"Dave cuma sendiri kok Tante. Gak ada yang ngikutin juga, sumpah."Paramita melirik Atma yang hanya bisa menarik napas. Hubungan mereka sejatinya tidak terlalu dekat. Kecuali Mita dan Dave. "Tahu dari mana kami di sini?" Paramita bertanya."Iseng aja. Kata Rafael kakek ikut dengannya. Aku cek ke rumah Bang Lio gak ada. Terus aku kepikiran rumah Rafael sendiri. Curiga karena banyak yang jaga di depan. Aku jadi yakin kalau kakek di sini.""Enggak cuma kakek sih. Semua ngumpet di sini," kekeh Atma."Ikutan dong. Kalau di sini pasti gak ketahuan Papa. Malas serumah sama dia.""Heh! Kalau kamu ikut bapakmu pasti nyariin, ketahuan kita nanti.""Bilang aja Dave nyusulin Mama. Gak bakal dia nyari, mana berani dia nyamperin mama.""Emang gak ngantor?""Bisa WFH juga."Tampak sekali jika David begitu tertekan. Paramita cukup paham akan hal itu. "Musti lapor sama tuan rumah dulu.""Besok saja. Tante ... lapar. Mau makan. Nanti kalau papa nyari bilang aja kayak tadi," rengek David.Tak akan ada
"Iya, dia Reva."Rafael tak punya pilihan selain jujur. Kepalanya sedang pusing, dia sedang tidak bisa berpikir jernih. Berbohong hanya akan menambah beban juga keruwetan di kepalanya."Kenapa dia di sini?""Ada hal, aku bertemu dengannya di depan toilet. Dia ingat sama aku rupanya."Nadine tampak berpikir. "Oh iya, dia kan dokter wajar kalau berada di rumah sakit. Dia pulang sendiri? Sudah malam ini.""Ada suaminya ngikutin dia."Keduanya kembali masuk ke dalam rumah sakit. Sampai mereka berbelok ke kafetaria rumah sakit. Mereka baru merasa lapar. Untung tempat itu buka dua puluh empat jam hingga mereka tidak kerepotan kalau malam-malam kelaparan. Membawa lima nasi kotak juga air mineral. Keduanya kembali ke tempat Heni, Sita juga Sandy berada."Aku baru mau keluar cari makan." Seloroh Sandy yang sepertinya sudah lapar lagi. Operasi Hermawan yang berjalan lancar tampaknya melegakan semua orang. Meski Leo dan Reva sempat mengingatkan mereka untuk terus berdoa, agar Hermawan bisa mele
David manyun sepanjang sarapan. Sungguh tidak menduga kalau cinta monyet Reva dan Rion berlanjut ke pelaminan. Ditambah kabar Sandy yang bakal mempersunting adik Nadine, membuat moodnya makin berantakan.Sungguh ingin rasanya dia kabur ke tempat mamanya. Menyembunyikan diri di sana. Enek lihat Rion dan Reva tampak mesra. Dia cukup tahu bagaimana Lio dan Rafael dulu menjaga Reva dari Rion. Jadi mungkin saja ketika sekat itu sudah tidak ada, keduanya bebas mengekspresikan rasa cinta mereka."Dave, ikut ke rumah sakit ya?""Malas," balas David ketika Paramita memintanya menemani Atma cek up. Rion sudah berangkat, menyisakan Reva yang sedang menunggu sang kakek mandi."Tolonglah, Tante harus ke kantor. Rafael tidak masuk hari ini. Atau kamu yang ke kantor.""Malas."Paramita rasanya ingin menjewer kuping keponakannya. "Pilih satu, rumah sakit atau kantor!" Tegas Paramita."Aduhh," David meringis ketika Paramita merealisaikan niatnya mau menarik rungu David."Iya deh, iya. Rumah sakit. Ti
"Perempuan sinting!" Maki Rion seketika begitu gosip soal Eva sampai ke telinganya."Sabar, Bro. Yang disangkutin namanya saja masih anteng saja." Sandy berucap entengSatu pukulan melesat mengenai perut orang yang hampir menerobos ruang perawatan Hermawan. Rion yang begitu stres akhir-akhir ini sama seperti Rafael, sepertinya sedang melampiaskan kemarahannya. Pria itu sejak tadi menjadikan pria tadi samsak hidup untuk tinjunya."Eh, sudah. Pulang sana kalau sudah puas mukulin orang.""Reva masih di rumah sakit. Sebentar lagi aku jemput," balas Rion seraya menghembuskan napasnya, lantas mengambil duduk di samping Sandy.Dua pria itu menatap ke depan, ke arah pria yang sudah pingsan, tidak sadarkan diri. "Mulai riweh lagi."Sandy menggumamkan sesuatu tidak jelas untuk mengiyakan perkataan Rion. Baru juga memasuki masa tenang, keadaan diperkirakan akan memanas lagi.Malam itu Rion dan Sandy berpisah arah, meski keduanya ke rumah sakit bersama-sama. Rion langsung melajukan mobilnya begit
Rion menatap tajam penuh intimidasi pada Eva yang berdiri salah tingkah di hadapannya. Pria itu baru saja berganti pakaian. Bajunya basah kuyup mandi kuah rawon. Pria itu bahkan sempat mengguyur tubuhnya di kamar mandi waktu membersihkan diri."Kau bukan siapa-siapa di sini. Beraninya kau membuat ulah. Kau berniat menyiram Nadine?" Tuduh Rion. Pria itu tampak menakutkan bahkan untuk Nadine yang tidak punya problem dengan Rion."Aku punya kedudukan di sini!" Balas Eva."Apa?" Tantang Rion."Aku calon istri CEO kantor ini. Lihat saja, begitu aku menikah dengannya, kau dan kalian semua adalah orang pertama yang akan kupecat."Rion jelas tertawa, dengan Rena mengulum senyum diam-diam. Sementara Nadine hanya menggelengkan kepala."Halumu ketinggian, Mbak. Kau pikir dia mau menikah denganmu. Dengan perempuan yang hobi buka paha ...."Rion mendelik ketika Nadine membekap mulutnya. "Apaan sih? Dibelain juga," desis Rion kesal setelah menyingkirkan tangan Nadine."Jangan buka aib juga kali.""
