bima.
“Sayang, usahlah kau risau tentang yang kita bahas semalam. Aku tak pernah dan tak akan berubah meski kita belum dikaruniai keturunan.” Gerald menggenggam tangan sang istri. Mobil yang dikendarai Jiddan melaju pelan. Membelah jalanan kota yang lumayan bising. “Tapi, Mas, aku merasa tak berguna. Aku ... aku merasa gagal sebagai istri.” Naura menangis sesenggukan dalam dekapan hangat sang suami. “Jadi, itu yang kau pikirkan selama ini sampai stress? Sabar saja, Sayang. Ini ujian. Kita fokus saja pada kehidupan saat ini, ya.” Gerald terpaksa menampilkan senyum. Rasanya ia ikut sedih mengingat usia pernikahan yang hampir tujuh tahun, tapi belum juga dikaruniai keturunan. Semalam saat berada di kamar mandi, Naura mengungkapkan perasaan sedihnya mengingat usianya kian menua, tapi belum juga memiliki anak. “Kita serahkan pada Yang Maha Kuasa. Aku juga tak pernah menuntutmu,” sambung Gerald. Pria
Melinda yang tak tahu harus berbuat apa, memutuskan untuk merapikan kamar. Ia juga berniat membersihkan kamar mandi setelah sempat bersitegang dengan Rina yang melarangnya. Wanita dengan kaos hijau itu mulai menyikat lantai kamar mandi yang dirasa mulai licin. “Wah, sepertinya, lebih enak kalau aku mendengarkan musik,” ujarnya. Lantas, diletakkannya sikat di lantai. Bergegas Melinda mengambil ponsel barunya. Memasang earphone, memutar musik setelah mencari lagu yang cocok didengarkan di saat seperti ini. Lagu dari band Zivilia dengan judul Aishiteru menjadi pilihan. Lagu romantis yang membuatnya teringat Bima. “Semakin aku berusaha melupakan, semakin pula semua kembali terbayang.” Melinda menyeka air mata yang terus mengalir dengan lengan bajunya. Lagu-lagu semacam itu sering ia dengarkan bersama Bima yang sangat menyukai musik pop. Bahkan Melinda hafal karena seringnya ikut
Naura memerhatikan wajah Melinda kala semua orang sarapan. Ini adalah hari Sabtu yang berarti Gerald libur kerja. Hal ini dimanfaatkan oleh Naura untuk melanjutkan rencananya. Sejak beberapa hari lalu, Naura berharap Melinda akan tampak kesal atau bahkan cemburu melihatnya bermesraan di balkon malam itu. Namun sayang, Melinda seolah tak peduli akan semua itu. “Mas, hari ini kita tidak ada kerjaan. Bagaimana kalau kita shopping ke mall? Sudah lama aku tidak refreshing. Kita bisa pergi bersama, kan?” “Terserah aku saja,” jawab sang suami, menyeka bibir dengan tisu. “Ayo, Mel, kau juga ikut. Aku perhatikan, baju yang aku beli tak pernah kau pakai. Kau pasti tak suka, ya?” tanya Naura, memancing. “Ah, bukan seperti itu. Aku ... tidak terbiasa memakai pakaian mahal. Seperti inilah aku,” kata Melinda, mengamati tubuhnya. Celana panjang beserta baju lengan panjang selalu melekat di tubuh kurusnya.
