Andra menggaruk rambutnya dengan pelan. “Perut Tante Mayang, waktu itu kayaknya sedikit buncit deh. Lagi hamil, atau emang lagi kembung, yaa? Soalnya, sekarang udah rata lagi. Khawatirnya, nyokap elo jadi stress bin gila karena habis aborsi juga. Entah anaknya siapa, kita nggak tau. Damar … atau Om Satya.”Sagara menganga. Mana mungkin mamanya sedang mengandung, sementara ia tak pernah melihat kondisi Mayang yang terlihat seperti sedang mengandung. Seperti mual dan muntah, atau tidak menyukai aroma yang aneh-aneh.“Nggak mungkin kayaknya, Ndra. Kembung, kali. Mama udah tua juga. Mana boleh, hamil lagi.” Sagara menyangkal ucapan Andra. Bahwa Mayang tidak sedang mengandung kemudian mengaborsi.“Sangat berbahaya kalau Mama mengaborsi kandungannya. Sedangkan usia dia udah dilarang hamil. Pun dengan aborsi. Mana mungkin, kondisi Mama akan baik-baik aj—““Baik, kata elo? Tante Mayang sakit tiba-tiba. Efek aborsi tuh.” Andra kembali berasumsi.Sagara menghela napas kasar. Kemudian keluar dar
Acara makan siang sudah selesai. Waktu sudah menunjuk angka dua siang. Sagara dan Andra tengah duduk di kursi panjang di halaman depan rumah tersebut.“Masih aktif merokok, lo?” tanya Sagara ketika melihat Andra mengisap rokoknya.Andra mengangguk. “Emangnya elo.”Sagara memutar bola mata pelan. “Sayang jantung dan paru-paru. Bentar lagi punya anak. Harus panjang umur dan bahagia sama anak dan istri gue.”Andra tersenyum miris. “Terlalu dramatis. Hidup elo terlalu dibawa serius, Sagara. Nikmati hidup, bukan hanya dengan keluarga aja. Tapi, dengan diri sendiri pun bisa bahagia.”“Dan elo nggak butuh anak dan istri? Mau jadi kayak gini aja, selamanya? Kalau gitu, kenapa elo suka sama Suster Indah? Mau jadi cowok brengsek, lo? Kasih harapan palsu ke dia?”Andra menggeleng dengan santai. “Gue pengen, punya anak, punya istri. Tapi, entah kenapa … kayak ada yang disembunyikan oleh Suster Indah. Dan gue nggak tau, itu apa.”“Udah nikah, kali.” Sagara berucap dengan asal.Waktu sudah menunjuk
Sagara menaikkan matanya seraya memikirkan pertanyaan Hanna tadi. “Kayaknya dua aja cukup.”Hanna manggut-manggut. “Baiklah kalau begitu. Bulan depan, udah bisa lihat jenis kelamin, Sagara.”“Kalau menurut aku sih, laki-laki. Tapi, baik laki-laki maupun perempuan, asalkan keduanya selamat dan sehat saat melahirkan nanti.” Sagara mengusapi perut Hanna yang hanya dibalut dengan selimut.“Tidur, yuk! Udah malam. Kamu nggak boleh begadang. Besok, aku harus cepet-cepet cari tanah untuk bikin resto. Sambil nunggu si Citra pulang, habis itu selesai. Nggak perlu lagi sembunyi-sembunyi dari papa kamu.”Hanna mengangguk. “Good night, Sagara.”Sagara kembali mengecup kening sang istri kemudian memeluknya. Menutup matanya. Tidur dengan lelap menyambut esok hari dengan semangat. Sudah tidak ada lagi kegelisahan yang mereka pikirkan. Karena baik Krisna maupun Raffael, tidak akan bisa menemukan mereka dan menganggap jika mereka sudah pergi dari kota tersebut.Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi.P
Andra mengendikan bahunya. “Nggak pernah ngobrol panjang lebar sama Suster Indah, jadi nggak tau apa yang dia sembunyikan dari aku.” Andra menghela napas pelan. “Harganya enam ratus juga, luasnya setengah hektar. Lumayan lah, Sagara. Bisa bikin taman bermain juga di sana. Sepuluh juta permeter.”Sagara manggut-manggut. “Lumayan. Dengan harga segitu, masih bisa dinego lagi, kan?”“Bisa. Kalau oke, bisa langsung temui dia di kantor pemasarannya. Kebetulan, yang punyanya pemilik rumah BTN di dekat tanah itu.”“Kok bisa, dia jual murah? Tanah sengketa bukan, Andra?” Sagara malah curiga jika tanah tersebut bermasalah.“Bukan, anjir! Kalau nggak percaya, kita bisa ke sana untuk membuktikannya.”Sagara menghela napasnya dengan pelan kemudian menghabiskan sisa roti yang sudah dia makan. “Kamu udah sarapan? Udah minum susu sama obat?” tanyanya kepada Hanna.Perempuan itu mengangguk. “Udah kok. Aku udah sarapan bareng Tante Rima tadi. Udah minum susu dan obat juga.”“Good. Jaga kesehatan dan ka