Atma sedang menatap keluar jendela kamarnya. Dia sudah kembali ke rumah sejak sejam yang lalu. Reva menyuruhnya istirahat, tapi pria itu justru merenung di sana. Duduk di sofa nyaman yang bisa dia gunakan untuk membaca.Pikirannya melayang ke saat Pram menemuinya di ruangan Reva. Iya, sosok yang mendatanginya adalah Pram, sang mantan asisten. Dan obrolan atau lebih tepatnya adu argumen terjadi di antara keduanya, mantan atasan dan asistennya.Flashback on"Pada akhirnya, kita sama-sama kehilangan orang yang kita sayang." Atma berujar lebih dulu."Tapi Anda masih memiliki yang lain, sedang saya, Anda mengambil satu-satunya yang saya miliki, yang tersisa setelah Anda juga merenggutnya!" Pram mulai emosi."Tapi dia pergi juga," ujar Atma sendu."Jika putra Anda tidak menjebaknya, adik saya mungkin masih hidup," tuding Pram."Dan cucu sulungku yang meninggal? Tidak, Pram. Tuhan maha adil, Dia mengambil keduanya. Dia ingin mengingatkan kita.""Pada kesalahan fatal yang Anda lakukan!" Pram
Reva tampak meremas tangannya sendiri beberapa kali. Kebiasaan kalau dirinya sedang resah. Wanita itu terus menunduk, tidak berani atau lebih tepatnya enggan menatap pria yang duduk di depannya."Terima kasih," kata pria itu pada OB yang mengantar minuman ke ruangan Reva."Minum dulu tehnya, rendah gula seperti kesukaanmu. Papa harap masih belum berubah."Reva mendongak, mempertemukan iris coklat miliknya dengan pemiliki manik mata berwarna sama dengannya. Pria itu tersenyum hangat, meski pedih itu tetap ada. Putrinya pulang, tapi sama sekali tidak memberitahu bahkan menemuinya. Sekeras apapun hatinya, seorang ayah tetap seorang ayah yang tetap akan menyayangi anak-anaknya, walau terkadang caranya agak lain. Kadang menimbulkan pro dan kontra."Pa ....""Yang penting kamu baik-baik saja." Reva menelan ludah, dia baru saja mendapat pelukan hangat dari Hermawan, sejatinya dia juga merindukan hal serupa dari papanya sendiri, Arya. Seperti saat dirinya masih kecil dulu. Pria itu sering me
Nadine menarik lengan Rafael ketika lelaki itu memakai jaketnya kembali. Hari berubah gelap belum lama, dan Rafael baru pulang dua jam yang lalu. Sekarang sudah mau pergi lagi."Mau ke mana?""Ada perlu sama Sandy."Netra Nadine memicing. "Ada perlu apa?""Urusan laki-laki," balas Rafael singkat seraya menyemprotkan parfum sang istri lumayan banyak."Awas kalau selingkuh!" Cetus Nadine galak. Bibir perempuan itu maju lima senti."Kenapa? Cemburu?" Goda Rafael."Gak ya. Tidak suka aja. Yang namanya pernikahan tidak boleh mendua. Kalau mau mencari yang lain ce ...."Kalimat Nadine terputus ketika Rafael merunduk untuk mencium bibir sang istri yang kalau sudah ngomel macam petasan injak. Kalau belum habis belum berhenti. Tapi Rafael tak pernah protes. Seolah omelan Nadine adalah lagu yang merdu untuk hidupnya yang sunyi."Justru aku mau nyingkirin calon pelakor." Kata Rafael, mengacuhkan Nadine yang masih cemberut karena ulah sang suami barusan."Sudah ya, aku pergi dulu. Aku tahu batas.