Melinda dan Gerald berdiri menatap Lily Hotel di depannya yang sudah beroperasi beberapa bulan terakhir. Hotel baru yang langsung menjadi pusat perhatian dan populer di berbagai kalangan. Keduanya melangkah sambil memasuki tempat itu dengan senyuman. Para karyawan kompak menyambut kedatangan mereka yang sudah dikabari sejak beberapa hari lalu. Setelah pernikahan ulang dilaksanakan, Melinda dan sang suami semakin mesra. Ke mana-mana selalu bersama. Kali ini mereka datang untuk menikmati fasilitas hotel yang ada. Layaknya pasangan muda-mudi yang bulan madu. “Pokoknya aku mau lima ronde!” kata Gerald, memasuki salah satu kamar VVIP. “Ingat umur, Mas! Mana bisa tenagamu mengimbangiku?” ledek Melinda, menutup pintu dan menguncinya. “Jangan remehkan aku. Sebelum ke sini, Mama Zaskia sudah membuatkan aku jamu kuat. Dia bilang, aku akan sanggup sampai lima ronde sekali pun!” Geral
“Mama?” Baru saja kata itu terucap, seorang wanita mengeluarkan pistol dari dalam tas, lalu mengarahkannya kepada mereka. Melinda menganga, terkejut melihat kehadiran Zaskia tiba-tiba. “Kau pikir aku akan diam saja? Aku akan menuntut balas. Aku tak bisa datang saat kematian Naura, tapi aku datang saat kematian kalian.” Zaskia mengarahkan pistol kepada Gerald. Segera Melinda berdiri di depannya, menghalangi. “Sebelum kau membunuhnya, bunuh aku lebih dulu. Aku tak bisa hidup tanpa suamiku,” ujar Melinda. “Tidak! Bunuh aku saja. Mama pasti marah dan benci karena aku memilih Melinda, kan? Kalau begitu, bunuh saja aku, jangan dia.” Gerald mendorong Melinda ke samping. Berganti menjadi pelindung bagi sang istri. Melinda menggeleng. Digenggamnya tangan sang suami. Jika harus mati, maka dia lebih memilih mati bersama daripada harus kehilangan.
Pagi yang sepi. Ditemani semilir angin dan dedaunan yang berguguran. Hujan baru saja reda saat pemakaman Naura dilangsungkan. Melinda, Gerald, Jiddan, serta lainnya menyempatkan diri untuk datang. Menyaksikan bagaimana tubuh fana itu mulai ditutupi tanah yang lumayan berlumpur. Kabar kematiannya yang benar-benar mengenaskan baru terdengar menjelang pagi. Polisi mengatakan kematiannya karena bunuh diri. Overdosis obat penghilang cemas. Tubuhnya yang lemah, tak mampu menahan. “Seminggu lagi dia akan dieksekusi mati, tapi ternyata memilih mengakhiri hidup.” Begitulah yang Gerald dengar dari polisi yang datang untuk mengabari. “Kami menemukan surat di dalam kantong celananya. Mungkin Tuan berkenan menerimanya.” Polisi menyerahkan selembar kertas yang dilipat pada Gerald yang terkejut dengan kabar buruk itu. Tangannya bergetar saat menerima surat itu. "Di
“Di mana otakmu, hah? Kau ingin membakar anak kecil demi memuaskan egomu? Kau benar-benar sudah tidak waras!” Gerald merasa dadanya mulai bergetar, saking amarahnya tak bisa dibendung. “Aku tak peduli! Biar dia mati sekalian. Kalau dia mati, kau akan menderita bersama wanita itu. Aku akan tertawa sepuas hati,” jawab Naura, tersenyum lebar. Dilihatnya Melinda mengusap wajah Lily yang basah karena bensin. Rasanya Naura sudah gelap mata. Dia ingin hari ini juga, ada yang mati di antara mereka. Siapa pun itu, pokoknya hanya ada satu yang bisa tenang, dan itu adalah dirinya. “Kau sangat mencintai mereka, kan? Itulah kenapa kau menceraikan aku,” kata Naura, perlahan melangkah ke samping, di mana korek api yang terlempar tadi berada di rumput. “Itu semua karena kesalahanmu! Kau serakah! Kau egois! Kau penjahat yang hanya bisa menghancurkan hidup orang lain!” kecam Gerald, menunjuk wajah Naura. Tak jauh darinya,
Haedar berlari di Bandara. Semalam ia mendapat telepon dari temannya bahwa anak Gerald diculik mantan istrinya yang kabur dari penjara. Karena panik, Haedar izin kembali ke Indonesia. Pria itu berlari mendekati Radit yang menunggu dengan senyuman. Majikannya kembali. Walaupun mungkin hanya sebentar, setidaknya dia tampak baik-baik saja. “Selamat datang, Tuan,” sapa Radit, membungkuk hormat. “Lily sudah ditemukan?” tanya Haedar, memasuki mobil yang pintunya dibuka. “Tadi pagi saat saya ke sana, katanya mereka sudah menemukan keberadaan Lily. Ada Kenan dan Suzy yang membantu Nyonya Naura,” tutur Radit. Ia memasuki mobil, lantas segera membawa majikannya ke bandara. Sengaja tak memberi tahu keluarga Gerald bahwa dirinya pulang. Hanya seminggu di Turki, tapi dia terpaksa pulang. “Aku sudah curiga. Mustahil dia akan diam saja menerima kenyataan akan dipenjara selama beberapa tahun.” Haedar men
Saat semua orang masih panik, tiba-tiba ponsel Melinda berdering. Wanita itu mengangkat telepon dari nomor asing. Tangannya sedikit bergetar saat ponsel itu didekatkan ke telinga. “Ha-halo. Siapa?” tanyanya, menggigit jari. “Apa perlu aku beri tahu siapa aku?” Melinda membulatkan mata. Suara itu milik Naura. Dia yakin seratus persen bahwa yang kini menelepon adalah mantan istri Gerald. “Sayang!” Gerald mendekat. “Apa maumu? Katakan padaku, di mana Lily? Kau yang menculiknya, kan? Katakan, Naura!” Melinda membekap mulut, menahan isak tangisnya. Gerald meletakkan kedua tangannya ke pundak sang istri. Ikut mendengarkan apa yang akan Naura katakan. “Aku akan memberimu anak ini, asal kau datang ke alamat yang akan aku sebutkan. Sampai kau membawa orang lain, apalagi Mas Gerald ataupun polisi, aku tak jamin Anakmu akan bernapas.”