Sagara mengendikan bahunya. “Banyak memang, sesuatu yang tidak kamu ketahui tentang rencana, strategi dan semuanya. Aku akan memberi tahu kamu jika semuanya sudah selesai. Aku nggak bisa kasih tau sekarang karena aku nggak mau kasih harapan palsu ke kamu, Hanna.“Banyak yang aku pertimbangkan dan sesuai dengan ekspetasiku. Kamu bisa melihat bagaimana aku bisa mencapai puncak yang seharusnya sulit digapai. Semuanya akan mudah setelah apa yang aku miliki dulu, bisa kembali padaku. Termasuk, mencari dokumen asli. Di mana dia berada, aku yakin pasti ada di tempat tersebut.“Ada dua tempat yang bisa aku kunjungi. Tapi, karena aku nggak mau menghabiskan waktu dengan sia-sia, juga nggak bisa meninggalkan kamu sendirian di sini. Diajak ke sana pun nggak mungkin. Aku gak bisa fokus pada kamu. Sudah pasti akan difokuskan pada pencarian itu. Aku mengulur waktu, Hanna.“Mengulur waktu sampai perusahaan papa kamu hancur. Aku ingin Krisna minta bantuan ke aku. Ke kita. Karena aku tau, apa yang haru
Pikiran Sagara terlalu luas dan berasumsi jika Citra sedang diancam oleh Raffael agar Sagara dan Citra bertemu kemudian mengambil Hanna kembali. Membawanya pada Krisna.“Iya juga, yaa. Kalau begitu, kita ketemuan jauh dari rumah gue. Kita ketemuan di deket kampus aja. Ada café di sana.” Andra menoleh kepada Hanna.“Aku ikut!”Baru saja Andra membuka mulutnya agar tidak perlu ikut, perempuan itu sudah berbicara terlebih dahulu dan ingin ikut.“Baru juga mau bilang jangan ikut,” kata Andra pelan.“Aku gak tau apa yang sedang dia rencanakan. Aku ikut! Jangan sampai Sagara kenapa-kenapa. Lagi pula, aku nggak bisa tenang sedangkan kalian pergi menemui Citra yang bisa saja dia lagi sama Raffael. Seperti yang dipikirkan oleh Sagara.”Hanna menatap Sagara. Berharap pria itu mau membawanya menemui Citra. Sementara Andra hanya menghela napasnya sembari menatap Sagara yang masih berpikir.“Pastikan terlebih dahulu. Kalau Citra hanya pergi sendiri. Jangan sampai kita kena jebakan dan dia ambil Ha
“Ya! Sagara dan Clara sudah tunangan. Dan dia membatalkan semuanya karena menikahi kamu, Hanna.”Hanna kembali menutup mulutnya lantaran terkejut bukan main. Baru tahu jika Sagara dan Clara akan bertunangan kemudian dibatalkan. Dia tidak pernah tahu dan Sagara tidak memberi tahu hal tersebut kepadanya.“Citra. Bahkan, Clara aja nggak pernah bahas hal ini lagi. Kenapa elo bahas lagi? Gue dan dia udah damai. Udah nggak ada lagi masalah yang harus kami selesaikan,” kata Sagara yang kini berucap lebih santai.“Tapi kenapa, Sagara? Kenapa kamu membatalkan semuanya?” tanya Hanna kemudian bersuara.“Karena akhirnya aku ketemu sama kamu.” Sagara menjawab dengan jujur.Perempuan itu lantas memejamkan matanya kemudian menggelengkan kepalanya dengan pelan. “Harusnya kamu nggak melakukan hal itu, Sagara. Kalau memang kamu akan tuna—““Nggak ada, Hanna. Bukan hanya karena aku ketemu sama kamu. Tapi, karena memang aku diusir oleh Damar. Satu minggu sebelum tunangan itu akan dilaksanakan, lebih tepa
“Udah, udah. Jangan debat di sini. Kalian nggak perlu mempermasalahkan ini. Si Citra cuma pengen mancing kalian doang. Biar ribut. Clara baik-baik aja. Sakit apaan. Dia masih aktif datang ke kampus. Sakit hati, kali maksudnya.”Andra menghampiri mereka dan melerai perdebatan yang sedang dilakukan oleh kedua pasangan tersebut.“Asumsi elo emang jauh lebih masuk akal daripada pikiran Hanna yang over. Terlalu banyak mikir negative kamu, Hanna. Kecewa aku, sama kamu.”Lalu, pria itu meninggalkan Hanna dan Andra begitu saja.“Laah! Kok malah pergi sih! Weyy! Bukan gitu maksud gue!” teriak Andra memanggil Sagara yang entah akan ke mana pria itu pergi.Di dalam kamar. Hanna terlihat murung lantaran Sagara yang belum juga pulang sejak perdebatan yang mereka lakukan di depan café tadi. Air matanya tidak henti-hentinya berhenti. Ia yang hanya ingin bertanya mengenai kondisi Clara lantas membuat situasi menjadi rumit lantaran Sagara tidak ingin membahas Citra lagi.Bahkan, perempuan itu mengunci