"Istirahatlah."Nadine mengangguk lesu. Tubuhnya lelah sekali dengan kaki terasa pegal. Ternyata Rafael tak cuma mengajaknya menemui Tuan Li. Tapi juga seorang investor asal negeri Paman Sam. Tuan Albert namanya. Kali ini mereka membicarakan tindak lanjut kerja sama yang dulu sempat terjalin.Nadine dipaksa mempelajari cepat dan kilat beberapa berkas yang sudah Rafael siapkan. Alhasil perempuan itu langsung tepar di kursi kerja begitu balik ke kantor. Astaga, rasanya dia ingin tidur cepat di kasurnya yang beraroma sang suami. Aih, kenapa dia mendadak rindu suaminya.Perempuan itu lantas meraih ponselnya. Bibirnya mengerucut lucu, Rafael bahkan tidak menghubunginya sama sekali. Dasar pria tidak peka."Ada apa, hm?"Nadine berdecak kesal mendengar jawaban Rafael yang super singkat ketika dia menghubungi sang suami. "Gitu doang?""Apanya?" Rafael buru-buru membuka laptop, lalu menghidupkan kamera pengawas yang ada di ruang kerja kerja Nadine. Dilihatnya sang istri yang tampak meletakkan
"Kita mau ke mana?"Nadine bertanya seraya memeriksa ponselnya. Bahunya jatuh melemas, ponselnya kehabisan daya. Wanita itu dengan bibir manyun memasukkan benda itu ke dalam tas. Padahal dia ingin mengirim pesan pada sang ibu, mungkin dia akan pulang terlambat hari ini, atau bahkan tidak pulang. Pergi bersama Rafael kadang memberi kejutan untuk Nadine. Pria itu sering bertindak spontan, tidak terduga sama sekali.Nadine lantas menoleh ke arah pria yang tengah mengemudi. Terlihat tenang, memakai masker seperti biasa. Memakai kemeja layaknya kebiasaan Rafael belakangan ini. Katanya dia sering dilibatkan dalam meeting di kantor.Hanya saja dia terusik dengan satu hal. Aroma Rafael tidak sama, berbeda. "Kamu pakai parfum baru?"Pria itu hanya menggeleng. Dari sini Nadine mulai curiga. Mereka berhenti di lampu merah, saat itulah nomor plat mobil Nadine berganti. Suasana yang ramai, padat kendaraan saat bubaran jam kerja membuat semua tak menyadari kalau mobil di depannya telah berubah nomo
David memarkirkan mobil di depan gedung apartemen sesuai alamat yang diberikan sang rekan. Dia tidak tahu nomor ponsel suami Nadine, jadi dia berinisiatif mencari jawaban sendiri. Siapa tahu, Nadine pergi dengan suaminya. Tapi kalau pergi dengan suaminya, kenapa Reva bilang Nadine hilang. Ini aneh, ada yang tidak beres.Pria itu bahkan langsung menyerbu masuk, cukup bingung sampai temannya yang tadi mengirim pesan pada David melambai dari arah ruang tunggu. "Dia itu sebenarnya sudah nikah. Tapi gue denger dari sepupu gue yang temenan sama Nadine, dia bilang itu cewek hilang. Kalau pergi ama lakiknya kan gak mungkin disebut hilang."Teman David cukup terkejut mendengar Nadine sudah menikah. "Terus ini bagaimana? Kita lanjut apa kagak. Siapa tahu dia pergi ama lakiknya. Kan gue jadi fitnah jatuhnya.""Tunggu sebentar deh. Aku coba hubungi ponselnya.""Ishh, kalau lagi sama suaminya jangan diganggu, siapa tahu sedang anu. Gangguin aja kita."David tampak mempertimbangkan saran sang tem
Rafael menerobos masuk sebuah rumah sakit terdekat. Leher Nadine yang berdarah-darah membuatnya panik bukan main. Belum lagi lebam terlihat di pipi kanan dan kiri Nadine. Pria itu menggeram marah, ingin rasanya menghajar balik Pram untuk membalas sakit yang Nadine rasakan.Namun sekarang yang penting keselamatan Nadine lebih dulu, dia takut luka tadi membahayakan nadi di leher sang istri. "Dokter! Tolong istri saya!" Teriakan Rafael menggelegar di tempat itu.Teman David hanya bengong melihat beberapa tenaga medis tergopoh-gopoh mendekati Rafael. Nadine segera diperiksa dengan Rafael mundur memberi ruang.Pria itu lekas mengambil ponsel, lalu menghubungi Rion. Pria itu awalnya tidak menjawab panggilan Rafael. Suami Nadine hampir memutus telepon ketika suara Rion terdengar."Aku hubungi lagi nanti. Sandy ngamuk, aku pun sebenarnya mau ngamuk juga. Tapi tidak ada kesempatan. Pram dibawa ke kantor polisi."Tut! Panggilan terputus membuat Rafael berdecak kesal. "Kenapa dibawa di kantor po