“Sayang, Minggu depan ikut aku, ya,” ajak Gerald. Meletakkan tangannya pada sandaran sofa. Istrinya yang fokus menonton acara anak-anak, menoleh sekilas. “Ke mana?” tanyanya, kembali menatap layar televisi, di mana kartun lucu tengah tampil. Lily yang sangat menyukai tayangannya, tak sedikit pun menoleh. Duduk di lantai beralaskan karpet tebal di bawah keduanya, dengan sejumlah mainan yang mulai berantakan. “Kau ikut saja. Aku ada kejutan untukmu,” kata Gerald, memeluk istrinya dari samping. “Tergantung,” jawab Melinda. “Tergantung apa?” Gerald menarik telinga Lily pelan, lalu pura-pura tidak melihat saat sang anak menoleh. “Tergantung suasana hati. Kalau suasana hatiku sedang baik, mungkin aku akan ikut. Kalau tidak, ya maaf.” Melinda mengganti tayangan saat iklan. “Ih, kau ini!” Gerald berdecak. Ia mulai mengganggu Lily yang asyik menikmati camilan. “Kau kadang suka aneh. Men
Dea menambah kecepatan motornya. Merasa takut tak akan bertemu Haedar lagi. Air matanya menetes. Sungguh, dia benar-benar menyukai pria itu. Walaupun berusaha untuk melupakannya, perasaan itu kian bertambah. Semakin subur setiap saat. Dea menangis tanpa suara. Jalanan di depannya yang lumayan lengang membuat wanita dengan kaos hitam itu semakin berusaha untuk sampai lebih cepat. Di Bandara .... Haedar dan Saroon baru saja sampai. Pria itu memeluk Radit yang tampak tak mau berpisah. “Saya ikut ya, Tuan,” ujarnya. “Mana bisa? Nanti siapa yang akan membantu Kak Gerald dan Jiddan? Lagi pula, kau juga butuh tiket pesawat, Visa dan paspor. Tidak mungkin dalam satu jam kau bisa menyiapkan semua. Sudah, tenang saja.” Ditepuknya pundak Radit yang sudah seperti anggota keluarganya juga. Memeluknya erat tanda sebentar lagi akan berpisah. “Jaga rumah baik-baik, ya. Kalau ada apa-apa, hubungi kami.” Saroon
Naura langsung dibawa ke ruang UGD untuk mendapatkan penanganan medis. Dua penjaga yang mengantar pun menunggu di luar. Satu jam kemudian, dokter keluar dari ruangan dan memberi tahu keadaan Naura yang sudah membaik. “Kapan kiranya bisa pulang?” tanya penjaga bertubuh kurus. “Dua atau tiga hari sudah boleh pulang. Saya permisi dulu.” Dokter berlalu meninggalkan dua penjaga yang sepakat akan bergantian berjaga karena Naura adalah tahanan. Selang beberapa saat .... Naura membuka mata. Ia langsung bangun, memegangi perutnya yang terluka. Nyeri hebat dirasakan saat ia menyentak selang infus hingga darah dari tangannya menetes. “Aku harus segera pergi.” Naura turun dari ranjang. Perlahan ia mendekati jendela. Beruntung tadi sempat mengambil gunting yang dokter letakkan tak jauh darinya. Wanita itu pun mencungkil jendela menggunakan gunting dengan susah payah. Berusaha untuk kabur dari tempat itu ta