Dari semua yang terjadi dalam hidupnya. David hanya menyesali satu hal. Kenapa dia begitu mudah melepaskan Nadine karena bujukan Eva. Sekarang setelah perempuan itu tampak bahagia dengan pernikahannya, David merasa tidak rela.Harusnya dia yang menikahi perempuan itu, bukan seorang kurir yang berpenampilan kumal juga miskin. Namun hari ini David didera syok begitu hebat. Kala Sandy tanpa sengaja menyebut Nadine istri Rafael, sepupunya.Bagaimana bisa? Pertanyaan itu yang sejak setengah jam lalu berputar di kepala David. Bagaimana bisa juga dia sama sekali tidak mengenali sepupunya sendiri. Bodoh! David rasanya ingin mengeplak kepalanya sendiri. Ingin memaki kebrengsekan dan ketololannya. Sekarang dia ingin mencari kebenaran dari pernyataan Sandy. Meski secara tersirat, Rion dan Sandy membenarkan status itu.Hingga di sinilah dia, berada di depan adik sepupunya. Bertanya dengan debar jantung tak terkendali. Nasib baik mereka ada di rumah sakit, kalau dia sampai kena serangan jantung,
Ketika Rafael masuk ke ruangan Nadine, dilihatnya sang istri menjerit sembari mendorong siapa saja yang mendekat ke arahnya. Tak pelak aksinya itu kembali membuka jahitan di leher wanita tersebut. Luka yang Pram buat lumayan dalam dan panjang, hingga perlu dijahit. Bibir Nadine terus meracau, menyebut Pram pembunuh Melani, juga teriakan "jangan" yang membuat sfaf medis curiga kalau pria yang telah melukai Nadine sempat melakukan hal buruk.Rafael reflek mendekat, dia langsung memeluk sang istri. Awalnya Nadine berontak, tapi begitu Rafael bersuara serta aroma pria itu yang sangat Nadine kenali tercium olehnya, perempuan tersebut berangsur tenang. Nadine meringkuk dalam dekapan hangat Rafael yang terus mengucapkan kalimat "tidak apa-apa" pada sang istri."Dia yang bunuh Melani," gumam Nadine di sela isak tangis lirih yang masih terdengar."Iya, dia sudah di kantor polisi.""Aku takut, aku lihat dia pakai kalung yang sama." Nadine menenggelamkan wajahnya makin dalam di dada sang suami
"Tidak mungkin!" Teriak Paramita tidak terima. Bagaimana bisa Pram dapat bebas begitu mudah setelah semua yang pria itu lakukan. Membunuh Melani, membuat Reva keguguran, baru saja menculik Nadine, menganiaya. Bahkan Pram terlibat dalam kecelakaan Ravelio De Angelo enam tahun lalu."Tidak! Dia tidak boleh lolos! Kerahkan pengacara untuk menjeratnya. Mama tidak mau dia membahayakan nyawa keluargaku lagi!" Pinta Paramita pada Rion."Tenang Ma, tenang. Untuk kasus Nadine kita belum bisa mengekspose-nya. Kecuali Rafael siap untuk menunjukkan Nadine ke publik. Yang lain baru sekedar dugaan, kita memang belum mengumpulkan bukti yang kuat dan otentik untuk memenjarakannya. Tapi tenang saja Ma, kita bisa melakukan hukuman di luar penjara."Kalimat terakhir diucapkan Rion sambil berbisik di telinga sang mama mertua."Kalian mau main mafia-mafiaan?""Enggak, Tan. Kita mau main potong memotong." Sandy kembali membuat gerakan memotong menggunakan gunting."Awas saja kalau aneh-aneh.""Mumpung mas
Reva menyingkir ketika Nadine bangun. Perempuan itu sengaja memberi ruang pada sang kakak untuk bicara dengan istrinya. Begitu Reva keluar kamar. Rafael langsung naik ke atas kasur. Nadine sendiri tampak memindai kamar yang dia tempati. Sadar dia ada di mana."Untuk sementara kita numpang di sini. Tuan Atma mengizinkan, dia merasa bersalah, kamu begini karena ulah Pram. Kita juga tidak mungkin pulang, nanti ibu sama bapak heboh."Nadine terdiam, dipandangnya wajah sang suami yang sedang menggenggam tangannya. Tatapan Rafael penuh kecemasan."Siapa kamu sebenarnya? Kenapa Pak Pram nyebut kamu tuan muda?"Ada hening sesaat menyelimuti ruangan itu. Rafael sedang coba merangkai kata, memilahnya. Satu yang pasti, dia belum ingin membuka diri, setidaknya sampai luka dan kondisi psikis Nadine membaik. Dia tahu, waktunya makin dekat.Ditambah David yang sudah tahu status dirinya dan Nadine. Jelas terlihat jika pria itu masih berambisi ingin merebut Nadine darinya. Rafael cukup takut akan hal